"Maaf kalau Asyraf tidak sopan masuk ke sini, tapi-,” ucapan Asyraf terpotong.
“Nanti Ina jelaskan, Mas,” sela Naina cepat. Jantung Naina berdetak tak beraturan. Ia memikirkan cara untuk membicarakan ini dengan kepala dingin. Ia tak mau jika ada pertengkaran.“Bapak, Ibu, Ina pamit ke kamar dulu ya.” Naina beralih menatap kedua mertuanya, lantas undur diri dari hadapan mereka. Tangannya menarik perlahan lengan suaminya yang mulai minta penjelasan.“Ada apa ini, Naina?” tanya Asyraf dengan suara tenang, tapi penuh penekanan. Jika Asyraf memanggil dengan sebutan ‘Naina’ itu artinya ia sedang berbicara serius, menasehati istrinya atau menginginkan penjelasan. Ia akan menyebut nama istrinya dengan intonasi tegas. Naina pun hafal akan hal itu, saat ini suaminya sedang membutuhkan sebuah penjelasan.“Mas, bersedia kan untuk menikah lagi?” Pertanyaan yang meluncur begitu saja dari bibir mungil Naina. Senyumnya mengembang. Namun, perlahan memudar saat air mata pertama itu luruh di kedua pipinya.“Mas tidak mau menikah lagi, Na. Apapun alasannya Mas tidak bisa. Poligami bukan soal yang mudah, apalagi Mas bukan anak pesantren, Mas tidak berani,” jelasnya dengan intonasi pelan. Lembut ia menyingkap jilbab yang dikenakan istrinya, memperlihatkan rambutnya yang lurus dan hitam legam.“Jika masalahnya karena kita belum bisa memiliki anak, itu kehendak Allah. Umurmu masih dua puluh delapan tahun, sedangkan Mas tiga puluh delapan tahun. Kita belum terlalu tua memiliki untuk memiliki anak. Siapa tahu dua atau tiga tahun lagi Allah memberi karunia,” sambungnya meyakinkan. Menggenggam jemari istrinya.Ia tahu bahwa masalah anak yang sejak lima tahun lalu menjadi prahara tersendiri di kehidupan rumah tangganya. Istrinya memiliki kelainan rahim, susah untuk hamil. Jika terjadi kehamilan, itu tidak akan bertahan lama. Seperti yang dialami Naina lima tahun yang lalu, tepat di usia enam minggu ia keguguran. Hingga akhirnya semua keluarga mengetahui bahwa Naina memiliki kelainan rahim. Kemungkinan hamil memang ada, tapi janin yang berkembang tak bisa bertahan lama di rahimnya.Awan gelap berarak mengusir bintang-bintang yang tengah bercahaya. Menyamarkan cahaya rembulan yang menyinari atap-atap rumah.“Pernikahan ini bukan tentang kita saja, Mas.” Naina membuka suara. Ia menyusut sisa air mata dari hilirnya. Menarik nafas, lalu mengembuskannya dengan berat. Naina mengembangkan senyumnya, memperlihatkan satu lesung pipinya. Menata hati, agar tak menangis lagi. Jangan sampai ia gagal membujuk suaminya untuk menikah lagi.“Mungkin benar apa yang dikatakan Mas, tapi umur kedua orangtua kita tak ada yang tahu. Jika dua atau tiga tahun lagi kita masih diberikan kesehatan, bapak dan ibu belum tentu masih sehat seperti sekarang. Bukan berfikiran buruk atau mendoakannya, tapi orangtua kita sudah sangat merindukan kehadiran cucu.”“Semua ini demi beliau, Mas. Lapangkan dada kita, ikhlaskan semua takdir dari-Nya. Jika Allah memberi kekurangan padaku, itu artinya Allah akan menggantinya dengan yang lain. Bukankah Allah memberi banyak kelebihan juga? Badan yang sehat, suami yang setia dan sangat perhatian, keluarga yang sangat menyayangi. Itu semua kelebihan yang Ina dapatkan dari pernikahan ini, Mas.” Asyraf terdiam.Lima menit berlalu hening. Gemericik air terdengar, artinya jutaan air langit terjun bebas ke bumi. Angin dingin menyeruak masuk melalui kisi-kisi jendela, membuat gorden berwarna biru dongker itu melambai-lambai.