“Aku akan menjadi Nyonya Mahandika! Jadi jaga sopan santun kamu, pembantu sombong!” geram Agnes seraya menunjuk pada wajah Asti.Dunia Zia terasa terdiam sesaat mendengar ucapan gadis di hadapan bi Asti. Hatinya terasa perih mendengar ucapan gadis bernama Agnes tersebut. Kedua bola matanya tiba-tiba terasa perih.Cepat-cepat Zia mengatur napasnya. Ia tak seharusnya merasa sakit hati dan kecewa saat mengetahui gadis itu adalah calon istrinya Sean. Gadis itu jauh berkali-kali lipat lebih cantik dari dirinya dan juga Agnes terlihat lebih berkelas serta sepadan dengan Sean.Kenapa hatinya terasa sangat sakit dan kecewa dan ia ingin menangis saat itu juga. Zia lantas memberanikan diri menatap dua wanita yang masih berseteru. Wajahnya langsung memasang heran saat melihat bi Asti tertawa kecil.
Pak Sadin memperhatikan raut wajah Sean sejak turun dari mobilnya. Ia bisa menangkap jelas kalau atasannya itu tengah menahan amarahnya, tetapi Sean berhasil mengendalikan semua rasa marah dan kesal. Benar, itulah Sean.Sikap itulah yang membuat pak Sadin bangga pada Sean. Lelaki itu selalu bisa mengendalikan perasaannya jika sudah terjun dalam masalah pekerjaannya. Ya, hingga jam istirahat tiba Sean masih bisa tersenyum pada semua karyawannya.Sean bahkan tak terpancing emosi karena teriknya matahari yang membuat butiran keringat meluncur melewati dahinya. Helm proyek yang Sean kenakan tak cukup ampun melindungi wajahnya dari kilauan panasnya cahaya matahari. Lelaki itu masih terlihat bersemangat meninjau pembangunan bangunan kokoh nan tinggi untuk cabang hotelnya.“Tuan, mau langsung pulang ‘kah?” tanya pak Sadin saat memasuki jam istirahat karyawannya. Artinya peninjauan Sean sudah selesai. “Saya akan meminta pak Anwar yang bertugas sebagai leader untuk merangkum laporan bulan ini.”
“A—aku tidak apa-apa, Bi Asti,” sahut Zia gagap, ia lantas tersenyum canggung untuk menutupi rasa salah tingkahnya. Indera penglihatan Zia berselancar seraya mencari ide agar dirinya tak makin salah tingkah. Benar, dirinya menyadari kalau kini pasti terlihat aneh di mata bi Asti. “Aku ke kamar dulu, Bi,” ujarnya seraya melangkah meninggalkan meja makan di belakangnya.“Nona Zia?” panggilan bi Asti menghentikan langkah kakinya hingga Zia memilih memutar tubuhnya dan menatap bi Asti. “Nona Zia, belum menghabiskan sarapannya.”Zia mengukir senyuman canggung. Kemudian ia berbalik ke arah meja makan dan meraih piring dan minumannya yang belum tersentuh. “Aku sarapan di kamar aja, Bi. Lupa, kalau lagi nyusun daftar interview buat tuan Sean,” ucap Zia seraya menunjukkan isi di atas kedua tangannya.Bi Asti tak protes. Ia hanya bisa memandangi tubuh Zia yang menjauh dari pandangannya. Wanita itu dapat melihat tatapan sedihnya Zia.“Kasihan nona Zia, pasti sedih karena ulah nona Agnes,” guman
“Kak Risma?” Kedua bola mata Zia yang memerah langsung berbinar menatap seorang wanita di hadapannya. Gadis itu langsung menghambur dalam pelukan Risma, editor sekaligus sahabatnya. Benar yang diucapkan Risma, surprise untuknya.“Hei, kamu kenapa?” tanya Risma seraya mengerutkan dahinya, tetapi ia justru mengeratkan pelukannya. “Serindu itu kamu sama aku?” duganya.Risma tidak tahu kalau air mata Zia mengalir deras dalam pelukannya. Cepat-cepat, Zia mengusap air matanya. Ia tidak ingin membuat editornya khawatir pada dirinya. Zia melatih senyumannya sebentar sebelum melepaskan pelukannya.“Tentu saja aku rindu sama Kak Risma,” ucap Zia diakhiri bibirnya yang maju. Ia pura-pura kesal dengan pertanyaan yang dilontarkan Risma padanya. “Kak Risma tega banget ngurung aku di sini!” protesnya.Editornya kembali mengerutkan dahinya. Ia menatap gadis di hadapannya heran. Indera penglihatan Risma langsung tertuju pada isi kamar di belakang tubuh Zia, kemudian kedua bola matanya langsung membes
