Nazwa membelalak. "Da-dari mana kamu dapat foto itu, Mas?" "Nggak penting aku dapat foto ini dari mana." Reza menggeleng. "Jadi dari tadi kamu lama karena asyik berduaan sama laki-laki ini? Siapa dia?!" Reza menatap Nazwa penuh intimidasi. Matanya berkilat-kilat marah. Nazwa membalas dengan pandangan tak percaya. "Tega sekali kamu menuduhku seperti itu, Mas? Harusnya kamu tahu gimana sifat istrimu." "Aku tanya siapa dia?!" Suara Reza makin meninggi dan terdengar menakutkan. Nazwa ingin menangis. Sesak rasa dadanya melihat sikap suaminya barusan. Meski begitu, dia tetap berusaha menjelaskan. Karena jika tidak, yang ada suaminya makin marah. "Dia cuman teman lamaku, Mas. Kami bertemu di seminar tadi. Sama sepertiku, dia juga diundang jadi pembicara. Aku sama dia tadi cuma ngobrol sebentar." "Ngobrol apa harus pegangan tangan kayak gini?!" "Dia nolongin aku yang mau jatuh, Mas. Itu doang, nggak lebih. Aku juga nggak punya niatan buruk seperti yang kamu tuduhkan. Dia pun tahu aku uda
Entah sudah berapa lama Nazwa menangis dan jatuh tertidur ketika dia mendengar sayup-sayup suara membangunkannya. "Nazwa, Sayang ... bangun dulu, yuk ...." Nazwa membuka mata perlahan. Mata wanita itu menyipit kemudian mengerjap-ngerjap untuk memperjelas pandangan. Wajah suaminya tengah tersenyum terpampang di hadapannya. Nazwa pun menegakkan posisi duduknya, bersandar di pinggir tempat tidur. "Mas ...." Dia spontan menjauhkan tubuhnya dan menatap suaminya takut-takut. Dia melarikan tangan ketika Reza memegangnya. Reza pun mengerti. "Nggak usah takut-takut gitu, Sayang, aku nggak marah lagi, kok." Reza tersenyum meyakinkan. Nazwa diam memerhatikan suaminya. Dia merasa aneh dengan sikap suaminya. Dia masih ingat jelas bagaimana tadi kasarnya Reza ketika marah. Lalu tiba-tiba kenapa berubah baik dalam sekajap? "Kasihan kamu jadi ketiduran di sini. Bangun dulu yuk. Kita bicarakan semuanya baik-baik," ucap Reza lagi. "Mas apa pertengkaran yang tadi cuman mimpi?" Nazwa memutuskan b
Mati-matian Reza menahan amarahnya ketika berusaha membujuk Nazwa. Kini pria itu berdiam diri merenung di sofa ruang tamu, mengingat apa yang membuatnya mengubah keputusan. Saat dia keluar kamar tadi, dia berpapasan dengan Pak Rahman. Dan orang tua itu mencurigai gerak-geriknya yang menahan amarah. Bertanya apakah ada masalah? Untungnya waktu itu Nazwa tak lagi berteriak-teriak menggedor pintu. Melihat orang tua itu membuat Reza teringat dengan niat awalnya. Bahwa dia tidak akan membiarkan bapak mertuanya sakit lagi karena menyaksikan mereka bertengkar. Dia harus berusaha sebisa mungkin menghindari masalah. Dia tak mau bapak mertuanya curiga. Dia pun meyakinkan Pak Rahman bahwa dia tak punya masalah apa pun, semuanya baik-baik saja. Dan dia mengingat percakapannya dengan Nabila via telepon. "Gimana? Kamu udah liat fotonya?" tanya Nabila di seberang. "Sudah, tapi dari mana kamu dapat foto itu?" "Aku juga ada di acara yang sama dengan Nazwa. Tadi aku jemput adikku yang juga merupa
Sore itu sehari sebelum keberangkatan Nabila ke New York, Nabila mengajak Reza ketemuan di bawah jembatan kota. Sembari melihat pemandangan sunset, mereka berdua bercakap-cakap. "Sebelum aku pergi, aku mau kita menciptakan moment indah. Biar nanti pas aku kangen kamu di sana, aku bisa liat sunset kayak gini, jadi ke ingat kamu." Nabila melempar pandang pada matahari yang tampak bundar. Sejauh mata memandang, terlihat bola merah itu seperti hendak memasuki lautan. Reza tersenyum. Ikut menatap ke objek yang sama. "Kalau kamu kangen aku tinggal chat dan vc aja." "Hmm itu pasti." Nabila tak melepas pandang dari sunset. "Nanti di sana kamu harus selalu kasih kabar ke aku, ya." Nabila lalu menatap Reza. "Pastinya. Janji, ya, kita akan terus sama-sama walau jarak memisahkan. Makasih udah dukung aku dan ngerti aku." "Janji." Reza mengangguk. "Jangan berpaling ke lain hati." "Aku bisa aja berpaling ke lain hati." Ucapan Reza demikian membuat wajah Nabila kecut, sebelum akhirnya pria itu