“Menikah lagi itu bukan perkara mudah. jika di luar sana banyak lelaki yang memilih menikah lagi, Mas malah tidak mau masuk dalam lingkaran poligami. Dek Na, kadang Mas belum bisa menyikapi kecemburuanmu dengan ibu atau sebaliknya. Tapi posisi kalian jelas berbeda, ibu adalah orang yang melahirkanku dan kamu adalah pendampingku, kecemburuan kalian ada porsinya masing-masing. Apa kamu bisa mengontrol kecemburuan saat Mas bersama wanita lain?”Bagai tertembak telak, pertanyaan itu sukses membuat Naina bungkam. Ia menyadari bahwa dirinya sangat pencemburu. Namun, bisakah ia mengontrol cemburunya saat sang suami dengan wanita lain, seperti ia mengontrol cemburunya pada ibu mertua?Naina beranjak, membiarkan pertanyaan itu menguap di langit-langit kamar. Sedikit pun ia tak bersuara, meninggalkan suaminya yang duduk di tepi kasur. Tujuannya saat ini adalah kamat mandi. Sejenak ia ingin menyegarkan diri dengan berwudu, lantas melaksanakan salat witir sebelum tidur.Segera ia menggelar tempat sujudnya, melaksanakan salat sunnah yang sudah menjadi kebiasaannya. Ia tumpahkan segala sakit yang mendera, juga segala rasa sesak yang menghimpit dada. Melangitkan doa-doa agar diberikan kekuatan. Satu per satu ia mencabut panah-panah yang menghunjam di hatinya. Agar ia leluasa mengobati luka itu, agar ia bisa membesarkan hatinya.Dengkuran halus terdengar. Suaminya telah terlelap, wajahnya menyisakan gurat kelelahan. Usai menyisir rambut, Naina merebahkan tubuh di samping sang suami yang kini membelakanginya. Dipeluknya punggung itu, lantas terdengar isakan kecil dari sana.“Kamu menangis, Na? Ya Allah, maafkan Mas ya sudah meninggalmu tidur.” Sesaat Asyraf terbangun, lalu membalikkan tubuhnya menghadap sang istri. Memeluk pinggangnya juga mengelus pucuk kepalanya.“Mas, jika memang kebahagiaan ibu dan bapak adalah kehadiran cucu, Ina rela, Mas ... Ina rela berbagi Mas Asyraf dengan orang lain. Semoga dengan ini, bisa membuktikan bakti Ina kepada beliau. Mas berhak bahagia, dan itu akan mejadi kebahagiaan tersendiri untuk Ina.”Naina menghamburkan pelukannya. Membenamkan wajah di dada bidang suaminya dan terisak di sana.Asyraf membisu. Mengehentikan gerakan tangan yang mengelus kepala istrinya. Mencerna ucapan Naina. Nafasnya tak beraturan, itu artinya ia tengah gelisah.“Tak apa, Mas. Ini semua demi beliau. Kita niatkan untuk ibadah. Jika masalahnya Mas takut tak bisa adil, kita belajar bersama. Mas belajar adil, dan Ina belajar mengontrol rasa cemburu.”Tidak ada komentar. Asyraf memilih diam. Ia sendiri belum terlalu mengerti definisi adil dalam poligami itu bagaimana. Ia merasa takut jika suatu saat melukai hati salah satu istrinya.“Sudah malam, kita istirahat dulu ya.”Naina hanya mengangguk. Menutupi air matanya yang terus berderai. Ia menahan isakan-isakan kecilnya, membuat hidungnya tak lagi bernafas lega.Cinta ...Semburat rasa yang bisa menghadirkan warna. Tak hanya warna merah jambu semata. Namun warna apa saja berada di dalamnya. Ahh, tidak. Banyak orang yang jatuh cinta melupakan warna hitam dan kelabu di sana. Banyak orang yang melupakan duka dan lara di dalamnya. Karena saat mencintai baginya tak ada cela untuk sekedar meneteskan air mata. Lalu bagaimana jika kehilangan orang yang dicinta? Jangankan kehilangan, melihat cinta yang terbagi saja rasa cemburu mendera. Dari situlah seseorang akan menyadari adanya warna hitam dan kelabu di antara rasa cinta.Cinta memang manis, tapi tak semanis ketika dia membuat kita menangis. Cinta memang tak harus memiliki, namun hati perih ketika dia ada yang memiliki. Namun, dari cinta