"Oke, kita awali status lu sebagai asisten pribadi gue dengan menyiapkan makan siang. Bawa ke kamar gue karena gue lagi males makan di ruang makan." Evander bangkit dari duduk, lalu beranjak keluar.
"Huh, dasar nyebelin!" ucap Florencia dengan suara tertahan sambil mengepalkan tangannya."Heh, ngapain masih di situ? Buruan, gue lapar!" Tiba-tiba, Evander sudah berdiri di ambang pintu dan membuat Florencia sedikit kaget."Iya, iya. Bawel banget lu, Van!""Eh, tunggu! Lu sebut gue apa tadi? Van? Gue ini majikan lu, jadi mulai sekarang panggil gue dengan sebutan Tuan Muda.""Sekarang gue tanya, usia lu berapa?""Dua puluh empat tahun."Florencia tertawa mendengar jawaban dari Evander."Kenapa lu?" tanya Evander, merasa heran."Hadeeeh .. bocil ternyata.""Bocal-bocil aja lu. Emangnya, umur lu berapa?""Gue? Tiga puluh satu tahun."Kali ini, Evander yang tertawa terbahak-bahak setelah Florencia menjawab."Udah tua ternyata lu, ya. Gue pikir, kita seumuran. Umur segitu lu belum married?" kata Evander."Umur boleh tua, tapi penampilan gue enggak kalah sama yang muda," sanggah Florencia sambil mengibaskan rambutnya. "Soal nikah, gue belum minat!"."Keburu habis stok cowok yang sebaya sama lu nanti." Evander kembali tertawa. "Hmmm, tapi panggilan untuk gue tetap berlaku. Lu harus panggil gue Tuan Muda.""Sumpah, ih, nih, cowok bawelnya minta ampun, ya, Tuhan … Iya, iya, Tuan Muda!" Florencia cemberut, lalu melangkah pergi meninggalkan ruang kerja Nando.Evander tersenyum tipis melihat kelakuan Florencia, lalu beranjak ke kamarnya.Sementara itu, Florencia menghampiri Bu Sundari--wanita paruh baya yang tadi menyuruh dia untuk masuk--yang sedang menata piring di meja makan."Bu, maaf, Tuan Muda minta saya untuk bawain makanannya ke kamar," kata Florencia dengan suara lembutnya."Tuan Muda? Maksud kamu, Den Evan? Sejak kapan dia mau makan di kamar?" sahut Bu Sundari.'Sialan! Kayaknya gue dikerjain sama, tuh, cowok nyebelin," batin Florencia."Tapi, dia memang nyuruh saya kayak gitu, Bu," jelas Florencia."Baiklah, kamu ambil nampan di dapur, lalu siapkan makanannya."Tanpa membantah, Florencia segera beranjak ke dapur untuk mengambil nampan. Dia mencari-cari nampan tersebut, tetapi setelah beberapa menit belum juga ketemu. Sampai terdengar suara dering telepon yang menempel di dinding dekat Florencia berdiri. Awalnya, dia ragu untuk mengangkat, hingga seorang perempuan yang mengenakan pakaian seragam yang sama dengan Bu Sundari menghampirinya."Maaf, kamu siapa?" tanya perempuan yang usianya sedikit lebih tua dari Florencia."Saya asisten pribadinya Tuan Muda," jawab Florencia."Tuan Muda? Maksudnya Den Evan? Soalnya, kalau Den Alan, kan, lagi enggak ada di Indonesia.""Ya, iya, dia. Itulah. Dia minta saya untuk manggil dengan sebutan Tuan Muda.""Oooh … eh, itu, ada telepon masuk, enggak diangkat?""Enggak berani. Takut salah, saya, kan, baru di sini." Mata Florencia masih fokus mencari nampan di lemari kaca yang berisi peralatan makan lengkap.Perempuan yang mengajak Florencia bicara itu pun bergegas menjawab panggilan telepon."Dengan Eli di sini, ada yang bisa saya bantu?""Mbak El, ini Evan. Apa kamu melihat seorang cewek yang pakai baju warna cream?""Oh, iya, dia ada di depan saya, Den Evan," jawab perempuan bernama Eli itu."Saya mau ngomong sama dia."Eli segera