Part 3
Dini hari usai salat subuh. Naina membuka jendela di kamarnya, membuat udara dingin menyeruak masuk. Satu dua bintang terlihat mengerlip, menandakan langit tak mendung pagi ini. Cahaya jingga belum terlihat di ufuk timur. Tanah masih basah akibat hujan semalam.Jendela kamar persis menghadap sebuah taman kecil yang dirawatnya dengan ibu mertua. Tanaman di sana tumbuh subur dan ada yang sedang berbunga. Sungguh, pemandangan indah untuk memanjakan mata. Selain tanaman bunga, mereka juga menanam jahe, kunyit, kencur dan lain sebagainya.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Asyraf melingkarkan tangannya memeluk dari belakang.“Selamat pagi juga, Sayang.” Naina menoleh ke belakang, sebuah kecupan mendarat di pipinya.“Eh, Mas. Jangan cium-cium, ini jendelanya terbuka, nanti kalau ibu tahu Ina malu.” Wajahnya bersemu merah.“Ibu nggak akan lihat, Na, beliau masih ngaji tadi di kamar salat.”“Nanti sore jalan-jalan, yuk!” ajak Asyraf pada istrinya.“Hari ini kan Ina mau bikin ketupat sama ibu, nanti sore baru bikin sayurnya, lain kali aja ya, Mas,” jawabnya dengan membalikkan bada menghadap sang suami.“Emm, mau lain kali ya? Padahal Mas mau ajak kamu jalan-jalan ke pantai,” ujarnya menggoda sang istri.“Pantai, Mas?” Wajah Naina berbinar. Ia memang senang melihat pantai, tetapi sudah lama sekali ia tak mengunjunginya. Terakhir kali berkunjung ka pantai saat usianya enam tahun, itu pun acara sekolah yang mengadakannya.“Ke pantai itu kan jauh, Mas, butuh waktu tiga jam.”“Sudah, nanti sore pokoknya kita jalan-jalan ya, Sayang,” ucapnya memohon.“Oh iya, Mas, percakapan semalam ...." Naina ragu membahas masalah poligami, tapi ia harus mendapat kesimpulannya.“Percakapan semalam belum ada kesimpulan, Naina tunggu jawabannya ya.” Naina mengalungkan tangan di leher suaminya, kemudian mencubit hidungnya berkali-kali hingga memerah. Setelah Asyraf terlihat kesal, ia akan berlari meninggalkannya.Semburat jingga mulai terlihat di ujung kaki langit. Naina melangkah menuju ruang makan yang tersambung dengan dapur. Ibu mertuanya sedang berkutat di sana. Membuat minuman jahe hangat kesukaan suaminya.“Bu, biar Ina saja yang antarkan jahenya.”“Nggak usah, Na, biar Ibu saja, sekalian ngingetin bapakmu untuk minum obat asam uratnya, kalau ndak diingatkan suka lupa,” ujarnya seraya membawa nampan berisi wedang jahe dan mendoan.“Oh, iya, serokan yang di atas wajan itu ada mendoan. Ibu baru bikin jadi masih hangat, minta tolong bawa ke depan ruang tv ya!” pinta sang ibu mertua.Naina segera menjerang air untuk membuat teh lemon. Teh yang memang biasa dikonsumsi di keluarga tersebut. Teh yang digunakan pun bukan teh celup, melainkan teh tubruk. Teh yang berbentuk potongan-potongan daun kasar yang siap di seduh. Jika diguyur dengan air panas, teh akan mengeluarkan aroma yang menggugah selera.Usai membuat teh lemon, Naina segera menatanya di atas nampan beserta mendoan yang masih hangat dan mengepul. Di ruang keluarga sudah ada ibu dan Asyraf. Mereka sedang mengobrol serius.“Ibu sudah mengizinkan, Dek,” celetuk Asyraf sebelum Naina mendaratkan nampannya di atas meja.