Beranda / Pernikahan / Mahar Kedua / Part 4 Senja Terakhir

Share

Part 4 Senja Terakhir

Penulis: Sherry
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Liyah, kamu sudah ngobrol sama menantumu itu masalah poligami?” tanya Bu Ros, kakak ipar Bu Liyah. Bu Ros adalah saudara kandung Pak Rahman, suaminya.

“Sudah, Mbakyu, Ina setuju. Sekarang tinggal menunggu keputusan Asyraf, Naina sudah membujuknya,” terang Bu Liyah sembari menjerang air untuk menyeduh kopi yang akan disuguhkan pada kakak iparnya itu.

“Baguslah kalau begitu, memang harus setuju, sudah lama dia belum hamil lagi setelah keguguran itu.”

Bu Liyah hanya tersenyum kecut. Memang selama ini Bu Ros yang mengusulkan Asyraf untuk berpoligami.

“Doakan saja, Mbakyu. Semoga pernikahan mereka tetap langgeng, dan jika Asyraf bersedia menikah lagi, ya doakan semoga bisa adil kepada istri-istrinya. Kalau aku yang diposisi Naina belum tentu bisa mengambil keputusan, Mbakyu.”

“Tapi kamu kan tidak berada diposisinya sekarang,” timpal Bu Ros sambil menikmati pisang goreng yang disuguhkan.

Tak hanya teh lemon, Bu Liyah juga menyukai kopi jahe yang diracik sendiri. Jika kebanyakan orang lebih suka membeli kopi sachet, Bu Liyah lebih suka membeli biji kopi mentah. Beliau akan mengolahnya sendiri mulai dari disangrai dan ditumbuk bersamaan jahe bubuk yang sudah diracik sebelumnya.

Aroma kopi yang dipadukan dengan jahe mulai menguar saat adukan pertama. Memang kopi racikan sendiri aromanya lebih nikmat. Bu Liyah beranjak dari dapur membawa nampan yang berisi dua cangkir kopi.

“Meski sekarang tidak diposisinya, tapi aku juga bisa sedikit merasakan, Mbakyu. Waktu menyampaikan pendapat ini ke Naina, jelas sekali raut wajahnya sedih, tapi dia selalu berusaha tersenyum. Bahkan akhir-akhir ini dia lebih banyak melamun dan menyendiri.” Bu Liyah menyusut matanya yang mulai berair.

“Sudahlah, tak apa, nanti kalau sudah terjadi poligami dia juga bisa terbiasa. Eh, ngomong-ngomong rumah sepi, pada kemana?”

“Mas Rahman sedang ada perlu di kantor kecamatan, kalau Asyraf dan Naina sedang pergi ke pantai, mumpung masih liburan. Mbakyu aku bikin lodeh rebung loh, cicipin ya?” Bu Liyah segera beranjak lagi ke dapur.

“Wahh, bikin sayur rebung yo? Beli dimana rebungnya?” tanya Bu Ros yang kemudian menyusul ke dapur.

“Naina yang bawa dari rumahnya. Katanya dia kangen masakan lodeh rebung bikinan mamaknya,” jawab Bu Liyah menata ketupat ke dalam rantang.

“Mbakyu ini nanti dibawa ya, Asyraf sama istrinya pulang nanti sore, jadi masih banyak ini ketupatnya, sayang kalau tidak dimakan.” Bu Liyah menuangkan sayur rebung yang dicampur teri dan kacang lotho (kacang merah). Setelah selesai, ia segera mengambil piring untuk menyiapkan ketupat.

“Mbakyu ini mau seberapa ketupatnya?”

“Ealah, ndak usah, ini udah dibawain kok repot-repot makan lagi.”

“Nggak apa-apa, Mbakyu. Makan ketupatnya dulu ya sebelum pulang. Ayolah, jarang sekali kita makan bareng,” bujuk Bu Liyah.

“Ya sudah, tapi ketupatnya yang kecil saja ya.”

Segera Bu Liyah menyiapkan seporsi ketupat sayur. Kemudian membawanya ke meja makan. Suara sendok dan piring mulai berdentang. Mereka menikmati hidangannya masing-masing.

