"Selamat pagi, Pak. Saya ingin mengabarkan bahwa Nona Agnes sekarang berada di rumah sakit. Jika berkenan... Bapak bisa datang untuk melihat kondisinya." Telepon dari rumah sakit itu seperti sambaran petir di siang bolong. Erick baru saja tiba di kantor, aroma kopi masih mengepul di cangkirnya, ketika suara berat petugas kepolisian mengabarkan kondisi Agnes. Dunia Erick seketika runtuh. "Sakit apa, Agnes? Apa yang terjadi?" tanya Erick, suaranya bergetar tak terkendali. Dia buru-buru meminta izin kepada atasannya, langkah kakinya terasa berat, setiap langkah bagai dibebani batu besar. Sesampainya di rumah sakit, Erick bergegas menuju ruang UGD. Suasana mencekam menyelimuti ruangan itu. Bau disinfektan menyengat hidungnya, bercampur dengan aroma ketegangan yang teramat terasa. Melihat Agnes terbaring di sana, terhubung dengan berbagai alat medis, hati Erick hancur berkeping-keping. Dia menghampiri seo
"Maaf, Kak," tolak Viona, suaranya dingin, menusuk hati. Bayangan saat Yogi menyakiti langsung menghantuinya, membuatnya sulit bersikap lunak. Rasa benci yang membara di da*danya terhadap pria di hadapannya, tak bisa disembunyikan. "Kak Calvin sudah memperingatkan Kakak 'kan? Kakak dilarang menemui aku maupun Kak Calvin. Jadi ... untuk apa Kakak datang?" Kata-kata Viona bagai tamparan keras bagi Yogi, namun dia hanya tersenyum tipis, pura-pura terluka. Dibalik senyum itu, tersimpan rencana licik yang telah dia susun matang. Dia harus mendapatkan Viona kembali, apapun caranya. "Aku sudah bilang 'kan, ada yang ingin kukatakan. Tapi kalau memang aku tidak boleh masuk... Baiklah, aku katakan di sini saja," ujarnya, suaranya terdengar menyesal. Viona diam, punggung tegak, menolak menatap Yogi. Dia berbalik, hendak pergi. Langkahnya terhenti saat suara Yogi kembali memecah kesunyian, kali ini lebih dramatis, lebih meyakinkan. "Aku minta maaf!" suara Yogi terdengar bergetar, namun getaran
Maaf guys kurang fokus. Bab 114 Author salah salin. Mohon dibaca ulang kalau udah lolos review, ya 🙏🏻***"Kak Yogi, tadi pagi ke sini, Kak." Viona akhirnya mengatakannya, suaranya sedikit bergetar."Mau apa dia ke sini?" Ekspresi Calvin tidak terlihat terkejut, seperti dia sudah menduga hal ini. Namun, perubahan wajahnya yang menjadi datar dan garis rahangnya yang mengeras menyiratkan ketidaksukaannya pada topik pembicaraan ini."Dia memaksa untuk masuk gerbang, katanya ingin bicara sesuatu yang penting padaku. Tapi aku menolaknya." Viona menjelaskan, tatapannya tertuju pada lantai, seakan masih merasa tidak nyaman dengan kejadian tersebut."Kenapa kamu tolak?" Pertanyaan Calvin tersimpan sebuah tes. Dia ingin memastikan kesetiaan Viona, apakah benar Viona sudah sepenuhnya melupakan Yogi dan memilih untuk bersama dia."Ya untuk apa juga, nggak penting. Lagian, Kakak 'kan sudah meminta dia untuk tidak menemui kita berdua. Kak Yogi juga nggak tau malu, padahal sudah sempat
Hening sejenak. Hanya detak jantung Yogi yang bergema di telinga, berdebar-debar seperti genderang perang. "Pak Calvin... Kenapa Bapak ...?" Ucapannya terhenti, tersangkut di tenggorokan, sementara tubuhnya gemetar hebat. Tatapan Calvin menusuk, mata pria itu menyala merah padam, rahangnya mengeras seperti batu, napasnya memburu. "Aku sudah memperingatkanmu! Jangan menemuiku, jangan mendekati Viona! Kenapa kau tidak pernah mendengar?!" Suara Calvin menggelegar, penuh amarah yang membara. Tinjunya mengepal, siap melayang ke wajah Yogi, namun Venny datang tepat waktu, menghalangi serangan itu. "Maafkan saya, Pak." Venny menyela, suaranya gemetar, mencoba meredam badai yang mengamuk. "Ini salah saya. Saya ngidam... Mas Yogi terpaksa melakukannya." Tatapan Calvin beralih ke Venny, tajam dan penuh curiga. "Ngidam? Jangan bercanda! Apa hubungannya?!" Calvin membentak, tak percaya. "Istri saya... dia