“Mengizinkan apa, Mas?” tanyanya yang tetap sibuk menuangkan teh pada masing-masing gelas.“Bulan madu,” selorohnya asal dengan senyum yang lebar.“Eh.” Gerakan tangan Naina seketika terhenti. Ia menahan pandangannya untuk melihat Asyraf. Pernyataan Asyraf masih ambigu baginya, membuat jantungnya bertalu-talu.“Bulan madu apa, Mas?” tanyanya lagi dengan suara lirih. Ia duduk di samping Bu Liyah.“Bulan madu, yang Mas katakan tadi. Kita boleh ke pantai hari ini, Mas sudah pesan tiketnya dari semalam loh.”“Eh, ke pantai ada tiketnya ya?”“Asyraf ingin mengajakmu ke pantai yang jauh, nanti kamu bisa bersiap kalau sudah selesai bikin ketupatnya. Oh iya, rebung yang kamu bawa kemarin kan banyak, nanti ibu mau minta ya, mau dimasak tumis gitu.”“Baik, Bu, rebungnya dimasak saja, Bu, nanti Ina bisa ambil lagi kalau ke tempat Mbak Putri.”***Naina sedang mematut dirinya di depan cermin. Sosoknya yang mudah bergaul membuat dia memiliki banyak kenalan perempuan-perempuan yang fashionable, terutama para pelanggan yang sudah pernah merasakan jasa hennanya. Dari situlah ia bisa berpenampilan modern tanpa harus memperlihatkan lekuk tubuhnya.Tunik berwarna blue sky selutut, ia padukan dengan celana kulot berwarna navy yang tidak terlalu lebar. Kemudian disempurnakan dengan pashmina berwarna senada yang menutup bagian dadanya. Tak perlu riasan tebal untuk menghias wajahnya, cukup celak mata dan pelembab wajah.Setelah semua siap Naina dan Asyraf pamit pada keluarganya.“Cie yang mau bulan madu kedua,” goda sang ayah pada putranya.Asyraf tersipu malu, sedangkan Naina menahan senyumnya, berusaha menutupi wajahnya yang mungkin sudah merah padam.Mereka lantas menaiki mobil nissan x-trail yang dikemudikan oleh sopir pribadi keluarga.“Boleh aku menjawabnya sekarang?” Asyraf membuka suara.“Perihal apa, Mas?” Sebenarnya Naina bisa menebak arah pembicaraan itu, tetapi ia pura-pura tak mengerti. Entah rasanya ia enggan membahas hal yang sangat menyakitkan itu. Apalagi sekarang adalah waktu untuk mereka berlibur.“Percakapan kita semalam, Mas sudah menyiapkan jawabannya.” Naina mengernyitkan dahi, menunggu kalimat suaminya yang belum selesai."Mas akan ... Mas setuju dengan keputusan ibu dan bapak, demi kamu dan demi kebahagiaan kita. Semoga Allah meridhoi keputusan kita ya, Na." Asyraf tersenyum. Menyentuh kepala istrinya untuk didekatkan pada bahunya, agar sang istri bersandar.Naina mengangguk pelan. Jawaban itu membuat perasaannya dilema, sedih juga bahagia. Bahagia karena akhirnya sang suami menuruti kemauan kedua orangtuanya, tetapi sedih karena setelah ini, semuanya akan terbagi. Bukan lagi terbagi dengan ibu mertua, akan tetapi terbagi dengan wanita lain yang suatu saat akan dicintai suaminya.Entah apa yang akan terjadi jika Asyraf menolak untuk poligami, dan selamanya ia tak bisa memiliki anak. Mungkin saja kedua orangtuanya tidak ridho dengan pernikahan mereka.Sepuluh menit berlalu sunyi.Naina memejamkan matanya berpura-p**a tertidur. Ia tak mau lagi membahas percakapan itu. Dadanya semakin sesak. Jawaban suaminya bagai anak panah yang