“Rebungnya enak yo, aku mau nambah sayurnya aja ya, Liyah,” ujar Bu Ros segera beranjak ke dapur untuk mengambil sayur rebung.

“Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan, Liyah,” ucap Bu Ros sembari melangkah mendekati lawan bicaranya.

“Ada apa, Mbakyu? Katakan saja!”

“Aku ingin Firda bisa menjadi menantumu,”

Sejenak Bu Liyah terpaku, lantas ia berkata, “untuk urusan itu kembali kuserahkan pada Naina, biar dia yang memilih. Kalau Mbakyu berkenan putrinya menjadi istri yang kedua kirimkan saja fotonya ke nomorku,”

“Iya sih, betul juga. Dia berhak memilihkan calon untuk suaminya. Nanti kukirimkan fotonya Firda ke nomormu.”

***

“Gimana sate lilitnya? Enak nggak?”

“Enak banget, Mas. Sate lilit terbuat dari daging apa, Mas?”

“Ada babi-,”

“Astaghfirullah, itu tadi daging babi, Mas? Babi itu haram, Mas dalam agama kita,” ujarnya bersungut-sungut.

“Dengerin Mas dulu, Ina, kamu kan yang motong penjelasan Mas. Tadi kamu tanya apa?”

“Sate lilit terbuat dari daging apa?”

“Nah iya Mas jawab, ada yang dari babi, ayam dan sapi, yang kita makan tadi dari daging sapi.”

“Owalah gitu, to?” ucapnya meringis.

“Mau kemana, Pak?” tanya seorang lelaki paruh baya yang memakai udeng di kepalanya.

“Mau ke pantai Tanah Lot, kalau ke sana naik apa ya?”

“Sebentar saya carikan taksi,” ujar lelaki tersebut lantas memanggil temannya.

“Kenken kabare?” sapa lelaki itu pada sopir taksi.

“Becik-becik.”

“Biso seng atahan ia jep kemo?” ujar lelaki itu berbahasa Bali sambil menunjuk ke arah Naina dan Asyraf.

“Jagi lunga kija?” tanya sang sopir taksi.

“Melali. Pasih Tanah Lot.”

“Nah.”

“Ke sini, Bli. Taksi ini bias mengantarkan ke Pantai Tanah Lot.” Lelaki paruh baya itu menunjuk sebuah taksi. Asyraf menangguk, lantas berpamitan untuk berangkat.

Mobil taksi melaju membelah jalanan yang mulai sejuk karena hawa sore. Naina memainkan ponselnya, juga sesekali merekam pemandangan di sekitar mereka. Selang beberapa menit ponsel Naina bergetar, menandakan ada pesan masuk. Mengetahui isi pesan dari ibu mertua ia meloloskan nafas berat. ‘Kenapa harus sekarang?’ bisiknya dalam hati.

“Pesan dari siapa, Dek?” Tanya Asyraf membuka suara.

“Dari ibu, Mas, beliau tanya kabar sama tanya lagi ngapain,” jawabnya berbohong. Bu Liyah sebenarnya mengirimkan foto tiga orang perempuan yang akan menjadi calon istri suaminya. Namun, ia berbohong karena tak mau merusak acara liburan ini dengan pembahasan yang membuat ia kembali bersedih.

Sepuluh menit kemudian taksi yang mereka tumpangi sudah sampai di parkiran pantai. Hamparan laut biru memanjakan mata siapapun yang melihatnya. Menunjukkan hamparan ombak yang bergulung perlahan. Di sisi lain terlihat ombak semakin kencang menghantam cadas. Berdebur. Sungguh pemandangan yang indah.

"Kau lihat batu karang itu?" Naina mengangguk cepat.

"Itu pura yang dibangun di atas batu karang."

"Kita akan pergi kesana?" tanya Naina.

"Kenapa tidak? Kita akan melihat dengan jelas deburan ombak yang menghantam cadas." Mereka berjalan menuju bebatuan untuk menuju pura itu.

