Sora memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan tangan gemetar sesaat setelah Langit bangkit dari tubuhnya. Sora dapat melihat ekspresi terkejut yang begitu kentara pada wajah pria itu.
Dengan air mata yang terus mengalir di kedua pipi dan menahan rasa sakit yang teramat di bagian intinya, Sora mengenakan pakaiannya kembali.
"Kenapa Tuan tega melakukan ini semua kepada saya… apa salah saya pada Anda, Tuan?" Setelah memakai pakaiannya kembali, Sora memberanikan diri menatap wajah Langit.
Bukannya menjawab pertanyaan Sora, Langit justru menatapnya dengan dingin. Tatapan yang acap kali Sora lihat setiap bertemu dengannya.
Tidak mendapatkan jawaban dari Langit, membuat Sora segera melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan kerja pria itu. Ia harus segera pergi sebelum pria itu berbuat hal buruk kepadanya kembali.
Langit mengusap wajahnya kasar setelah kepergian Sora. "Sial, kenapa aku bisa melakukannya dengannya. Bukankah seharusnya wanita yang aku sentuh tadi wanita bayaran yang disewa oleh Theo?"
Pengaruh alkohol benar-benar menguasai dirinya hingga tidak bisa mengenali wanita yang disentuhnya. Rasa bersalah pun mulai menyeruak di hati Langit mengingat penampilan Sora yang tadi nampak mengenaskan. Ingin sekali Langit meminta maaf pada wanita itu. Namun, egonya yang tinggi membuatnya sulit untuk berkata-kata walau hanya sekedar mengucapkan kata maaf.
Beberapa saat berlalu...
Sora tiba di kediaman Bibinya. Belum hilang rasa sakit hatinya karena perbuatan keji Langit kepadanya, kini hatinya sudah bertambah sakit mendengar cacian dan makian bibi dan adik sepupunya kepadanya.
"Kau pasti keluyuran kan sehingga baru pulang jam segini?" Tuduh Zoya—adik sepupu Sora.
Sora menggeleng lemah. "Tidak. Aku benar-benar habis lembur," jawabnya.
Zoya berkacak pinggang. Merasa tidak percaya dengan perkataan Sora. “Halah! Biasanya kau tidak pernah lembur,” semburnya. “Lihat, Ma, sekarang wanita sial ini sudah berani berbohong!”
Ucapan sepupunya itu berhasil memantik amarah Bibi Rida. “Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah baik aku memberimu tumpangan, tapi kau malah keluyuran tidak jelas!”
Sora tak lagi begitu mendengarkan rentetan caci maki wanita paruh baya di hadapannya. Kepalanya terasa begitu penuh hingga rasanya Sora ingin hilang saja. Mau melawan pun tidak mungkin sebab ia sadar diri dengan posisinya di rumah itu.
Masuk ke dalam kamarnya, Sora menangis tersedu-sedu. Beberapa kali ia menggosok kulitnya dengan kasar merasa jijik pada tubuhnya sendiri. Saat sedang membersihkan tubuhnya di dalam kamar mandi pun Sora turut melakukan hal yang sama hingga membuat beberapa bagian kulitnya tergores dan memerah.
"Aku sudah kotor..." lirih Sora tertahan. Entah apa lagi yang bisa ia banggakan pada dirinya sendiri. Kehormatan yang selama ini ia jaga telah direnggut paksa oleh bosnya. Kini ia hanyalah wanita kotor yang sudah tidak memiliki masa depan.
Sepanjang malam, Sora hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang buruk. Sudahlah dari kecil ia merasakan peliknya kehidupan setelah kehilangan kedua orang tua hingga akhirnya tinggal bersama bibinya yang kejam, kini ia kembali merasakan peliknya kehidupan karena diperkosa oleh bosnya sendiri.
Akibat menangis sepanjang malam dan baru bisa tertidur di saat waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi, membuat Sora akhirnya kesiangan. Pagi itu, ia kembali mendapatkan cacian dan makian dari Bibi Rida karena dianggap pemalas tidak membuatkan sarapan untuknya seperti biasanya.
Sora hanya bisa memelas. Memberikan alasan pada Bibi Rida tentang kondisi tubuhnya yang tidak fit. Sora turut mengatakan pada Bibi Rida tentang niatnya yang ingin mengambil cuti bekerja hari itu.
