Mobil yang ditumpangi oleh Florencia dan Nando mengerem mendadak karena teriakan gadis berbibir tipis itu.
"Maaf, Tuan. Saya kaget," ucap sopirnya Nando yang bernama Agus."Iya, enggak apa-apa, lanjut jalan, Pak," ujar Nando sambil melipat kedua tangannya di dada.Florencia merasa malu dan ketakutan itu pun makin menjadi-jadi ketika Nando melirik tajam ke arahnya. Gadis itu terdiam seribu bahasa.Setengah jam berlalu, mobil memasuki halaman sebuah rumah yang megah dan mewah. Agus bergegas membukakan pintu untuk Nando setelah mobil terparkir."Ayo!" titah Nando, meminta Florencia untuk turun dari mobil.Mata Florencia berkeliling memandang rumah bergaya klasik dengan nuansa kuning gading. Dia merasa heran karena yang ada di pikirannya ternyata salah. Antara senang dan sedih, bercampur kebingungan, berkecamuk di hatinya. Senang karena tidak dibawa ke hotel, tetapi juga sedih dan bingung sebab masih belum tahu apa pekerjaan yang akan Nando berikan."Om, kenapa kita ke sini?"Akhirnya, Florencia memberanikan diri untuk bertanya."Katanya, kamu mau kerja. Ya, di sinilah kamu akan bekerja," jawab Nando seraya melangkah menjauh dari mobil.'Kerja? Di sini? Di rumah ini? Eh, ini rumah atau kantor, sih?' Florencia bergumam."Flooo!""Eh, iya, Om." Panggilan dari Nando membuyarkan lamunan Florencia. Gadis itu pun berjalan dengan cepat menghampiri Nando yang sudah kembali melangkah memasuki rumah mewah tersebut.Florencia merindukan rumahnya yang dulu di saat sang Papi masih memiliki banyak harta kekayaan. Rumah yang tak kalah megah dengan yang ada di hadapannya saat ini. Florencia menitikan air mata, dia masih tak menyangka kalau papinya memiliki banyak utang hingga harus menjual segala aset yang dimiliki."Heh, lu siapa? Ngapain bengong di depan pintu?"Suara seorang pria membuat Florencia bergegas menyeka air matanya, lalu menoleh ke arah sumber suara. Pria yang tampan, berkulit putih, tinggi, gaya rambut ala artis Korea, dan tatapan mata yang tajam, membuat Florencia sedikit gugup."Wei! Malah bengong lagi. Lu siapa, sih? Ngapain di sini?" Pria itu melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Florencia."Eh, itu, anu, gue ke sini diajak sama Om Nando," jawab Florencia.Pria itu memindai Florencia dari kepala hingga ke ujung kaki. "Lu sekretaris barunya Papa?""Hah? Entah. Gue ke sini memang mau kerja, tapi belum tau kerja apaan.""Dih! Lu mau-maunya ngikut, padahal belum tau mau diapain, eh, maksudnya belum tau mau kerja apa. Gimana kalau ternyata bokap gue itu seorang muncikari dan lu dipekerjakan untuk melayani pria-pria hidung belang?" Pria itu menyeringai sambil menaik-turunkan alisnya."Ih, masa iya Om Nando kayak gitu? Lagian, emangnya gue ada tampang buat jadi cewek gituan apa?" protes Florencia."Hmmm … wajah lu lumayan cantik, body lu semampai, ya, cocoklah."Florencia mengibaskan tas yang dipegangnya ke lengan pria itu."Aduh! Dasar cewek aneh lu!" Pria itu mengusap-usap lengannya sambil meringis."Sukurin!"Di tengah perseteruan, tiba-tiba datang seorang wanita paruh baya yang memakai seragam asisten rumah tangga berwarna navy dengan celemek hitam yang melapisi pakaiannya."Non, maaf, disuruh masuk sama Tuan Nando," kata wanita paruh baya itu.Florencia