"Sora, cepat buatkan kopi untuk presdir!"
Perintah itu membuat Sora langsung menghentikan kegiatannya. "Baik, Bu."
Dengan patuh Sora langsung membuatkan kopi untuk presdir baru di perusahaan mereka yang katanya terkenal galak dan dingin.
Sempat terbesit keraguan dalam benak Sora, tapi ia segera menepis rasa curiga pada atasannya itu.
"Kopi buatannya pasti tidak enak. Semoga saja dia dimarahi habis-habisan oleh presdir!" bisik atasan Sora itu sambil menyeringai licik. Ia ingin wanita yang sangat dibencinya sejak masa sekolah itu mendapat hukuman di hari pertama presdir bekerja.
Di sisi lain, Sora mengetuk pintu dan segera masuk ke dalam ruangan presdir begitu disuruh masuk. Ia meletakkan gelas berisi kopi ke atas meja.
Sejenak, Sora beradu pandang dengan Langit yang menatapnya dengan tatapan dingin.
"Kau mau ke mana?" Langit—sang presdir—bersuara saat melihat Sora memundurkan langkah, berniat pergi meninggalkan ruangan.
"Sa-saya mau keluar, Tuan," jawab Sora terbata.
"Tetap di sini. Aku akan mencoba kopi buatanmu lebih dulu!" titah Langit.
"B-baik, Tuan."
Langit segera menyeruput kopi buatan Sora. Sesaat kemudian, ia menatap tajam ke arah Sora yang masih berdiri di depan meja kerjanya.
"Mulai saat ini dan seterusnya, kau yang membuatkan kopi untukku!" kata Langit tanpa diduga.
Sora menganggukkan kepalanya patuh, sebelum keluar dari dalam ruangan kerja Langit dengan perasaan lega.
Di pantry, Regina yang sejak tadi menunggu kedatangan Sora dibuat heran saat Sora datang hanya membawa nampan. Rasa heran itu berganti dengan keterkejutan ketika mendengar bahwa kopi buatan Sora ternyata disukai oleh presdir.
"Sial, kenapa jadi begini?! Harusnya Pak Presdir memarahinya, bukannya meminta gadis sialan itu untuk membuat kopi untuk hari-hari berikutnya!" Regina, atasan Sora, menggeram marah.
Tidak terima rencananya gagal saat itu, Regina pun menyusun cara untuk mengerjai Sora lagi. Kali ini, dia pastikan akan berhasil!
Suatu malam ketika Sora hendak pulang setelah semua pekerjaannya selesai, wanita itu tiba-tiba menyuruhnya lembur untuk membersihkan seluruh ruangan yang berada di lantai lima belas, terkhususnya ruangan kerja presdir.
Sora ingin marah, tapi apa daya … ia hanya seorang office girl yang tidak punya kuasa.
Dengan cekatan, Sora membersihkan seluruh ruangan yang berada di lantai tersebut hingga akhirnya terhenti saat berada di depan ruangan kerja presdir.
Sora menimbang-nimbang, apakah sopan jika ia bersih-bersih saat pemiliknya masih berada di dalam ruangan tersebut?
Cukup lama berpikir, akhirnya Sora memilih mengetuk pintu ruangan kerja Langit. Ia tidak bisa mengulur waktu sebab Bibinya di rumah pasti akan memarahinya jika pulang terlalu lama.
Ceklek!
Sora membuka pintu ruangan kerja Langit setelah mendapatkan sahutan dari dalam. Betapa terkejutnya Sora saat mendapati bosnya itu dalam keadaan kacau.
"Hei, kau, wanita bayaran!"
Kedua bola mata Langit yang memerah menatap remeh pada Sora.
Sora tersentak. Wanita bayaran? Apa maksud presdir menyebutnya seperti itu?
Belum hilang kebingungan Sora, ia sudah dibuat terkejut saat melihat tubuh Langit yang tiba-tiba tersungkur ke lantai saat hendak berjalan mendekati dirinya.
"Tuan Langit!" Sora sontak berlari ke arah Langit dan membantunya untuk berdiri. "Anda tidak apa-apa, Tuan?" tanyanya panik.
Namun bukannya menjawab, Langit justru bergumam tidak jelas dengan gerakan tubuh yang terasa semakin lemas.