"Tidak bisa. Kau harus tetap bekerja!" Sahut Bibi Rida setelah mendengar alasan Sora. Tidak akan ia biarkan Sora mengambil cuti karena itu sama saja mengurangi jatah bulanannya.
"Tapi, Bibi..." Sora berniat membantah, tapi tatapan nyalang Bibi Rida mengurungkan niatnya.
"Tidak ada tapi-tapian! Pergi bekerja sekarang atau kau Bibi usir dari rumah ini!" Ancam Bibi Rida.
Ancaman tersebut membuat nyali Sora menciut. Jika ia diusir dari rumah tersebut, di mana lagi ia akan tinggal? Pada akhirnya, Sora hanya bisa pasrah mengikuti perintah Bibi Rida untuk tetap masuk bekerja.
Baru saja tiba di perusahaan, Sora kembali mendapatkan makian dari Regina karena terlambat masuk bekerja untuk pertama kalinya.
"Jika kau terlambat satu kali lagi, aku tidak akan segan untuk memecatmu!" ancam Regina dengan tatapan nyalang.
Sora hanya bisa mengangguk dengan kepala tertunduk. Melawan pun tiada guna sebab dirinya sadar jika bersalah saat ini.
“Sora, kamu dipanggil Presdir.”
Sora menoleh kaget pada seorang rekan kerja sesama office girl yang baru masuk ke dalam ruangan kebersihan dan memberitahu Sora jika ia dipanggil presdir ke ruangan kerjanya.
Sora menegang. Ada tujuan apa Langit memanggilnya? Apa Langit berniat buruk kembali kepadanya seperti tadi malam? Memikirkan itu semua membuat Sora menjadi takut.
Dengan tubuh gemetar, Sora akhirnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan kerja Presdir yang sudah menjadi saksi hilangnya mahkota yang sudah ia jaga selama ini.
"Ehem." Deheman Theo membuat kepala Sora yang tertunduk akhirnya mendongak menatap ke arahnya.
Sora tertegun. Ia pikir hanya Langit yang berada di dalam ruangan tersebut. Tapi ternyata, Theo juga berada di sana.
"Mendekatlah,” kata Theo yang kini duduk di atas sofa. Sementara Langit, pria itu duduk di kursi kerjanya menatap keduanya dalam diam.
Sora melangkah mendekat dengan kepala tertunduk. Ia tidak berani menatap ke arah meja kerja Presdir dimana Langit berada saat ini.
Tanpa banyak kata, Theo menyodorkan sebuah cek kosong kepada Sora hingga membuat dahi Sora mengkerut karena bingung.
"Saya telah mengetahui apa yang sudah terjadi kepadamu dan Tuan Langit tadi malam. Sebagai kompensasi atas kesalahan tersebut, Tuan Langit memberikan cek kosong ini kepadamu. Kau bebas menulis berapa pun nominalnya."
Sora hanya menatap selembar cek tersebut tanpa berniat menerimanya. "Saya tidak mau menerimanya. Karena kehormatan saya tidak bisa Anda beli dengan apa pun termasuk dengan uang," tekan Sora dengan bibir bergetar.
Langit yang duduk di kursi kerjanya mengepalkan kedua tangannya. Merasa kesal karena Sora seakan mempersulit penyelesaian masalah di antara mereka. Sedetik kemudian ia pun berdehem. Memberikan kode pada Theo agar melanjutkan perintah darinya.
"Tidak masalah jika Anda tidak mau menerima cek ini, Nona. Tapi jangan salahkan saya jika saya mengeluarkan surat pemecatan Anda dari perusahaan ini sekarang juga."
Ancaman Theo berhasil membuat Sora tak berkutik. Pekerjaannya saat ini adalah harta yang paling berharga untuknya. Jika ia dipecat, maka dari mana lagi ia bisa mendapatkan uang untuk memberikan jatah bulanan pada bibinya? Mencari pekerjaan baru pun saat ini sangatlah sulit.
Pada akhirnya, Sora tidak punya pilihan lain selain menerima selembar cek yang diberikan Theo. "Saya mohon izinkan saya tetap bekerja di perusahaan ini, Tuan,” pinta Sora mengiba.
Theo menganggukkan kepalanya. "Kau tidak akan dipecat dari perusahaan ini asalkan menerima cek itu dan tidak membocorkan apa yang telah terjadi kepadamu dan Tuan Langit pada siapa pun. Jika kau ketahuan membocorkan rahasia tersebut, maka kau akan tahu akibatnya. Bukan hanya sekedar dipecat, saya akan memastikan jika hidupmu menderita."