melesat kencang, lantas sukses menusuk ulu hatinya. Hidungnya tersumbat, menahan air mata yang tak ingin ia tumpahkan.Mobil berwarna putih itu mulai menyibak jalanan kota yang tak terlalu padat. Tepat tiga jam mobil tersebut telah sampai di tempat tujuan, terparkir anggun di antara mobil lain."Sayang, bangun yuk! Kita sudah sampai." Asyraf menepuk pipi istrinya pelan. Naina membuka matanya. Tanpa sadar tidur pura-puranya menjadi tidur sesungguhnya."Sudah sampai ya? Tapi kok nggak ada pantainya, Mas?" Naina mengernyitkan dahi. Memindai pemandangan sekitar yang hanya mobil dan sebuah gedung bertuliskan 'Bandar Udara Internasional Juanda'."Kita ke bandara?""Iya, Sayang. Sudah kamu turun ya, kita harus bergegas. Pesawat kita akan take off setengah jam lagi," tunjuknya pada selembar tiket yang ia keluarkan dari saku kemeja.Naina yang masih bingung dan ingin bertanya akan pergi kemana, akhirnya menurut saja melihat wajah sang suami yang terlihat serius menurunkan koper kecil.Setelah melalui banyak pemeriksaan, Naina dan Asyraf berjalan menuju garbarata yang bersambung ke pintu pesawat yang akan dinaiki mereka. Naina duduk tepat di samping jendela, sesuai dengan nomor kursinya.Ponsel Naina bergetar, menandakan ada notifikasi pesan. Ia segera membuka tas selempangnya, lalu mengubah ke mode pesawat. Meski kali pertama menaiki pesawat, Naina tahu kalau di dalam pesawat ponsel harus di nonaktifkan. Sekilas ia melihat pesan dari Bu Liyah, ia segera membuka pesan tersebut.[Besok ibu kirim foto calon-calonnya Asyraf]Pesan singkat itu membuat hati Naina mencelos. Ia baru menyadari pesan itu dikirim Bu Liyah semalam. Ia sedang tak ingin memikirkan hal itu. Pesan itu diabaikannya. 'Siapa yang ibu pilihkan untuk Mas Asy?' batin Naina dalam lamunannya.“Liyah, kamu sudah ngobrol sama menantumu itu masalah poligami?” tanya Bu Ros, kakak ipar Bu Liyah. Bu Ros adalah saudara kandung Pak Rahman, suaminya. “Sudah, Mbakyu, Ina setuju. Sekarang tinggal menunggu keputusan Asyraf, Naina sudah membujuknya,” terang Bu Liyah sembari menjerang air untuk menyeduh kopi yang akan disuguhkan pada kakak iparnya itu. “Baguslah kalau begitu, memang harus setuju, sudah lama dia belum hamil lagi setelah keguguran itu.” Bu Liyah hanya tersenyum kecut. Memang selama ini Bu Ros yang mengusulkan Asyraf untuk berpoligami. “Doakan saja, Mbakyu. Semoga pernikahan mereka tetap langgeng, dan jika Asyraf bersedia menikah lagi, ya doakan semoga bisa adil kepada istri-istrinya. Kalau aku yang diposisi Naina belum tentu bisa mengambil keputusan, Mbakyu.” “Tapi kamu kan tidak berada diposisinya sekarang,” timpal Bu Ros sambil menikmati pisang goreng yang disuguhkan. Tak hanya teh lemon, Bu Liyah juga menyukai kopi jahe yang diracik sendiri. Jika kebanyakan orang