"Apa tidak dilarang masuk?"

"Semuanya boleh berkunjung di pura itu, tapi untuk non-Hindu hanya di pelatarannya saja."

“Wahh, indah sekali sepertinya,” ucapnya kagum.

"Kau lihat deburan-deburan ombak di bawah ini? Ini hanya ada jika air laut surut. Saat air laut pasang tidak ada orang yang kesana karena batunya tenggelam. Makanya Mas memilih sore hari, karena air laut sedang surut, dan kita bias menyaksikan senja yang indah," jelasnya dengan menunjukkan ombak kecil di bawah kaki kita.

Hamparan ombak bergulung perlahan, cahaya mega membuat gelombang-gelombang itu seakan bercahaya. Asyraf tidak bohong, deburan ombak yang menghantam cadas menjadi irama music tersendiri. Suaranya, juga ribuan bulir air menyembur bebas mengenai apa saja. Mereka tersenyum lebar melihat pemandangan itu.

"Kau menyukainya?"

“Suka, Mas. Saangat suka.”

Mereka mengobrol ringan di sana. Melupakan hal yang akan mereka hadapi nanti. Suara gelombang membuat perasaan Naina lebih tenang.

Langit yang cerah berangsur-angsur gelap, sedang di ujung sana cahaya jingga seakan merangkul lautan. Lembayung senja itu benar-benar pemandangan yang sangat indah. Angina sepoi serasa menambah kenikmatan saat mengamati detik-detik pergantian sore ke malam hari.

“Apakah ini menjadi senja terakhir kita?” Naina membuka suara. Lirih sekali.

“Kita akan melewati senja di hari-hari berikutnya, Ina.”

“Tapi senja di hari berikutnya kita tak lagi berdua,” ucapnya dengan suara parau.

“Usai senja malam akan tiba, dan setelah malam bukankah fajar akan kembali menyapa? Hidup itu berputar, Na. yakinlah kita akan selalu bahagia.” Asyraf merangkul pundak istrinya.

Kenken kabare? = Gimana kabarnya?

Becik-becik. = Baik-baik

Biso seng atahan ia jep kemo? = Bisa nggak antar mereka ke sana?

Jagi lunga kija? = Mau pergi kemana?

Melali. Pasih Tanah Lot. = Jalan-jalan. Pantai Tanah Lot.

Bab terkait

  • Mahar Kedua   Part 5 Calon Untuk Suami

    Naina menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Tangannya memainkan ponselnya, membuka pesan sang ibu mertua. Matanya terbelalak dengan salah satu foto yang dikirmkan ibu mertuanya.“Beliau kenal darimana ya?” lirihnya bermonolog. Kembali ia mengamati foto itu, menge-zoom dengan dua jarinya. Dahinya mengernyit, menyimpan pertanyaan-pertanyaan.Ia beranjak dari tepi ranjang untuk ke kamar mandi.“Masi lama nggak, Mas? Nanti terlambat pesawatnya,” ucapnya sedikit berteriak saat mendengar kran kamar mandi menyala.“Sudah selesai, Sayang, ini lagi handukan dulu, lima menit lagi Mas keluar.”Naina kembali duduk di tepian ranjang dan berkutat dengan ponselnya.[Bu, satu jam lagi Ina berangkat, nanti kalau sampai rumah Ina mau ngobrol sama ibu dan bapak.]Sebuah pesan yang ia kirimkan pa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mahar Kedua   Part 6 Pernikahan Kedua