Sora menganggukkan kepalanya. Sungguh ia tidak berniat memberitahu pada siapa pun apa yang telah terjadi kepadanya dan Langit. Lagi pula, pada siapa ia akan mengadu mengingat tidak ada satu orang pun yang peduli kepadanya di dunia ini.
Sora akhirnya keluar dari dalam ruangan tersebut setelah menyetujui segala persyaratan dari Theo. Kepergian Sora pun membuat Langit merasa lega karena menurutnya permasalahannya dengan Sora telah selesai.
Baru saja Langit merasa lega, kini Langit sudah dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita muda yang berstatus sebagai kakak sulungnya.
“Kakak? Ada keperluan apa—”
Langit belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat wanita yang terlihat marah itu berjalan dengan langkah lebar menghampirinya, lalu …
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat tepat di wajah tampan Langit hingga membuat sebelah pipinya terasa perih dan memerah.
“Apa-apaan ini, Kak?!” sergah Langit, tidak dapat menyembunyikan amarahnya.
“Seharusnya Kakak yang bertanya padamu. Apa yang telah kau lakukan semalam, hah?!”
"Apa yang telah kau lakukan kemarin malam di sini?" Bella—kakak sulung Langit menatap pria itu tajam setelah mengulang pertanyaannya.Langit terkesiap. Ekspresi wajahnya berubah terkejut setelah mendengarkan perkataan sang kakak."Kenapa diam? Apa lidahmu sudah tidak bisa digunakan dengan benar untuk menjawab pertanyaanku, huh?" bentak Bella. Wanita muda itu nampak marah menatap wajah adik bungsunya."Dari mana Kakak tahu?" Bukannya menjawab, Langit justru bertanya balik pada Bella."Apa yang tidak Kakak ketahui tentang dirimu? Beberapa banyak wanita yang telah kau tiduri saja Kakak tahu!" sentak Bella.Langit terdiam. Ditatapnya wajah asistennya yang nampak datar seakan tidak merasa bersalah."Kali ini Kakak tidak bisa memberikan dispensasi lagi kepadamu, Langit. Jika biasanya Kakak membiarkanmu menyewa banyak wanita untuk memenuhi hasratmu, tapi kali ini tidak. Kakak tidak bisa membiarkanmu bersikap sesuka hatimu karena wanita yang sudah kau perkosa tadi malam bukanlah wanita bayara
Bella kini telah berdiri tepat di hadapan Langit. Kedua tangannya bersedekap di dada. Tatapan matanya pun terhunus tajam pada Langit. "Bagaimana, Langit. Setelah mengetahui wanita itu sedang mengandung darah dagingmu apa kau masih berniat lari dari tanggung jawab?" Tanya Bella.Wajah Langit terlihat datar menatap sang kakak. Ia sudah menduga jika Bella mengetahui keadaan Sora saat ini mengingat dokter pribadi keluarganya baru saja keluar dari ruangan kerjanya dan pasti bertemu dengan Bella. "Belum tentu anak yang ada di dalam kandungannya itu anakku. Bisa jadi dia pernah tidur bersama pria lain." Jawab Langit.PlakTelapak tangan Bella menempel tepat di pipi Langit. Wajah wanita itu nampak geram terlihat jelas dari tatapan matanya yang semakin tak bersahabat. "Berani sekali kau berkata seperti itu, Langit. Sudah jelas anak itu adalah anak kandungmu. Dia tidak mungkin melakukannya dengan pria lain!" Maki Bella.Langit mengalihkan pandangan matanya ke samping merasa enggan melihat kemar
Perasaan Sora dibuat tidak tenang setelah menyadari dua orang pria berbaju hitam mengikutinya sejak ia keluar dari dalam minimarket membeli sebuah roti untuk mengganjal perutnya yang terasa lapar. Sora terus melangkah menjauhi kedua pria tersebut hingga akhirnya langkahnya terhenti saat tubuhnya tidak sengaja menabrak tubuh seseorang."Aw..." Sora mengusap pelipisnya yang terasa sakit. Sedetik kemudian ia mendongak untuk melihat siapakah orang yang baru saja ia tabrak. "Tu-tuan Langit." Sora terbata. Tubuhnya bergetar hebat hingga membuat roti yang tadi ia beli jatuh ke atas tanah. Sora tak memperdulikan roti tersebut. Perlahan sepasang kakinya melangkah mundur berniat kabur dari Langit. Ya, ia harus pergi dari pria itu sebelum Langit berniat buruk kepadanya.Dua orang pria yang sejak tadi mengikuti Sora bergerak cepat menahan langkah Sora saat menyadari wanita itu hendak kabur."Apa yang kalian lakukan. Lepaskan aku!" Sora berteriak. Bukan hanya roti di tangannya saja yang terjatuh k