Naina menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Tangannya memainkan ponselnya, membuka pesan sang ibu mertua. Matanya terbelalak dengan salah satu foto yang dikirmkan ibu mertuanya.“Beliau kenal darimana ya?” lirihnya bermonolog. Kembali ia mengamati foto itu, menge-zoom dengan dua jarinya. Dahinya mengernyit, menyimpan pertanyaan-pertanyaan.Ia beranjak dari tepi ranjang untuk ke kamar mandi.“Masi lama nggak, Mas? Nanti terlambat pesawatnya,” ucapnya sedikit berteriak saat mendengar kran kamar mandi menyala.“Sudah selesai, Sayang, ini lagi handukan dulu, lima menit lagi Mas keluar.”Naina kembali duduk di tepian ranjang dan berkutat dengan ponselnya.[Bu, satu jam lagi Ina berangkat, nanti kalau sampai rumah Ina mau ngobrol sama ibu dan bapak.]Sebuah pesan yang ia kirimkan pa
Sejak Bu Liyah meminta Naina mencarikan calon untuk suaminya, ia lebih banyak merenung. Sejak saat itu pula ia harus bisa menyembunyikan kesedihannya di depan sang suami. Sejauh ini ia berhasil menyembunyikan luka itu dengan baik. Namun, bagaimana nanti saat sudah ada wanita lain di kehidupan suaminya. Bisakah ia menampilkan senyum sebaik mungkin? Atau bisakah ia menahan rasa cemburu?Naina menghapus sisa air matanya, kali ini ia berlama-lama meluapkan kesedihannya dengan menangis. Asyraf dan kedua orang tuanya pergi sejak pagi. Membeli beberapa hal untuk lamaran nanti malam. Naina memutuskan untuk tidak ikut. Ia takut jika tak bisa mengendalikan perasaannya.Akan tetapi, Naina mendapat kejutan tak terduga dari sang ibu mertua. Beliau menyuruh Naina untuk menghias seperangkat alat salat yang akan dijadikan mahar di pernikahan suaminya nanti. Sakit yang ia tahan selama ini meluap begitu saja saat semua penghuni rumah pergi. Bahkan ibu mertuanya juga meminta untuk memakaikan henna di tan
“Assalamualaikum, Na, ini Mbak Putri, tolong bukakan pintunya!” Putri mengetuk pintu kamar Naina, tetapi tidak ada sahutan dari dalam.“Nainaa!” seru perempuan berjilbab tosca itu. Lagi. Tetap hening.“Ada apa, Put?” tanya Bu Liyah menghampiri Putri.“Naina kayaknya nggak ada di kamar, Bu, soalnya nggak ada sahutan,” jawab Putri.“Masak nggak ada, Put? Tadi habis ketemu sama mempelai wanita Ina bilang mau ke kamar. Ibu juga nggak lihat Ina di dapur.”Perempuan paruh baya itu menyingsingkan selendang di tangannya, lantas mengetuk pintu kamar Naina, tetap saja tak ada jawaban.“Putri kok khawatir ya terjadi sesuatu sama Naina,” ucap Putri mulai resah.Seketika raut wajah Bu Liyah menunjukkan kecemasan. Perlahan beliau mencoba memutar kenop pintu kamar. Menyisir seluruh ruangan kamar, mencari keberadaan Naina. Putri segera masuk ke kamar.“Astagfirullah, Naina,” seru Putri saat mengetahui Naina tergolek lemas bersandar di dinding. Sigap Bu Liyah memanggil ibu-ibu yang sedang mengisi nasi
(Pov Hanna)Kuusap peluh yang membasahi dahi juga leher. Rambut pun mulai berantakan dan nampak putih terkena terigu. Segera kubersihkan diri di kamar mandi. Tanpa terasa sudah dua jam aku berkutat dengan terigu dan tempe untuk membuat mendoan kesukaan Mas Asyraf. Usai membersihkan diri, aku mulai menata mendoan dan sambal kecapnya di meja makan karena sebentar lagi Mas Asyraf akan pulang. Ini adalah kali pertama aku memasak. Entah bagaimana rasanya. Sudah enam hari aku menikah dengan Mas Asy, selama itu pula aku tak pernah memasak untuknya. Setiap hari kami makan di tempat mertua, aku selalu membantu Naina--istri pertama Mas Asyraf-- untuk memasak makanan. Di rumah orang tua, aku pun tak pernah memasak. Saat aku kecil, keluarga kami memiliki asisten rumah tangga. Dan ketika aku serta kakakku sudah dewasa, Mama pensiun, lantas beliau fokus menjadi ibu rumah tangga. Jadilah aku wanita karir yang tak bisa melakukan pekerjaan rumah kecuali menyapu.Menurutku Naina adalah wanita yang sa
