Florencia merasa frustasi, memikirkan nasib masa depannya. Dia terbiasa bergelimang harta, meskipun kedua orang tuanya tak memanjakan dia. Anak tunggal yang seharusnya menjadi kebanggaan, kini seakan-akan Florencia merasa menjadi anak yang tak berguna.
"Papiii! Tolong, Pi!" teriak Florencia ketika mobil mewahnya hendak diambil oleh pihak bank. Seorang pria bertubuh tinggi sedang tarik-menarik kunci mobil dengan gadis penyuka bunga tulip itu.Beberapa karyawan hanya bisa melirik ketika melihat pemandangan yang begitu miris tersebut. Karena tak mendapatkan respon dari sang Papi yang hanya melintas melewatinya tanpa menggubris teriakannya, Florencia pun meminta bantuan kepada satpam yang ada di dekatnya. Akan tetapi, satpam itu menolak dan sama saja tidak bisa berbuat apa-apa.Melihat Samuel yang berjalan makin jauh menuju gerbang kantor, Florencia akhirnya terpaksa merelakan mobilnya diambil, lalu mengejar sang Papi dengan heels 5 senti yang dikenakannya."Pi, tungguin Flo!" seru Florencia.Samuel pun menghentikan langkahnya, hingga sang anak sudah berjalan mensejajari dirinya."Pi, mobil Papi juga disita sama bank?" tanya Florencia dengan napas yang sedikit terengah-engah."Iya," jawab Samuel."Rumah? Kita masih punya rumah, kan, Pi? Kita enggak jatuh miskin banget, kan?""Rumah juga disita bank, Flo, tapi kamu tenang aja, kita akan tinggal di rumah kontrakan. Mami sudah beres-beres di sana.""What?! Rumah kontrakan?!""Iya."Ketika sudah berada di pinggir jalan, Samuel memberhentikan sebuah angkot."Kita naik angkot, Pi?" Florencia ragu-ragu untuk naik ketika Samuel sudah duduk persis di jok belakang sopir angkot."Ayo, naik! Kamu mau jalan kaki?"Dengan sangat terpaksa, Florencia masuk ke angkot tersebut dan duduk di samping sang Papi. Samuel membuka jasnya untuk menutupi paha anak gadisnya itu.Di dalam angkot, Florencia banyak mengeluh dan keringat sudah membasahi wajah hingga lehernya.Tiga orang penumpang yang berada di angkot tersebut merasa heran dengan tingkah laku Florencia. Gadis keras kepala itu pun melirik dengan sinis ke arah mereka.***"Are you serious, Pi? Sekarang kita tinggal di sini?" Florencia tak menyukai rumah yang sepuluh kali lebih kecil dari ukuran rumah lamanya yang mewah dan megah."Iya, kamar kamu yang di belakang. Sudah Mami rapikan, kamu bisa langsung istirahat," sahut Indira, maminya Florencia.Florencia pun beranjak ke sebuah kamar yang maminya tunjuk."Sempit banget, Mi. Mana engap dan panas," keluh Florencia sambil mengibas-ibaskan tangan di dekat wajahnya.Saat duduk di kasur yang tak seberapa empuk itu, ponsel Florencia berdering."Kenapa, Han?" tanya Florencia saat sambungan telepon sudah terhubung."Lu baik-baik aja, kan Flo? Akhirnya lu dipecat juga, Flo. Gimana, udah puas lu sekarang? Bokap lu reaksinya gimana? Pasti kasian, terus lu disuruh bantuin ngurus perusahaan aja, kan?" cecar Hanna."Bawel lu, ah! Oh, iya, malam ini kita enggak jadi pergi!" Florencia melempar ponselnya ke bantal.Dia benar-benar frustrasi atas apa yang tengah terjadi kepada keluarganya saat ini. Terlalu berat baginya jika mendadak harus hidup susah dan serba terbatas.Seketika Florencia bangkit dari duduk, lalu menyambar ponsel yang dia lempar tadi, serta dompet, lalu bergegas keluar."Mau ke mana, Flo?" tanya sang Papi."Mau ke ATM, ngambil duit. Flo mau nginep di hotel aja," jawabnya."Jangan, Flo. Lebih baik uangnya untuk kebutuhan sehari-hari.""Gerah, Pi. Gimana Flo bisa tidur coba?""Itu, kan, ada kipas angin.""Huft, kembung, deh." Florencia cemberut, lalu menghempaskan tubuhnya ke bangku. "Aw! Bahkan kursi aja terasa enggak nyaman." Florencia bangkit, kemudian kembali ke kamar.Keesokan paginya, Florencia bangun dalam keadaan kacau. Rambutnya yang panjang itu digelung, hal yang sebelumnya tak pernah dia lakukan ketika tidur. Setelah