    Sejak Bu Liyah meminta Naina mencarikan calon untuk suaminya, ia lebih banyak merenung. Sejak saat itu pula ia harus bisa menyembunyikan kesedihannya di depan sang suami. Sejauh ini ia berhasil menyembunyikan luka itu dengan baik. Namun, bagaimana nanti saat sudah ada wanita lain di kehidupan suaminya. Bisakah ia menampilkan senyum sebaik mungkin? Atau bisakah ia menahan rasa cemburu?Naina menghapus sisa air matanya, kali ini ia berlama-lama meluapkan kesedihannya dengan menangis. Asyraf dan kedua orang tuanya pergi sejak pagi. Membeli beberapa hal untuk lamaran nanti malam. Naina memutuskan untuk tidak ikut. Ia takut jika tak bisa mengendalikan perasaannya.Akan tetapi, Naina mendapat kejutan tak terduga dari sang ibu mertua. Beliau menyuruh Naina untuk menghias seperangkat alat salat yang akan dijadikan mahar di pernikahan suaminya nanti. Sakit yang ia tahan selama ini meluap begitu saja saat semua penghuni rumah pergi. Bahkan ibu mertuanya juga meminta untuk memakaikan henna di tan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mahar Kedua   Part 7 Rambut Basah

    “Assalamualaikum, Na, ini Mbak Putri, tolong bukakan pintunya!” Putri mengetuk pintu kamar Naina, tetapi tidak ada sahutan dari dalam.“Nainaa!” seru perempuan berjilbab tosca itu. Lagi. Tetap hening.“Ada apa, Put?” tanya Bu Liyah menghampiri Putri.“Naina kayaknya nggak ada di kamar, Bu, soalnya nggak ada sahutan,” jawab Putri.“Masak nggak ada, Put? Tadi habis ketemu sama mempelai wanita Ina bilang mau ke kamar. Ibu juga nggak lihat Ina di dapur.”Perempuan paruh baya itu menyingsingkan selendang di tangannya, lantas mengetuk pintu kamar Naina, tetap saja tak ada jawaban.“Putri kok khawatir ya terjadi sesuatu sama Naina,” ucap Putri mulai resah.Seketika raut wajah Bu Liyah menunjukkan kecemasan. Perlahan beliau mencoba memutar kenop pintu kamar. Menyisir seluruh ruangan kamar, mencari keberadaan Naina. Putri segera masuk ke kamar.“Astagfirullah, Naina,” seru Putri saat mengetahui Naina tergolek lemas bersandar di dinding. Sigap Bu Liyah memanggil ibu-ibu yang sedang mengisi nasi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mahar Kedua   Part 8 Masakan Pertama Hanna

    (Pov Hanna)Kuusap peluh yang membasahi dahi juga leher. Rambut pun mulai berantakan dan nampak putih terkena terigu. Segera kubersihkan diri di kamar mandi. Tanpa terasa sudah dua jam aku berkutat dengan terigu dan tempe untuk membuat mendoan kesukaan Mas Asyraf. Usai membersihkan diri, aku mulai menata mendoan dan sambal kecapnya di meja makan karena sebentar lagi Mas Asyraf akan pulang. Ini adalah kali pertama aku memasak. Entah bagaimana rasanya. Sudah enam hari aku menikah dengan Mas Asy, selama itu pula aku tak pernah memasak untuknya. Setiap hari kami makan di tempat mertua, aku selalu membantu Naina--istri pertama Mas Asyraf-- untuk memasak makanan. Di rumah orang tua, aku pun tak pernah memasak. Saat aku kecil, keluarga kami memiliki asisten rumah tangga. Dan ketika aku serta kakakku sudah dewasa, Mama pensiun, lantas beliau fokus menjadi ibu rumah tangga. Jadilah aku wanita karir yang tak bisa melakukan pekerjaan rumah kecuali menyapu.Menurutku Naina adalah wanita yang sa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mahar Kedua   Part 9 Keputusan Hanna

    (Pov Hanna)"Mendoannya enak, Han. Terimakasih ya sudah memasak untukku." Suara Mas Asy membuyarkan lamunanku. Bahagia, itulah yang kurasakan saat Mas Asy memuji masakan pertamaku. Namun, di sudut hati yang lain ada rasa sakit karena ia masih menganggap diri ini seperti orang lain.Jujur saja ini adalah pertama kalinya aku mengobrol banyak dengannya. Biasanya ia hanya bertanya masalah rumus atau jadwal mengajar di tempatku. Mas Asy seorang dosen matematika, sedangkan aku dosen fisika. Ada kesamaan di beberapa rumus, sehingga kami bisa berinteraksi.Mendoan yang kusajikan habis tak bersisa. Aku hanya mengambil sepotong saja. Meski menurutku rasanya sedikit lebih asin dari biasanya, tapi Mas Asy tak mengomentarinya sama sekali. Dia benar-benar suami idaman wanita.Setelah mengucapkan terimakasih, Mas Asy bangkit dari duduknya menuju kamar kami. Lebih tepatnya di meja belajarnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama buku-bukunya daripada denganku. Mungkin memang belum terbiasa.Usa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mahar Kedua   PART 10 Jadwal di Rumah Hanna