pula kita belajar dewasa. Belajar menahan sakit walau kecewa, menahan perih meski terluka. Ada jodoh yang akan menghabiskan waktunya bersama kita, dan belajar jatuh cinta lagi dan lagi, bahkan jatuh cinta setiap hari.Naina baru menyadari bahwa ujian cintanya baru saja diuji. Sekuat tenaga ia harus bisa melewati. Meski cinta itu akan terbagi, setidaknya masih ada bagian untuk dirinya.Hujan telah reda, menyisakan tetes-tetes air di dedaunan dan atap rumah. Angin berembus pelan, menerbangkan beberapa daun kering yang jatuh di tanah. Suara jangkrik berderik ikut meramaikan malam yang telah sunyi.Malam kian matang. Awan kelabu telah berlalu, meninggalkan bintang-bintang yang masih setia untuk bersinar. Asyraf dan Naina terlelap dalam buaian malam.[Besok ibu kirim foto calon-calonnya Asyraf] Pesan itu masuk ke ponsel Naina.Part 3Dini hari usai salat subuh. Naina membuka jendela di kamarnya, membuat udara dingin menyeruak masuk. Satu dua bintang terlihat mengerlip, menandakan langit tak mendung pagi ini. Cahaya jingga belum terlihat di ufuk timur. Tanah masih basah akibat hujan semalam.Jendela kamar persis menghadap sebuah taman kecil yang dirawatnya dengan ibu mertua. Tanaman di sana tumbuh subur dan ada yang sedang berbunga. Sungguh, pemandangan indah untuk memanjakan mata. Selain tanaman bunga, mereka juga menanam jahe, kunyit, kencur dan lain sebagainya.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Asyraf melingkarkan tangannya memeluk dari belakang. “Selamat pagi juga, Sayang.” Naina menoleh ke belakang, sebuah kecupan mendarat di pipinya.“Eh, Mas. Jangan cium-cium, ini jendelanya terbuka, nanti kalau ibu tahu Ina malu.” Wajahnya bersemu merah.“Ibu nggak akan lihat, Na, beliau masih ngaji tadi di kamar salat.”“Nanti sore jalan-jalan, yuk!” ajak
“Liyah, kamu sudah ngobrol sama menantumu itu masalah poligami?” tanya Bu Ros, kakak ipar Bu Liyah. Bu Ros adalah saudara kandung Pak Rahman, suaminya. “Sudah, Mbakyu, Ina setuju. Sekarang tinggal menunggu keputusan Asyraf, Naina sudah membujuknya,” terang Bu Liyah sembari menjerang air untuk menyeduh kopi yang akan disuguhkan pada kakak iparnya itu. “Baguslah kalau begitu, memang harus setuju, sudah lama dia belum hamil lagi setelah keguguran itu.” Bu Liyah hanya tersenyum kecut. Memang selama ini Bu Ros yang mengusulkan Asyraf untuk berpoligami. “Doakan saja, Mbakyu. Semoga pernikahan mereka tetap langgeng, dan jika Asyraf bersedia menikah lagi, ya doakan semoga bisa adil kepada istri-istrinya. Kalau aku yang diposisi Naina belum tentu bisa mengambil keputusan, Mbakyu.” “Tapi kamu kan tidak berada diposisinya sekarang,” timpal Bu Ros sambil menikmati pisang goreng yang disuguhkan. Tak hanya teh lemon, Bu Liyah juga menyukai kopi jahe yang diracik sendiri. Jika kebanyakan orang
Naina menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Tangannya memainkan ponselnya, membuka pesan sang ibu mertua. Matanya terbelalak dengan salah satu foto yang dikirmkan ibu mertuanya.“Beliau kenal darimana ya?” lirihnya bermonolog. Kembali ia mengamati foto itu, menge-zoom dengan dua jarinya. Dahinya mengernyit, menyimpan pertanyaan-pertanyaan.Ia beranjak dari tepi ranjang untuk ke kamar mandi.“Masi lama nggak, Mas? Nanti terlambat pesawatnya,” ucapnya sedikit berteriak saat mendengar kran kamar mandi menyala.“Sudah selesai, Sayang, ini lagi handukan dulu, lima menit lagi Mas keluar.”Naina kembali duduk di tepian ranjang dan berkutat dengan ponselnya.[Bu, satu jam lagi Ina berangkat, nanti kalau sampai rumah Ina mau ngobrol sama ibu dan bapak.]Sebuah pesan yang ia kirimkan pa