Sora mengangguk setuju. Ia sama sekali tidak mempermasalahkan perkataan Langit agar tidak mencintai pria itu. Lagi pula, Sora merasa tidak mungkin mencintai pria itu. Karena jangankan untuk mencintai Langit, melihat wajah Langit saja dia sudah takut."Sebentar lagi akan datang seorang pelayan yang bertugas membantumu selama tinggal di apartemen ini. Jika kau membutuhkan sesuatu, jangan sungkan meminta tolong kepadanya." Kata Langit setelah menyampaikan beberapa pesan sebelum menikah dengan Sora."Baik, Tuan. Terima kasih." Jawab Sora pelan.Langit segera bangkit dari posisi duduk. Ia merapikan kemejanya yang sebenarnya tidak berantakan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, Langit segera melangkah pergi meninggalkan apartemen dan memberikan pesan pada Theo agar melanjutkan tugasnya di sana.Setelah kepergian Langit, Theo langsung saja menunjukkan pada Sora dimana letak kamar wanita itu. Tak lupa Theo mengingatkan pada Sora agar tidak berani kabur dari apartemen."Selangkah saja anda
Pukul dua dini hari, Sora terjaga dari tidur lelapnya. Mimpi buruk yang menguasai alam bawah sadarnya membuat Sora terjaga dengan napas yang naik turun. "Bibi!" Lirih Sora teringat dengan mimpi buruknya bagaimana Bibi Rida mengusirnya setelah mengetahui dirinya hamil di luar nikah. Bahkan tanpa belas kasih Bibi Rida membiarkan Zoya mendorong tubuhnya yang sedang berbadan dua keluar dari rumah hingga nyaris terjatuh.Air mata meleleh membasahi wajah Sora. Sosok wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri tega memperlakukannya dengan buruk. Bukan hanya pada saat ia ketahuan hamil di luar nikah saja, namun sejak ia masih kecil dan belum mengerti kejamnya dunia."Sekarang aku tidak memiliki siapa-siapa lagi dalam hidupku. Aku benar-benar kesepian." Lirih Sora merasa sedih. Entah kehidupan seperti apa lagi yang akan ia lewati kedepannya setelah keluar dari rumah Bibi Rida. Sedang memiliki keluarga saja hidupnya sudah terasa pelik, apa lagi setelah ini. Di tengah kesedihanny
Langit menyadari jika kedatangannya membuat napsu makan Sora jadi hilang hingga membuat wanita itu menghentikan aktivitas memakan makanannya. Tidak ingin membuat Sora menyisakan makanan hanya karena dirinya, Langit pun memilih meninggalkan ruangan makan."Habiskan makananmu. Setelah itu temui saya di ruangan tamu." Pesan Langit sebelum pergi meninggalkan Sora.Sora tercenung. Rupanya pria itu menyadari jika kehadirannya bagaikan mood buruk hingga mengganggu napsu makannya. Setelah kepergian Langit, Sora segera menghabiskan makanannya yang tinggal sedikit. Ia tidak boleh menyisakan makanan yang lezat itu mengingat selama ini ia sangat sulit untuk bisa merasakan menikmati makanan yang lezat seperti yang ia makan saat ini.Selesai menghabiskan makanannya, Sora segera menuruti perintah Langit yang memintanya menyusul ke ruangan tamu. Tiba di sana, Sora melihat pria paruh baya yang tadi datang bersama Langit nampak sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang ia bawa."Duduklah." Kata La