memeletkan lidahnya ke arah pria itu, lalu beranjak memasuki rumah dengan langkah anggun, mengikuti wanita paruh baya tersebut. Pria tadi menggeleng, kemudian turut melangkah dengan tangan di saku kanan dan kiri celananya.Mereka bertiga berhenti di ruang kerja tuan Nando. Ruangan yang luas dengan dua lemari kayu besar dengan pintu kaca, hingga terlihat banyak buku yang tertata dengan rapi di dalam sana."Kebetulan kamu sudah pulang, Van." Nando mengawali pembicaraan. "Silakan duduk, Flo. Perkenalkan, dia adalah Evander, anak bungsu saya," lanjutnya.Florencia melirik ke arah pria yang bernama Evander itu. Pria menyebalkan yang tadi meledek dirinya di depan pintu.Florencia duduk pada salah satu kursi kulit di seberang Nando, Evander pun duduk di sebelah gadis cantik itu."Pa, emangnya dia mau bekerja sama Papa? Kerja apaan?" tanya Evander."Nah, itu yang ingin Papa sampaikan. Begini, Florencia dan orang tuanya sedang memiliki masalah ekonomi. Jadi, sebagai teman yang baik dari Samuel, papinya Flo, Papa mau memberikan pekerjaan untuk Flo, yaitu—"Florencia dan Evander saling melirik. Mereka penasaran dengan ucapan Nando yang menggantung di udara."Yaitu apa, Pa?" tanya Nando."Yaitu … Florencia akan menjadi asisten pribadi kamu," jawab Nando."What?!" ujar Florencia dan Evander secara bersamaan."Belum apa-apa kalian sudah kompak begitu," ledek Nando.Florencia dan Evander saling melirik dengan sinis, lalu tak lama kemudian membuang muka. Nando tersenyum samar saat melihat tingkah mereka."Jadi, Flo, kamu harus mengurus semua kebutuhan untuk Evander, baik di rumah maupun di kantor," ucap Nando."Tapi, Pa—" Pria berusia 24 tahun itu hendak protes, tetapi sang Papa menyanggahnya."Sudah, ikuti saja apa yang sudah Papa tetapkan.""Om, maaf sebelumnya, saya kira, saya akan bekerja di salah satu kantor yang Om punya, tapi ternyata hanya dijadikan sebagai asisten pribadi anak Om yang nyebelin ini," ujar Florencia."Kamu mau menolak tawaran pekerjaan ini, Flo? Cobalah pikirkan baik-baik. Kamu akan mendapatkan gaji sebesar lima belas juta setiap bulannya, juga makan minum, dan pakaian gratis karena kamu akan tinggal di sini. Dalam seminggu, kamu berhak atas libur satu hari, yaitu hari Sabtu. Bagaimana?"Florencia berpikir dengan keras. Apa yang Nando tawarkan cukup menggiurkan di saat kondisi keuangan seperti sekarang ini, mengingat saldo di rekeningnya hanya tersisa lima juta saja karena pesangon dan gaji terakhir dia belum ditransfer."Hmmm … baiklah, Om. Saya terima pekerjaan ini," jawab Florencia."Duuuh! Kenapa lu mau nerima, sih? Enggak malu lu jadi babu?" protes Evander yang berharap kalau Florencia akan menolak."Gue butuh uang untuk biaya hidup orang tua gue. Kalau soal jadi babu—" Florencia menjeda ucapannya. "Gue asisten pribadi, bukan babu!" lanjutnya."Dih! Apa bedanya? Lu bakal gue suruh ini itu dan—""Sudah, cukup!" sahut Nando."Pa, aku enggak butuh asisten pribadi. Kan, sudah ada banyak pekerja di sini dan di kantor juga ada sekretaris," ujar Evander."Tolong untuk kali ini jangan protes, Van. Papa enggak mau dengar penolakan." Nando yang merasa sedikit pusing, beranjak meninggalkan ruang kerjanya, menyisakan Florencia dan Evander yang terdiam."Karena lu udah