meminta Florencia untuk mendekat dan menyodorkan gagang telepon kepadanya."Ngapain?" Florencia berbisik dengan raut wajah bingung."Den Evan mau bicara, katanya."Gagang telepon itu pun akhirnya berpindah ke tangan Florencia."Ada apa, sih?" tanya Florencia dengan ketus."Yang sopan, dong, Mbak Flo. Gue ini Tuan Muda, loh. Majikan lu.""Huuuft!" Florencia menghela napas panjang. "Iya, ada apa, Tuan Muda?""Mana makan siang gue?! Gue sudah lapar!"Florencia merasa kesal, dia mengepalkan tangan, lalu menonjok pelan tembok di depannya."Sabar, ya, Tuan Muda, saya masih nyiapin makanannya.""Oke, saya tunggu. Lima belas menit belum siap juga, lihat saja, saya akan beri sanksi!" ancam Evander."Iya, baik, Tuan Muda." Florencia segera meletakkan gagang telepon di tempatnya dan panggilan pun terputus.Florencia akhirnya bertanya kepada Eli di mana letak nampan. Perempuan yang sedang mencuci perabotan dapur itu berkata kalau nampan berada di lemari kaca tempat Florencia mencari tadi."Enggak ada, loh, Mbak. Saya udah nyari," balas Florencia."Kamu yakin? Nampannya ada lima dan saya yang taruh semuanya di sana," ujar Eli yang masih fokus dengan pekerjaannya."Yakin, Mbak, saya udah cari di sana." Florencia sudah mulai merasa tidak sabar karena Eli dianggap hanya membuang-buang waktunya."Tolonglah bantu saya dulu, Mbak," pinta Florencia.Eli pun akhirnya mengakhiri kegiatannya sejenak, lalu beranjak mendekati lemari kaca yang tingginya melebihi tinggi badannya."Ini ada, loh." Eli mengambil salah satu nampan, lalu memberikannya kepada Florencia.'Aneh. Tadi enggak ada, padahal aku udah nyari di tempat yang sama. Ah, bodoamatlah!"Florencia bergegas kembali ke ruang makan setelah berterima kasih kepada Eli."Kok, lama banget, Flo?" tanya Bu Sundari yang sedang menuang susu putih ke gelas kristal panjang."Iya, Bu, baru ketemu nampannya," jawab Florencia sambil meletakkan nampan di meja."Ya, sudah, ayo siapin makanannya."Florencia mengangguk, lalu mengambil salah satu piring yang tadi disusun oleh Bu Sundari."Bu, rumah ini aku lihat sepi, hanya terlibat ada beberapa orang yang bekerja di sini aja. Penghuni rumahnya pada ke mana?" tanya Florencia di sela-sela tangannya menyiapkan makanan untuk Evander."Rumah ini memang sepi sejak kepergian Den Alan dan Nyonya ke luar negeri," jawab Bu Sundari dengan nada lirih."Loh, terus ini Ibu nyiapin semuanya untuk siapa?""Untuk para pekerja di sini, Flo. Para asisten rumah tangga, sopir, tukang kebun, setiap harinya makan siang bersama. Kadang bareng Den Evan dan Tuan Nando juga kalau mereka lagi ada di rumah.""Maaf, makan satu meja? Di sini?" Florencia seakan-akan tak percaya dengan apa yang didengarnya."Iya. Tuan Nando begitu baik dan kami di sini diperlakukan dengan sangat baik."Florencia mengangguk-angguk tanda mengerti dan salut atas sikap keluarga Nando."Flooo! Lima menit lagi!" Evander berteriak dari balkon di depan kamarnya.Florencia menengok ke atas dan melihat majikannya sedang melipat kedua tangannya di depan dada. Gadis itu pun mempercepat gerak tangannya. Baru saja hendak mengangkat nampan yang sudah berisi satu piring nasi putih, semangkuk soto Betawi, satu piring lauk yang terdiri dari perkedel, telur rebus, dan empal goreng, serta setoples kecil emping, Bu Sundari menghentikannya."Tunggu! Ini jangan sampai