Sora dan Langit kini sudah duduk di depan penghulu yang bertugas untuk menikahkan mereka. Sejak awal kedatangannya ke tempat tersebut, Sora lebih banyak diam. Ia hanya bersuara jika ditanya atau diminta pendapat oleh penghulu."Karena kedua mempelai sudah siap, maka kita mulai saja acara akad pagi ini." Kata penghulu.Langit dan Sora mengangguk menyetujuinya. Kemudian tangan Langit pun terangkat berjabat dengan wali nikah untuk memulai prosesi akad nikah mereka pagi itu.Walau acara pernikahannya hari ini bukanlah hal yang diinginkan oleh Sora, namun tetap saja wanita itu merasa gugup saat Langit mulai membacakan kalimat akad untuk menjadikannya sebagai seorang istri."Sah." Dua orang pria yang ditunjuk Langit sebagai saksi di acara akadnya bersuara cukup keras setelah Langit selesai membacakan ijab qabulnya dengan lantang dan jelas.Kedua bola mata Sora berkilat bening setelah menyadari jika kini ia bukan lagi seorang wanita lajang melainkan istri dari seorang pria bernama Langit. Sea
Setelah menebus resep obat dan vitamin untuk Sora di bagian farmasi, Langit langsung saja mengajak Sora untuk pulang. Di tengah perjalanan menuju pulang, Langit tiba-tiba saja membelokkan mobilnya ke arah supermarket saat teringat dengan sesuatu."Kau belum meminum susu hamil sejak satu bulan ini, kan?" Tanya Langit setelah memarkirkan mobilnya di depan supermarket.Sora menganggukkan kepalanya membenarkan perkataan Langit. Bagaimana ia bisa meminum susu hamil sementara ia baru saja mengetahui keadaannya yang sedang berbadan dua baru beberapa hari yang lalu."Kalau begitu ayo kita beli susu hamilnya. Beli juga semua barang yang kau butuhkan selama berada di apartemen."Sora mengangguk dengan ragu. Kemudian keduanya pun turun dari dalam mobil milik Langit.Saat berjalan masuk ke dalam supermarket, Langit sejenak menghentikan langkahnya saat merasa Sora tertinggal jauh di belakangnya. "Kenapa kau jalannya lambat sekali? Seperti siput saja." Kata Langit dengan ekspresi datarnya.Sora ter
Beberapa hari berlalu, Pandu nampak masih berupaya untuk bertemu dengan Sora. Namun lagi-lagi, dia harus menelan kekecewaan sebab Sora begitu sulit untuk ditemui bahkan tidak pernah keluar dari dalam apartemen. Pandu dibuat bingung dan bertanya-tanya, kenapa sikap Sora saat ini seperti orang yang sedang dikurung saja? Agh, memikirkannya membuat Pandu jadi semakin berpikiran buruk saja.Di saat Pandu terus kepikiran dengan sosok Sora, sosok yang tengah dipikirkannya itu ternyata turut memikirkannya. Dia bahkan sering berupaya untuk bisa keluar dari dalam apartemen namun selalu berujung dengan kegagalan sebab Langit begitu sulit untuk memberikannya izin untuk keluar.Bukan tanpa alasan Langit melakukannya, dia hanya tidak ingin Sora bertemu kembali dengan bibinya dan membuat hati wanita itu jadi bersedih karenanya.Berita Sora yang dikurung di dalam apartemen akhirnya sampai di telinga Bella. Ibu dari satu anak itu nampak berang karena Langit sudah bersikap sangat gegabah mengurung istr
Pertemuan Sora tadi bersama Pandu akhirnya membuat Sora terus kepikiran dengan pria itu. Bagaimana masa sekolahnya saat bersama Pandu dulu hingga pada saat ia menolak cinta Pandu karena takut bibinya akan marah jika ia ketahuan menjalin hubungan dengan seorang pria."Huh, kenapa aku jadi memikirkan Kak Pandu terus." Gumam Sora diikuti helaan napas yang terasa berat. Akibat terlalu banyak memikirkan sosok Pandu, Sora sampai lupa jika tadi ia sempat merindukan sosok Langit dan ingin segera bertemu dengannya."Baby, apa kau akan marah pada Mama jika Mama memikirkan pria yang bukan ayah kandungmu?" Sora berbicara pada janinnya yang masih bersemayam di dalam rahimnya. Rasanya tidak pantas sekali dia memikirkan pria yang tidak memiliki hubungan apa pun di dalam hidupnya.Di apartemen berbeda, Pandu yang tadi sempat berniat untuk melanjutkan pembicaraannya dengan Sora berinisiatif menghampiri apartemen Sora setelah memastikan putri kecilnya sudah tertidur dengan lelap di atas ranjang.Keluar