“Maaf, Tuan Sean,” ucapan Sadin langsung Sean membuka kedua kelopak matanya.Sean yang tengah meneangkan isi pikirannya dengan memejamkan matanya sepanjang perjalanan pulang, terpaksa harus membuka matanya. Suara pak Sadin terdengar berat dan sungkan. Ia hanya berdeham pelan, memberi isyarat agar pak Sadin meneruskan kalimatnya.“Tadi telepon dari bi Asti. Nona Agnes datang ke mansion dan mengatakan kalau dia adalah tunangan Tuan Sean pada nona Zia ...,” penjelasan pak Sadin terhenti.Bukan terhenti, tetapi ia menahan dirinya untuk tak memancing emosi Sean. Pak Sadin tahu kalau atasannya tidak suka masalah pribadinya dicampuri dan ia yakin Sean pasti tengah berpikir. Perkiraannya tepat, Sean menghela napas berat.“Mampir sebentar ke mansion sebelum ke rumah ayah saya!” titah Sean dengan nada berat.“Baik, Tuan,” sahut pak Sadin cepat.Kesal, marah dan kecewa, itulah yang Sean rasakan. Ia tahu ayahnya selalu menuntutnya untuk segera menikah. Berkali-kali juga ayahnya berniat menjodohka
Tuan Alan bangkit dari duduknya setelah mendapatkan pertanyaan dari anak lelakinya. Ia lantas berjalan mendekati Sean, lalu menepuk pundaknya lembut. “Kamu sudah dewasa, dan kamu tidak pernah mengecewakan ayah. Ayah hanya berharap kamu tidak akan menyesali keputusanmu!” ucapnya.“Mas Alan!” seru nyonya Felicia keras. Wanita itu juga bangkit dari duduknya dengan tatapan tak terima.“Tenanglah istriku!” sahut tuan Alan tanpa menoleh ke arah nyonya Felicia. Sean tersenyum tipis melihat wajah kesal wanita tua itu.Tangan kanan tuan Alan yang masih berada di pundak Sean berpindah pada tangan Agnes. Ia menggenggam tangan gadis cantik itu erat. Perlahan wajah merah Agnes berubah kembali pada warna cantiknya mengikuti senyuman tuan Alan.“Tidak usah buru, Nak! Kalian masih muda dan masih punya banyak waktu, kamu harus tahu kalau Sean tidak suka dipaksa,” ucapnya dengan nada lembut diakhiri senyuman lelaki tua itu.Wajah Sean terlihat lega. Walaupun penjelasan ayahnya bertujuan menenangkan gad
“Oh my God, Zia! Ternyata kamu nakal juga,” guman Risma seraya menutup mulutnya dan menatap nakal gadis di hadapannya setelah Sean tak terlihat dari balik pintu kamar Zia.Gadis di hadapannya meringis dan tersipu malu. Tiba-tiba ia memukul keras punggung Risma. Tentu saja, ia terlalu malu dan tak percaya dengan tindakan Sean. Lelaki itu langsung menenangkan hatinya yang sedang dilanda cemburu.Zia juga tahu ucapan editornya hanya menggodanya saja. Bukan meledeknya dengan kalimat nakal. Terlihat, Risma yang mendapatkan pukulan darinya justru tertawa puas, membuat wajahnya makin memerah.“Apaan sih, Kak Risma,” guman Zia seraya memajukkan bibirnya.Sayangnya, gadis itu tak bisa menyembunyikan semua perasaannya dari editor sekaligus sahabat baiknya. Ia lalu tersenyum simpul hingga Risma menghentikan tawanya. Wanita itu memangku wajahnya dan menatap Zia dengan tatapan menggoda.“Ceritakan padaku, bagaimana tuan Sean bisa klepek-klepek sama kamu?” Risma menggoda Zia. Kedua pipi gadis di h
“Interview. Aku ingin meminta waktu tuan Sean untuk interview,” sahut Zia secepat mungkin, menghindari rasa gugupnya.Ya, Zia sengaja pura-pura tak mendengar ucapan Sean yang menggodanya. Lelaki di hadapannya mengerutkan dahinya, lalu tersenyum tipis. Sean lantas membuka lebar pintu kamarnya, lalu membentangkan tangan kanannya ke dalam.“Silahkan masuk!” Sean mempersilahkan.Zia refleks menunjuk wajahnya lalu menunjuk arah dalam kamar Sean mengikuti bentangan tangan Sean. “Masuk ke kamar?” tanyanya dengan tatapan cemas.“Yeah, katanya mau interview?” Sean bertanya balik seraya menaikkan satu alisnya.Gadis di hadapannya menjulurkan sedikit kepalanya ke depan. Ia memindai isi kamar Sean dengan tatapan makin cemas. Entah apa yang ia pikirkan, yang pasti Zia bingung.“Apa yang kamu cari, Gadis Kecil?” tanya Sean menghentikan pemindaian Zia pada kamarnya.Zia tersadar. Ia langsung tersenyum. Indera penglihatannya kembali menangkap rambut basah Sean dan dada bidangnya, hingga ia terpaksa h