(Pov Hanna)"Mendoannya enak, Han. Terimakasih ya sudah memasak untukku." Suara Mas Asy membuyarkan lamunanku. Bahagia, itulah yang kurasakan saat Mas Asy memuji masakan pertamaku. Namun, di sudut hati yang lain ada rasa sakit karena ia masih menganggap diri ini seperti orang lain.Jujur saja ini adalah pertama kalinya aku mengobrol banyak dengannya. Biasanya ia hanya bertanya masalah rumus atau jadwal mengajar di tempatku. Mas Asy seorang dosen matematika, sedangkan aku dosen fisika. Ada kesamaan di beberapa rumus, sehingga kami bisa berinteraksi.Mendoan yang kusajikan habis tak bersisa. Aku hanya mengambil sepotong saja. Meski menurutku rasanya sedikit lebih asin dari biasanya, tapi Mas Asy tak mengomentarinya sama sekali. Dia benar-benar suami idaman wanita.Setelah mengucapkan terimakasih, Mas Asy bangkit dari duduknya menuju kamar kami. Lebih tepatnya di meja belajarnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama buku-bukunya daripada denganku. Mungkin memang belum terbiasa.Usa
(POV Naina)Enam hari setelah pernikahan itu, aku mulai belajar memahami jadwal adil yang diatur sedemikian rupa untukku juga Mbak Hanna. Jika bulan ini aku mendapat jadwal pada tanggal ganjil, maka bulan berikutnya akan dapat jadwal pada tanggal genap, begitu seterusnya.Mbak Hanna adalah seorang dosen yang dulu pernah sekali mengisi kelasku, karena menggantikan dosen yang tidak hadir. Makanya aku tidak canggung ketika memanggil Mbak, karena dia bukan dosen tetapku dulu. Sering terdengar Mbak Hanna mengagumi Mas Asyraf yang saat itu status pernikahannya denganku masih disembunyikan. Namun, aku menyadari siapapun dia di masa lalu kini tidaklah penting, karena bagaimanapun dia memiliki hak yang sama seperti diriku, yaitu sebagai seorang istri.Malam setelah pulang dari melamar Mbak Hanna, Ibu bercerita bahwa semuanya berawal karena mereka tak sengaja bertemu di sebuah butik langganan beliau. Mbak Hanna mengatakan bahwa ia mengajar di salah satu Sekolah Tinggi yang dulu aku tempati untu
Pukul enam pagi matahari sama sekali belum menampakkan diri. Jika biasanya sarapan sudah siap, kali ini Naina, Hanna dan Bu Liyah masih berkutat di dapur. Drama mati lampu membuat azan subuh di surau tak terdengar karena tak memakai pengeras suara. Pagi yang dingin dan mendung menambah suasana semakin terbuai di balik selimut. Hanya Bu Liyah dan Hanna yang menyadari saat langit semakin terang. Mereka yang tinggal di rumah yang berbeda segera membangunkan anggota keluarga. Setengah enam pagi mereka baru melaksanakan kewajiban tersebut. Bu Liyah mulai meracik kopi jahe di gelas, sedangkan Naina meracik teh lemon di dalam teko. Setelah selesai Naina segera mengantarnya di ruang makan, di sana sudah ada Pak Rahman dan Asyraf. Usai menyajikan minuman tersebut, Naina kembali lagi ke dapur untuk memulai ritual masaknya. Bu Liyah nampak mengiris-iris rebung yang akan dimasak, Hanna mengupas bumbu yang diperlukan, sedangkan Hanna meracik bumbu untuk sayur rebung, sambal terasi dan ikan goreng