(Pov Hanna)"Mendoannya enak, Han. Terimakasih ya sudah memasak untukku." Suara Mas Asy membuyarkan lamunanku. Bahagia, itulah yang kurasakan saat Mas Asy memuji masakan pertamaku. Namun, di sudut hati yang lain ada rasa sakit karena ia masih menganggap diri ini seperti orang lain.Jujur saja ini adalah pertama kalinya aku mengobrol banyak dengannya. Biasanya ia hanya bertanya masalah rumus atau jadwal mengajar di tempatku. Mas Asy seorang dosen matematika, sedangkan aku dosen fisika. Ada kesamaan di beberapa rumus, sehingga kami bisa berinteraksi.Mendoan yang kusajikan habis tak bersisa. Aku hanya mengambil sepotong saja. Meski menurutku rasanya sedikit lebih asin dari biasanya, tapi Mas Asy tak mengomentarinya sama sekali. Dia benar-benar suami idaman wanita.Setelah mengucapkan terimakasih, Mas Asy bangkit dari duduknya menuju kamar kami. Lebih tepatnya di meja belajarnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama buku-bukunya daripada denganku. Mungkin memang belum terbiasa.Usa
(POV Naina)Enam hari setelah pernikahan itu, aku mulai belajar memahami jadwal adil yang diatur sedemikian rupa untukku juga Mbak Hanna. Jika bulan ini aku mendapat jadwal pada tanggal ganjil, maka bulan berikutnya akan dapat jadwal pada tanggal genap, begitu seterusnya.Mbak Hanna adalah seorang dosen yang dulu pernah sekali mengisi kelasku, karena menggantikan dosen yang tidak hadir. Makanya aku tidak canggung ketika memanggil Mbak, karena dia bukan dosen tetapku dulu. Sering terdengar Mbak Hanna mengagumi Mas Asyraf yang saat itu status pernikahannya denganku masih disembunyikan. Namun, aku menyadari siapapun dia di masa lalu kini tidaklah penting, karena bagaimanapun dia memiliki hak yang sama seperti diriku, yaitu sebagai seorang istri.Malam setelah pulang dari melamar Mbak Hanna, Ibu bercerita bahwa semuanya berawal karena mereka tak sengaja bertemu di sebuah butik langganan beliau. Mbak Hanna mengatakan bahwa ia mengajar di salah satu Sekolah Tinggi yang dulu aku tempati untu
Pukul enam pagi matahari sama sekali belum menampakkan diri. Jika biasanya sarapan sudah siap, kali ini Naina, Hanna dan Bu Liyah masih berkutat di dapur. Drama mati lampu membuat azan subuh di surau tak terdengar karena tak memakai pengeras suara. Pagi yang dingin dan mendung menambah suasana semakin terbuai di balik selimut. Hanya Bu Liyah dan Hanna yang menyadari saat langit semakin terang. Mereka yang tinggal di rumah yang berbeda segera membangunkan anggota keluarga. Setengah enam pagi mereka baru melaksanakan kewajiban tersebut. Bu Liyah mulai meracik kopi jahe di gelas, sedangkan Naina meracik teh lemon di dalam teko. Setelah selesai Naina segera mengantarnya di ruang makan, di sana sudah ada Pak Rahman dan Asyraf. Usai menyajikan minuman tersebut, Naina kembali lagi ke dapur untuk memulai ritual masaknya. Bu Liyah nampak mengiris-iris rebung yang akan dimasak, Hanna mengupas bumbu yang diperlukan, sedangkan Hanna meracik bumbu untuk sayur rebung, sambal terasi dan ikan goreng