ketinggalan." Sundari meletakkan segelas susu yang tadi sudah disiapkan olehnya. "Den Evan sangat suka susu, jadi kamu jangan sampai lupa menyiapkannya saat pagi, siang, sore, malam, atau kapan saja Den Evan mau."Florencia lagi-lagi menghela napas panjang. Dia merasa ragu apakah akan sanggup menjalani pekerjaan yang Nando berikan atau tidak. Menurutnya, baru beberapa jam saja sudah sangat membuatnya lelah, apalagi jika terjadi selama berhari-hari."Gue hitung sampai enam puluh, kalau lu belum ke sini juga, liat aja!" Ancaman Evan membuyarkan lamunan Florencia dan gadis itu pun bergegas membawa nampan itu ke lantai atas.Florencia menaiki tangga dengan perlahan-lahan, sedangkan Evander terus saja menghitung. Karena merasa high heels-nya mengganggu, Florencia meletakkan nampan yang dibawanya di anak tangga, lalu melepas sepatu berhak tinggi warna merah cabai itu. Kini, Florencia lebih leluasa berjalan dengan cepat."Empat puluh empat, empat puluh lima, empat puluh enam, empat puluh tujuh …." Evander menghitung dengan lebih cepat, membuat Florencia panik."Sabar, Tuan Mudaaa!" seru Florencia yang sudah tinggal beberapa anak tangga lagi harus dia tapaki."... Lima puluh satu, lima puluh dua, lima puluh tiga, lima puluh empat, lima puluh lima, lima puluh enam, lima puluh tujuh, li-ma pu-luh de-la-pan, li-ma pu-luh sem-bi-lan, e-nam pu—""Stop!" Dengan napas tersengal-sengal, Florencia akhirnya berhasil membawakan nampan berisi makan siang untuk Evander dalam waktu yang sudah ditentukan."Lama banget!" Evander berbalik badan, lalu melangkah masuk ke kamarnya."Loh, ini—""Bawa sini makanannya!" seru Evande
"Flo, nanti malam jadi, kan?""Jadi, dong. Eh, iya, si Rena mau ikut katanya.""Ajak aja, biar rame. Giliran lu yang bayarin, kan?""Iya, elaaah, anak sultan diremehin.""Anak sultan kalau di rumah. Di kantor, mah, kan, sama aja lu cuma karyawan biasa.""Dih! Diingetin lagi. Gue, kan, jadi enggak semangat kerja.""Lagian, Bokap-Nyokap lu aneh. Pemilik perusahaan besar, tapi malah nyuruh anaknya kerja di perusahaan lain. Sebagai karyawan biasa pula.""Dah, ah! Capek gue ngebahasnya. Sampe nih mulut berbusa juga jawabannya pasti sama. Biar gue enggak manja."Percakapan dua orang wanita bernama Florencia dan Hanna itu berakhir dengan permasalahan yang sama. Masalah yang belum terlihat jelas arah dan tujuannya, padahal sudah berlangsung selama dua tahun. Mereka pun kembali ke meja kerja masing-masing.Satu berkas lagi yang harus Florencia kerjakan sebelum jam pulang kantor yang hanya tinggal dua jam. Gadis cantik bermata indah itu mendadak bad mood karena partner yang sekaligus sahabat se
Florencia merasa frustasi, memikirkan nasib masa depannya. Dia terbiasa bergelimang harta, meskipun kedua orang tuanya tak memanjakan dia. Anak tunggal yang seharusnya menjadi kebanggaan, kini seakan-akan Florencia merasa menjadi anak yang tak berguna."Papiii! Tolong, Pi!" teriak Florencia ketika mobil mewahnya hendak diambil oleh pihak bank. Seorang pria bertubuh tinggi sedang tarik-menarik kunci mobil dengan gadis penyuka bunga tulip itu.Beberapa karyawan hanya bisa melirik ketika melihat pemandangan yang begitu miris tersebut. Karena tak mendapatkan respon dari sang Papi yang hanya melintas melewatinya tanpa menggubris teriakannya, Florencia pun meminta bantuan kepada satpam yang ada di dekatnya. Akan tetapi, satpam itu menolak dan sama saja tidak bisa berbuat apa-apa.Melihat Samuel yang berjalan makin jauh menuju gerbang kantor, Florencia akhirnya terpaksa merelakan mobilnya diambil, lalu mengejar sang Papi dengan heels 5 senti yang dikenakannya."Pi, tungguin Flo!" seru Floren