menyambar handuk, dia beranjak ke kamar mandi.Setelah rapi Florencia bergegas ke ruang tamu, menemui Papi dan maminya yang sedang sarapan."Pagi-pagi gini mau ke mana?" tanya Indira."Mau ke kantor temannya Papi. Siapa, Pi, kemarin namanya?" balas Florencia."Nando," jawab Samuel sekenanya."Nah, iya, Om Nando. Dah, ya, Flo berangkat.""Sarapan dulu, Mami udah beliin nasi uduk.""Hm, enggak mau, ah! Nanti mampir ke kafe aja."Dengan menggunakan taksi online, Florencia pun berangkat menuju alamat yang tertera di kartu nama yang Nando berikan kemarin.Mobil berhenti di depan lobi. Florencia membayar, lalu turun dan berjalan dengan begitu anggun. Setelah menghampiri resepsionis, Florencia pun akhirnya bisa bertemu dengan Nando di ruangannya."Silakan duduk, Flo," ujar Nando.Gadis cantik yang berpakaian dengan nuansa warna putih dan cream itu pun duduk di seberang Nando."Kamu yakin mau bekerja sama saya, Flo?" tanya Nando."Yakin, Om," jawab Florencia dengan mantap."Baiklah, ayo ikut saya!"Florencia menuruti Nando dan berjalan di sampingnya hingga ke luar kantor."Lho, Om, kita mau ke mana?" tanya Florencia ketika disuruh masuk ke BMW X6 berwarna hitam."Udah, kamu ikut aja.""Tapi, Om …."Nando masuk terlebih dahulu dan terpaksa Florencia pun ikut masuk dan duduk di sebelahnya. Mobil pun melaju dengan kecepatan yang lumayan kencang.Florencia merasa khawatir. Dia menerka-nerka hendak dibawa ke mana. Rasa takut mulai menyelimuti hatinya. Sejak tadi, Nando tak berbicara, hanya sibuk dengan ponsel yang berada di tangannya. Sementara itu, Florencia terus menerus berspekulasi dengan pikirannya sendiri. Dia masih belum bisa menebak tujuan mobil itu bergerak ke mana. Sampai pada akhirnya ….'Masa iya, Om Nando mau bawa gue ke ho—' Pikiran Florencia berkecamuk. Dia benar-benar takut. "Astaga!" Florencia menjerit.Mobil yang ditumpangi oleh Florencia dan Nando mengerem mendadak karena teriakan gadis berbibir tipis itu."Maaf, Tuan. Saya kaget," ucap sopirnya Nando yang bernama Agus."Iya, enggak apa-apa, lanjut jalan, Pak," ujar Nando sambil melipat kedua tangannya di dada.Florencia merasa malu dan ketakutan itu pun makin menjadi-jadi ketika Nando melirik tajam ke arahnya. Gadis itu terdiam seribu bahasa. Setengah jam berlalu, mobil memasuki halaman sebuah rumah yang megah dan mewah. Agus bergegas membukakan pintu untuk Nando setelah mobil terparkir."Ayo!" titah Nando, meminta Florencia untuk turun dari mobil.Mata Florencia berkeliling memandang rumah bergaya klasik dengan nuansa kuning gading. Dia merasa heran karena yang ada di pikirannya ternyata salah. Antara senang dan sedih, bercampur kebingungan, berkecamuk di hatinya. Senang karena tidak dibawa ke hotel, tetapi juga sedih dan bingung sebab masih belum tahu apa pekerjaan yang akan Nando berikan."Om, kenapa kita ke sini?"Akhirnya, Flo
"Oke, kita awali status lu sebagai asisten pribadi gue dengan menyiapkan makan siang. Bawa ke kamar gue karena gue lagi males makan di ruang makan." Evander bangkit dari duduk, lalu beranjak keluar."Huh, dasar nyebelin!" ucap Florencia dengan suara tertahan sambil mengepalkan tangannya."Heh, ngapain masih di situ? Buruan, gue lapar!" Tiba-tiba, Evander sudah berdiri di ambang pintu dan membuat Florencia sedikit kaget."Iya, iya. Bawel banget lu, Van!" "Eh, tunggu! Lu sebut gue apa tadi? Van? Gue ini majikan lu, jadi mulai sekarang panggil gue dengan sebutan Tuan Muda.""Sekarang gue tanya, usia lu berapa?" "Dua puluh empat tahun."Florencia tertawa mendengar jawaban dari Evander."Kenapa lu?" tanya Evander, merasa heran."Hadeeeh .. bocil ternyata.""Bocal-bocil aja lu. Emangnya, umur lu berapa?""Gue? Tiga puluh satu tahun."Kali ini, Evander yang tertawa terbahak-bahak setelah Florencia menjawab."Udah tua ternyata lu, ya. Gue pikir, kita seumuran. Umur segitu lu belum married?