terima pekerjaan ini, berarti mulai sekarang lu harus menuruti apa yang gue suruh!" kata Evander dengan tatapan mata tajamnya."Bawel!" sahut Florencia.Gadis itu terlihat baik-baik saja, tetapi di dalam hatinya dia merasa ragu untuk bisa menjalani hari-harinya ke depan sebagai seorang asisten pribadi dari pria yang super menyebalkan."Oh, God, help me, please. Semoga salah satu makhluk-Mu itu enggak membuat aku kerepotan," ucap Florencia di dalam hati."Oke, kita awali status lu sebagai asisten pribadi gue dengan menyiapkan makan siang. Bawa ke kamar gue karena gue lagi males makan di ruang makan." Evander bangkit dari duduk, lalu beranjak keluar."Huh, dasar nyebelin!" ucap Florencia dengan suara tertahan sambil mengepalkan tangannya."Heh, ngapain masih di situ? Buruan, gue lapar!" Tiba-tiba, Evander sudah berdiri di ambang pintu dan membuat Florencia sedikit kaget."Iya, iya. Bawel banget lu, Van!" "Eh, tunggu! Lu sebut gue apa tadi? Van? Gue ini majikan lu, jadi mulai sekarang panggil gue dengan sebutan Tuan Muda.""Sekarang gue tanya, usia lu berapa?" "Dua puluh empat tahun."Florencia tertawa mendengar jawaban dari Evander."Kenapa lu?" tanya Evander, merasa heran."Hadeeeh .. bocil ternyata.""Bocal-bocil aja lu. Emangnya, umur lu berapa?""Gue? Tiga puluh satu tahun."Kali ini, Evander yang tertawa terbahak-bahak setelah Florencia menjawab."Udah tua ternyata lu, ya. Gue pikir, kita seumuran. Umur segitu lu belum married?
Florencia menaiki tangga dengan perlahan-lahan, sedangkan Evander terus saja menghitung. Karena merasa high heels-nya mengganggu, Florencia meletakkan nampan yang dibawanya di anak tangga, lalu melepas sepatu berhak tinggi warna merah cabai itu. Kini, Florencia lebih leluasa berjalan dengan cepat."Empat puluh empat, empat puluh lima, empat puluh enam, empat puluh tujuh …." Evander menghitung dengan lebih cepat, membuat Florencia panik."Sabar, Tuan Mudaaa!" seru Florencia yang sudah tinggal beberapa anak tangga lagi harus dia tapaki."... Lima puluh satu, lima puluh dua, lima puluh tiga, lima puluh empat, lima puluh lima, lima puluh enam, lima puluh tujuh, li-ma pu-luh de-la-pan, li-ma pu-luh sem-bi-lan, e-nam pu—""Stop!" Dengan napas tersengal-sengal, Florencia akhirnya berhasil membawakan nampan berisi makan siang untuk Evander dalam waktu yang sudah ditentukan."Lama banget!" Evander berbalik badan, lalu melangkah masuk ke kamarnya."Loh, ini—""Bawa sini makanannya!" seru Evande
"Flo, nanti malam jadi, kan?""Jadi, dong. Eh, iya, si Rena mau ikut katanya.""Ajak aja, biar rame. Giliran lu yang bayarin, kan?""Iya, elaaah, anak sultan diremehin.""Anak sultan kalau di rumah. Di kantor, mah, kan, sama aja lu cuma karyawan biasa.""Dih! Diingetin lagi. Gue, kan, jadi enggak semangat kerja.""Lagian, Bokap-Nyokap lu aneh. Pemilik perusahaan besar, tapi malah nyuruh anaknya kerja di perusahaan lain. Sebagai karyawan biasa pula.""Dah, ah! Capek gue ngebahasnya. Sampe nih mulut berbusa juga jawabannya pasti sama. Biar gue enggak manja."Percakapan dua orang wanita bernama Florencia dan Hanna itu berakhir dengan permasalahan yang sama. Masalah yang belum terlihat jelas arah dan tujuannya, padahal sudah berlangsung selama dua tahun. Mereka pun kembali ke meja kerja masing-masing.Satu berkas lagi yang harus Florencia kerjakan sebelum jam pulang kantor yang hanya tinggal dua jam. Gadis cantik bermata indah itu mendadak bad mood karena partner yang sekaligus sahabat se
