“Axell, cari tau soal anaknya Pak Adiguna. Nanti malem semua data harus udah di meja gue,” ujar Aksa pada Axell melaui gawainya.
“Siap, Tuan.”
Dan setelah panggilan itu berakhir, Aksa mulai kembali berkutat pada berkas-berkas ditangannya hingga suara ketukan pintu diruangannya mengalihkan atensinya.
“Shaka, Bos.”
“Masuk.”
Usai membukan pintu ruangan itu, Shaka menunjukkan cengiran khas miliknya. Shaka memang terlalu slengean hingga terkadang Aksa merasa aneh dengan sikap tangan kanannya itu.
“Kepala Kejaksaan ngajak ketemu, katanya bakalan ada misi lagi.”
“Hmm … kapan?”
“Male m ini.”
“Oke, atur aja. Tapi, inget jangan terlalu nurut sama mereka,” tegas Aksa.
“Oke, Bos. Yaudah, keluar dulu,” jawab Shaka kemudian pergi setelah mendapatkan anggukan dari Aksa.
Setelah kepergian Shaka, Aksa mulai mencari berita terkini pemerintahan di internet. Setidaknya, ia harus mengantongi beberapa hal sebelum mempertimbangkan misinya kali ini.
….
“Bos, berangkat sekarang apa nantian aja?” tanya Shaka sembari menjalankan mobilnya.
Sekarang sudah pukul tujuh malam, sudah lewat tiga jam sejak waktu efektif kantor. Tapi, Aksa baru saja selesai dengan urusan kantornya.
“Cari makan dulu.”
Dan setelah permintaan itu, Shaka menjalankan mobil mereka untuk mencari tempat makan yang biasanya mereka datangi seusai jam kantor.
“Kayak biasanya, Bos? Biar Shaka pesenin sekalian,” tawar Shaka, dan Aksa hanya mengangguk lalu mendudukkan diirnya di kursi kosong yang biasanya ia tempati.
Tidak lama setelah ia duduk, matanya memicing, menatap wanita yang sedang berdiri di depan kasir.
Postur tubuh wanita itu tidak terlihat asing bagi Aksa, dan benar saja, ketika wanita itu menoleh, Aksa berhasil mengenali wajahnya.
Nasha.
Aksa mengamati gerak-gerik wanita itu, dia terlihat cukup tergesa-gesa sembari mengangkat panggilan di tangan kanannya.
Dan usai memberi beberapa lembar uang ratusan ribu pada kasir, wanita itu pergi meninggalkan restoran.
“Bos, ngelihatin apa?” tanya Shaka usai kembali dari tempatnya memesan makanan mereka.
“Nasha.”
Shaka mengernyitkan dahinya, lalu mencoba mencari-cari keberadaan wanita itu.
Tapi … nihil. Shaka tidak melihat Nasha.
“Kelihatan buru-buru banget tadi,” celetuk Aksa.
“Oh iya, Ka. Lo kemaren waktu nyari data diri dia, ga ada soal pekerjaannya ya?” tanya Aksa.
Shaka mengangguk untuk menanggapinya, “Iya, nggak ada. Gue udah telusurin tapi ga nemu dia kerja apa. Antara dia emang pengangguran atau pekerjaan dia illegal, kayak kerja di Bar, mungkin.”
Aksa mengangguk-anggukan kepalanya dan mulai beralih pada makanan didepannya. Tidak terlalu penting juga untuk tau pekerjaan wanita itu, pikirnya.
Usai menghabiskan makanan mereka, Aksa dan Shaka pergi menuju markas tempatnya bertemu dengan orang-orang yang meminta bantuannya.
Markas itu terletak cukup jauh dari mansion miliknya. Markas yang berbeda dengan markas tempatnya bertemu dengan patner sebelumnya.
Jika kalian pikir markas seorang Aksa hanya ada satu di seluruh dunia, kalian salah.
Laki-laki itu punya lebih dari lima markas yang tersebar tidak hanya dalam satu negara.
“Mana orangnya?” tanya Aksa usai turun dari mobilnya.
“Kata Axell udah di dalem, Bos. Kayaknya bentar lagi kesini.”
Aksa berjalan masuk dengan langkah tegas yang tiga ratus enam puluh derajat berbeda dengan kepribadiannya siang tadi.
Tatapannya tajam, menghilangkan lengkung senyum yang setiap kali muncul ketika Aksa tersenyum.