    (POV Naina)Enam hari setelah pernikahan itu, aku mulai belajar memahami jadwal adil yang diatur sedemikian rupa untukku juga Mbak Hanna. Jika bulan ini aku mendapat jadwal pada tanggal ganjil, maka bulan berikutnya akan dapat jadwal pada tanggal genap, begitu seterusnya.Mbak Hanna adalah seorang dosen yang dulu pernah sekali mengisi kelasku, karena menggantikan dosen yang tidak hadir. Makanya aku tidak canggung ketika memanggil Mbak, karena dia bukan dosen tetapku dulu. Sering terdengar Mbak Hanna mengagumi Mas Asyraf yang saat itu status pernikahannya denganku masih disembunyikan. Namun, aku menyadari siapapun dia di masa lalu kini tidaklah penting, karena bagaimanapun dia memiliki hak yang sama seperti diriku, yaitu sebagai seorang istri.Malam setelah pulang dari melamar Mbak Hanna, Ibu bercerita bahwa semuanya berawal karena mereka tak sengaja bertemu di sebuah butik langganan beliau. Mbak Hanna mengatakan bahwa ia mengajar di salah satu Sekolah Tinggi yang dulu aku tempati untu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mahar Kedua   Part 11 Meja Rias Siapa?

    Pukul enam pagi matahari sama sekali belum menampakkan diri. Jika biasanya sarapan sudah siap, kali ini Naina, Hanna dan Bu Liyah masih berkutat di dapur. Drama mati lampu membuat azan subuh di surau tak terdengar karena tak memakai pengeras suara. Pagi yang dingin dan mendung menambah suasana semakin terbuai di balik selimut. Hanya Bu Liyah dan Hanna yang menyadari saat langit semakin terang. Mereka yang tinggal di rumah yang berbeda segera membangunkan anggota keluarga. Setengah enam pagi mereka baru melaksanakan kewajiban tersebut. Bu Liyah mulai meracik kopi jahe di gelas, sedangkan Naina meracik teh lemon di dalam teko. Setelah selesai Naina segera mengantarnya di ruang makan, di sana sudah ada Pak Rahman dan Asyraf. Usai menyajikan minuman tersebut, Naina kembali lagi ke dapur untuk memulai ritual masaknya. Bu Liyah nampak mengiris-iris rebung yang akan dimasak, Hanna mengupas bumbu yang diperlukan, sedangkan Hanna meracik bumbu untuk sayur rebung, sambal terasi dan ikan goreng

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mahar Kedua   Part 12 Meja Rias untuk Hanna?

    (POV Asyraf)Poligami. Sebuah kata yang terdengar horor bagi setiap pasangan. Namun, kata tersebut melekat erat dalam kehidupan rumah tanggaku. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya jika akan menikah lagi. Memiliki dua istri sangat membuatku pusing. Aku merasa tak bisa adil dengan mereka. Selama menikah dengan Hanna aku belum pernah menyentuhnya secara intens. Jujur saja aku merasa mengkhianati Naina saat berada di tempat Hanna, meski kami sudaah suami istri. Naina tak lagi ceria seperti sebelumnya. Aku tahu dia menyembunyikan rasa sakitnya selama ini. Pengorbanannya begitu besar, dia rela diduakan demi kedua orangtuaku.Aku mencintai Naina dan tak pernah ingin melukainya. Namun, aku juga menyayangi dan menghormati orang tuaku. Aku ingin fokus dengan satu istri, membina rumah tangga berdua dan mengeja karakter masing-masing. Berbagi rahasia dengan satu wanita, tidak repot mengurusi drama cemburu antara dua wanita.Naina tak lagi memliki anggota keluarga. Mamaknya sangat berharap ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Mahar Kedua   Bag. 24 Bertemu Masa Lalu