Pandu yang turut melihat wajah Sora dibuat terkejut melihat wajah wanita itu setelah sekian lama mereka tidak bertemu."Sora." Kata Pandu sambil menatap intens wajah Sora.Bi Nina yang menyadari jika keduanya saling kenal pun menatap pada Sora. "Nona kenal sama pria itu?" Tanya Bi Nina.Sora mengangguk pelan. "Dia Kak Pandu, Bi. Kakak kelasku di sekolah dulu." Bi Nina yang hendak kembali bersuara mengurungkan niatnya saat Pandu berjalan mendekat pada mereka sambil menggendong gadis kecil di tangannya. "Sora, kau benar Sora, kan?" Tanya Pandu seakan memastikan. Sora mengangguk pelan. Dirinya sungguh tidak menyangka setelah sekian lama tidak bertemu dengan pria yang sempat menjadi idolanya, kini mereka kembali di pertemukan dalam situasi yang tak terduga.Pandangan Sora tertuju pada gadis kecil yang nampak manja berada di dalam gendongan Pandu. "Apa gadis kecil ini anak Kakak?" Tanya Sora.Pandu menganggukkan kepalanya. "Ya. Dia anakku dengan almarhum istriku." Jawab Pandu apa adanya
"Ada beberapa hal yang tidak bisa saya jelaskan pada Bibi. Yang terpenting saat ini, saya harap Bibi dapat mengikuti segala perintah saya demi kebaikan Sora."Bi Nina akhirnya mengangguk tanpa berniat bertanya lebih jauh. Ia mengerti Langit memiliki privasi dan ia tidak ingin terlalu ikut campur di dalamnya.Setelah berbincang sejenak dengan Bi Nina, Langit segera kembali ke ruangan tengah dimana Sora tengah menunggunya di sana.Wajah Sora terlihat tegang melihat kedatangan Langit. Wanita itu tengah berpikir jika Langit akan memarahinya mengingat kejadian yang terjadi tadi siang.Namun di luar ekspetasi, nyatanya Langit tidak memarahi atau membahas perkara yang terjadi tadi siang. Pria itu justru membahas hal lain tentang kehamilan Sora. Ya, jelas saja Langit tidak akan memarahinya karena pria itu tahu marah pun tiada guna. Memarahi Sora itu sama saja membuat Sora semakin takut kepadanya. Selain dari pada itu, dia juga sudah membicarakan permasalahan Sora tadi siang bersama Bi Nina. La
Sora menanti kedatangan Langit ke apartemen dengan harap-harap cemas setelah mendengar cerita dari Bibi Nina jika sudah menceritakan apa yang terjadi di supermarket tadi pada Langit."Apa Tuan Langit akan memarahiku. Atau dia akan melarangku untuk keluar lagi karena sudah membuat kekacauan." Sora bermonolog.Kecemasan yang Sora rasakan semakin bertambah saat melihat pintu apartemen terbuka dan memperlihatkan wajah Langit di sana."Tuan..." Sora bangkit dari posisi duduk menyambut kedatangan Langit.Langit yang sedang menenteng beberapa bungkus makanan di tangannya tak menyahut dan terus melangkah ke arah Sora. "Ini aku bawakan makanan untukmu." Kata Langit datar seraya menyerahkan plastik berisi makanan tersebut pada Sora.Sora menerimanya. Ia menatap kotak makanan tersebut dengan tatapan lapar. Kecemasan yang melandanya sejak tadi pun perlahan hilang melihat makanan tersebut.Langit dapat menangkap ekspresi Sora. Dia segera meminta Bi Nina untuk menyalin makanan yang ia bawa agar bis