Dan tepat ketika Aksa masuk ke dalam ruangan itu, para mafioso Aksa yang semula duduk langsung berdiri, menyambut atasan mereka.
“Malam, Tuan,” ucap salah satu mafioso yang berdiri di samping pintu masuk ruangan itu.
Aksa mengangguk lalu melangkah ke arah laki-laki yang terduduk dengan penutup mata di bawah lampu temaram ruang itu.
“Buka penutup matanya.” Suara tegas milik Aksa berhasil mengintimidasi seluruh orang yang ada di dalam sana, termasuk kepala kejaksaan, seseorang yang sedang terduduk dengan matanya yang tertutup itu.
Pria itu mengedip-ngedipkan matanya, mencoba membiasakan penglihatannya dengan cahaya ruangan itu.
“Bisa langsung ke intinya, Tuan,” tembak Aksa tepat sasaran.
Meski sempat gelagapan, pria itu berhasil mengendalikan ekspresinya seperti semula.
“Kali ini, ada sekelompok penyelundup emas. Mereka mengambil emas dengan cara illegal tanpa izin dari pemerintah. Dan sekali lagi, melalui laut, mereka mengedarkan emas itu ke negara-negara tetangga tanpa sepengetahuan pemerintah,” jelasnya sembari menatap mata Aksa dengan tatapan yang sama tajamnya.
“Emas? Hmm …” Aksa bergumam sembari menopang dagunya, seolah-olah sedang berpikir dengan posisi itu.
“Tapi, bukankah pemerintah sendiri sering memperjual belikan emas negara ini?” sarkasnya sembari menunjukkan senyum miring miliknya.
Kepala kejaksaan sempat terkejut dengan apa yang baru saja katakan, tapi sekali lagi, pria itu berhasil mengendalikan dirinya.
“Apa maksud anda, Tuan Aksa?” tanya pria itu.
“Tidak pelu berlagak bodoh, Tuan. Saya tau, negara ini sering memperjualbelikan tambang emas pada orang-orang luar dengan harga melangit dan mengabaikan masyarakat yang sebenarnya bisa mengolah emas itu sendiri.”
Pria itu terdiam usai mendengar kalimat yang baru saja Aksa ucap.
“Cih … kalian menyuruh saya untuk memburu para penyelundup emas, padahal penyelundup ulung itu justru dari pihak kalian?”
Aksa berdiri, mengambil beberapa langkah ke depan hingga sampai di hadapan pria itu.
Dia menatapnya dengan tatapan tajam, mencoba mencari celah takut yang mungkin ditunjukkan oleh kepala kejaksaan.
Tapi, nihil. Aksa tidak menemukannya.
“Apa maksud anda, Tuan? Kita sedang membicarakan para penyelundup dan Tuan Aksa justru membelokkan arah pembicaraan ini ke pemerintah?” ucapnya sembari menatap tepat pada mata Aksa.
Aksa mengernyit, dia tidak menemukan celah dari mata pria itu. Entah karena kepala kejaksaan yang memang sudah handal menipu atau memang dia tidak terlibat dengan apapun yang baru saja Aksa ucap.
“Apa keuntungannya?” tanya Aksa pada akhirnya. Posisinya masih sama, berada di hadapan kepala kejaksaan dengan tatapan yang juga masih sama tajamnya.
“Tentu saja, privilege untuk Anda dan para mafioso Anda.”
Sudut bibir Aksa terangkat, tersenyum miring dan menatap menghina pada kepala kejaksaan, “Kami tidak butuh privilege, Tuan. Kami bahkan lebih berkuasa dari kalian, bukan?”
Kepala kejaksaan terdiam. Dia memang sudah terbiasa dengan sikap sarkastik milik Aksa. Namun, tetap saja, dia akan terkejut pada saat-saat tertentu.
“Akan saya pertimbangkan,” putus Aksa tanpa menghiraukan kepala kejaksaan dan mulai melangkah ke arah pintu keluar ruangan itu.
“Anda harus melakukannya, Tuan Aksa. Tidak perlu pertimbangan karena tindakan itu tindakan yang me-”
Dor!
Belum selesai ucapannya, suara tembakan dari timah panas itu berhasil membuat kepala kejaksaan menutup matanya dan meringis ngilu.
Hampir saja.
Hanya kurang satu centimeter saja, tembakan itu bisa mengenai lengan kepala kejaksaan.
“Dengar, Tuan. Yang memutuskan disini adalah saya. Jangan memperbudak saya dan mafioso saya seolah-olah kami adalah budak pemerintah.”