Florencia menaiki tangga dengan perlahan-lahan, sedangkan Evander terus saja menghitung. Karena merasa high heels-nya mengganggu, Florencia meletakkan nampan yang dibawanya di anak tangga, lalu melepas sepatu berhak tinggi warna merah cabai itu. Kini, Florencia lebih leluasa berjalan dengan cepat."Empat puluh empat, empat puluh lima, empat puluh enam, empat puluh tujuh …." Evander menghitung dengan lebih cepat, membuat Florencia panik."Sabar, Tuan Mudaaa!" seru Florencia yang sudah tinggal beberapa anak tangga lagi harus dia tapaki."... Lima puluh satu, lima puluh dua, lima puluh tiga, lima puluh empat, lima puluh lima, lima puluh enam, lima puluh tujuh, li-ma pu-luh de-la-pan, li-ma pu-luh sem-bi-lan, e-nam pu—""Stop!" Dengan napas tersengal-sengal, Florencia akhirnya berhasil membawakan nampan berisi makan siang untuk Evander dalam waktu yang sudah ditentukan."Lama banget!" Evander berbalik badan, lalu melangkah masuk ke kamarnya."Loh, ini—""Bawa sini makanannya!" seru Evande
"Flo, nanti malam jadi, kan?""Jadi, dong. Eh, iya, si Rena mau ikut katanya.""Ajak aja, biar rame. Giliran lu yang bayarin, kan?""Iya, elaaah, anak sultan diremehin.""Anak sultan kalau di rumah. Di kantor, mah, kan, sama aja lu cuma karyawan biasa.""Dih! Diingetin lagi. Gue, kan, jadi enggak semangat kerja.""Lagian, Bokap-Nyokap lu aneh. Pemilik perusahaan besar, tapi malah nyuruh anaknya kerja di perusahaan lain. Sebagai karyawan biasa pula.""Dah, ah! Capek gue ngebahasnya. Sampe nih mulut berbusa juga jawabannya pasti sama. Biar gue enggak manja."Percakapan dua orang wanita bernama Florencia dan Hanna itu berakhir dengan permasalahan yang sama. Masalah yang belum terlihat jelas arah dan tujuannya, padahal sudah berlangsung selama dua tahun. Mereka pun kembali ke meja kerja masing-masing.Satu berkas lagi yang harus Florencia kerjakan sebelum jam pulang kantor yang hanya tinggal dua jam. Gadis cantik bermata indah itu mendadak bad mood karena partner yang sekaligus sahabat se
Florencia menaiki tangga dengan perlahan-lahan, sedangkan Evander terus saja menghitung. Karena merasa high heels-nya mengganggu, Florencia meletakkan nampan yang dibawanya di anak tangga, lalu melepas sepatu berhak tinggi warna merah cabai itu. Kini, Florencia lebih leluasa berjalan dengan cepat."Empat puluh empat, empat puluh lima, empat puluh enam, empat puluh tujuh …." Evander menghitung dengan lebih cepat, membuat Florencia panik."Sabar, Tuan Mudaaa!" seru Florencia yang sudah tinggal beberapa anak tangga lagi harus dia tapaki."... Lima puluh satu, lima puluh dua, lima puluh tiga, lima puluh empat, lima puluh lima, lima puluh enam, lima puluh tujuh, li-ma pu-luh de-la-pan, li-ma pu-luh sem-bi-lan, e-nam pu—""Stop!" Dengan napas tersengal-sengal, Florencia akhirnya berhasil membawakan nampan berisi makan siang untuk Evander dalam waktu yang sudah ditentukan."Lama banget!" Evander berbalik badan, lalu melangkah masuk ke kamarnya."Loh, ini—""Bawa sini makanannya!" seru Evande
"Oke, kita awali status lu sebagai asisten pribadi gue dengan menyiapkan makan siang. Bawa ke kamar gue karena gue lagi males makan di ruang makan." Evander bangkit dari duduk, lalu beranjak keluar."Huh, dasar nyebelin!" ucap Florencia dengan suara tertahan sambil mengepalkan tangannya."Heh, ngapain masih di situ? Buruan, gue lapar!" Tiba-tiba, Evander sudah berdiri di ambang pintu dan membuat Florencia sedikit kaget."Iya, iya. Bawel banget lu, Van!" "Eh, tunggu! Lu sebut gue apa tadi? Van? Gue ini majikan lu, jadi mulai sekarang panggil gue dengan sebutan Tuan Muda.""Sekarang gue tanya, usia lu berapa?" "Dua puluh empat tahun."Florencia tertawa mendengar jawaban dari Evander."Kenapa lu?" tanya Evander, merasa heran."Hadeeeh .. bocil ternyata.""Bocal-bocil aja lu. Emangnya, umur lu berapa?""Gue? Tiga puluh satu tahun."Kali ini, Evander yang tertawa terbahak-bahak setelah Florencia menjawab."Udah tua ternyata lu, ya. Gue pikir, kita seumuran. Umur segitu lu belum married?
