Dapat fee menjadi pembicara, Nazwa mampir dulu ke Mall untuk membelikan suaminya sesuatu. Dia mampir ke toko baju khusus pria. Ya, dia ingin menghadiahkan suaminya kemeja dari hasil kerja kerasnya. Nazwa menilik kemeja yang bergantungan. "Mas Reza biasanya suka kemeja yang kayak gini. Ukurannya pun kayaknya pas di tubuh Mas Reza." Nazwa memegang ujung kemeja cowok ukuran large. Kemeja polos dengan warna maroon. "Tapi untuk warnanya dia suka nggak, ya?" Nazwa menimbang-nimbang, memilih baju yang paling cocok untuk suaminya. "Beli apa, Mbak?" Seorang SPG yang menjaga toko tersebut, menghampirinya. Nazwa menoleh. "Emm ... aku mau beli kemeja tapi bingung yang mana." Nazwa terkekeh kecil. "Kalau yang ini harganya berapa?" Nazwa akhirnya memilih kemeja polos dengan bahan lebih tebal dan berwarna navy. "Itu empat ratus ribu, Mbak." "Boleh, deh. Dua, ya. Navy sama hitam, deh." "Oke, Mbak." Sambil menunggu pesanannya dikemas. Nazwa berkeliling melihat barang-barang lain, bagian sepatu
Nazwa membelalak. "Da-dari mana kamu dapat foto itu, Mas?" "Nggak penting aku dapat foto ini dari mana." Reza menggeleng. "Jadi dari tadi kamu lama karena asyik berduaan sama laki-laki ini? Siapa dia?!" Reza menatap Nazwa penuh intimidasi. Matanya berkilat-kilat marah. Nazwa membalas dengan pandangan tak percaya. "Tega sekali kamu menuduhku seperti itu, Mas? Harusnya kamu tahu gimana sifat istrimu." "Aku tanya siapa dia?!" Suara Reza makin meninggi dan terdengar menakutkan. Nazwa ingin menangis. Sesak rasa dadanya melihat sikap suaminya barusan. Meski begitu, dia tetap berusaha menjelaskan. Karena jika tidak, yang ada suaminya makin marah. "Dia cuman teman lamaku, Mas. Kami bertemu di seminar tadi. Sama sepertiku, dia juga diundang jadi pembicara. Aku sama dia tadi cuma ngobrol sebentar." "Ngobrol apa harus pegangan tangan kayak gini?!" "Dia nolongin aku yang mau jatuh, Mas. Itu doang, nggak lebih. Aku juga nggak punya niatan buruk seperti yang kamu tuduhkan. Dia pun tahu aku uda
Entah sudah berapa lama Nazwa menangis dan jatuh tertidur ketika dia mendengar sayup-sayup suara membangunkannya. "Nazwa, Sayang ... bangun dulu, yuk ...." Nazwa membuka mata perlahan. Mata wanita itu menyipit kemudian mengerjap-ngerjap untuk memperjelas pandangan. Wajah suaminya tengah tersenyum terpampang di hadapannya. Nazwa pun menegakkan posisi duduknya, bersandar di pinggir tempat tidur. "Mas ...." Dia spontan menjauhkan tubuhnya dan menatap suaminya takut-takut. Dia melarikan tangan ketika Reza memegangnya. Reza pun mengerti. "Nggak usah takut-takut gitu, Sayang, aku nggak marah lagi, kok." Reza tersenyum meyakinkan. Nazwa diam memerhatikan suaminya. Dia merasa aneh dengan sikap suaminya. Dia masih ingat jelas bagaimana tadi kasarnya Reza ketika marah. Lalu tiba-tiba kenapa berubah baik dalam sekajap? "Kasihan kamu jadi ketiduran di sini. Bangun dulu yuk. Kita bicarakan semuanya baik-baik," ucap Reza lagi. "Mas apa pertengkaran yang tadi cuman mimpi?" Nazwa memutuskan b
Mati-matian Reza menahan amarahnya ketika berusaha membujuk Nazwa. Kini pria itu berdiam diri merenung di sofa ruang tamu, mengingat apa yang membuatnya mengubah keputusan. Saat dia keluar kamar tadi, dia berpapasan dengan Pak Rahman. Dan orang tua itu mencurigai gerak-geriknya yang menahan amarah. Bertanya apakah ada masalah? Untungnya waktu itu Nazwa tak lagi berteriak-teriak menggedor pintu. Melihat orang tua itu membuat Reza teringat dengan niat awalnya. Bahwa dia tidak akan membiarkan bapak mertuanya sakit lagi karena menyaksikan mereka bertengkar. Dia harus berusaha sebisa mungkin menghindari masalah. Dia tak mau bapak mertuanya curiga. Dia pun meyakinkan Pak Rahman bahwa dia tak punya masalah apa pun, semuanya baik-baik saja. Dan dia mengingat percakapannya dengan Nabila via telepon. "Gimana? Kamu udah liat fotonya?" tanya Nabila di seberang. "Sudah, tapi dari mana kamu dapat foto itu?" "Aku juga ada di acara yang sama dengan Nazwa. Tadi aku jemput adikku yang juga merupa