(POV Asyraf)Poligami. Sebuah kata yang terdengar horor bagi setiap pasangan. Namun, kata tersebut melekat erat dalam kehidupan rumah tanggaku. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya jika akan menikah lagi. Memiliki dua istri sangat membuatku pusing. Aku merasa tak bisa adil dengan mereka. Selama menikah dengan Hanna aku belum pernah menyentuhnya secara intens. Jujur saja aku merasa mengkhianati Naina saat berada di tempat Hanna, meski kami sudaah suami istri. Naina tak lagi ceria seperti sebelumnya. Aku tahu dia menyembunyikan rasa sakitnya selama ini. Pengorbanannya begitu besar, dia rela diduakan demi kedua orangtuaku.Aku mencintai Naina dan tak pernah ingin melukainya. Namun, aku juga menyayangi dan menghormati orang tuaku. Aku ingin fokus dengan satu istri, membina rumah tangga berdua dan mengeja karakter masing-masing. Berbagi rahasia dengan satu wanita, tidak repot mengurusi drama cemburu antara dua wanita.Naina tak lagi memliki anggota keluarga. Mamaknya sangat berharap ak
POV AsyrafKepalaku dipenuhi banyak pikiran. Bagaimana aku harus menjelaskan semua ini. Jika lelaki banyak yang mendambakan memiliki dua istri, aku bahkan tak ingin berada di posisi tersebut. Ini bukan seperti yang orang lain bayangkan. Memiliki dua istri cantik pastilah senang, tinggal menjenguk salah satunya, jika sedang bertengkar dengan yang lain. Dua istri justru membuyarkan konsentrasiku. Gejolak asmara yang biasanya hanya terfokus untuk satu orang dengan tulus, kini harus terbagi. Di depan istri yang lain aku harus bersandiwara demi memenuhi kewajiban. Tak peduli selelah apapun diriku, aku harus selalu tersenyum di depan mereka. Aku segera memarkirkan mobil di halaman. Dua orang yang mengantar barang pesananku mengangguukkan kepala, berpamitan untuk pergi. Meja rias dan mesin cuci sudah bertengger di teras rumah."Naina ...." Kedua wajah orang tuaku terlihat khawatir. Bapak menunjuk rumah sebelah dengan lirikan matanya. Benar saja.Sepasang sandal Naina terlihat di teras r
'Bener nggak ini rumahnya Pak Asyraf? Kata Pak Asyraf kan rumahnya belakang toko, kok ini di arahin ke rumah itu ya,'Naina terdiam, kembali terngiang ucapan lsalah satu elaki yang tadi mengantar mea rias itu."Wi, Mbak pulang dulu ya!" ucap Naina tergesa."Ciee, yang mau nyobain meja rias baru," celetuk Dewi membuat Naina tersenyum tipis.Ia mengbaikan candaan Dewi, bergegas menuju halaman rumah, di sana sudah ada Pak Rahman dan Bu Liyah. "Wahh mesin cuci baru, Pak," ucap Bu Liyah terlihat bahagia. Senyum mengembang di wajahnya. Naina berdiri di samping Bu Liyah, ikut melihat kedua barang tersebut diturunkan. Naina terbelalak saat netranya mendapati sebuah ukiran nama di belakang meja tepat di pojok kanan atas. 'Hanna Mufidah' begitulah tulisannya. Tanpa memperdulikan kedua mertuanya, Naina mengayunkan kakinya dengan langkah lebar menuju rumah sebelah. Bu Liyah berkali-kali memanggil Naina, tapi diacuhkannya. Nafasnya memburu menahan amarah yang menumpuk di dada. "Baru nikah se
(POV Naina)"Dek Na! Sayang," bisik Mas Asyraf sambil melingkarkan sepasang tangannya di perutku. Bagaimana bisa aku leluasa menggoreng, jika kepalanya disandarkan pada leherku."Mas, Ina lagi goreng kerupuk nih nanti gosong loh kalo diganggu," jawabku dengan sedikit mencebik. "Mas nggak ganggu, Dek, cuma godain aja." Kini Mas Asyraf mencubit pelan pipiku. "Sudah meluknya, Mas. Ina mau angkat kerupuknya dulu." Satu per satu kerupuk udang berukuran besar ini kumasukkan ke dalam serokan. Kedua tangan Mas Asyraf tetap saja melingkar di perutku, membuat gerakan ini sedikit terbatas."Mas, Ina selesaikan goreng kerupuknya dulu, ya. Nanti diterusin lagi deh manja-manjanya." Kudaratkan satu kecupan di pipinya. Berharap Mas Asyraf melepaskan pelukannya, agar pekerjaan ini cepat selesai."Mas mau coba goreng kerupuknya, Dek," ucap Mas Asy. Tangannya mengambil beberapa kerupuk mentah."Emang bisa, Mas?" Aku mengernyitkan dahi. Menatap kedua netranya. Mas Asy mengangguk, lantas tersenyum. "Ya