"Sepertinya Tuan Langit sedang mabuk!" kata Sora setelah mencium aroma alkohol yang menyeruak keluar dari mulut Langit.
"Ayo, saya bantu duduk di sofa, Tuan." Sora segera memapah tubuh Langit yang berat menuju sofa. Kesadaran Langit yang sudah semakin hilang membuatnya pasrah.
Bruk!
Karena tidak bisa menyeimbangi berat tubuh Langit saat membantunya duduk di sofa, akhirnya tubuh Sora terjatuh tepat di atas tubuh Langit.
"Kau sengaja menggodaku, ya?"
Kesadaran Langit yang sudah tinggal setipis tisu membuatnya tidak mengenal siapa wanita yang ada di atas tubuhnya saat ini. Tanpa aba-aba, Langit membalikkan tubuh mereka hingga posisinya kini berada di atas tubuh Sora.
Langit segera menyambar bibir mungil yang sejak tadi mencuri perhatiannya. Ia melumatnya dengan lembut dan sesekali memberikan gigitan di bibir Sora.
Sora yang terkejut dengan apa yang dilakukan Langit segera mendorong tubuh pria itu. Namun ukuran tubuhnya yang jauh lebih kecil dari tubuh Langit membuatnya tidak bisa melakukan perlawanan berarti.
"Tu-tuan, lepaskan saya!" kata Sora panik saat Langit memberikan jeda pada ciumannya.
"Diamlah, Sayang, aku hanya ingin menciummu," kata Langit dengan suara dalam dan serak.
Deg!
Jantung Sora berdetak sangat kencang mendengar kata sayang yang keluar dari mulut Langit. Bahkan saking terkejutnya, ia sampai tidak sadar ketika bibir Langit kembali mendominasi bibir mungilnya.
Sora yang belum pernah merasakan ciuman dibuat membeku. Namun, ciuman Langit yang terasa lembut dan mematikan, membuat akal sehatnya yang ingin menolak perlakuan Langit justru malah menerimanya.
Ciuman itu terasa semakin menuntut saat lidah Langit mulai bermain di dalam rongga mulutnya. Otak Sora bersikeras untuk menyudahi ciuman itu, atau setidaknya memberikan perlawanan. Namun, tubuhnya tiba-tiba lemas tidak bertenaga.
"Nghh..." Suara desahan lolos dari mulut Sora saat sebelah tangan Langit menelusup masuk ke dalam bajunya dan meremas sebelah dadanya. Gadis itu menggigit bibir kuat, tak ingin mengeluarkan suara memalukan itu lagi.
Namun, Sora semakin tidak mampu menahan suara desahan ketika bibir Langit semakin liar menjelajah turun ke bagian lehernya dan memberikan kecupan basah di sana.
“Kau menyukainya, hmm?”
Senyuman di wajah Langit terbit saat melihat Sora yang ia pikir adalah wanita bayaran sudah terbuai dengan sentuhannya. Hal itu membuat jiwa kelakian Langit semakin bangkit.
"Ja-jangan, Tuan..." Sora mencoba menghentikan pergerakan tangan Langit yang bermain di area intinya.
Langit tidak memperdulikan perkataan Sora. Ia terus memberikan usapan di sana hingga merasakan sesuatu yang hangat keluar dari bagian inti Sora. Merasa Sora sudah siap menerima sentuhan terakhir dari bagian tubuhnya, Langit segera membuka seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya hingga membuat tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun.
"A-apa yang ingin Anda lakukan, Tuan?" Sora mulai bergetar ketakutan. Tanpa menjawab pertanyaan Sora, Langit kembali menyambar bibir mungil itu sembari melepaskan pakaian yang melekat di tubuh Sora.
Sora yang kembali terbuai dengan sentuhan Langit hanya bisa pasrah. Akal sehatnya terkikis habis!
"Ah, s-sakit!" Sora berteriak saat merasakan sesuatu yang keras memasuki bagian inti tubuhnya.
Langit tak memberikan tanggapan. Ia terus fokus memasuki bagian inti tubuh Sora yang terasa sempit, tidak seperti biasa ia melakukannya dengan wanita bayaran lainnya. Langit memberikan ciuman lembut di bibir Sora untuk mengalihkan rasa sakit yang tengah Sora rasakan saat ini.