Florencia merasa frustasi, memikirkan nasib masa depannya. Dia terbiasa bergelimang harta, meskipun kedua orang tuanya tak memanjakan dia. Anak tunggal yang seharusnya menjadi kebanggaan, kini seakan-akan Florencia merasa menjadi anak yang tak berguna."Papiii! Tolong, Pi!" teriak Florencia ketika mobil mewahnya hendak diambil oleh pihak bank. Seorang pria bertubuh tinggi sedang tarik-menarik kunci mobil dengan gadis penyuka bunga tulip itu.Beberapa karyawan hanya bisa melirik ketika melihat pemandangan yang begitu miris tersebut. Karena tak mendapatkan respon dari sang Papi yang hanya melintas melewatinya tanpa menggubris teriakannya, Florencia pun meminta bantuan kepada satpam yang ada di dekatnya. Akan tetapi, satpam itu menolak dan sama saja tidak bisa berbuat apa-apa.Melihat Samuel yang berjalan makin jauh menuju gerbang kantor, Florencia akhirnya terpaksa merelakan mobilnya diambil, lalu mengejar sang Papi dengan heels 5 senti yang dikenakannya."Pi, tungguin Flo!" seru Floren
Florencia menaiki tangga dengan perlahan-lahan, sedangkan Evander terus saja menghitung. Karena merasa high heels-nya mengganggu, Florencia meletakkan nampan yang dibawanya di anak tangga, lalu melepas sepatu berhak tinggi warna merah cabai itu. Kini, Florencia lebih leluasa berjalan dengan cepat."Empat puluh empat, empat puluh lima, empat puluh enam, empat puluh tujuh …." Evander menghitung dengan lebih cepat, membuat Florencia panik."Sabar, Tuan Mudaaa!" seru Florencia yang sudah tinggal beberapa anak tangga lagi harus dia tapaki."... Lima puluh satu, lima puluh dua, lima puluh tiga, lima puluh empat, lima puluh lima, lima puluh enam, lima puluh tujuh, li-ma pu-luh de-la-pan, li-ma pu-luh sem-bi-lan, e-nam pu—""Stop!" Dengan napas tersengal-sengal, Florencia akhirnya berhasil membawakan nampan berisi makan siang untuk Evander dalam waktu yang sudah ditentukan."Lama banget!" Evander berbalik badan, lalu melangkah masuk ke kamarnya."Loh, ini—""Bawa sini makanannya!" seru Evande
"Oke, kita awali status lu sebagai asisten pribadi gue dengan menyiapkan makan siang. Bawa ke kamar gue karena gue lagi males makan di ruang makan." Evander bangkit dari duduk, lalu beranjak keluar."Huh, dasar nyebelin!" ucap Florencia dengan suara tertahan sambil mengepalkan tangannya."Heh, ngapain masih di situ? Buruan, gue lapar!" Tiba-tiba, Evander sudah berdiri di ambang pintu dan membuat Florencia sedikit kaget."Iya, iya. Bawel banget lu, Van!" "Eh, tunggu! Lu sebut gue apa tadi? Van? Gue ini majikan lu, jadi mulai sekarang panggil gue dengan sebutan Tuan Muda.""Sekarang gue tanya, usia lu berapa?" "Dua puluh empat tahun."Florencia tertawa mendengar jawaban dari Evander."Kenapa lu?" tanya Evander, merasa heran."Hadeeeh .. bocil ternyata.""Bocal-bocil aja lu. Emangnya, umur lu berapa?""Gue? Tiga puluh satu tahun."Kali ini, Evander yang tertawa terbahak-bahak setelah Florencia menjawab."Udah tua ternyata lu, ya. Gue pikir, kita seumuran. Umur segitu lu belum married?