“Tidak. Kami bahkan bisa menghancurkan pemerintah hanya dengan satu kedipan mata. Jadi, jika saya sudah mengatakan A maka A adalah keputusannya.”
Kalimat-kalimat yang baru saja Aksa beri, berhasil mengoyak keberanian kepala kejaksaan.
Pria yang semula bermuka tebal itu, kini matanya sedikit bergetar. Raut wajahnya masih sama dinginnya dengan Aksa. Tapi, tatapan pria itu tidak bisa berbohong.
Dia … takut.
Jangan lupa tinggalin jejak ya... hope u enjoy itttt. siyuuu
Suara tembakan terdengar saling sahut di sebuah gedung tua yang terletak tidak jauh dari perbatasan laut.Dalam gelap gulita itu, bau anyir darah tercium hingga organ penciuman paling ujung, menusuk dan menimbulkan mual bagi orang-orang yang tidak terbiasa.Dor!Satu tembakan terdengar lagi.Aksa menajamkan indra penglihatan dan pendengarannya. Pakaian serba hitam yang ia pakai berhasil menyembunyikan dirinya dari gelapnya malam. Telinganya tidak tuli ketika mendengar jeritan kesakitan dari orang-orang yang berhasil mafiosonya eksekusi.Dan dengan percaya diri, dia melangkah masuk ke dalam sebuah pintu yang terletak di ujung gedung. Tempat yang akan menjadi sasaran empuk untuknya berpesta darah.Prok, prok, prok.Aksa bertepuk tangan ketika melihat lima orang sedang berjudi dengan duduk melingkari sebuah meja yang penuh dengan botol alkohol. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum miring ketika melihat ekspresi terkejut dari kelima
Aksa tertembak usai salah satu dari mereka memukulnya. Dan dua orang itu kini kabur, berlari cepat, berusaha menghindari tembakan-tembakan dari mafioso Aksa yang kini mengejar mereka berdua.Axell yang masih ada di sana berjalan cepat ke arah Aksa, namun dia kalah cepat dengan suara Aksa yang tiba-tiba memerintahnya.“Bawa sisanya ke markas. Kita eksekusi besok dan kejar tawanan yang kabur.”Dan dengan perintah itu, Axell dan anggota mafioso yang lain berpencar, meninggalkan Aksa yang masih berdesis pelan sembari menyeret keluar kakinya untuk keluar dari gedung itu.“Ssttt …” Aksa terus berdesis karena rasa nyeri yang berdenyut di lengan kirinya.Dia menghentikan langkahnya di balik tembok tinggi, sebelah utara dari gedung tua itu. Tangannya bergerak cepat mengambil selembar kain yang terlilit di pinggangnya. Dia melilitkan kain hitam itu di sekitar lengan kiri miliknya untuk menghentikan pendarahan.Srakk!Pergerakan tangan Aks
“Lepas penutup mata ini, sialan!” maki seorang pria berusia setengah abad yang kini tidak sedang memakai seragam kebanggaan yang biasa pria itu kenakan.Aksa yang baru saja masuk ke ruang bawah tanah miliknya tersenyum miring, ketika mendapati umpatan yang baru saja pria dengan tubuh tegap yang kini mulai dipenuhi dengan lemak-lemak perut itu terdengar sampai ditelinganya.Tak, tak, tak.Perpaduan suara sepatu milik Aksa dan lantai kayu di ruangan ini terdengar begitu tegas, hingga pria paruh baya itu ikut menolehkan kepalanya, mencoba mengikuti arah langkah sepatu Aksa meski ia tidak bisa melihatnya.Aura mencekam tiba-tiba melingkupi seluruh ruangan itu, ketika Aksa mendudukkan diri di kursi kebangaannya yang berada tepat dihadapan pria paruh baya itu. Dia menggerakkan jari telunjuknya, seolah-olah mengatakan agar salah satu mafiosonya mendekat ke-arahnya.“Lepasin penutup matanya,” ujarnya singkat, padat dan jelas.Pria berbaju serba hita