Hingga beberapa saat berlalu, rasa sakit yang Sora rasakan berganti dengan kenikmatan saat Langit melakukannya dengan lembut dan hati-hati. Sora yang terbuai dengan sentuhan Langit tak lagi memberikan perlawanan. Tubuhnya seakan menerima sentuhan demi sentuhan yang membuatnya melayang.
Cukup lama Langit berpacu menyalurkan hasratnya untuk sampai ke puncak kenikmatannya. Langit bergerak semakin cepat hingga akhirnya menumpahkan seluruh benihnya di dalam rahim Sora, diikuti suara erangan yang keluar dari dalam mulutnya.
"Sial!"
Sora mendengar Langit merutuki dirinya sendiri sebab lupa menggunakan pengaman. Jantung Sora berdegup kencang saat tubuh pria itu luruh, menimpa tubuhnya yang terasa lelah.
Sesaat kemudian, Langit menaikkan pandangannya hingga terkunci pada sepasang netra Sora yang berair. Ditatapnya wajah polos wanita yang masih berada di bawah kungkungannya itu lamat-lamat.
Deg!
Jantung Langit tiba-tiba berdetak kencang. Kenapa wanita yang berada di bawah kungkungannya saat ini sangat mirip dengan office girl yang setiap hari membuatkan kopi untuknya?
“Kau—?!”
Sora memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan tangan gemetar sesaat setelah Langit bangkit dari tubuhnya. Sora dapat melihat ekspresi terkejut yang begitu kentara pada wajah pria itu. Dengan air mata yang terus mengalir di kedua pipi dan menahan rasa sakit yang teramat di bagian intinya, Sora mengenakan pakaiannya kembali."Kenapa Tuan tega melakukan ini semua kepada saya… apa salah saya pada Anda, Tuan?" Setelah memakai pakaiannya kembali, Sora memberanikan diri menatap wajah Langit.Bukannya menjawab pertanyaan Sora, Langit justru menatapnya dengan dingin. Tatapan yang acap kali Sora lihat setiap bertemu dengannya.Tidak mendapatkan jawaban dari Langit, membuat Sora segera melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan kerja pria itu. Ia harus segera pergi sebelum pria itu berbuat hal buruk kepadanya kembali.Langit mengusap wajahnya kasar setelah kepergian Sora. "Sial, kenapa aku bisa melakukannya dengannya. Bukankah seharusnya wanita yang aku sentuh tadi wanita bayaran y
"Apa yang telah kau lakukan kemarin malam di sini?" Bella—kakak sulung Langit menatap pria itu tajam setelah mengulang pertanyaannya.Langit terkesiap. Ekspresi wajahnya berubah terkejut setelah mendengarkan perkataan sang kakak."Kenapa diam? Apa lidahmu sudah tidak bisa digunakan dengan benar untuk menjawab pertanyaanku, huh?" bentak Bella. Wanita muda itu nampak marah menatap wajah adik bungsunya."Dari mana Kakak tahu?" Bukannya menjawab, Langit justru bertanya balik pada Bella."Apa yang tidak Kakak ketahui tentang dirimu? Beberapa banyak wanita yang telah kau tiduri saja Kakak tahu!" sentak Bella.Langit terdiam. Ditatapnya wajah asistennya yang nampak datar seakan tidak merasa bersalah."Kali ini Kakak tidak bisa memberikan dispensasi lagi kepadamu, Langit. Jika biasanya Kakak membiarkanmu menyewa banyak wanita untuk memenuhi hasratmu, tapi kali ini tidak. Kakak tidak bisa membiarkanmu bersikap sesuka hatimu karena wanita yang sudah kau perkosa tadi malam bukanlah wanita bayara
Bella kini telah berdiri tepat di hadapan Langit. Kedua tangannya bersedekap di dada. Tatapan matanya pun terhunus tajam pada Langit. "Bagaimana, Langit. Setelah mengetahui wanita itu sedang mengandung darah dagingmu apa kau masih berniat lari dari tanggung jawab?" Tanya Bella.Wajah Langit terlihat datar menatap sang kakak. Ia sudah menduga jika Bella mengetahui keadaan Sora saat ini mengingat dokter pribadi keluarganya baru saja keluar dari ruangan kerjanya dan pasti bertemu dengan Bella. "Belum tentu anak yang ada di dalam kandungannya itu anakku. Bisa jadi dia pernah tidur bersama pria lain." Jawab Langit.PlakTelapak tangan Bella menempel tepat di pipi Langit. Wajah wanita itu nampak geram terlihat jelas dari tatapan matanya yang semakin tak bersahabat. "Berani sekali kau berkata seperti itu, Langit. Sudah jelas anak itu adalah anak kandungmu. Dia tidak mungkin melakukannya dengan pria lain!" Maki Bella.Langit mengalihkan pandangan matanya ke samping merasa enggan melihat kemar