    Bag. 24"Iya, Bude. Ada yang bisa Naina bantu?" Naina berusaha mengulas senyum terbaiknya. Lebih baik ia berpura-pura tak mendengar apapun. "Ehh ... nggak ada, Na. Ini sayur tumpang buatanmu ya?" Bude Ros menunjuk sepiring nasi yang disiram kuah sayur tumpang. "Iya, Bude. Ina yang masak sayur tumpangnya. Enak nggak menurut Bude?" Kali ini Bude Ros tak jutek seperti biasanya. Sehingga Naina merasa lebih santai untuk berbincang berdua.'Semoga Naina tak mendengar ucapanku tadi,' batin Bude Ros merutuki dirinya yang suka ceplas-ceplos. Meski memang lidahnya tajam dalam berbicara, wanita yang lebih tua tiga tahun dari ayah mertua Naina itu masih memiliki perasaan. Ia bukan tipe yang suka menyindir, apa yang tidak cocok langsung dikatakan tanpa memendamnya. Meski begitu segala ucapan yang keluar dari mulutnya tak melalui saringan terlebih dahulu, hingga kadang tanpa sadar menyakiti lawan bicara. "Ini uwenak lho, Na. Padahal aku sering beli sayur tumpang buat sarapan, tapi nggak ada yang

  • Mahar Kedua   Part 23 Untung Poligami

    "Padahal baru dua bulan nikah, tapi alhamdulillah langsung isi.""Selamat ya, Firda. Jaga kandungannya!" Kali ini suara Bu Liyah membuat Naina menghentikan langkahnya ke ruang tamu. Deg!Kehamilan Firda membuat Naina semakin iri dan sakit hati. Perkataan Bude Ros yang memamerkan kehamilan Firda membuatnya ingin membanting nampan di tangannya keras-keras. Ia meletakkan nampan tersebut di meja. Menarik nafas dalam dan mengembuskannya. "Selamat juga buatmu, Liyah. Sebentar lagi mau nimang cucu.""Iya, Mbakyu. Kata bidan kalau hamil muda nggak boleh sering-sering perjalanan jauh, Mbakyu," tutur Bu Liyah mengingatkan."Itu juga kan tergantung kondisi yang hamil. Kalau Firda ini kan alhamdulillah kuat ibu sama janinnya. Lagian ke sini juga pakai mobil, jalannya juga pelan-pelan tadi. Pasti aman lah." "Iya, Mbakyu." Bu Liyah mengangguk. Naina menyusut air matanya yang tak sengaja keluar. Perkataan Bude Ros mencubit hatinya yang masih terluka. Sejenak ia menunggu hingga tak lagi ada percak

  • Mahar Kedua   Part 22 Kehamilan Hanna

    (POV Naina)Tiba-tiba mataku berhenti pada sesuatu yang begitu familiar di atas meja ruang tamu. Kusentuh barang itu dan segera menutup mulut."Ya Allah, itu artinya ...." gumamku pelan tak kuasa melanjutkan. Sebuah testpack bergaris dua berada dalam genggamanku. Mungkin Mbak Hanna ingin memberitahukan hal itu di sini, tapi kejadian mual di rumah kami membuat hal itu tertunda. Dari dalam kamar terdengar Mbak Hanna menjelaskan sesuatu dan Mas Asy memekik hamdalah usai penuturan itu selesai. Aku yang mendengar hal itu segera menghampiri kamar mereka. Mataku terbelalak melihat mereka yang sedang berpelukan penuh haru. Mbak Hanna segera mengurai pelukan mereka. Mereka segera terdiam memandang mimik wajahku, kupaksakan untuk tersenyum tipis. "Mas, Mbak Hanna hamil, ya?" tanyaku berdebar-debar. Ia pun mengangguk pelan. Perasaanku hancur. Aku tidak tahu harus sedih atau bahagia atas kabar janin yang sudah tumbuh di rahim Mbak Hanna, karena sebenarnya aku sendiri pun juga telah menanti

