"Flo, nanti malam jadi, kan?"
"Jadi, dong. Eh, iya, si Rena mau ikut katanya.""Ajak aja, biar rame. Giliran lu yang bayarin, kan?""Iya, elaaah, anak sultan diremehin.""Anak sultan kalau di rumah. Di kantor, mah, kan, sama aja lu cuma karyawan biasa.""Dih! Diingetin lagi. Gue, kan, jadi enggak semangat kerja.""Lagian, Bokap-Nyokap lu aneh. Pemilik perusahaan besar, tapi malah nyuruh anaknya kerja di perusahaan lain. Sebagai karyawan biasa pula.""Dah, ah! Capek gue ngebahasnya. Sampe nih mulut berbusa juga jawabannya pasti sama. Biar gue enggak manja."Percakapan dua orang wanita bernama Florencia dan Hanna itu berakhir dengan permasalahan yang sama. Masalah yang belum terlihat jelas arah dan tujuannya, padahal sudah berlangsung selama dua tahun. Mereka pun kembali ke meja kerja masing-masing.Satu berkas lagi yang harus Florencia kerjakan sebelum jam pulang kantor yang hanya tinggal dua jam. Gadis cantik bermata indah itu mendadak bad mood karena partner yang sekaligus sahabat sejak SMA tadi membahas mengenai dirinya yang seperti anak terbuang."Aaah! Jadi enggak konsen," ucap Florencia sambil menutup file holder berwarna biru dan menghempaskan ke tumpukan map lainnya.Florencia bangkit dari bangku kerjanya, lalu meraih tas dan beranjak keluar dari ruangan."Flo!" Suara bariton yang teramat Florencia kenali itu membuatnya menghentikan langkah dan berbalik badan perlahan-lahan."Ya, Pak?""Mau ke mana? Belum juga jam empat," ujar Joni, yang tak lain adalah atasan Florencia."Maaf, Pak, saya lagi kurang enak badan. Saya izin pulang duluan, ya," jawab Florencia dengan memasang wajah yang mengiba."Ya, sudah. Lain kali, izin dulu, baru pulang." Joni menggeleng, lalu meninggalkan Florencia yang ekspresi wajahnya berubah masam."Huuuh! Kirain gue bakal dipecat," gumam Florencia.Sudah beberapa kali gadis berambut lurus panjang itu berbuat kesalahan dengan harapan akan dikeluarkan dari perusahaan agar sang Papi merasa kasihan, tetapi ternyata sia-sia. Selalu saja perbuatannya itu dimaklumi.Florencia mengendarai Mercy berwarna putih dengan kecepatan yang cukup kencang menuju PT. Orbit Sinar Abadi, yaitu perusahaan milik Samuel Kamael, papinya. Dia ingin mengeluhkan hal yang mulai dirasa tak adil baginya.Begitu mobilnya berhenti di depan lobi, Florencia langsung turun dan menyerahkan kunci kepada salah seorang satpam dan meminta untuk memarkirkan mobilnya.Florencia berjalan dengan agak cepat memasuki lift menuju ruangan papinya yang berada di lantai 5. Semua orang yang berpapasan dan menegur, tak ada yang digubris olehnya. Sifat Florencia yang sedikit keras kepala itu memang membuat dia menjadi tampak sombong di mata orang yang baru mengenalnya."Papi, aku mau protes!" Florencia ngeloyor masuk ke ruangan kerja Samuel tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sementara sang Papi sedang menerima tamu penting.Langkah Florencia sempat terhenti kala melihat sang Papi menunjukkan ekspresi wajah sedih sambil memegangi dadanya yang sebelah kiri."Pi, Papi kenapa?" Florencia bergegas menghampiri Samuel dengan panik."Papi bangkrut, Flo. Utang Papi di bank, jatuh tempo semua," jawab Samuel dengan nada terbata-bata."Utang? Papi punya utang?""Iya. Dan sekarang, perusahaan ini sudah menjadi milik saya. Seluruh sahamnya saya beli untuk membantu Papi kamu melunasi utangnya," sahut seorang pria yang sejak tadi duduk di seberang Samuel."Om ini siapa?""Nama saya Nando. Saya adalah kawan lama papimu.""Om, tolong kasih saya waktu buat membeli kembali perusahaan ini," pinta Florencia dengan wajah memelas.Belum sempat Nando menjawab, ponsel Florencia berdering. Gadis itu segera meraih benda tersebut dari dalam tas."Pak Joni?" gumam Florencia.Florencia menerima panggilan tersebut dan terkejut ketika langsung mendengar suara kencang Joni dari seberang sana."Flooo! Kamu belum menyelesaikan berkas untuk rapat saya besok pagi?!" bentak