Perasaan Sora dibuat tidak tenang setelah menyadari dua orang pria berbaju hitam mengikutinya sejak ia keluar dari dalam minimarket membeli sebuah roti untuk mengganjal perutnya yang terasa lapar. Sora terus melangkah menjauhi kedua pria tersebut hingga akhirnya langkahnya terhenti saat tubuhnya tidak sengaja menabrak tubuh seseorang."Aw..." Sora mengusap pelipisnya yang terasa sakit. Sedetik kemudian ia mendongak untuk melihat siapakah orang yang baru saja ia tabrak. "Tu-tuan Langit." Sora terbata. Tubuhnya bergetar hebat hingga membuat roti yang tadi ia beli jatuh ke atas tanah. Sora tak memperdulikan roti tersebut. Perlahan sepasang kakinya melangkah mundur berniat kabur dari Langit. Ya, ia harus pergi dari pria itu sebelum Langit berniat buruk kepadanya.Dua orang pria yang sejak tadi mengikuti Sora bergerak cepat menahan langkah Sora saat menyadari wanita itu hendak kabur."Apa yang kalian lakukan. Lepaskan aku!" Sora berteriak. Bukan hanya roti di tangannya saja yang terjatuh k
Sora mengangguk setuju. Ia sama sekali tidak mempermasalahkan perkataan Langit agar tidak mencintai pria itu. Lagi pula, Sora merasa tidak mungkin mencintai pria itu. Karena jangankan untuk mencintai Langit, melihat wajah Langit saja dia sudah takut."Sebentar lagi akan datang seorang pelayan yang bertugas membantumu selama tinggal di apartemen ini. Jika kau membutuhkan sesuatu, jangan sungkan meminta tolong kepadanya." Kata Langit setelah menyampaikan beberapa pesan sebelum menikah dengan Sora."Baik, Tuan. Terima kasih." Jawab Sora pelan.Langit segera bangkit dari posisi duduk. Ia merapikan kemejanya yang sebenarnya tidak berantakan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, Langit segera melangkah pergi meninggalkan apartemen dan memberikan pesan pada Theo agar melanjutkan tugasnya di sana.Setelah kepergian Langit, Theo langsung saja menunjukkan pada Sora dimana letak kamar wanita itu. Tak lupa Theo mengingatkan pada Sora agar tidak berani kabur dari apartemen."Selangkah saja anda
Pukul dua dini hari, Sora terjaga dari tidur lelapnya. Mimpi buruk yang menguasai alam bawah sadarnya membuat Sora terjaga dengan napas yang naik turun. "Bibi!" Lirih Sora teringat dengan mimpi buruknya bagaimana Bibi Rida mengusirnya setelah mengetahui dirinya hamil di luar nikah. Bahkan tanpa belas kasih Bibi Rida membiarkan Zoya mendorong tubuhnya yang sedang berbadan dua keluar dari rumah hingga nyaris terjatuh.Air mata meleleh membasahi wajah Sora. Sosok wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri tega memperlakukannya dengan buruk. Bukan hanya pada saat ia ketahuan hamil di luar nikah saja, namun sejak ia masih kecil dan belum mengerti kejamnya dunia."Sekarang aku tidak memiliki siapa-siapa lagi dalam hidupku. Aku benar-benar kesepian." Lirih Sora merasa sedih. Entah kehidupan seperti apa lagi yang akan ia lewati kedepannya setelah keluar dari rumah Bibi Rida. Sedang memiliki keluarga saja hidupnya sudah terasa pelik, apa lagi setelah ini. Di tengah kesedihanny