Mobil yang ditumpangi oleh Florencia dan Nando mengerem mendadak karena teriakan gadis berbibir tipis itu."Maaf, Tuan. Saya kaget," ucap sopirnya Nando yang bernama Agus."Iya, enggak apa-apa, lanjut jalan, Pak," ujar Nando sambil melipat kedua tangannya di dada.Florencia merasa malu dan ketakutan itu pun makin menjadi-jadi ketika Nando melirik tajam ke arahnya. Gadis itu terdiam seribu bahasa. Setengah jam berlalu, mobil memasuki halaman sebuah rumah yang megah dan mewah. Agus bergegas membukakan pintu untuk Nando setelah mobil terparkir."Ayo!" titah Nando, meminta Florencia untuk turun dari mobil.Mata Florencia berkeliling memandang rumah bergaya klasik dengan nuansa kuning gading. Dia merasa heran karena yang ada di pikirannya ternyata salah. Antara senang dan sedih, bercampur kebingungan, berkecamuk di hatinya. Senang karena tidak dibawa ke hotel, tetapi juga sedih dan bingung sebab masih belum tahu apa pekerjaan yang akan Nando berikan."Om, kenapa kita ke sini?"Akhirnya, Flo
Florencia merasa frustasi, memikirkan nasib masa depannya. Dia terbiasa bergelimang harta, meskipun kedua orang tuanya tak memanjakan dia. Anak tunggal yang seharusnya menjadi kebanggaan, kini seakan-akan Florencia merasa menjadi anak yang tak berguna."Papiii! Tolong, Pi!" teriak Florencia ketika mobil mewahnya hendak diambil oleh pihak bank. Seorang pria bertubuh tinggi sedang tarik-menarik kunci mobil dengan gadis penyuka bunga tulip itu.Beberapa karyawan hanya bisa melirik ketika melihat pemandangan yang begitu miris tersebut. Karena tak mendapatkan respon dari sang Papi yang hanya melintas melewatinya tanpa menggubris teriakannya, Florencia pun meminta bantuan kepada satpam yang ada di dekatnya. Akan tetapi, satpam itu menolak dan sama saja tidak bisa berbuat apa-apa.Melihat Samuel yang berjalan makin jauh menuju gerbang kantor, Florencia akhirnya terpaksa merelakan mobilnya diambil, lalu mengejar sang Papi dengan heels 5 senti yang dikenakannya."Pi, tungguin Flo!" seru Floren
"Flo, nanti malam jadi, kan?""Jadi, dong. Eh, iya, si Rena mau ikut katanya.""Ajak aja, biar rame. Giliran lu yang bayarin, kan?""Iya, elaaah, anak sultan diremehin.""Anak sultan kalau di rumah. Di kantor, mah, kan, sama aja lu cuma karyawan biasa.""Dih! Diingetin lagi. Gue, kan, jadi enggak semangat kerja.""Lagian, Bokap-Nyokap lu aneh. Pemilik perusahaan besar, tapi malah nyuruh anaknya kerja di perusahaan lain. Sebagai karyawan biasa pula.""Dah, ah! Capek gue ngebahasnya. Sampe nih mulut berbusa juga jawabannya pasti sama. Biar gue enggak manja."Percakapan dua orang wanita bernama Florencia dan Hanna itu berakhir dengan permasalahan yang sama. Masalah yang belum terlihat jelas arah dan tujuannya, padahal sudah berlangsung selama dua tahun. Mereka pun kembali ke meja kerja masing-masing.Satu berkas lagi yang harus Florencia kerjakan sebelum jam pulang kantor yang hanya tinggal dua jam. Gadis cantik bermata indah itu mendadak bad mood karena partner yang sekaligus sahabat se