  • Mahar Kedua   Part 21 Kecemburuan Naina

    (POV Naina)"Dek Na, Mas pengen sarapan menu yang ... apa ya namanya, yang jadi andalan di rumahmu dulu itu loh, boleh?" bisik Mas Asyraf yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Kedua tangannya melingkar rapat di perutku. Lalu kepalanya dibenamkan di cerukku, deru nafasnya membuatku geli. Namun, aku menikmati momen ini. Entah mengapa aku selalu menikmati baik-baik kebersamaan kita, mungkin saja karena aku bukan lagi menjadi satu-satunya. "Menu apa to, Mas? Sayur rebung?" jawabku menebak. Seingatku menu andalan di rumah kami ya memang rebung. Entah di lodeh atau di tumis, kadang juga dibuat isian tahu isi. Karena memang banyak sekali pohon bambu di belakang rumah. "Bukan, Sayang, yang ada tahu gorengnya besar-besar itu loh, di sayurnya. Sudah lama banget nggak masak itu di rumah ini." Mas Asyraf menegakkan kepalanya dan memandangku dari cermin. "Ahh, Mas ingat, yang pakai tempe busuk itu loh." Aku mengernyitkan dahi. Aku tahu betul menu yang dimaksud Mas Asy. Sambel tumpang. Itu mem

  • Mahar Kedua   Part 20

    POV Asyraf"Dek, kok ngelamun?" Sudah tiga kali kupanggil istriku ia tetap terdiam. Pandangannya datar ke arah depan. Entah apa yang dipikirkannya, terlihat jelas raut kesedihan itu menggantung di wajahnya."Dek," panggilku lagi dengan melambaikan tangan di depan matanya. Ia sedikit tersentak dan menatap ke arahku. "Makan dulu ya, Sayang!" Aku mencoba membujuknya lagi. Naina mengangguk tanpa menolehkan wajahnya padaku. Hatiku terasa tergores melihat sikapnya yang seperti ini. "Kemarin Ina lihat flek, Mas, Ina kira itu datang bulan, rasanya sakit sekali bagian sini." Ia menunjuk perut bagian bawahnya, istriku berkata usai menelan suapan pertama. "Mas, pasti ada hikmah di balik semua ini. Mas pasti akan memiliki keturunan." Naina menghela nafas panjang. Aku urung menyuapkan bubur di sendok."Masih ada Mbak Hanna yang bisa diharapkan," ujaranya tersenyum sambil menatapku. Kedua netranya berkaca-kaca, tapi ia tak menghiraukannya. Ucapan Naina kini membuat hatiku tercubit. Ahh betapa ti

  • Mahar Kedua   Part 19 Flek?

    "Baru saja Bu Naina mengalami keguguran, Pak, tepat di usia enam minggu, persis seperti lima tahun yang lalu," imbuh dokter tersebut. Asyraf terperanjat mendengar penjelasan dokter itu. Keguguran Naina yang kedua kali membuat seluruh tubuhnya lemas. "Ke-keguguran, Dok?" tanya Asyraf seakan tak percaya."Benar, Pak. Sepertinya kehamilan ini juga tak diketahui oleh Bu Naina. Dan kali ini adalah keguguran Bu Naina yang kedua kalinya. Jika suatu saat Bu Naina hamil, maka kemungkinan keguguran lagi akan semakin besar, jika tidak dipersiapkan dengan baik." Dokter itu menarik nafas dalam. Asyraf menunduk dalam, jari telunjuknya menyusut air mata yang sedikit keluar di sudut matanya. "Seberapa besar kemungkinan istri saya bisa hamil lagi, Dok?" "Untuk itu saya tidak bisa memastikan, karena kehamilan sepenuhnya kehendak Tuhan. Sebagai manusia kita harus selalu optimis, berusaha dan berdoa, insya Allah nanti dimudahkan. Kemungkinan hamil pasti ada, Pak. Hanya saja harus benar-benar siap. K