Hari-hari terus berlalu. Sejak pertengkaran itu, hubungan Nazwa dan Reza kembali membaik. Seperti yang dia katakan, Reza akan mengantar ke mana pun Nazwa pergi. Karena Nazwa tak mengizinkan Reza membawa mobil, Reza rela ikut Nazwa naik taksi online ketika wanita itu hendak belanja ke pusat perbelanjaan bergengsi. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Nazwa harus pergi mengisi acara mentoring rohis di MAN 13 Jakarta. Reza ikut mengantar, tapi kali ini dia mencoba untuk menyetir mobil dan meyakinkan Nazwa kalau dia akan baik-baik saja dan berjanji menyetir dengan pelan. Mobil yang mereka kendarai memasuki pelataran MAN 13. Hari itu hari Jum'at, pukul sebelas siang, jadwal rohis MAN 13. Dan ini pertama kalinya Nazwa dipanggil mentoring ke sini. Dia tak sabar ingin berkenalan dengan para siswa di sini yang mungkin sudah menunggu kehadirannya di mushola MAN 13. Ketika Nazwa turun dari mobil, Nazwa mengintip dari jendela mobil, berpesan pada suaminya. "Mas, sekarang kamu nggak bisa nung
Mentoring itu sudah jalan selama setengah jam. Para murid begitu anteng memperhatikan Nazwa bicara. Sesekali mereka tersenyum malu ketika kata-kata Nazwa menyinggung diri mereka. Seperti pertanyaan Nazwa yang berbunyi. "Hayo, siapa yang pernah diam-diam naksir kakak kelasnya?" Nazwa melempar pandang ke para siswi itu memperhatikannya satu persatu. "Pada malu, ya. Pasti pernah kan naksir kakak kelasnya? Atau bahkan teman sekelasnya?" Nazwa tertawa ringan. "Jatuh cinta itu wajar saja adik-adik, terutama di usia remaja seperti kalian. Cinta itu fitrah, cinta itu suci. Nggak masalah jatuh cinta asal kita tahu bagaimana mengelolanya. Salah satunya cinta dalam diam." Nazwa terus menjelaskan perihal jatuh cinta. Hakikat cinta. Dan bagaimana mengendalikan perasaan agar tak terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan. Bagaimana agar cinta yang harusnya suci itu tetap terjaga. Sampai akhirnya ada siswi yang mengangkat tangan, bertanya. "Bu mau tanya?" "Iya, tanya apa?" tanya Nazwa. "Tadi kan i
Pukul satu lewat, jam mentoring Nazwa selesai. Ustadzah itu pamit undur diri pada para siswi dan Bu Husna. Wanita itu keluar dari mushola dan berjalan menyusuri lorong sekolah yang sudah tampak sepi. Dia berjalan sambil mengotak-atik ponselnya, memberitahu suaminya kalau dia sudah selesai. Hari ini hari Jum'at. Para siswi, guru dan staf sudah pasti pada pulang sejak tadi. Wanita itu tersenyum sendiri sambil memasukkan ponsel kembali dalam tas. Perasaannya dua kali lipat lebih bahagia. Inilah yang dia cintai dari pekerjaannya. Setiap kali menyelesaikan pekerjaan, dia selalu mampu tersenyum. Senang rasanya bisa menebar ilmu dan kebaikan pada orang lain, apalagi melihat orang-orang yang di dakwahinya itu antusias dan semangat. Nazwa melihat ada beberapa murid yang masih mengenakan seragam pramuka duduk di kursi panjang. Nazwa tersenyum ketika siswi itu melihat ke arahnya. "Belum pulang?" "Nunggu jemputan, Bu," jawab salah satu dari mereka. Sepertinya siswi itu adalah salah tiga dari