Mobil yang ditumpangi oleh Florencia dan Nando mengerem mendadak karena teriakan gadis berbibir tipis itu."Maaf, Tuan. Saya kaget," ucap sopirnya Nando yang bernama Agus."Iya, enggak apa-apa, lanjut jalan, Pak," ujar Nando sambil melipat kedua tangannya di dada.Florencia merasa malu dan ketakutan itu pun makin menjadi-jadi ketika Nando melirik tajam ke arahnya. Gadis itu terdiam seribu bahasa. Setengah jam berlalu, mobil memasuki halaman sebuah rumah yang megah dan mewah. Agus bergegas membukakan pintu untuk Nando setelah mobil terparkir."Ayo!" titah Nando, meminta Florencia untuk turun dari mobil.Mata Florencia berkeliling memandang rumah bergaya klasik dengan nuansa kuning gading. Dia merasa heran karena yang ada di pikirannya ternyata salah. Antara senang dan sedih, bercampur kebingungan, berkecamuk di hatinya. Senang karena tidak dibawa ke hotel, tetapi juga sedih dan bingung sebab masih belum tahu apa pekerjaan yang akan Nando berikan."Om, kenapa kita ke sini?"Akhirnya, Flo
Florencia menaiki tangga dengan perlahan-lahan, sedangkan Evander terus saja menghitung. Karena merasa high heels-nya mengganggu, Florencia meletakkan nampan yang dibawanya di anak tangga, lalu melepas sepatu berhak tinggi warna merah cabai itu. Kini, Florencia lebih leluasa berjalan dengan cepat."Empat puluh empat, empat puluh lima, empat puluh enam, empat puluh tujuh …." Evander menghitung dengan lebih cepat, membuat Florencia panik."Sabar, Tuan Mudaaa!" seru Florencia yang sudah tinggal beberapa anak tangga lagi harus dia tapaki."... Lima puluh satu, lima puluh dua, lima puluh tiga, lima puluh empat, lima puluh lima, lima puluh enam, lima puluh tujuh, li-ma pu-luh de-la-pan, li-ma pu-luh sem-bi-lan, e-nam pu—""Stop!" Dengan napas tersengal-sengal, Florencia akhirnya berhasil membawakan nampan berisi makan siang untuk Evander dalam waktu yang sudah ditentukan."Lama banget!" Evander berbalik badan, lalu melangkah masuk ke kamarnya."Loh, ini—""Bawa sini makanannya!" seru Evande
"Oke, kita awali status lu sebagai asisten pribadi gue dengan menyiapkan makan siang. Bawa ke kamar gue karena gue lagi males makan di ruang makan." Evander bangkit dari duduk, lalu beranjak keluar."Huh, dasar nyebelin!" ucap Florencia dengan suara tertahan sambil mengepalkan tangannya."Heh, ngapain masih di situ? Buruan, gue lapar!" Tiba-tiba, Evander sudah berdiri di ambang pintu dan membuat Florencia sedikit kaget."Iya, iya. Bawel banget lu, Van!" "Eh, tunggu! Lu sebut gue apa tadi? Van? Gue ini majikan lu, jadi mulai sekarang panggil gue dengan sebutan Tuan Muda.""Sekarang gue tanya, usia lu berapa?" "Dua puluh empat tahun."Florencia tertawa mendengar jawaban dari Evander."Kenapa lu?" tanya Evander, merasa heran."Hadeeeh .. bocil ternyata.""Bocal-bocil aja lu. Emangnya, umur lu berapa?""Gue? Tiga puluh satu tahun."Kali ini, Evander yang tertawa terbahak-bahak setelah Florencia menjawab."Udah tua ternyata lu, ya. Gue pikir, kita seumuran. Umur segitu lu belum married?