Langit menyadari jika kedatangannya membuat napsu makan Sora jadi hilang hingga membuat wanita itu menghentikan aktivitas memakan makanannya. Tidak ingin membuat Sora menyisakan makanan hanya karena dirinya, Langit pun memilih meninggalkan ruangan makan."Habiskan makananmu. Setelah itu temui saya di ruangan tamu." Pesan Langit sebelum pergi meninggalkan Sora.Sora tercenung. Rupanya pria itu menyadari jika kehadirannya bagaikan mood buruk hingga mengganggu napsu makannya. Setelah kepergian Langit, Sora segera menghabiskan makanannya yang tinggal sedikit. Ia tidak boleh menyisakan makanan yang lezat itu mengingat selama ini ia sangat sulit untuk bisa merasakan menikmati makanan yang lezat seperti yang ia makan saat ini.Selesai menghabiskan makanannya, Sora segera menuruti perintah Langit yang memintanya menyusul ke ruangan tamu. Tiba di sana, Sora melihat pria paruh baya yang tadi datang bersama Langit nampak sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang ia bawa."Duduklah." Kata La
Sora dan Langit kini sudah duduk di depan penghulu yang bertugas untuk menikahkan mereka. Sejak awal kedatangannya ke tempat tersebut, Sora lebih banyak diam. Ia hanya bersuara jika ditanya atau diminta pendapat oleh penghulu."Karena kedua mempelai sudah siap, maka kita mulai saja acara akad pagi ini." Kata penghulu.Langit dan Sora mengangguk menyetujuinya. Kemudian tangan Langit pun terangkat berjabat dengan wali nikah untuk memulai prosesi akad nikah mereka pagi itu.Walau acara pernikahannya hari ini bukanlah hal yang diinginkan oleh Sora, namun tetap saja wanita itu merasa gugup saat Langit mulai membacakan kalimat akad untuk menjadikannya sebagai seorang istri."Sah." Dua orang pria yang ditunjuk Langit sebagai saksi di acara akadnya bersuara cukup keras setelah Langit selesai membacakan ijab qabulnya dengan lantang dan jelas.Kedua bola mata Sora berkilat bening setelah menyadari jika kini ia bukan lagi seorang wanita lajang melainkan istri dari seorang pria bernama Langit. Sea
Beberapa hari berlalu, Pandu nampak masih berupaya untuk bertemu dengan Sora. Namun lagi-lagi, dia harus menelan kekecewaan sebab Sora begitu sulit untuk ditemui bahkan tidak pernah keluar dari dalam apartemen. Pandu dibuat bingung dan bertanya-tanya, kenapa sikap Sora saat ini seperti orang yang sedang dikurung saja? Agh, memikirkannya membuat Pandu jadi semakin berpikiran buruk saja.Di saat Pandu terus kepikiran dengan sosok Sora, sosok yang tengah dipikirkannya itu ternyata turut memikirkannya. Dia bahkan sering berupaya untuk bisa keluar dari dalam apartemen namun selalu berujung dengan kegagalan sebab Langit begitu sulit untuk memberikannya izin untuk keluar.Bukan tanpa alasan Langit melakukannya, dia hanya tidak ingin Sora bertemu kembali dengan bibinya dan membuat hati wanita itu jadi bersedih karenanya.Berita Sora yang dikurung di dalam apartemen akhirnya sampai di telinga Bella. Ibu dari satu anak itu nampak berang karena Langit sudah bersikap sangat gegabah mengurung istr
Pertemuan Sora tadi bersama Pandu akhirnya membuat Sora terus kepikiran dengan pria itu. Bagaimana masa sekolahnya saat bersama Pandu dulu hingga pada saat ia menolak cinta Pandu karena takut bibinya akan marah jika ia ketahuan menjalin hubungan dengan seorang pria."Huh, kenapa aku jadi memikirkan Kak Pandu terus." Gumam Sora diikuti helaan napas yang terasa berat. Akibat terlalu banyak memikirkan sosok Pandu, Sora sampai lupa jika tadi ia sempat merindukan sosok Langit dan ingin segera bertemu dengannya."Baby, apa kau akan marah pada Mama jika Mama memikirkan pria yang bukan ayah kandungmu?" Sora berbicara pada janinnya yang masih bersemayam di dalam rahimnya. Rasanya tidak pantas sekali dia memikirkan pria yang tidak memiliki hubungan apa pun di dalam hidupnya.Di apartemen berbeda, Pandu yang tadi sempat berniat untuk melanjutkan pembicaraannya dengan Sora berinisiatif menghampiri apartemen Sora setelah memastikan putri kecilnya sudah tertidur dengan lelap di atas ranjang.Keluar