Bag. 24"Iya, Bude. Ada yang bisa Naina bantu?" Naina berusaha mengulas senyum terbaiknya. Lebih baik ia berpura-pura tak mendengar apapun. "Ehh ... nggak ada, Na. Ini sayur tumpang buatanmu ya?" Bude Ros menunjuk sepiring nasi yang disiram kuah sayur tumpang. "Iya, Bude. Ina yang masak sayur tumpangnya. Enak nggak menurut Bude?" Kali ini Bude Ros tak jutek seperti biasanya. Sehingga Naina merasa lebih santai untuk berbincang berdua.'Semoga Naina tak mendengar ucapanku tadi,' batin Bude Ros merutuki dirinya yang suka ceplas-ceplos. Meski memang lidahnya tajam dalam berbicara, wanita yang lebih tua tiga tahun dari ayah mertua Naina itu masih memiliki perasaan. Ia bukan tipe yang suka menyindir, apa yang tidak cocok langsung dikatakan tanpa memendamnya. Meski begitu segala ucapan yang keluar dari mulutnya tak melalui saringan terlebih dahulu, hingga kadang tanpa sadar menyakiti lawan bicara. "Ini uwenak lho, Na. Padahal aku sering beli sayur tumpang buat sarapan, tapi nggak ada yang
"Padahal baru dua bulan nikah, tapi alhamdulillah langsung isi.""Selamat ya, Firda. Jaga kandungannya!" Kali ini suara Bu Liyah membuat Naina menghentikan langkahnya ke ruang tamu. Deg!Kehamilan Firda membuat Naina semakin iri dan sakit hati. Perkataan Bude Ros yang memamerkan kehamilan Firda membuatnya ingin membanting nampan di tangannya keras-keras. Ia meletakkan nampan tersebut di meja. Menarik nafas dalam dan mengembuskannya. "Selamat juga buatmu, Liyah. Sebentar lagi mau nimang cucu.""Iya, Mbakyu. Kata bidan kalau hamil muda nggak boleh sering-sering perjalanan jauh, Mbakyu," tutur Bu Liyah mengingatkan."Itu juga kan tergantung kondisi yang hamil. Kalau Firda ini kan alhamdulillah kuat ibu sama janinnya. Lagian ke sini juga pakai mobil, jalannya juga pelan-pelan tadi. Pasti aman lah." "Iya, Mbakyu." Bu Liyah mengangguk. Naina menyusut air matanya yang tak sengaja keluar. Perkataan Bude Ros mencubit hatinya yang masih terluka. Sejenak ia menunggu hingga tak lagi ada percak
(POV Naina)Tiba-tiba mataku berhenti pada sesuatu yang begitu familiar di atas meja ruang tamu. Kusentuh barang itu dan segera menutup mulut."Ya Allah, itu artinya ...." gumamku pelan tak kuasa melanjutkan. Sebuah testpack bergaris dua berada dalam genggamanku. Mungkin Mbak Hanna ingin memberitahukan hal itu di sini, tapi kejadian mual di rumah kami membuat hal itu tertunda. Dari dalam kamar terdengar Mbak Hanna menjelaskan sesuatu dan Mas Asy memekik hamdalah usai penuturan itu selesai. Aku yang mendengar hal itu segera menghampiri kamar mereka. Mataku terbelalak melihat mereka yang sedang berpelukan penuh haru. Mbak Hanna segera mengurai pelukan mereka. Mereka segera terdiam memandang mimik wajahku, kupaksakan untuk tersenyum tipis. "Mas, Mbak Hanna hamil, ya?" tanyaku berdebar-debar. Ia pun mengangguk pelan. Perasaanku hancur. Aku tidak tahu harus sedih atau bahagia atas kabar janin yang sudah tumbuh di rahim Mbak Hanna, karena sebenarnya aku sendiri pun juga telah menanti