Mobil yang ditumpangi oleh Florencia dan Nando mengerem mendadak karena teriakan gadis berbibir tipis itu."Maaf, Tuan. Saya kaget," ucap sopirnya Nando yang bernama Agus."Iya, enggak apa-apa, lanjut jalan, Pak," ujar Nando sambil melipat kedua tangannya di dada.Florencia merasa malu dan ketakutan itu pun makin menjadi-jadi ketika Nando melirik tajam ke arahnya. Gadis itu terdiam seribu bahasa. Setengah jam berlalu, mobil memasuki halaman sebuah rumah yang megah dan mewah. Agus bergegas membukakan pintu untuk Nando setelah mobil terparkir."Ayo!" titah Nando, meminta Florencia untuk turun dari mobil.Mata Florencia berkeliling memandang rumah bergaya klasik dengan nuansa kuning gading. Dia merasa heran karena yang ada di pikirannya ternyata salah. Antara senang dan sedih, bercampur kebingungan, berkecamuk di hatinya. Senang karena tidak dibawa ke hotel, tetapi juga sedih dan bingung sebab masih belum tahu apa pekerjaan yang akan Nando berikan."Om, kenapa kita ke sini?"Akhirnya, Flo
Florencia merasa frustasi, memikirkan nasib masa depannya. Dia terbiasa bergelimang harta, meskipun kedua orang tuanya tak memanjakan dia. Anak tunggal yang seharusnya menjadi kebanggaan, kini seakan-akan Florencia merasa menjadi anak yang tak berguna."Papiii! Tolong, Pi!" teriak Florencia ketika mobil mewahnya hendak diambil oleh pihak bank. Seorang pria bertubuh tinggi sedang tarik-menarik kunci mobil dengan gadis penyuka bunga tulip itu.Beberapa karyawan hanya bisa melirik ketika melihat pemandangan yang begitu miris tersebut. Karena tak mendapatkan respon dari sang Papi yang hanya melintas melewatinya tanpa menggubris teriakannya, Florencia pun meminta bantuan kepada satpam yang ada di dekatnya. Akan tetapi, satpam itu menolak dan sama saja tidak bisa berbuat apa-apa.Melihat Samuel yang berjalan makin jauh menuju gerbang kantor, Florencia akhirnya terpaksa merelakan mobilnya diambil, lalu mengejar sang Papi dengan heels 5 senti yang dikenakannya."Pi, tungguin Flo!" seru Floren
"Flo, nanti malam jadi, kan?""Jadi, dong. Eh, iya, si Rena mau ikut katanya.""Ajak aja, biar rame. Giliran lu yang bayarin, kan?""Iya, elaaah, anak sultan diremehin.""Anak sultan kalau di rumah. Di kantor, mah, kan, sama aja lu cuma karyawan biasa.""Dih! Diingetin lagi. Gue, kan, jadi enggak semangat kerja.""Lagian, Bokap-Nyokap lu aneh. Pemilik perusahaan besar, tapi malah nyuruh anaknya kerja di perusahaan lain. Sebagai karyawan biasa pula.""Dah, ah! Capek gue ngebahasnya. Sampe nih mulut berbusa juga jawabannya pasti sama. Biar gue enggak manja."Percakapan dua orang wanita bernama Florencia dan Hanna itu berakhir dengan permasalahan yang sama. Masalah yang belum terlihat jelas arah dan tujuannya, padahal sudah berlangsung selama dua tahun. Mereka pun kembali ke meja kerja masing-masing.Satu berkas lagi yang harus Florencia kerjakan sebelum jam pulang kantor yang hanya tinggal dua jam. Gadis cantik bermata indah itu mendadak bad mood karena partner yang sekaligus sahabat se