(POV Naina)"Apa aku pantas memohon padamu, agar Mas Asy mau menjadikanku istri yang seutuhnya? Yang rela memberikan nafkah batinnya?" Kedua netranya menatapku dalam. Membuat tanganku berhenti mengelus pundaknya. Ya Allah, permohonan apa ini? Haruskah aku membujuk Mas Asy agar bersedia memberikan nafkah batin pada maduku? Sedangkan aku sendiri merasa cemburu? 🍁🍁🍁Mata Mbak Hanna menatapku dalam. Aku tetap bergeming. Bimbang dengan perasaan yang semakin ambigu di dalam hati. "Apa arti pernikahan ini, Na? Jika suamiku sendiri saja tak mau menyentuhku." "Mbak ...." Aku mencoba membuka suara. Meski sebenarnya bingung harus menyampaikan apa. "Maaf jika pernikahan ini tak seperti yang Mbak bayangkan. Mas Asy sebenarnya bukan menganggap Mbak Hanna tak ada, tapi belum menemukan kenyamanan masing-masing ... anu maksudnya mungkin belum terbangun chemistry di antara kalian." "Jika Mas Asy tak menganggap Mbak Hanna, tak mungkin kesalahpahaman di antara kita terjadi, Mbak. Masalah meja ri
Bag. 24"Iya, Bude. Ada yang bisa Naina bantu?" Naina berusaha mengulas senyum terbaiknya. Lebih baik ia berpura-pura tak mendengar apapun. "Ehh ... nggak ada, Na. Ini sayur tumpang buatanmu ya?" Bude Ros menunjuk sepiring nasi yang disiram kuah sayur tumpang. "Iya, Bude. Ina yang masak sayur tumpangnya. Enak nggak menurut Bude?" Kali ini Bude Ros tak jutek seperti biasanya. Sehingga Naina merasa lebih santai untuk berbincang berdua.'Semoga Naina tak mendengar ucapanku tadi,' batin Bude Ros merutuki dirinya yang suka ceplas-ceplos. Meski memang lidahnya tajam dalam berbicara, wanita yang lebih tua tiga tahun dari ayah mertua Naina itu masih memiliki perasaan. Ia bukan tipe yang suka menyindir, apa yang tidak cocok langsung dikatakan tanpa memendamnya. Meski begitu segala ucapan yang keluar dari mulutnya tak melalui saringan terlebih dahulu, hingga kadang tanpa sadar menyakiti lawan bicara. "Ini uwenak lho, Na. Padahal aku sering beli sayur tumpang buat sarapan, tapi nggak ada yang
"Padahal baru dua bulan nikah, tapi alhamdulillah langsung isi.""Selamat ya, Firda. Jaga kandungannya!" Kali ini suara Bu Liyah membuat Naina menghentikan langkahnya ke ruang tamu. Deg!Kehamilan Firda membuat Naina semakin iri dan sakit hati. Perkataan Bude Ros yang memamerkan kehamilan Firda membuatnya ingin membanting nampan di tangannya keras-keras. Ia meletakkan nampan tersebut di meja. Menarik nafas dalam dan mengembuskannya. "Selamat juga buatmu, Liyah. Sebentar lagi mau nimang cucu.""Iya, Mbakyu. Kata bidan kalau hamil muda nggak boleh sering-sering perjalanan jauh, Mbakyu," tutur Bu Liyah mengingatkan."Itu juga kan tergantung kondisi yang hamil. Kalau Firda ini kan alhamdulillah kuat ibu sama janinnya. Lagian ke sini juga pakai mobil, jalannya juga pelan-pelan tadi. Pasti aman lah." "Iya, Mbakyu." Bu Liyah mengangguk. Naina menyusut air matanya yang tak sengaja keluar. Perkataan Bude Ros mencubit hatinya yang masih terluka. Sejenak ia menunggu hingga tak lagi ada percak