"Opa nggak maksa, Nak. Opa cuma mau nemenin kamu sunat," jelas Andre, sedikit khawatir Calvin salah paham. "Iya, Kak. Ayah cuma usul Kenzie disunat besok. Kenzie 'kan udah mau enam tahun, usia yang pas untuk sunat," Viona menambahkan, berusaha menjelaskan. Penjelasan dari Kenzie saja mungkin kurang cukup. "Ooh… ya udah, disunat saja. Ayah juga setuju kok. Mumpung hari libur, kan?" Calvin menatap sang anak. "Ih Ayah, jahat! Kenzie kan nggak mau!" Kenzie mengerucutkan bibirnya, kesal. "Kenapa nggak mau, Sayang?" tanya Calvin, bingung. Viona menarik napas dalam-dalam. "Ada temen Kenzie yang kemarin sunat, Kak. Dia… meninggal. Karena kelalaian dokter. Dokternya… memotong kemalu*annya terlalu banyak, sampai dia pendarahan hebat dan tidak tertolong." Mata Calvin membulat sempurna. Tubuhnya menegang, bayangan cerita Viona begitu nyata di benaknya. Dia merasakan sebuah sentakan dingin yang menjalar di
Erick tampak terkejut. Dahinya berkerut. "Kamu ini bicara apa? Kenapa tiba-tiba begitu?" "Pak Calvin mencurigai kita berdua, dan dia mengancam saya, Pak." Suara Yogi gemetar, terdengar jelas ketakutan dalam suaranya. "Apa yang dia katakan?" Erick mendesak, rasa tidak percaya bercampur dengan amarah. "Kalau saya masih mengusik rumah tangganya, dia akan memastikan saya bernasib sama dengan Nona Agnes. Masuk penjara." "Terus kamu takut?" Erick bertanya, suaranya dingin. "Tentu saja saya takut, Pak. Apalagi Pak Calvin orang kaya, dia pasti bisa membayar polisi untuk menangkap saya." Suara Yogi semakin kecil, hampir tak terdengar. "Payah sekali kamu! Sama Calvin saja takut. Terus, kenapa dia bisa curiga kepada kita berdua? Apakah kamu memberitahu sesuatu padanya?" Erick bertanya dengan nada penuh amarah, suaranya meninggi.
Di taman kota yang asri, suasana sejuk dan tenang menyelimuti mereka. Pepohonan rindang dan gemericik air mancur menciptakan oase kedamaian di tengah hiruk pikuk Jakarta. Mereka beralaskan tikar, menikmati makan siang ala camping. Andre, Dinda, Calvin, Viona, dan Kenzie tertawa lepas, berbagi bekal makan siang yang sederhana namun terasa istimewa. Aroma nasi hangat dan lauk pauk sederhana memenuhi udara, menambah kehangatan suasana. Kicau burung dan desiran angin menjadi musik latar yang merdu. Momen sederhana ini terasa begitu berharga, sebuah pelarian singkat dari rutinitas kota yang padat. "Sayang banget Chika dan Candra nggak diajak, pasti kalau ada mereka, bisa tambah seru, Yah," kata Calvin di sela-sela makan siang mereka. "Memangnya kenapa mereka nggak diajak, Kak?" tanya Viona, bingung. "Candra lagi liburan di Bogor, sementara Chika ada les, Vio," jawab Dinda.
"Apa, Opa? Bulung Kenzie habis?" Mata Kenzie membulat sempurna, jeritan histeris pecah di ruangan itu. "Kenzie nggak mau, Opa! Kenzie nggak mau!!" Tangisnya menggema, mengiris hati siapapun yang mendengarnya. "Tidak, Nak! Jangan khawatir!" Dokter menepuk-nepuk pundak Kenzie dengan lembut, berusaha menenangkannya. "Opamu salah paham. Dokter tidak akan 'menghabiskan' bu*rungmu. Dokter hanya perlu memotong sedikit bagian yang terluka. Bayangkan saja seperti… kamu akan disunat, ya?" "Su-sunat?!" Mata Kenzie kembali membulat, serangan panik dan ketakutan menyergap. Membuatnya kembali pingsan. "Kenzie!!" Andre mencoba membangunkan Kenzie, menggoyangkan tubuhnya, namun dokter menghentikannya. "Biarkan saja, Pak. Dia hanya shock. Saya akan memberikan suntikan bius, dan sebaiknya Bapak menunggu di luar. Operasinya akan segera di
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn
"Izinkan aku hidup mandiri. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir… setelah aku melahirkan, aku akan menyerahkan bayi ini kepada Bapak." Kata-kata itu keluar pelan, mengandung beban berat yang hanya dia sendiri yang mengerti. "Dan sebelum aku melahirkan… Bapak dilarang menemuiku. Biarkan aku hidup dengan bebas, sesuka hatiku." Dia meminta kebebasan, sebuah ruang untuk bernapas dan menenangkan jiwanya yang terluka."Tidak!" Kenzie menggeleng cepat, penolakannya keras dan tegas. Bagi dia, permintaan Zea itu sama saja dengan ditinggalkan. "Kita kan suami istri, Zea. Hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Kita harus satu atap, kamu tidak boleh pergi meninggalkanku." Egoisnya terpancar jelas, dia hanya memikirkan keinginannya sendiri."Kalau kita satu atap terus… bisa-bisa semua orang tau kalau kita ada hubungan, Pak," Zea mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bapak jangan menyepelekan hal seserius ini, ini sangat beri