"Heh, siapa anda yang berani ikut campur dalam urusan saya dan Sora!" Sahut Bibi Rida dengan tatapan tak kalah nyalang. Ia menatap tubuh Bi Nina dari atas sampai bawah dengan tatapan menghina. Dari penampilan Bi Nina saja Bibi Rida sudah dapat menyimpulkan jika Bi Nina adalah wanita rendahan sama seperti Sora."Saya adalah orang yang bertugas menjaga Nona Sora saat ini. Termasuk menjaganya dari wanita jahat seperti anda!" Tegas Bi Nina."Hahah." Bibi Rida tertawa mencemooh Bi Nina. "Kau pikir dia ini adalah bangsawan yang harus dijaga segala?!" Ketusnya.Bi Nina hendak kembali menjawab, namun Sora dengan cepat menghentikan niatnya dengan memegang lengannya."Bibi, sudahlah. Jangan membuat keributan di sini." Pinta Sora. Namun permintaan Sora tidak akan membuat Bi Nina menurut begitu saja. Sebab dia sangat tidak suka dengan sikap arogan yang Bibi Rida tunjukkan saat ini."Heh, Sora. Siapa wanita ini, kenapa dia sok dermawan sekali membela wanita seperti dirimu?" Tanya Bibi Rida dengan
Setelah mendapatkan izin keluar dari David, Sora segera bersiap-siap untuk pergi. Dia mengganti pakaian dengan pakaian bepergian yang dibelikan oleh Langit tak lupa memakai sepatu sesuai dengan perintah Langit. Setelah merasa sudah siap, dia langsung menghampiri Bi Nina yang sudah menunggu dirinya di ruang tengah apartemen."Bibi, aku sudah siap!" Kata Sora semangat.Bibi melukis senyum melihat wajah senang yang Sora tunjukkan. "Baiklah, kalau begitu ayo kita pergi, Non." Ajak Bibi.Dengan semangat kepala Sora mengangguk. Kemudian ia dan Bi Nina melangkah keluar dari dalam apartemen.Tiba di lobby, seorang sopir yang ditugaskan oleh Langit sudah menunggu kedatangan mereka. Pria paruh baya itu segera menuntun Sora dan Bi Nina menuju mobilnya berada."Bi Nina kenapa?" Tanya Sora melihat wajah Bi Nina yang nampak berbeda setelah bertemu dengan sopir tersebut."Bibi gak apa-apa, Nona." Balas Bi Nina tak ingin jujur.Sora merasa tak percaya. Namun dia memilih menghargai jawaban Bi Nina. Ke
Satu bulan tanpa terasa telah berlalu sejak Sora tinggal di apartemen milik Langit. Selama itu pula Sora lebih banyak menghabiskan waktu di dalam apartemen. Dia tidak boleh keluar jika tidak bersama dengan Langit dan tidak boleh memakan jajanan dari luar jika bukan Langit yang membelikannya.Sora akhirnya merasa jenuh. Dirinya sudah biasa bekerja dan menghabiskan banyak waktu di luar rumah beberapa tahun belakangan ini. Jadi saat ia lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen, ia merasa hidupnya terasa hampa. "Aku bosan," keluh Sora setelah membuang napas kasar di udara. Jika saja Langit mengizinkannya untuk berjalan-jalan meski hanya di sekitar apartemen, dia pasti sudah sangat senang.Bi Nina mendengar keluhan Sora. Sebenarnya ia juga merasa kasihan pada Sora yang lebih banyak dikurung di apartemen. Namun mau bagaimana lagi, ia tidak bisa memberikan izin pada Sora untuk keluar tanpa izin dari Langit lebih dulu.Sora mengusap perutnya yang terasa mulai besar. Dia mulai berpikir bag
Regina berjalan mondar-mandir di dalam pantry memikirkan cara untuk dapat bertemu dengan Theo di saat sedang waktu bekerja seperti saat ini. Jika ia masuk ke dalam ruangan Theo tanpa membuat janji lebih dulu, bisa saja Theo memarahinya dengan alasan tidak sopan dan mungkin memecat dirinya."Apa aku saja ya yang membuatkan minum untuk Tuan Theo siang ini?" Pikir Regina. Dari semua cara yang ia pikirkan sejak tadi, seperti hanya cara itu yang terbaik untuk ia lakukan agar bisa bertemu dengan Theo.Regina mengarahkan pandangan pada Tiwi yang nampak sedang mengambil gelas dan ingin membuatkan minuman dingin untuk Theo."Tiwi, siang ini aku saja yang membuatkan minum untuk Tuan Theo." Kata Regina dengan nada memerintah.Dahi Tiwi mengkerut saat mendengar perkataan Regina. "Maaf ya, Regina. Tapi ini adalah tugasku. Aku tidak ingin Tuan Theo memarahiku karena aku melimpahkan tugas ini kepadamu."Lidah Regina berdecak. Selama bekerja sebagai bawahannya, baru kali ini Tiwi berani melawan diriny