(POV Naina)Tiba-tiba mataku berhenti pada sesuatu yang begitu familiar di atas meja ruang tamu. Kusentuh barang itu dan segera menutup mulut."Ya Allah, itu artinya ...." gumamku pelan tak kuasa melanjutkan. Sebuah testpack bergaris dua berada dalam genggamanku. Mungkin Mbak Hanna ingin memberitahukan hal itu di sini, tapi kejadian mual di rumah kami membuat hal itu tertunda. Dari dalam kamar terdengar Mbak Hanna menjelaskan sesuatu dan Mas Asy memekik hamdalah usai penuturan itu selesai. Aku yang mendengar hal itu segera menghampiri kamar mereka. Mataku terbelalak melihat mereka yang sedang berpelukan penuh haru. Mbak Hanna segera mengurai pelukan mereka. Mereka segera terdiam memandang mimik wajahku, kupaksakan untuk tersenyum tipis. "Mas, Mbak Hanna hamil, ya?" tanyaku berdebar-debar. Ia pun mengangguk pelan. Perasaanku hancur. Aku tidak tahu harus sedih atau bahagia atas kabar janin yang sudah tumbuh di rahim Mbak Hanna, karena sebenarnya aku sendiri pun juga telah menanti
(POV Naina)"Dek Na, Mas pengen sarapan menu yang ... apa ya namanya, yang jadi andalan di rumahmu dulu itu loh, boleh?" bisik Mas Asyraf yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Kedua tangannya melingkar rapat di perutku. Lalu kepalanya dibenamkan di cerukku, deru nafasnya membuatku geli. Namun, aku menikmati momen ini. Entah mengapa aku selalu menikmati baik-baik kebersamaan kita, mungkin saja karena aku bukan lagi menjadi satu-satunya. "Menu apa to, Mas? Sayur rebung?" jawabku menebak. Seingatku menu andalan di rumah kami ya memang rebung. Entah di lodeh atau di tumis, kadang juga dibuat isian tahu isi. Karena memang banyak sekali pohon bambu di belakang rumah. "Bukan, Sayang, yang ada tahu gorengnya besar-besar itu loh, di sayurnya. Sudah lama banget nggak masak itu di rumah ini." Mas Asyraf menegakkan kepalanya dan memandangku dari cermin. "Ahh, Mas ingat, yang pakai tempe busuk itu loh." Aku mengernyitkan dahi. Aku tahu betul menu yang dimaksud Mas Asy. Sambel tumpang. Itu mem
POV Asyraf"Dek, kok ngelamun?" Sudah tiga kali kupanggil istriku ia tetap terdiam. Pandangannya datar ke arah depan. Entah apa yang dipikirkannya, terlihat jelas raut kesedihan itu menggantung di wajahnya."Dek," panggilku lagi dengan melambaikan tangan di depan matanya. Ia sedikit tersentak dan menatap ke arahku. "Makan dulu ya, Sayang!" Aku mencoba membujuknya lagi. Naina mengangguk tanpa menolehkan wajahnya padaku. Hatiku terasa tergores melihat sikapnya yang seperti ini. "Kemarin Ina lihat flek, Mas, Ina kira itu datang bulan, rasanya sakit sekali bagian sini." Ia menunjuk perut bagian bawahnya, istriku berkata usai menelan suapan pertama. "Mas, pasti ada hikmah di balik semua ini. Mas pasti akan memiliki keturunan." Naina menghela nafas panjang. Aku urung menyuapkan bubur di sendok."Masih ada Mbak Hanna yang bisa diharapkan," ujaranya tersenyum sambil menatapku. Kedua netranya berkaca-kaca, tapi ia tak menghiraukannya. Ucapan Naina kini membuat hatiku tercubit. Ahh betapa ti
"Baru saja Bu Naina mengalami keguguran, Pak, tepat di usia enam minggu, persis seperti lima tahun yang lalu," imbuh dokter tersebut. Asyraf terperanjat mendengar penjelasan dokter itu. Keguguran Naina yang kedua kali membuat seluruh tubuhnya lemas. "Ke-keguguran, Dok?" tanya Asyraf seakan tak percaya."Benar, Pak. Sepertinya kehamilan ini juga tak diketahui oleh Bu Naina. Dan kali ini adalah keguguran Bu Naina yang kedua kalinya. Jika suatu saat Bu Naina hamil, maka kemungkinan keguguran lagi akan semakin besar, jika tidak dipersiapkan dengan baik." Dokter itu menarik nafas dalam. Asyraf menunduk dalam, jari telunjuknya menyusut air mata yang sedikit keluar di sudut matanya. "Seberapa besar kemungkinan istri saya bisa hamil lagi, Dok?" "Untuk itu saya tidak bisa memastikan, karena kehamilan sepenuhnya kehendak Tuhan. Sebagai manusia kita harus selalu optimis, berusaha dan berdoa, insya Allah nanti dimudahkan. Kemungkinan hamil pasti ada, Pak. Hanya saja harus benar-benar siap. K