Joni. Florencia refleks menutup telinga."Aduh, sial! Kenapa mesti berkas yang itu, sih, yang belum gue kerjain," ucap Florencia dengan nada berbisik."Apa?!""Eh, enggak apa-apa, Pak. Maaf, ya, saya janji besok akan datang lebih awal untuk nyelesain. Subuh kalau perlu.""Enggak perlu. Kamu saya pecat!""Loh, kok, dipecat? Oke, saya balik lagi ke kantor sekarang, Pak.""No! Saya sudah menyuruh Hanna untuk mengerjakan. Uang pesangon kamu akan ditransfer barengan dengan gaji bulan ini.""Yaelah, saya juga sebenernya udah muak kerja di sana. Makasih udah pecat saya, Pak. Ditunggu transferannya!" Florencia memutuskan sambungan telepon dengan kesal."Kamu dipecat, Flo?" tanya Samuel yang masih memegangi dadanya dengan makin erat."Iya, Pi, tapi Papi tenang aja, Flo akan cari kerja lagi dan pasti nanti di tempat yang baru bisa dapat jabatan yang lebih bagus." Florencia berusaha meyakinkan papinya dengan penuh percaya diri.Florencia memang manja dan sedikit angkuh, tetapi kalau mengenai kinerja, sarjana lulusan universitas di Australia itu sebenarnya sangat bermutu. Hanya saja, memang jika mood-nya sedang anjlok, ambyar sudah."Hm, bagaimana kalau kamu bekerja sama saya?" Pertanyaan dari Nando itu membuat Florencia menoleh dengan cepat ke arahnya."Serius, Om? Saya mau. Kerja di perusahaan Om yang mana?" cecar Florencia.Nando tertawa ringan."Aku salut dengan semangat anakmu ini, Sam. Sepertinya dia memang cocok untuk pekerjaan yang akan aku berikan," ujar Nando sambil mengambil kartu nama di dompetnya dan meletakkannya di meja kerja Samuel. "Kamu bisa datang ke kantor saya besok pagi," lanjutnya.Florencia mengambil kartu nama itu sambil tersenyum.Nando pamit, lalu beranjak pergi meninggalkan Samuel dan Florencia di ruangan kerja yang esok hari sudah bukan lagi menjadi milik mereka.Florencia merasa frustasi, memikirkan nasib masa depannya. Dia terbiasa bergelimang harta, meskipun kedua orang tuanya tak memanjakan dia. Anak tunggal yang seharusnya menjadi kebanggaan, kini seakan-akan Florencia merasa menjadi anak yang tak berguna."Papiii! Tolong, Pi!" teriak Florencia ketika mobil mewahnya hendak diambil oleh pihak bank. Seorang pria bertubuh tinggi sedang tarik-menarik kunci mobil dengan gadis penyuka bunga tulip itu.Beberapa karyawan hanya bisa melirik ketika melihat pemandangan yang begitu miris tersebut. Karena tak mendapatkan respon dari sang Papi yang hanya melintas melewatinya tanpa menggubris teriakannya, Florencia pun meminta bantuan kepada satpam yang ada di dekatnya. Akan tetapi, satpam itu menolak dan sama saja tidak bisa berbuat apa-apa.Melihat Samuel yang berjalan makin jauh menuju gerbang kantor, Florencia akhirnya terpaksa merelakan mobilnya diambil, lalu mengejar sang Papi dengan heels 5 senti yang dikenakannya."Pi, tungguin Flo!" seru Floren
Mobil yang ditumpangi oleh Florencia dan Nando mengerem mendadak karena teriakan gadis berbibir tipis itu."Maaf, Tuan. Saya kaget," ucap sopirnya Nando yang bernama Agus."Iya, enggak apa-apa, lanjut jalan, Pak," ujar Nando sambil melipat kedua tangannya di dada.Florencia merasa malu dan ketakutan itu pun makin menjadi-jadi ketika Nando melirik tajam ke arahnya. Gadis itu terdiam seribu bahasa. Setengah jam berlalu, mobil memasuki halaman sebuah rumah yang megah dan mewah. Agus bergegas membukakan pintu untuk Nando setelah mobil terparkir."Ayo!" titah Nando, meminta Florencia untuk turun dari mobil.Mata Florencia berkeliling memandang rumah bergaya klasik dengan nuansa kuning gading. Dia merasa heran karena yang ada di pikirannya ternyata salah. Antara senang dan sedih, bercampur kebingungan, berkecamuk di hatinya. Senang karena tidak dibawa ke hotel, tetapi juga sedih dan bingung sebab masih belum tahu apa pekerjaan yang akan Nando berikan."Om, kenapa kita ke sini?"Akhirnya, Flo