“Tuan Aksara, semua tawanan sudah berhasil di eksekusi,” ujar Axell Candradinata, salah satu orang kepercayaan Aksa selain Shaka.Aksa yang mendengar itu berdecak pelan. “Gue udah bilang, gausah kaku-kaku banget. Lo sama Shaka bisa manggil gue pakek nama, bukannya gue udah ngomong ya?” ujarnya menatap tepat pada obsidian milih Axell.Namun, Axell tetaplah Axell. Dia tetap pada pendiriannya, bahkan tatapan tajam yang baru saja Aksa beri padanya tidak membuatnya gentar sedikit saja.“Saya juga sudah bilang pada Tuan, jika saya lebih nyaman seperti ini,” ujarnya datar.Terdengar dengusan pelan dari Aksa sebelum ia kembali berucap, “Mana dokumentasinya? Gue mau lihat.”Axell berjalan pelan ke arah meja kerja Aksa. Dia menyerahkan beberapa lembar foto yang ia taruh dalam amplop putih di saku celana miliknya. Dan dengan satu tarikan, Aksa membuka amplop putih itu.Bibirnya tersungging penuh kemenangan. Foto-foto yang berisi gambar mengenaskan dari
“Kayaknya dia mabuk. Singkirin aja dari punggung gue. Gausah pakek kekerasan, kita lagi di tempat umum,” ujar Aksa berusaha mencairkan kekhawatiran Shaka yang terlihat jelas dari sorot mata laki-laki itu.Tanpa berpikir dua kali, Shaka langsung beralih memegang wanita dengan rambut hitam sedada yang terurai berantakan. Tubuh ramping milik wanita itu membuat Shaka gampang untuk memindahkan posisinya yang terlihat ambigu.Namun, tanpa Shaka duga, wanita itu justru menampar Shaka, membuat Shaka terhuyung ke belakang. “Lo. Gausah. Pegang-pegang gue!” pekiknya sembari berusaha mempertahankan kesadarannya yang mulai hilang terlahap minuman alkohol yang wanita itu tenggak di bar ini.Aksa yang melihat kejadian itu, hanya menatap wanita dengan pakaian serba hitam yang membungkus apik tubuhnya itu dengan tatapan jengah. Tangan kirinya ia gunakan untuk menahan pergerakan Shaka yang terlihat akan membalas perbuatan wanita yang kini justru mendudukkan dirinya di samping Aks
Plak! Itu adalah suara pukulan yang ia berikan pada dahinya. Dia ingat, dia belum mengganti perban di lengan kirinya. Tapi, dia sudah terlanjur malas jika harus kembali membuka seluruh pakaian atasnya hanya untuk mengganti perban yang menutupi jahitan luka di lengan kirinya. Maka, dia memutuskan untuk mengabaikan itu dan kembali berjalan keluar, bersiap untuk pergi ke kantor miliknya. Tidak masalah, dia tidak akan terinfeksi hanya karena tidak mengganti perban untuk beberapa jam ke depan, pikirnya. "Bos, data wanita aneh semalem udah ada. Dan bos harus tahu, ada yang menarik dari wanita itu," ujar Shaka sembari menaik turunkan alisnya ketika melihat Aksa turun dari tangga. Aksa mengernyitkan alisnya, kemudian tersenyum evil ketika ia menangkap sinyal yang diberikan oleh Shaka. Axell yang menatap interaksi keduanya pun berdehem pelan, ia rasa dia tertinggal banyak hal.
“Axell, cari tau soal anaknya Pak Adiguna. Nanti malem semua data harus udah di meja gue,” ujar Aksa pada Axell melaui gawainya. “Siap, Tuan.” Dan setelah panggilan itu berakhir, Aksa mulai kembali berkutat pada berkas-berkas ditangannya hingga suara ketukan pintu diruangannya mengalihkan atensinya. “Shaka, Bos.” “Masuk.” Usai membukan pintu ruangan itu, Shaka menunjukkan cengiran khas miliknya. Shaka memang terlalu slengean hingga terkadang Aksa merasa aneh dengan sikap tangan kanannya itu. “Kepala Kejaksaan ngajak ketemu, katanya bakalan ada misi lagi.” “Hmm … kapan?” “Male m ini.” “Oke, atur aja. Tapi, inget jangan terlalu nurut sama mereka,” tegas Aksa. “Oke, Bos. Yaudah, keluar dulu,” jawab Shaka kemudian pergi setelah mendapatkan anggukan dari Aksa.