Ponsel Asyraf bergetar di atas nakas. Dengan cekatan ia segera meraihnya. Panggilan masuk dari sang ibu membuat dahinya berkerut? Segera ia menggeser ponsel untuk menjawab panggilan tersebut. "Ya Allah ... Naina," pekiknya. ****Wajah Asyraf menegang setelah mendengar suara dari telepon. Gurat kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. "Maaf, Hanna, sepertinya malam ini aku tidak bisa menginap di sini. Naina pingsan, aku harus membawanya ke rumah sakit." Lelaki itu memegang kedua tangan Hanna, memohon. Wanita itu tersenyum teramat tipis. Senyum yang dipaksakannya dalam kegelapan. Mungkin Asyraf tak tahu jika air mata membersamai senyum dan anggukan dari Hanna."Apa aku boleh ikut, Mas?" Meski malam ini tak bisa tidur bersama, setidaknya Hanna ingin tetap membersamai suaminya tersebut."Tidak usah, Han. Sudah larut malam, kau istirahatlah saja!" Dengan cekatan Asyraf mengenakan kemeja dan mengganti celana selutunya dengan celana panjang."Jangan lupa kunci pintunya, Mas pamit. Assal
Naina mematut dirinya di depan cermin. Ia berusaha menutupi matanya yang sedikit bengkak karena menangis tadi malam. Asyraf memandang istrinya yang sedang memperbaiki pashmina di kepalanya. Sejak pembicaraan semalam mereka belum mengobrol satu sama lain. Sama-sama canggung untuk mulai menyapa. Lelaki itu sesekali meliirik istrinya yang tampil lebih segar dari biasanya, meski Naina hanya memoleskan sedikit krim pelelmbab wajah dan lipstik berwarna nude di bibirnya. Melihat istrinya sudah selesai mematut diri, lelaki berkemeja marun itu beranjak untuk mengambil kunci mobil."Sudah siap, Sayang?" asyraf mencoba mencairkan suasana canggung tersebut. Naiina memutar tubuhnya ke arah Asyraf yag masih tersenyyum."Mas jadi anter Ina?""Jadi dong, Sayang. Ya udah Mas ke depan dulu ya pamitan sama Bapak Ibu, sekalian manasin mobil dulu." Asyraf berranjak meninggalkan kamar tersebut. Naina segera mengambil tas selempang berwarna coklat unntuk dipadukan dengan warna pashminanya agar terlihat s
(POV Naina)"Apa aku pantas memohon padamu, agar Mas Asy mau menjadikanku istri yang seutuhnya? Yang rela memberikan nafkah batinnya?" Kedua netranya menatapku dalam. Membuat tanganku berhenti mengelus pundaknya. Ya Allah, permohonan apa ini? Haruskah aku membujuk Mas Asy agar bersedia memberikan nafkah batin pada maduku? Sedangkan aku sendiri merasa cemburu? 🍁🍁🍁Mata Mbak Hanna menatapku dalam. Aku tetap bergeming. Bimbang dengan perasaan yang semakin ambigu di dalam hati. "Apa arti pernikahan ini, Na? Jika suamiku sendiri saja tak mau menyentuhku." "Mbak ...." Aku mencoba membuka suara. Meski sebenarnya bingung harus menyampaikan apa. "Maaf jika pernikahan ini tak seperti yang Mbak bayangkan. Mas Asy sebenarnya bukan menganggap Mbak Hanna tak ada, tapi belum menemukan kenyamanan masing-masing ... anu maksudnya mungkin belum terbangun chemistry di antara kalian." "Jika Mas Asy tak menganggap Mbak Hanna, tak mungkin kesalahpahaman di antara kita terjadi, Mbak. Masalah meja ri