  • Mahar Kedua   Part 18 Mengolah Rasa

    Ponsel Asyraf bergetar di atas nakas. Dengan cekatan ia segera meraihnya. Panggilan masuk dari sang ibu membuat dahinya berkerut? Segera ia menggeser ponsel untuk menjawab panggilan tersebut. "Ya Allah ... Naina," pekiknya. ****Wajah Asyraf menegang setelah mendengar suara dari telepon. Gurat kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. "Maaf, Hanna, sepertinya malam ini aku tidak bisa menginap di sini. Naina pingsan, aku harus membawanya ke rumah sakit." Lelaki itu memegang kedua tangan Hanna, memohon. Wanita itu tersenyum teramat tipis. Senyum yang dipaksakannya dalam kegelapan. Mungkin Asyraf tak tahu jika air mata membersamai senyum dan anggukan dari Hanna."Apa aku boleh ikut, Mas?" Meski malam ini tak bisa tidur bersama, setidaknya Hanna ingin tetap membersamai suaminya tersebut."Tidak usah, Han. Sudah larut malam, kau istirahatlah saja!" Dengan cekatan Asyraf mengenakan kemeja dan mengganti celana selutunya dengan celana panjang."Jangan lupa kunci pintunya, Mas pamit. Assal

  • Mahar Kedua   Part 17 Mengabulkan Permohonan

    Naina mematut dirinya di depan cermin. Ia berusaha menutupi matanya yang sedikit bengkak karena menangis tadi malam. Asyraf memandang istrinya yang sedang memperbaiki pashmina di kepalanya. Sejak pembicaraan semalam mereka belum mengobrol satu sama lain. Sama-sama canggung untuk mulai menyapa. Lelaki itu sesekali meliirik istrinya yang tampil lebih segar dari biasanya, meski Naina hanya memoleskan sedikit krim pelelmbab wajah dan lipstik berwarna nude di bibirnya. Melihat istrinya sudah selesai mematut diri, lelaki berkemeja marun itu beranjak untuk mengambil kunci mobil."Sudah siap, Sayang?" asyraf mencoba mencairkan suasana canggung tersebut. Naiina memutar tubuhnya ke arah Asyraf yag masih tersenyyum."Mas jadi anter Ina?""Jadi dong, Sayang. Ya udah Mas ke depan dulu ya pamitan sama Bapak Ibu, sekalian manasin mobil dulu." Asyraf berranjak meninggalkan kamar tersebut. Naina segera mengambil tas selempang berwarna coklat unntuk dipadukan dengan warna pashminanya agar terlihat s

  • Mahar Kedua   Part 16 Menyiapkan Hati Untuk Berbagi

    (POV Naina)"Apa aku pantas memohon padamu, agar Mas Asy mau menjadikanku istri yang seutuhnya? Yang rela memberikan nafkah batinnya?" Kedua netranya menatapku dalam. Membuat tanganku berhenti mengelus pundaknya. Ya Allah, permohonan apa ini? Haruskah aku membujuk Mas Asy agar bersedia memberikan nafkah batin pada maduku? Sedangkan aku sendiri merasa cemburu? 🍁🍁🍁Mata Mbak Hanna menatapku dalam. Aku tetap bergeming. Bimbang dengan perasaan yang semakin ambigu di dalam hati. "Apa arti pernikahan ini, Na? Jika suamiku sendiri saja tak mau menyentuhku." "Mbak ...." Aku mencoba membuka suara. Meski sebenarnya bingung harus menyampaikan apa. "Maaf jika pernikahan ini tak seperti yang Mbak bayangkan. Mas Asy sebenarnya bukan menganggap Mbak Hanna tak ada, tapi belum menemukan kenyamanan masing-masing ... anu maksudnya mungkin belum terbangun chemistry di antara kalian." "Jika Mas Asy tak menganggap Mbak Hanna, tak mungkin kesalahpahaman di antara kita terjadi, Mbak. Masalah meja ri

DMCA.com Protection Status