Sejak Bu Liyah meminta Naina mencarikan calon untuk suaminya, ia lebih banyak merenung. Sejak saat itu pula ia harus bisa menyembunyikan kesedihannya di depan sang suami. Sejauh ini ia berhasil menyembunyikan luka itu dengan baik. Namun, bagaimana nanti saat sudah ada wanita lain di kehidupan suaminya. Bisakah ia menampilkan senyum sebaik mungkin? Atau bisakah ia menahan rasa cemburu?Naina menghapus sisa air matanya, kali ini ia berlama-lama meluapkan kesedihannya dengan menangis. Asyraf dan kedua orang tuanya pergi sejak pagi. Membeli beberapa hal untuk lamaran nanti malam. Naina memutuskan untuk tidak ikut. Ia takut jika tak bisa mengendalikan perasaannya.Akan tetapi, Naina mendapat kejutan tak terduga dari sang ibu mertua. Beliau menyuruh Naina untuk menghias seperangkat alat salat yang akan dijadikan mahar di pernikahan suaminya nanti. Sakit yang ia tahan selama ini meluap begitu saja saat semua penghuni rumah pergi. Bahkan ibu mertuanya juga meminta untuk memakaikan henna di tan
“Assalamualaikum, Na, ini Mbak Putri, tolong bukakan pintunya!” Putri mengetuk pintu kamar Naina, tetapi tidak ada sahutan dari dalam.“Nainaa!” seru perempuan berjilbab tosca itu. Lagi. Tetap hening.“Ada apa, Put?” tanya Bu Liyah menghampiri Putri.“Naina kayaknya nggak ada di kamar, Bu, soalnya nggak ada sahutan,” jawab Putri.“Masak nggak ada, Put? Tadi habis ketemu sama mempelai wanita Ina bilang mau ke kamar. Ibu juga nggak lihat Ina di dapur.”Perempuan paruh baya itu menyingsingkan selendang di tangannya, lantas mengetuk pintu kamar Naina, tetap saja tak ada jawaban.“Putri kok khawatir ya terjadi sesuatu sama Naina,” ucap Putri mulai resah.Seketika raut wajah Bu Liyah menunjukkan kecemasan. Perlahan beliau mencoba memutar kenop pintu kamar. Menyisir seluruh ruangan kamar, mencari keberadaan Naina. Putri segera masuk ke kamar.“Astagfirullah, Naina,” seru Putri saat mengetahui Naina tergolek lemas bersandar di dinding. Sigap Bu Liyah memanggil ibu-ibu yang sedang mengisi nasi
(Pov Hanna)Kuusap peluh yang membasahi dahi juga leher. Rambut pun mulai berantakan dan nampak putih terkena terigu. Segera kubersihkan diri di kamar mandi. Tanpa terasa sudah dua jam aku berkutat dengan terigu dan tempe untuk membuat mendoan kesukaan Mas Asyraf. Usai membersihkan diri, aku mulai menata mendoan dan sambal kecapnya di meja makan karena sebentar lagi Mas Asyraf akan pulang. Ini adalah kali pertama aku memasak. Entah bagaimana rasanya. Sudah enam hari aku menikah dengan Mas Asy, selama itu pula aku tak pernah memasak untuknya. Setiap hari kami makan di tempat mertua, aku selalu membantu Naina--istri pertama Mas Asyraf-- untuk memasak makanan. Di rumah orang tua, aku pun tak pernah memasak. Saat aku kecil, keluarga kami memiliki asisten rumah tangga. Dan ketika aku serta kakakku sudah dewasa, Mama pensiun, lantas beliau fokus menjadi ibu rumah tangga. Jadilah aku wanita karir yang tak bisa melakukan pekerjaan rumah kecuali menyapu.Menurutku Naina adalah wanita yang sa