Mata Zea perlahan terbuka, berat dan terasa berpasir. Cahaya redup menyilaukan sejenak, sebelum akhirnya dia mampu membiasakan penglihatannya. Ruangan putih bersih mengelilinginya, bau disinfektan khas rumah sakit menusuk hidungnya.Dia memutar kepala perlahan, melihat dinding-dinding yang polos, perlengkapan medis yang terpasang rapi di samping tempat tidur, dan jendela yang tertutup tirai putih tipis. Kejutan menusuk kesadarannya."Eh, ini seperti ruangan rumah sakit, kan??" gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Dia mencoba duduk, merasakan nyeri menusuk di perut bagian bawah.Ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya; sakit perut yang luar biasa, desakan-desakan kambing yang mengerikan di dalam kandang, kehilangan kesadaran... "Ooohh... pasti ini gara-gara aku sakit perut dan kena desak-desakan kambing. Tapi, siapa kira-kira yang bawa aku ke rumah sakit? Jangan bilang kalau ...." Pikirannya melayang, mencoba menebak siap
Air mata Kenzie membanjiri pipinya, deras dan tak terbendung tanpa permisi. Meskipun awalnya dia tak begitu mendambakan kehadiran anaknya, namun kabar tentang kemungkinan kehilangannya telah menusuk kalbu jauh lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Sekelebat Kenzie membayangkan wajah mungil anaknya. bayangan kehidupan kecil yang mungkin tak akan pernah ada, menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. "Tidak, Pak. Anak Anda baik-baik saja." Suara dokter itu seperti bisikan samar dari dunia lain, tak mampu menembus kabut kesedihan yang menyelimuti Kenzie. Matanya membulat, tak percaya, dipenuhi kebingungan yang membingungkan. "Se-serius itu, Dokter? Anak saya… baik-baik saja?" "Ya, Pak." Dokter itu mengangguk pelan, mencoba menyampaikan kabar baik dengan hati-hati, memahami guncangan emosi yang tengah dialami Kenzie. Kata-kata dokter itu perlahan mengurai simpul kesedihan yang mencekik dada Kenzie, seakan melepaskan ikatan yang menghimpit napasnya. Dia segera mengusap
Papi Janur terdiam, matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenal seseorang bernama Heru. Nama itu terasa asing, namun sebuah rasa gelisah mulai menggelitik."Berhubung Bapak dan Ibu sudah ada tamu... izinkan kami pamit. Urusan saya dan istri juga sudah selesai, tinggal kita rundingan Kenzie dan Helen saja," ujar Ayah Calvin, tangannya sudah meraih gagang kursi. Namun, Papi Janur menahannya dengan tatapan hangat."Silakan minum kopi dan tehnya dulu, Pak, Bu. Baru pulang," pinta Papi Janur, suaranya lembut namun tegas.Ayah Calvin dan Bunda Viona mengangguk, segera menyesap minuman yang telah terasa dingin namun masih nikmat di tenggorokan."Kalau ada informasi tentang Kenzie... mohon segera hubungi saya atau Helen," pinta Papi Janur, seraya menjabat tangan Ayah Calvin. "Saya juga akan ikut mencarinya besok.""Tentu, Pak. Semoga segera ada kabar baik. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Mereka mengant
"Lho... kenapa itu, Pak?" tanya Kenzie, menunjuk kandang kambing dengan jari telunjuknya. Kawanan kambing itu makin menggila, berlarian tak karuan, menggerakkan tubuh mereka dengan panik, menimbulkan suara gaduh yang semakin menambah kekacauan. Fokus Kenzie buyar, teralihkan oleh kekacauan di hadapannya. Pria paruh baya itu, yang sebenarnya adalah ketua RT setempat, langsung berlari menuju kandang, langkah kakinya tergesa-gesa. Dia memeriksa setiap sudut kandang, mencari sumber kegaduhan. Bau kambing yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma tanah dan sesuatu yang... aneh. Pandangan matanya terhenti pada sesosok tubuh yang tergeletak di pojok kandang, tersembunyi di balik tumpukan jerami yang berserakan. "Pak! Pak! Ada orang pingsan di dalam!" teriaknya, suara panik tersiar di antara suara kambing yang masih berisik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru membuka pintu kandang yang terbuat dari kayu lapuk. "Ora