"Oke, kita awali status lu sebagai asisten pribadi gue dengan menyiapkan makan siang. Bawa ke kamar gue karena gue lagi males makan di ruang makan." Evander bangkit dari duduk, lalu beranjak keluar."Huh, dasar nyebelin!" ucap Florencia dengan suara tertahan sambil mengepalkan tangannya."Heh, ngapain masih di situ? Buruan, gue lapar!" Tiba-tiba, Evander sudah berdiri di ambang pintu dan membuat Florencia sedikit kaget."Iya, iya. Bawel banget lu, Van!" "Eh, tunggu! Lu sebut gue apa tadi? Van? Gue ini majikan lu, jadi mulai sekarang panggil gue dengan sebutan Tuan Muda.""Sekarang gue tanya, usia lu berapa?" "Dua puluh empat tahun."Florencia tertawa mendengar jawaban dari Evander."Kenapa lu?" tanya Evander, merasa heran."Hadeeeh .. bocil ternyata.""Bocal-bocil aja lu. Emangnya, umur lu berapa?""Gue? Tiga puluh satu tahun."Kali ini, Evander yang tertawa terbahak-bahak setelah Florencia menjawab."Udah tua ternyata lu, ya. Gue pikir, kita seumuran. Umur segitu lu belum married?
Florencia menaiki tangga dengan perlahan-lahan, sedangkan Evander terus saja menghitung. Karena merasa high heels-nya mengganggu, Florencia meletakkan nampan yang dibawanya di anak tangga, lalu melepas sepatu berhak tinggi warna merah cabai itu. Kini, Florencia lebih leluasa berjalan dengan cepat."Empat puluh empat, empat puluh lima, empat puluh enam, empat puluh tujuh …." Evander menghitung dengan lebih cepat, membuat Florencia panik."Sabar, Tuan Mudaaa!" seru Florencia yang sudah tinggal beberapa anak tangga lagi harus dia tapaki."... Lima puluh satu, lima puluh dua, lima puluh tiga, lima puluh empat, lima puluh lima, lima puluh enam, lima puluh tujuh, li-ma pu-luh de-la-pan, li-ma pu-luh sem-bi-lan, e-nam pu—""Stop!" Dengan napas tersengal-sengal, Florencia akhirnya berhasil membawakan nampan berisi makan siang untuk Evander dalam waktu yang sudah ditentukan."Lama banget!" Evander berbalik badan, lalu melangkah masuk ke kamarnya."Loh, ini—""Bawa sini makanannya!" seru Evande
Florencia menaiki tangga dengan perlahan-lahan, sedangkan Evander terus saja menghitung. Karena merasa high heels-nya mengganggu, Florencia meletakkan nampan yang dibawanya di anak tangga, lalu melepas sepatu berhak tinggi warna merah cabai itu. Kini, Florencia lebih leluasa berjalan dengan cepat."Empat puluh empat, empat puluh lima, empat puluh enam, empat puluh tujuh …." Evander menghitung dengan lebih cepat, membuat Florencia panik."Sabar, Tuan Mudaaa!" seru Florencia yang sudah tinggal beberapa anak tangga lagi harus dia tapaki."... Lima puluh satu, lima puluh dua, lima puluh tiga, lima puluh empat, lima puluh lima, lima puluh enam, lima puluh tujuh, li-ma pu-luh de-la-pan, li-ma pu-luh sem-bi-lan, e-nam pu—""Stop!" Dengan napas tersengal-sengal, Florencia akhirnya berhasil membawakan nampan berisi makan siang untuk Evander dalam waktu yang sudah ditentukan."Lama banget!" Evander berbalik badan, lalu melangkah masuk ke kamarnya."Loh, ini—""Bawa sini makanannya!" seru Evande
"Oke, kita awali status lu sebagai asisten pribadi gue dengan menyiapkan makan siang. Bawa ke kamar gue karena gue lagi males makan di ruang makan." Evander bangkit dari duduk, lalu beranjak keluar."Huh, dasar nyebelin!" ucap Florencia dengan suara tertahan sambil mengepalkan tangannya."Heh, ngapain masih di situ? Buruan, gue lapar!" Tiba-tiba, Evander sudah berdiri di ambang pintu dan membuat Florencia sedikit kaget."Iya, iya. Bawel banget lu, Van!" "Eh, tunggu! Lu sebut gue apa tadi? Van? Gue ini majikan lu, jadi mulai sekarang panggil gue dengan sebutan Tuan Muda.""Sekarang gue tanya, usia lu berapa?" "Dua puluh empat tahun."Florencia tertawa mendengar jawaban dari Evander."Kenapa lu?" tanya Evander, merasa heran."Hadeeeh .. bocil ternyata.""Bocal-bocil aja lu. Emangnya, umur lu berapa?""Gue? Tiga puluh satu tahun."Kali ini, Evander yang tertawa terbahak-bahak setelah Florencia menjawab."Udah tua ternyata lu, ya. Gue pikir, kita seumuran. Umur segitu lu belum married?