(Pov Hanna)"Mendoannya enak, Han. Terimakasih ya sudah memasak untukku." Suara Mas Asy membuyarkan lamunanku. Bahagia, itulah yang kurasakan saat Mas Asy memuji masakan pertamaku. Namun, di sudut hati yang lain ada rasa sakit karena ia masih menganggap diri ini seperti orang lain.Jujur saja ini adalah pertama kalinya aku mengobrol banyak dengannya. Biasanya ia hanya bertanya masalah rumus atau jadwal mengajar di tempatku. Mas Asy seorang dosen matematika, sedangkan aku dosen fisika. Ada kesamaan di beberapa rumus, sehingga kami bisa berinteraksi.Mendoan yang kusajikan habis tak bersisa. Aku hanya mengambil sepotong saja. Meski menurutku rasanya sedikit lebih asin dari biasanya, tapi Mas Asy tak mengomentarinya sama sekali. Dia benar-benar suami idaman wanita.Setelah mengucapkan terimakasih, Mas Asy bangkit dari duduknya menuju kamar kami. Lebih tepatnya di meja belajarnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama buku-bukunya daripada denganku. Mungkin memang belum terbiasa.Usa
(POV Naina)Enam hari setelah pernikahan itu, aku mulai belajar memahami jadwal adil yang diatur sedemikian rupa untukku juga Mbak Hanna. Jika bulan ini aku mendapat jadwal pada tanggal ganjil, maka bulan berikutnya akan dapat jadwal pada tanggal genap, begitu seterusnya.Mbak Hanna adalah seorang dosen yang dulu pernah sekali mengisi kelasku, karena menggantikan dosen yang tidak hadir. Makanya aku tidak canggung ketika memanggil Mbak, karena dia bukan dosen tetapku dulu. Sering terdengar Mbak Hanna mengagumi Mas Asyraf yang saat itu status pernikahannya denganku masih disembunyikan. Namun, aku menyadari siapapun dia di masa lalu kini tidaklah penting, karena bagaimanapun dia memiliki hak yang sama seperti diriku, yaitu sebagai seorang istri.Malam setelah pulang dari melamar Mbak Hanna, Ibu bercerita bahwa semuanya berawal karena mereka tak sengaja bertemu di sebuah butik langganan beliau. Mbak Hanna mengatakan bahwa ia mengajar di salah satu Sekolah Tinggi yang dulu aku tempati untu
Bag. 24"Iya, Bude. Ada yang bisa Naina bantu?" Naina berusaha mengulas senyum terbaiknya. Lebih baik ia berpura-pura tak mendengar apapun. "Ehh ... nggak ada, Na. Ini sayur tumpang buatanmu ya?" Bude Ros menunjuk sepiring nasi yang disiram kuah sayur tumpang. "Iya, Bude. Ina yang masak sayur tumpangnya. Enak nggak menurut Bude?" Kali ini Bude Ros tak jutek seperti biasanya. Sehingga Naina merasa lebih santai untuk berbincang berdua.'Semoga Naina tak mendengar ucapanku tadi,' batin Bude Ros merutuki dirinya yang suka ceplas-ceplos. Meski memang lidahnya tajam dalam berbicara, wanita yang lebih tua tiga tahun dari ayah mertua Naina itu masih memiliki perasaan. Ia bukan tipe yang suka menyindir, apa yang tidak cocok langsung dikatakan tanpa memendamnya. Meski begitu segala ucapan yang keluar dari mulutnya tak melalui saringan terlebih dahulu, hingga kadang tanpa sadar menyakiti lawan bicara. "Ini uwenak lho, Na. Padahal aku sering beli sayur tumpang buat sarapan, tapi nggak ada yang
"Padahal baru dua bulan nikah, tapi alhamdulillah langsung isi.""Selamat ya, Firda. Jaga kandungannya!" Kali ini suara Bu Liyah membuat Naina menghentikan langkahnya ke ruang tamu. Deg!Kehamilan Firda membuat Naina semakin iri dan sakit hati. Perkataan Bude Ros yang memamerkan kehamilan Firda membuatnya ingin membanting nampan di tangannya keras-keras. Ia meletakkan nampan tersebut di meja. Menarik nafas dalam dan mengembuskannya. "Selamat juga buatmu, Liyah. Sebentar lagi mau nimang cucu.""Iya, Mbakyu. Kata bidan kalau hamil muda nggak boleh sering-sering perjalanan jauh, Mbakyu," tutur Bu Liyah mengingatkan."Itu juga kan tergantung kondisi yang hamil. Kalau Firda ini kan alhamdulillah kuat ibu sama janinnya. Lagian ke sini juga pakai mobil, jalannya juga pelan-pelan tadi. Pasti aman lah." "Iya, Mbakyu." Bu Liyah mengangguk. Naina menyusut air matanya yang tak sengaja keluar. Perkataan Bude Ros mencubit hatinya yang masih terluka. Sejenak ia menunggu hingga tak lagi ada percak
