Perdebatan anak dan bapak di depan ruang perawatan ibunya ditutup dengan mengenaskan. Hana melongo, bingung, kaget, tak percaya, kecewa bercampur aduk jadi satu. Waktu berputar melambat, bola mata Hana yang basah menyorot tajam mata Pak Hartono tanpa rasa takut sedikit pun.
Ini semua kelewatan. Apa yang dilakukan Bapaknya meledakkan sesuatu di dalam diri Hana
“AAARGGHHH…., BAPAK APA-APAAN SIH??!” Hana berdiri dari kursinya. Secepat kilat tangannya menyambar ponsel dari tangan bapaknya. Melawan kerasnya remasan tangan Pak Hartono.
“EMANG BAPAK KIRA BAYAR SEMUA HUTANG-HUTANG BAPAK ITU GAMPANG? HAH? EMANG BAYAR BIAYA PENGOBATAN IBU MURAH? BAPAK UDAH TUA KAN? MIKIR!! HANA BANTING TULANG KERJA BUAT KALIAN. BAPAK INI BISANYA CUMA BIKIN KACAU!&rdq
Hana bahkan sampai harus mengucek kedua matanya berulang kali demi memastikan orang yang berdiri di sebelahnya adalah benar-benar Arya. “Ka-kamu? Kamu beneran Arya kan?” Hana gelagapan. Ia sendiri sampai harus menampar kedua pipinya berulang kali. “A-aku nggak lagi mabuk kan? Eh… Pliss…” Hana melebarkan pandangannya. “Kamu beneran Arya kan?” “Hahahaha… “ Bukan menjawab pertanyaan Hana, laki-laki yang baru datang itu justru terpingkal-pingkal. Ia menarik satu kursi yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Duduk persis di sebelah Hana. “Iya.. gue Arya. Kenapa sih lo jadi kayak kaget gitu? Biasa aja deh ah.” Hana melon
“Cihhh… “ Hana bersungut, kepalanya menggeleng pelam. “Ke atas? Enteng banget tuh mulut,” cibirnya. Siapa juga yang tak kesal, 6 bulan lebih lamanya mereka tidak bertemu. 6 bulan lebih lamanya Hana mengubur mimpinya tinggal bersama dengan Arya. Selama itu juga semua kenangan tentang Arya masih terus melesat menjejali isi kepala. Kenangan manis, kenangan pahit, masam, menyenangkan, menyesakkan dada, semunya tanpa kecuali. Hana masih ingat betul bagaimana ia dan Arya bertemu di club basket. Hana masih ingat betul bagaimana Arya memujanya layaknya ratu. Ingatan Hana masih kuat untuk menampung semua kenangan manis bertahun-tahun lalu. Sama kuatnya dengan semua kenangan bur
Arya menggeleng, sorot cahaya lampu panggung menyirami raut mukanya menunjukkan rasa kecewa yang seolah ia tutup-tutupi dari Hana. “Maaf, Han.” Satu tangannya menjemput telapak tangan Hana yang terlanjur hinggap. “Gue nggak bisa.” Meski tersamarkan suara musik yang keras, kalimat Arya nyatanya cukup untuk membungkam mulut Hana. Rasa percaya diri yang susah payah Hana bangun runtuh seketika. Untuk beberapa menit kemudian ia cuma bisa terdiam. Merasakan lidahnya yang kelu dan ludahnya yang menggumpal. “Maaf ya, Han.” Arya mengulangi kalimatnya. “Ta-tapi, Ya.” Dengan sorot mata mengiba, Hana meremas kuat-kuat pergelangan tangan Arya. “G-Gue kira&mda
Hana tak bisa melakukan apa-apa lagi selain pasrah. Sekarang ia hanya bisa melihat punggung Arya brgerak menjauh darinya. Gelapnya diskotik dan gerombolan orang yang hilir mudik seperti mempercepat perpisahan terjadi. Di depan sana, Hana benar-benar merelakan tubuh Arya keluar melewati pintu. “Jadi kita benar-benar udah usai ya?’ tanya Hana dalam hati. Kepalanya tertunduk lesu, matanya menatap keramik lantai. “Aku kira kamu masih akan tetap peduli sama aku, Ya.” Hana menghela napas panjang.”Aku kira maih ada orang yang benar-benar sayang sama aku apa adanya. Ternyata itu semua hanya omong kosong.” ##&nb
Jujur, dari semua keadaan yang pernah Hana lewati. Hanya keadaaan ini yang paling membingungkan sampai membuatnya tak berkutik. Hana di atas tempt duduk termangu menatap kemarahan Pak Robert yang meluap-luap. “Kamu udah aku kasih jalan yang enak. Kamu tinggal ikuti saja jalannya, Han. Kenapa masih ada Arya dan Arya lagi sih? Jangan dikira aku nggak tahu apa yang kalian berdua lakuin tadi malam.” “Apa?!” Hana menyalak balik.”Pak Robert emang tahu apa soal Hana?” Bain Hana benar-benar muak. Pikirannya makin kacau. Pagi hari yang seharusnya dipenuhi ketenangan dan semangat baru malah jadi sebaliknya. “Aku tahu apa?” Tubuh Pak Robert membungkuk. Jari telun
“Aku bisa, Han. Aku bisa melakukannya jauh lebih baik dari Arya,” tegas Pak Robert dengan nada bicara penuh tekanan. Tangis Hana mendadak reda. Sorot matanya menatap lamat-lamat sepasang bola mata Pak Robert sebelum akhirnya tertunduk lesu. “Nggak usah bercanda deh, Pak.” Gadis yang masih memeluk lututnya menelan ludah. “Nggak lucu tahu nggak?!” tandas Hana pendek. “Aku nggak melucu, Han. Aku sungguh-sungguh.” Tanpa Hana ketahui, justru kenyataan inilah kenyataan paling jujur yang pernah keluar dari mulut seorang Pak Robert. Hana tak pernah tahu kenyataannya selama ini. Mata Hana
Dua pasang bibir menyatu, seiring embusan napas yang memburu. Hana yang memulai ini semua sadar mereka berdua tak punya apa-apa lagi untuk ditanyakan. Percuma, apa yang terjadi di antara dirinya dan Pak Robert sudah macam benang kusut yang entah di mana ujung dan pangkalnya. “Mphhhhh…. !!” Dengung pendingin ruangan menyambut panasnya dua tubuh mereka. Hana mulai melenguh begitu Pak Robert mulai sadar apa yang terjadi. Ia menarik bibir Hana stenggelam semakin dalam. Tangannya bertualang ke belakang kepala Hana lewat leher. “Shhhh….” Ciuman terjeda singkat, Hana dengan senyum genitnya menatap teduh mata Pak Robert. “Aku nggak bisa jawab sekarang nggak papa k
“Enam sembilan?” Lamat Hana memperhatikan Pak Robert di bawahnya. “Iya enam sembilan sayang.” Kedua tangan Pak Robert melingkari tubuh Hana dan mendekapnya. “Kamu nggak tahu enam sembilan?” Di atas dada Pak Robert Hana bingung. Entah harus mengangguk atau menggeleng. “A-aku pernah denger sih, Pak. Ta-tapi belum pernah.” ‘Muachhhh…’ Satu kecupan kecil nan mesra mendarat di kening Hana. “Kalau gitu kamu harus cobain. Semua hal di dunia ini ada kali pertamanya kan say