Mobil yang ditumpangi oleh Florencia dan Nando mengerem mendadak karena teriakan gadis berbibir tipis itu."Maaf, Tuan. Saya kaget," ucap sopirnya Nando yang bernama Agus."Iya, enggak apa-apa, lanjut jalan, Pak," ujar Nando sambil melipat kedua tangannya di dada.Florencia merasa malu dan ketakutan itu pun makin menjadi-jadi ketika Nando melirik tajam ke arahnya. Gadis itu terdiam seribu bahasa. Setengah jam berlalu, mobil memasuki halaman sebuah rumah yang megah dan mewah. Agus bergegas membukakan pintu untuk Nando setelah mobil terparkir."Ayo!" titah Nando, meminta Florencia untuk turun dari mobil.Mata Florencia berkeliling memandang rumah bergaya klasik dengan nuansa kuning gading. Dia merasa heran karena yang ada di pikirannya ternyata salah. Antara senang dan sedih, bercampur kebingungan, berkecamuk di hatinya. Senang karena tidak dibawa ke hotel, tetapi juga sedih dan bingung sebab masih belum tahu apa pekerjaan yang akan Nando berikan."Om, kenapa kita ke sini?"Akhirnya, Flo
Florencia merasa frustasi, memikirkan nasib masa depannya. Dia terbiasa bergelimang harta, meskipun kedua orang tuanya tak memanjakan dia. Anak tunggal yang seharusnya menjadi kebanggaan, kini seakan-akan Florencia merasa menjadi anak yang tak berguna."Papiii! Tolong, Pi!" teriak Florencia ketika mobil mewahnya hendak diambil oleh pihak bank. Seorang pria bertubuh tinggi sedang tarik-menarik kunci mobil dengan gadis penyuka bunga tulip itu.Beberapa karyawan hanya bisa melirik ketika melihat pemandangan yang begitu miris tersebut. Karena tak mendapatkan respon dari sang Papi yang hanya melintas melewatinya tanpa menggubris teriakannya, Florencia pun meminta bantuan kepada satpam yang ada di dekatnya. Akan tetapi, satpam itu menolak dan sama saja tidak bisa berbuat apa-apa.Melihat Samuel yang berjalan makin jauh menuju gerbang kantor, Florencia akhirnya terpaksa merelakan mobilnya diambil, lalu mengejar sang Papi dengan heels 5 senti yang dikenakannya."Pi, tungguin Flo!" seru Floren
"Flo, nanti malam jadi, kan?""Jadi, dong. Eh, iya, si Rena mau ikut katanya.""Ajak aja, biar rame. Giliran lu yang bayarin, kan?""Iya, elaaah, anak sultan diremehin.""Anak sultan kalau di rumah. Di kantor, mah, kan, sama aja lu cuma karyawan biasa.""Dih! Diingetin lagi. Gue, kan, jadi enggak semangat kerja.""Lagian, Bokap-Nyokap lu aneh. Pemilik perusahaan besar, tapi malah nyuruh anaknya kerja di perusahaan lain. Sebagai karyawan biasa pula.""Dah, ah! Capek gue ngebahasnya. Sampe nih mulut berbusa juga jawabannya pasti sama. Biar gue enggak manja."Percakapan dua orang wanita bernama Florencia dan Hanna itu berakhir dengan permasalahan yang sama. Masalah yang belum terlihat jelas arah dan tujuannya, padahal sudah berlangsung selama dua tahun. Mereka pun kembali ke meja kerja masing-masing.Satu berkas lagi yang harus Florencia kerjakan sebelum jam pulang kantor yang hanya tinggal dua jam. Gadis cantik bermata indah itu mendadak bad mood karena partner yang sekaligus sahabat se