(POV Naina)Tiba-tiba mataku berhenti pada sesuatu yang begitu familiar di atas meja ruang tamu. Kusentuh barang itu dan segera menutup mulut."Ya Allah, itu artinya ...." gumamku pelan tak kuasa melanjutkan. Sebuah testpack bergaris dua berada dalam genggamanku. Mungkin Mbak Hanna ingin memberitahukan hal itu di sini, tapi kejadian mual di rumah kami membuat hal itu tertunda. Dari dalam kamar terdengar Mbak Hanna menjelaskan sesuatu dan Mas Asy memekik hamdalah usai penuturan itu selesai. Aku yang mendengar hal itu segera menghampiri kamar mereka. Mataku terbelalak melihat mereka yang sedang berpelukan penuh haru. Mbak Hanna segera mengurai pelukan mereka. Mereka segera terdiam memandang mimik wajahku, kupaksakan untuk tersenyum tipis. "Mas, Mbak Hanna hamil, ya?" tanyaku berdebar-debar. Ia pun mengangguk pelan. Perasaanku hancur. Aku tidak tahu harus sedih atau bahagia atas kabar janin yang sudah tumbuh di rahim Mbak Hanna, karena sebenarnya aku sendiri pun juga telah menanti
(POV Naina)"Dek Na, Mas pengen sarapan menu yang ... apa ya namanya, yang jadi andalan di rumahmu dulu itu loh, boleh?" bisik Mas Asyraf yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Kedua tangannya melingkar rapat di perutku. Lalu kepalanya dibenamkan di cerukku, deru nafasnya membuatku geli. Namun, aku menikmati momen ini. Entah mengapa aku selalu menikmati baik-baik kebersamaan kita, mungkin saja karena aku bukan lagi menjadi satu-satunya. "Menu apa to, Mas? Sayur rebung?" jawabku menebak. Seingatku menu andalan di rumah kami ya memang rebung. Entah di lodeh atau di tumis, kadang juga dibuat isian tahu isi. Karena memang banyak sekali pohon bambu di belakang rumah. "Bukan, Sayang, yang ada tahu gorengnya besar-besar itu loh, di sayurnya. Sudah lama banget nggak masak itu di rumah ini." Mas Asyraf menegakkan kepalanya dan memandangku dari cermin. "Ahh, Mas ingat, yang pakai tempe busuk itu loh." Aku mengernyitkan dahi. Aku tahu betul menu yang dimaksud Mas Asy. Sambel tumpang. Itu mem
POV Asyraf"Dek, kok ngelamun?" Sudah tiga kali kupanggil istriku ia tetap terdiam. Pandangannya datar ke arah depan. Entah apa yang dipikirkannya, terlihat jelas raut kesedihan itu menggantung di wajahnya."Dek," panggilku lagi dengan melambaikan tangan di depan matanya. Ia sedikit tersentak dan menatap ke arahku. "Makan dulu ya, Sayang!" Aku mencoba membujuknya lagi. Naina mengangguk tanpa menolehkan wajahnya padaku. Hatiku terasa tergores melihat sikapnya yang seperti ini. "Kemarin Ina lihat flek, Mas, Ina kira itu datang bulan, rasanya sakit sekali bagian sini." Ia menunjuk perut bagian bawahnya, istriku berkata usai menelan suapan pertama. "Mas, pasti ada hikmah di balik semua ini. Mas pasti akan memiliki keturunan." Naina menghela nafas panjang. Aku urung menyuapkan bubur di sendok."Masih ada Mbak Hanna yang bisa diharapkan," ujaranya tersenyum sambil menatapku. Kedua netranya berkaca-kaca, tapi ia tak menghiraukannya. Ucapan Naina kini membuat hatiku tercubit. Ahh betapa ti