Sore itu sehari sebelum keberangkatan Nabila ke New York, Nabila mengajak Reza ketemuan di bawah jembatan kota. Sembari melihat pemandangan sunset, mereka berdua bercakap-cakap. "Sebelum aku pergi, aku mau kita menciptakan moment indah. Biar nanti pas aku kangen kamu di sana, aku bisa liat sunset kayak gini, jadi ke ingat kamu." Nabila melempar pandang pada matahari yang tampak bundar. Sejauh mata memandang, terlihat bola merah itu seperti hendak memasuki lautan. Reza tersenyum. Ikut menatap ke objek yang sama. "Kalau kamu kangen aku tinggal chat dan vc aja." "Hmm itu pasti." Nabila tak melepas pandang dari sunset. "Nanti di sana kamu harus selalu kasih kabar ke aku, ya." Nabila lalu menatap Reza. "Pastinya. Janji, ya, kita akan terus sama-sama walau jarak memisahkan. Makasih udah dukung aku dan ngerti aku." "Janji." Reza mengangguk. "Jangan berpaling ke lain hati." "Aku bisa aja berpaling ke lain hati." Ucapan Reza demikian membuat wajah Nabila kecut, sebelum akhirnya pria itu
Hari-hari terus berlalu. Sejak pertengkaran itu, hubungan Nazwa dan Reza kembali membaik. Seperti yang dia katakan, Reza akan mengantar ke mana pun Nazwa pergi. Karena Nazwa tak mengizinkan Reza membawa mobil, Reza rela ikut Nazwa naik taksi online ketika wanita itu hendak belanja ke pusat perbelanjaan bergengsi. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Nazwa harus pergi mengisi acara mentoring rohis di MAN 13 Jakarta. Reza ikut mengantar, tapi kali ini dia mencoba untuk menyetir mobil dan meyakinkan Nazwa kalau dia akan baik-baik saja dan berjanji menyetir dengan pelan. Mobil yang mereka kendarai memasuki pelataran MAN 13. Hari itu hari Jum'at, pukul sebelas siang, jadwal rohis MAN 13. Dan ini pertama kalinya Nazwa dipanggil mentoring ke sini. Dia tak sabar ingin berkenalan dengan para siswa di sini yang mungkin sudah menunggu kehadirannya di mushola MAN 13. Ketika Nazwa turun dari mobil, Nazwa mengintip dari jendela mobil, berpesan pada suaminya. "Mas, sekarang kamu nggak bisa nung
Mentoring itu sudah jalan selama setengah jam. Para murid begitu anteng memperhatikan Nazwa bicara. Sesekali mereka tersenyum malu ketika kata-kata Nazwa menyinggung diri mereka. Seperti pertanyaan Nazwa yang berbunyi. "Hayo, siapa yang pernah diam-diam naksir kakak kelasnya?" Nazwa melempar pandang ke para siswi itu memperhatikannya satu persatu. "Pada malu, ya. Pasti pernah kan naksir kakak kelasnya? Atau bahkan teman sekelasnya?" Nazwa tertawa ringan. "Jatuh cinta itu wajar saja adik-adik, terutama di usia remaja seperti kalian. Cinta itu fitrah, cinta itu suci. Nggak masalah jatuh cinta asal kita tahu bagaimana mengelolanya. Salah satunya cinta dalam diam." Nazwa terus menjelaskan perihal jatuh cinta. Hakikat cinta. Dan bagaimana mengendalikan perasaan agar tak terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan. Bagaimana agar cinta yang harusnya suci itu tetap terjaga. Sampai akhirnya ada siswi yang mengangkat tangan, bertanya. "Bu mau tanya?" "Iya, tanya apa?" tanya Nazwa. "Tadi kan i
Pukul satu lewat, jam mentoring Nazwa selesai. Ustadzah itu pamit undur diri pada para siswi dan Bu Husna. Wanita itu keluar dari mushola dan berjalan menyusuri lorong sekolah yang sudah tampak sepi. Dia berjalan sambil mengotak-atik ponselnya, memberitahu suaminya kalau dia sudah selesai. Hari ini hari Jum'at. Para siswi, guru dan staf sudah pasti pada pulang sejak tadi. Wanita itu tersenyum sendiri sambil memasukkan ponsel kembali dalam tas. Perasaannya dua kali lipat lebih bahagia. Inilah yang dia cintai dari pekerjaannya. Setiap kali menyelesaikan pekerjaan, dia selalu mampu tersenyum. Senang rasanya bisa menebar ilmu dan kebaikan pada orang lain, apalagi melihat orang-orang yang di dakwahinya itu antusias dan semangat. Nazwa melihat ada beberapa murid yang masih mengenakan seragam pramuka duduk di kursi panjang. Nazwa tersenyum ketika siswi itu melihat ke arahnya. "Belum pulang?" "Nunggu jemputan, Bu," jawab salah satu dari mereka. Sepertinya siswi itu adalah salah tiga dari