Pandu yang turut melihat wajah Sora dibuat terkejut melihat wajah wanita itu setelah sekian lama mereka tidak bertemu."Sora." Kata Pandu sambil menatap intens wajah Sora.Bi Nina yang menyadari jika keduanya saling kenal pun menatap pada Sora. "Nona kenal sama pria itu?" Tanya Bi Nina.Sora mengangguk pelan. "Dia Kak Pandu, Bi. Kakak kelasku di sekolah dulu." Bi Nina yang hendak kembali bersuara mengurungkan niatnya saat Pandu berjalan mendekat pada mereka sambil menggendong gadis kecil di tangannya. "Sora, kau benar Sora, kan?" Tanya Pandu seakan memastikan. Sora mengangguk pelan. Dirinya sungguh tidak menyangka setelah sekian lama tidak bertemu dengan pria yang sempat menjadi idolanya, kini mereka kembali di pertemukan dalam situasi yang tak terduga.Pandangan Sora tertuju pada gadis kecil yang nampak manja berada di dalam gendongan Pandu. "Apa gadis kecil ini anak Kakak?" Tanya Sora.Pandu menganggukkan kepalanya. "Ya. Dia anakku dengan almarhum istriku." Jawab Pandu apa adanya
"Ada beberapa hal yang tidak bisa saya jelaskan pada Bibi. Yang terpenting saat ini, saya harap Bibi dapat mengikuti segala perintah saya demi kebaikan Sora."Bi Nina akhirnya mengangguk tanpa berniat bertanya lebih jauh. Ia mengerti Langit memiliki privasi dan ia tidak ingin terlalu ikut campur di dalamnya.Setelah berbincang sejenak dengan Bi Nina, Langit segera kembali ke ruangan tengah dimana Sora tengah menunggunya di sana.Wajah Sora terlihat tegang melihat kedatangan Langit. Wanita itu tengah berpikir jika Langit akan memarahinya mengingat kejadian yang terjadi tadi siang.Namun di luar ekspetasi, nyatanya Langit tidak memarahi atau membahas perkara yang terjadi tadi siang. Pria itu justru membahas hal lain tentang kehamilan Sora. Ya, jelas saja Langit tidak akan memarahinya karena pria itu tahu marah pun tiada guna. Memarahi Sora itu sama saja membuat Sora semakin takut kepadanya. Selain dari pada itu, dia juga sudah membicarakan permasalahan Sora tadi siang bersama Bi Nina. La
Sora menanti kedatangan Langit ke apartemen dengan harap-harap cemas setelah mendengar cerita dari Bibi Nina jika sudah menceritakan apa yang terjadi di supermarket tadi pada Langit."Apa Tuan Langit akan memarahiku. Atau dia akan melarangku untuk keluar lagi karena sudah membuat kekacauan." Sora bermonolog.Kecemasan yang Sora rasakan semakin bertambah saat melihat pintu apartemen terbuka dan memperlihatkan wajah Langit di sana."Tuan..." Sora bangkit dari posisi duduk menyambut kedatangan Langit.Langit yang sedang menenteng beberapa bungkus makanan di tangannya tak menyahut dan terus melangkah ke arah Sora. "Ini aku bawakan makanan untukmu." Kata Langit datar seraya menyerahkan plastik berisi makanan tersebut pada Sora.Sora menerimanya. Ia menatap kotak makanan tersebut dengan tatapan lapar. Kecemasan yang melandanya sejak tadi pun perlahan hilang melihat makanan tersebut.Langit dapat menangkap ekspresi Sora. Dia segera meminta Bi Nina untuk menyalin makanan yang ia bawa agar bis