(POV Naina)"Dek Na, Mas pengen sarapan menu yang ... apa ya namanya, yang jadi andalan di rumahmu dulu itu loh, boleh?" bisik Mas Asyraf yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Kedua tangannya melingkar rapat di perutku. Lalu kepalanya dibenamkan di cerukku, deru nafasnya membuatku geli. Namun, aku menikmati momen ini. Entah mengapa aku selalu menikmati baik-baik kebersamaan kita, mungkin saja karena aku bukan lagi menjadi satu-satunya. "Menu apa to, Mas? Sayur rebung?" jawabku menebak. Seingatku menu andalan di rumah kami ya memang rebung. Entah di lodeh atau di tumis, kadang juga dibuat isian tahu isi. Karena memang banyak sekali pohon bambu di belakang rumah. "Bukan, Sayang, yang ada tahu gorengnya besar-besar itu loh, di sayurnya. Sudah lama banget nggak masak itu di rumah ini." Mas Asyraf menegakkan kepalanya dan memandangku dari cermin. "Ahh, Mas ingat, yang pakai tempe busuk itu loh." Aku mengernyitkan dahi. Aku tahu betul menu yang dimaksud Mas Asy. Sambel tumpang. Itu mem
POV Asyraf"Dek, kok ngelamun?" Sudah tiga kali kupanggil istriku ia tetap terdiam. Pandangannya datar ke arah depan. Entah apa yang dipikirkannya, terlihat jelas raut kesedihan itu menggantung di wajahnya."Dek," panggilku lagi dengan melambaikan tangan di depan matanya. Ia sedikit tersentak dan menatap ke arahku. "Makan dulu ya, Sayang!" Aku mencoba membujuknya lagi. Naina mengangguk tanpa menolehkan wajahnya padaku. Hatiku terasa tergores melihat sikapnya yang seperti ini. "Kemarin Ina lihat flek, Mas, Ina kira itu datang bulan, rasanya sakit sekali bagian sini." Ia menunjuk perut bagian bawahnya, istriku berkata usai menelan suapan pertama. "Mas, pasti ada hikmah di balik semua ini. Mas pasti akan memiliki keturunan." Naina menghela nafas panjang. Aku urung menyuapkan bubur di sendok."Masih ada Mbak Hanna yang bisa diharapkan," ujaranya tersenyum sambil menatapku. Kedua netranya berkaca-kaca, tapi ia tak menghiraukannya. Ucapan Naina kini membuat hatiku tercubit. Ahh betapa ti
"Baru saja Bu Naina mengalami keguguran, Pak, tepat di usia enam minggu, persis seperti lima tahun yang lalu," imbuh dokter tersebut. Asyraf terperanjat mendengar penjelasan dokter itu. Keguguran Naina yang kedua kali membuat seluruh tubuhnya lemas. "Ke-keguguran, Dok?" tanya Asyraf seakan tak percaya."Benar, Pak. Sepertinya kehamilan ini juga tak diketahui oleh Bu Naina. Dan kali ini adalah keguguran Bu Naina yang kedua kalinya. Jika suatu saat Bu Naina hamil, maka kemungkinan keguguran lagi akan semakin besar, jika tidak dipersiapkan dengan baik." Dokter itu menarik nafas dalam. Asyraf menunduk dalam, jari telunjuknya menyusut air mata yang sedikit keluar di sudut matanya. "Seberapa besar kemungkinan istri saya bisa hamil lagi, Dok?" "Untuk itu saya tidak bisa memastikan, karena kehamilan sepenuhnya kehendak Tuhan. Sebagai manusia kita harus selalu optimis, berusaha dan berdoa, insya Allah nanti dimudahkan. Kemungkinan hamil pasti ada, Pak. Hanya saja harus benar-benar siap. K