Mobil yang ditumpangi oleh Florencia dan Nando mengerem mendadak karena teriakan gadis berbibir tipis itu."Maaf, Tuan. Saya kaget," ucap sopirnya Nando yang bernama Agus."Iya, enggak apa-apa, lanjut jalan, Pak," ujar Nando sambil melipat kedua tangannya di dada.Florencia merasa malu dan ketakutan itu pun makin menjadi-jadi ketika Nando melirik tajam ke arahnya. Gadis itu terdiam seribu bahasa. Setengah jam berlalu, mobil memasuki halaman sebuah rumah yang megah dan mewah. Agus bergegas membukakan pintu untuk Nando setelah mobil terparkir."Ayo!" titah Nando, meminta Florencia untuk turun dari mobil.Mata Florencia berkeliling memandang rumah bergaya klasik dengan nuansa kuning gading. Dia merasa heran karena yang ada di pikirannya ternyata salah. Antara senang dan sedih, bercampur kebingungan, berkecamuk di hatinya. Senang karena tidak dibawa ke hotel, tetapi juga sedih dan bingung sebab masih belum tahu apa pekerjaan yang akan Nando berikan."Om, kenapa kita ke sini?"Akhirnya, Flo
Florencia merasa frustasi, memikirkan nasib masa depannya. Dia terbiasa bergelimang harta, meskipun kedua orang tuanya tak memanjakan dia. Anak tunggal yang seharusnya menjadi kebanggaan, kini seakan-akan Florencia merasa menjadi anak yang tak berguna."Papiii! Tolong, Pi!" teriak Florencia ketika mobil mewahnya hendak diambil oleh pihak bank. Seorang pria bertubuh tinggi sedang tarik-menarik kunci mobil dengan gadis penyuka bunga tulip itu.Beberapa karyawan hanya bisa melirik ketika melihat pemandangan yang begitu miris tersebut. Karena tak mendapatkan respon dari sang Papi yang hanya melintas melewatinya tanpa menggubris teriakannya, Florencia pun meminta bantuan kepada satpam yang ada di dekatnya. Akan tetapi, satpam itu menolak dan sama saja tidak bisa berbuat apa-apa.Melihat Samuel yang berjalan makin jauh menuju gerbang kantor, Florencia akhirnya terpaksa merelakan mobilnya diambil, lalu mengejar sang Papi dengan heels 5 senti yang dikenakannya."Pi, tungguin Flo!" seru Floren
"Flo, nanti malam jadi, kan?""Jadi, dong. Eh, iya, si Rena mau ikut katanya.""Ajak aja, biar rame. Giliran lu yang bayarin, kan?""Iya, elaaah, anak sultan diremehin.""Anak sultan kalau di rumah. Di kantor, mah, kan, sama aja lu cuma karyawan biasa.""Dih! Diingetin lagi. Gue, kan, jadi enggak semangat kerja.""Lagian, Bokap-Nyokap lu aneh. Pemilik perusahaan besar, tapi malah nyuruh anaknya kerja di perusahaan lain. Sebagai karyawan biasa pula.""Dah, ah! Capek gue ngebahasnya. Sampe nih mulut berbusa juga jawabannya pasti sama. Biar gue enggak manja."Percakapan dua orang wanita bernama Florencia dan Hanna itu berakhir dengan permasalahan yang sama. Masalah yang belum terlihat jelas arah dan tujuannya, padahal sudah berlangsung selama dua tahun. Mereka pun kembali ke meja kerja masing-masing.Satu berkas lagi yang harus Florencia kerjakan sebelum jam pulang kantor yang hanya tinggal dua jam. Gadis cantik bermata indah itu mendadak bad mood karena partner yang sekaligus sahabat se