"Oh, Pak Reza? Senang berkenalan dengan Anda," balas Hanif. Reza menggeleng, "jangan panggil, Pak. Sebaiknya Reza aja, umur kita nggak jauh beda kan?" "Oke kalau begitu." "Maaf ya kami nggak bisa lama-lama," ucap Reza lagi. Pada istrinya dia berkata. "Kita harus pulang kan, Sayang." Nazwa hanya mengangguk. "Kalau begitu kami permisi dulu. Assalamu'alaikum." Reza lalu memimpin tangan istrinya dan menarik wanita itu, berjalan menjauhi Hanif. "Assalamu'alaikum, Hanif," ucap Nazwa. "Wa'alaikumussalam," jawab Hanif sambil menatap dua sejoli itu. "Eh, Bu Nazwa dan suami, ya?" Tiba-tiba saja ada dua orang ibu-ibu memasuki pelataran MAN 13, mereka mengenali Nazwa dan Reza. "Iya, nih, Bu." Lagi langkah mereka terhambat. "Lama ya nggak liat Bu Nazwa. Akhir-akhir ini nggak pernah ngisi acara pengajian lagi." Dari kalimat itu tahulah Nazwa bahwa ibu-ibu itu juga anggota pengajian di kompleknya. Jujur, meski banyak yang mengenal Nazwa, Nazwa sendiri tidak begitu menghapal ibu-ibu yang
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya
"Kalau Nazwa nggak mau, Papa nggak akan anggap kamu anak!" Kalimat itu terus bertalu-talu di kepala Reza. Reza berharap papanya tidak serius dengan ucapannya. Tapi waktu itu Reza bisa melihat wajah papanya serius saat mengatakan hal itu. Reza takut bagaimana seandainya papanya benar-benar serius membuangnya dari keluarga? Sial! "Ini semua gara-gara Nazwa. Seandainya dia nggak ngomong di depan Mama semuanya nggak akan jadi begini." Reza menggebrak meja di hadapannya. "Nggak ada cara lain. Aku harus bisa bujuk Nazwa buat berbaikan denganku dan membatalkan rencana perceraiannya." Sejak saat itu hampir setiap hari Reza berulang ke rumah orang tuanya, menemui Nazwa dan membujuk istrinya untuk pulang. Namun, percakapan mereka selalu berakhir dengan penolakan Nazwa atau pertengkaran. "Buat apa kamu ngelakuin semua ini, Mas?" tanya Nazwa. "Buat apa lagi kamu memperjuangkan aku setelah apa yang udah kamu lakuin. Kamu tuh sadar nggak? Kamu itu udah nggak waras, ya?! Sakit kamu?!" "Aku mi
"Dulu waktu Mama sedang hamil kamu dan hendak melahirkan, kami pergi ke rumah sakit terdekat, tapi tiba-tiba mobil kami mengalami kecelakaan. Papa berusaha keluar dari mobil dan menggendong Mama yang tengah kesakitan. Waktu itu tengah malam dan sepi. Sama sekali tidak ada orang lewat yang bisa dimintai tolong. Tapi Papa terus berteriak minta tolong. Sampai akhirnya ada orang yang menemui kami. Dialah Pak Rahman. Papa bercerita panjang lebar dengannya bahwa Papa ingin mengantar Mama ke rumah sakit, tapi kami mengalami kecelakaan. Dia yang katanya hendak pulang ke rumah majikan untuk mengantarkan mobil nggak keberatan membawa kami ke rumah sakit sebentar. Singkat cerita kami pergi ke rumah sakit menggunakan mobil majikannya. Satu detik setelah kami pergi, mobil kami di belakang meledak. Waktu itu terjadi Papa terkejut sekaligus bersyukur. Sedikit saja kalau kami nggak pergi dari tempat itu kami bisa-bisa ikut terbakar. Di dalam mobil Mama terus berteriak kesakitan. Air ketubannya bahkan
"Maaf, Mas, aku nggak bisa tinggal sama kamu lagi. Aku mohon kamu hargai keputusanku buat tinggal di rumah Mama. Jadi jangan tahan-tahan aku ...." Kalimat terakhir yang Nazwa ucapkan terngiang-ngiang di telinga Reza seakan membekas dan bertalu-talu. Sakit dan benci hatinya tiap kali mengingatnya. Harga dirinya seakan jatuh di hadapan keluarganya sendiri. Apalagi mengingat wajah Mama dan Risma terakhir kali menatapnya penuh kekecewaan. Dia tak menyangka kesalahan yang dia lakukan kini berdampak parah. Tidak hanya menyakiti perasaan Nazwa, perempuan itu bahkan minta cerai. Bahkan ikut mengecewakan perasaan keluarganya. Lagi pula kenapa Nazwa tega membongkar perselingkuhannya yang sudah tertutup rapat selama ini? Pernikahannya dengan Nazwa benar-benar di ujung tanduk. Apakah pernikahan ini masih bisa dipertahankan? Apakah masih ada harapan? Dering ponsel tiba-tiba berbunyi yang seketika membuyarkan lamunan Reza yang tengah duduk merenung di ruang keluarga. Tatapan Reza lalu mengarah ke