"Baru saja Bu Naina mengalami keguguran, Pak, tepat di usia enam minggu, persis seperti lima tahun yang lalu," imbuh dokter tersebut. Asyraf terperanjat mendengar penjelasan dokter itu. Keguguran Naina yang kedua kali membuat seluruh tubuhnya lemas. "Ke-keguguran, Dok?" tanya Asyraf seakan tak percaya."Benar, Pak. Sepertinya kehamilan ini juga tak diketahui oleh Bu Naina. Dan kali ini adalah keguguran Bu Naina yang kedua kalinya. Jika suatu saat Bu Naina hamil, maka kemungkinan keguguran lagi akan semakin besar, jika tidak dipersiapkan dengan baik." Dokter itu menarik nafas dalam. Asyraf menunduk dalam, jari telunjuknya menyusut air mata yang sedikit keluar di sudut matanya. "Seberapa besar kemungkinan istri saya bisa hamil lagi, Dok?" "Untuk itu saya tidak bisa memastikan, karena kehamilan sepenuhnya kehendak Tuhan. Sebagai manusia kita harus selalu optimis, berusaha dan berdoa, insya Allah nanti dimudahkan. Kemungkinan hamil pasti ada, Pak. Hanya saja harus benar-benar siap. K
Ponsel Asyraf bergetar di atas nakas. Dengan cekatan ia segera meraihnya. Panggilan masuk dari sang ibu membuat dahinya berkerut? Segera ia menggeser ponsel untuk menjawab panggilan tersebut. "Ya Allah ... Naina," pekiknya. ****Wajah Asyraf menegang setelah mendengar suara dari telepon. Gurat kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. "Maaf, Hanna, sepertinya malam ini aku tidak bisa menginap di sini. Naina pingsan, aku harus membawanya ke rumah sakit." Lelaki itu memegang kedua tangan Hanna, memohon. Wanita itu tersenyum teramat tipis. Senyum yang dipaksakannya dalam kegelapan. Mungkin Asyraf tak tahu jika air mata membersamai senyum dan anggukan dari Hanna."Apa aku boleh ikut, Mas?" Meski malam ini tak bisa tidur bersama, setidaknya Hanna ingin tetap membersamai suaminya tersebut."Tidak usah, Han. Sudah larut malam, kau istirahatlah saja!" Dengan cekatan Asyraf mengenakan kemeja dan mengganti celana selutunya dengan celana panjang."Jangan lupa kunci pintunya, Mas pamit. Assal
Naina mematut dirinya di depan cermin. Ia berusaha menutupi matanya yang sedikit bengkak karena menangis tadi malam. Asyraf memandang istrinya yang sedang memperbaiki pashmina di kepalanya. Sejak pembicaraan semalam mereka belum mengobrol satu sama lain. Sama-sama canggung untuk mulai menyapa. Lelaki itu sesekali meliirik istrinya yang tampil lebih segar dari biasanya, meski Naina hanya memoleskan sedikit krim pelelmbab wajah dan lipstik berwarna nude di bibirnya. Melihat istrinya sudah selesai mematut diri, lelaki berkemeja marun itu beranjak untuk mengambil kunci mobil."Sudah siap, Sayang?" asyraf mencoba mencairkan suasana canggung tersebut. Naiina memutar tubuhnya ke arah Asyraf yag masih tersenyyum."Mas jadi anter Ina?""Jadi dong, Sayang. Ya udah Mas ke depan dulu ya pamitan sama Bapak Ibu, sekalian manasin mobil dulu." Asyraf berranjak meninggalkan kamar tersebut. Naina segera mengambil tas selempang berwarna coklat unntuk dipadukan dengan warna pashminanya agar terlihat s
(POV Naina)"Apa aku pantas memohon padamu, agar Mas Asy mau menjadikanku istri yang seutuhnya? Yang rela memberikan nafkah batinnya?" Kedua netranya menatapku dalam. Membuat tanganku berhenti mengelus pundaknya. Ya Allah, permohonan apa ini? Haruskah aku membujuk Mas Asy agar bersedia memberikan nafkah batin pada maduku? Sedangkan aku sendiri merasa cemburu? 🍁🍁🍁Mata Mbak Hanna menatapku dalam. Aku tetap bergeming. Bimbang dengan perasaan yang semakin ambigu di dalam hati. "Apa arti pernikahan ini, Na? Jika suamiku sendiri saja tak mau menyentuhku." "Mbak ...." Aku mencoba membuka suara. Meski sebenarnya bingung harus menyampaikan apa. "Maaf jika pernikahan ini tak seperti yang Mbak bayangkan. Mas Asy sebenarnya bukan menganggap Mbak Hanna tak ada, tapi belum menemukan kenyamanan masing-masing ... anu maksudnya mungkin belum terbangun chemistry di antara kalian." "Jika Mas Asy tak menganggap Mbak Hanna, tak mungkin kesalahpahaman di antara kita terjadi, Mbak. Masalah meja ri