Ponsel Asyraf bergetar di atas nakas. Dengan cekatan ia segera meraihnya. Panggilan masuk dari sang ibu membuat dahinya berkerut? Segera ia menggeser ponsel untuk menjawab panggilan tersebut. "Ya Allah ... Naina," pekiknya. ****Wajah Asyraf menegang setelah mendengar suara dari telepon. Gurat kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. "Maaf, Hanna, sepertinya malam ini aku tidak bisa menginap di sini. Naina pingsan, aku harus membawanya ke rumah sakit." Lelaki itu memegang kedua tangan Hanna, memohon. Wanita itu tersenyum teramat tipis. Senyum yang dipaksakannya dalam kegelapan. Mungkin Asyraf tak tahu jika air mata membersamai senyum dan anggukan dari Hanna."Apa aku boleh ikut, Mas?" Meski malam ini tak bisa tidur bersama, setidaknya Hanna ingin tetap membersamai suaminya tersebut."Tidak usah, Han. Sudah larut malam, kau istirahatlah saja!" Dengan cekatan Asyraf mengenakan kemeja dan mengganti celana selutunya dengan celana panjang."Jangan lupa kunci pintunya, Mas pamit. Assal
Naina mematut dirinya di depan cermin. Ia berusaha menutupi matanya yang sedikit bengkak karena menangis tadi malam. Asyraf memandang istrinya yang sedang memperbaiki pashmina di kepalanya. Sejak pembicaraan semalam mereka belum mengobrol satu sama lain. Sama-sama canggung untuk mulai menyapa. Lelaki itu sesekali meliirik istrinya yang tampil lebih segar dari biasanya, meski Naina hanya memoleskan sedikit krim pelelmbab wajah dan lipstik berwarna nude di bibirnya. Melihat istrinya sudah selesai mematut diri, lelaki berkemeja marun itu beranjak untuk mengambil kunci mobil."Sudah siap, Sayang?" asyraf mencoba mencairkan suasana canggung tersebut. Naiina memutar tubuhnya ke arah Asyraf yag masih tersenyyum."Mas jadi anter Ina?""Jadi dong, Sayang. Ya udah Mas ke depan dulu ya pamitan sama Bapak Ibu, sekalian manasin mobil dulu." Asyraf berranjak meninggalkan kamar tersebut. Naina segera mengambil tas selempang berwarna coklat unntuk dipadukan dengan warna pashminanya agar terlihat s
(POV Naina)"Apa aku pantas memohon padamu, agar Mas Asy mau menjadikanku istri yang seutuhnya? Yang rela memberikan nafkah batinnya?" Kedua netranya menatapku dalam. Membuat tanganku berhenti mengelus pundaknya. Ya Allah, permohonan apa ini? Haruskah aku membujuk Mas Asy agar bersedia memberikan nafkah batin pada maduku? Sedangkan aku sendiri merasa cemburu? 🍁🍁🍁Mata Mbak Hanna menatapku dalam. Aku tetap bergeming. Bimbang dengan perasaan yang semakin ambigu di dalam hati. "Apa arti pernikahan ini, Na? Jika suamiku sendiri saja tak mau menyentuhku." "Mbak ...." Aku mencoba membuka suara. Meski sebenarnya bingung harus menyampaikan apa. "Maaf jika pernikahan ini tak seperti yang Mbak bayangkan. Mas Asy sebenarnya bukan menganggap Mbak Hanna tak ada, tapi belum menemukan kenyamanan masing-masing ... anu maksudnya mungkin belum terbangun chemistry di antara kalian." "Jika Mas Asy tak menganggap Mbak Hanna, tak mungkin kesalahpahaman di antara kita terjadi, Mbak. Masalah meja ri