"Heh, siapa anda yang berani ikut campur dalam urusan saya dan Sora!" Sahut Bibi Rida dengan tatapan tak kalah nyalang. Ia menatap tubuh Bi Nina dari atas sampai bawah dengan tatapan menghina. Dari penampilan Bi Nina saja Bibi Rida sudah dapat menyimpulkan jika Bi Nina adalah wanita rendahan sama seperti Sora."Saya adalah orang yang bertugas menjaga Nona Sora saat ini. Termasuk menjaganya dari wanita jahat seperti anda!" Tegas Bi Nina."Hahah." Bibi Rida tertawa mencemooh Bi Nina. "Kau pikir dia ini adalah bangsawan yang harus dijaga segala?!" Ketusnya.Bi Nina hendak kembali menjawab, namun Sora dengan cepat menghentikan niatnya dengan memegang lengannya."Bibi, sudahlah. Jangan membuat keributan di sini." Pinta Sora. Namun permintaan Sora tidak akan membuat Bi Nina menurut begitu saja. Sebab dia sangat tidak suka dengan sikap arogan yang Bibi Rida tunjukkan saat ini."Heh, Sora. Siapa wanita ini, kenapa dia sok dermawan sekali membela wanita seperti dirimu?" Tanya Bibi Rida dengan
Setelah mendapatkan izin keluar dari David, Sora segera bersiap-siap untuk pergi. Dia mengganti pakaian dengan pakaian bepergian yang dibelikan oleh Langit tak lupa memakai sepatu sesuai dengan perintah Langit. Setelah merasa sudah siap, dia langsung menghampiri Bi Nina yang sudah menunggu dirinya di ruang tengah apartemen."Bibi, aku sudah siap!" Kata Sora semangat.Bibi melukis senyum melihat wajah senang yang Sora tunjukkan. "Baiklah, kalau begitu ayo kita pergi, Non." Ajak Bibi.Dengan semangat kepala Sora mengangguk. Kemudian ia dan Bi Nina melangkah keluar dari dalam apartemen.Tiba di lobby, seorang sopir yang ditugaskan oleh Langit sudah menunggu kedatangan mereka. Pria paruh baya itu segera menuntun Sora dan Bi Nina menuju mobilnya berada."Bi Nina kenapa?" Tanya Sora melihat wajah Bi Nina yang nampak berbeda setelah bertemu dengan sopir tersebut."Bibi gak apa-apa, Nona." Balas Bi Nina tak ingin jujur.Sora merasa tak percaya. Namun dia memilih menghargai jawaban Bi Nina. Ke
Satu bulan tanpa terasa telah berlalu sejak Sora tinggal di apartemen milik Langit. Selama itu pula Sora lebih banyak menghabiskan waktu di dalam apartemen. Dia tidak boleh keluar jika tidak bersama dengan Langit dan tidak boleh memakan jajanan dari luar jika bukan Langit yang membelikannya.Sora akhirnya merasa jenuh. Dirinya sudah biasa bekerja dan menghabiskan banyak waktu di luar rumah beberapa tahun belakangan ini. Jadi saat ia lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen, ia merasa hidupnya terasa hampa. "Aku bosan," keluh Sora setelah membuang napas kasar di udara. Jika saja Langit mengizinkannya untuk berjalan-jalan meski hanya di sekitar apartemen, dia pasti sudah sangat senang.Bi Nina mendengar keluhan Sora. Sebenarnya ia juga merasa kasihan pada Sora yang lebih banyak dikurung di apartemen. Namun mau bagaimana lagi, ia tidak bisa memberikan izin pada Sora untuk keluar tanpa izin dari Langit lebih dulu.Sora mengusap perutnya yang terasa mulai besar. Dia mulai berpikir bag
Regina berjalan mondar-mandir di dalam pantry memikirkan cara untuk dapat bertemu dengan Theo di saat sedang waktu bekerja seperti saat ini. Jika ia masuk ke dalam ruangan Theo tanpa membuat janji lebih dulu, bisa saja Theo memarahinya dengan alasan tidak sopan dan mungkin memecat dirinya."Apa aku saja ya yang membuatkan minum untuk Tuan Theo siang ini?" Pikir Regina. Dari semua cara yang ia pikirkan sejak tadi, seperti hanya cara itu yang terbaik untuk ia lakukan agar bisa bertemu dengan Theo.Regina mengarahkan pandangan pada Tiwi yang nampak sedang mengambil gelas dan ingin membuatkan minuman dingin untuk Theo."Tiwi, siang ini aku saja yang membuatkan minum untuk Tuan Theo." Kata Regina dengan nada memerintah.Dahi Tiwi mengkerut saat mendengar perkataan Regina. "Maaf ya, Regina. Tapi ini adalah tugasku. Aku tidak ingin Tuan Theo memarahiku karena aku melimpahkan tugas ini kepadamu."Lidah Regina berdecak. Selama bekerja sebagai bawahannya, baru kali ini Tiwi berani melawan diriny