Plak! Itu adalah suara pukulan yang ia berikan pada dahinya. Dia ingat, dia belum mengganti perban di lengan kirinya. Tapi, dia sudah terlanjur malas jika harus kembali membuka seluruh pakaian atasnya hanya untuk mengganti perban yang menutupi jahitan luka di lengan kirinya. Maka, dia memutuskan untuk mengabaikan itu dan kembali berjalan keluar, bersiap untuk pergi ke kantor miliknya. Tidak masalah, dia tidak akan terinfeksi hanya karena tidak mengganti perban untuk beberapa jam ke depan, pikirnya. "Bos, data wanita aneh semalem udah ada. Dan bos harus tahu, ada yang menarik dari wanita itu," ujar Shaka sembari menaik turunkan alisnya ketika melihat Aksa turun dari tangga. Aksa mengernyitkan alisnya, kemudian tersenyum evil ketika ia menangkap sinyal yang diberikan oleh Shaka. Axell yang menatap interaksi keduanya pun berdehem pelan, ia rasa dia tertinggal banyak hal.
“Kayaknya dia mabuk. Singkirin aja dari punggung gue. Gausah pakek kekerasan, kita lagi di tempat umum,” ujar Aksa berusaha mencairkan kekhawatiran Shaka yang terlihat jelas dari sorot mata laki-laki itu.Tanpa berpikir dua kali, Shaka langsung beralih memegang wanita dengan rambut hitam sedada yang terurai berantakan. Tubuh ramping milik wanita itu membuat Shaka gampang untuk memindahkan posisinya yang terlihat ambigu.Namun, tanpa Shaka duga, wanita itu justru menampar Shaka, membuat Shaka terhuyung ke belakang. “Lo. Gausah. Pegang-pegang gue!” pekiknya sembari berusaha mempertahankan kesadarannya yang mulai hilang terlahap minuman alkohol yang wanita itu tenggak di bar ini.Aksa yang melihat kejadian itu, hanya menatap wanita dengan pakaian serba hitam yang membungkus apik tubuhnya itu dengan tatapan jengah. Tangan kirinya ia gunakan untuk menahan pergerakan Shaka yang terlihat akan membalas perbuatan wanita yang kini justru mendudukkan dirinya di samping Aks
“Tuan Aksara, semua tawanan sudah berhasil di eksekusi,” ujar Axell Candradinata, salah satu orang kepercayaan Aksa selain Shaka.Aksa yang mendengar itu berdecak pelan. “Gue udah bilang, gausah kaku-kaku banget. Lo sama Shaka bisa manggil gue pakek nama, bukannya gue udah ngomong ya?” ujarnya menatap tepat pada obsidian milih Axell.Namun, Axell tetaplah Axell. Dia tetap pada pendiriannya, bahkan tatapan tajam yang baru saja Aksa beri padanya tidak membuatnya gentar sedikit saja.“Saya juga sudah bilang pada Tuan, jika saya lebih nyaman seperti ini,” ujarnya datar.Terdengar dengusan pelan dari Aksa sebelum ia kembali berucap, “Mana dokumentasinya? Gue mau lihat.”Axell berjalan pelan ke arah meja kerja Aksa. Dia menyerahkan beberapa lembar foto yang ia taruh dalam amplop putih di saku celana miliknya. Dan dengan satu tarikan, Aksa membuka amplop putih itu.Bibirnya tersungging penuh kemenangan. Foto-foto yang berisi gambar mengenaskan dari
“Lepas penutup mata ini, sialan!” maki seorang pria berusia setengah abad yang kini tidak sedang memakai seragam kebanggaan yang biasa pria itu kenakan.Aksa yang baru saja masuk ke ruang bawah tanah miliknya tersenyum miring, ketika mendapati umpatan yang baru saja pria dengan tubuh tegap yang kini mulai dipenuhi dengan lemak-lemak perut itu terdengar sampai ditelinganya.Tak, tak, tak.Perpaduan suara sepatu milik Aksa dan lantai kayu di ruangan ini terdengar begitu tegas, hingga pria paruh baya itu ikut menolehkan kepalanya, mencoba mengikuti arah langkah sepatu Aksa meski ia tidak bisa melihatnya.Aura mencekam tiba-tiba melingkupi seluruh ruangan itu, ketika Aksa mendudukkan diri di kursi kebangaannya yang berada tepat dihadapan pria paruh baya itu. Dia menggerakkan jari telunjuknya, seolah-olah mengatakan agar salah satu mafiosonya mendekat ke-arahnya.“Lepasin penutup matanya,” ujarnya singkat, padat dan jelas.Pria berbaju serba hita
Aksa tertembak usai salah satu dari mereka memukulnya. Dan dua orang itu kini kabur, berlari cepat, berusaha menghindari tembakan-tembakan dari mafioso Aksa yang kini mengejar mereka berdua.Axell yang masih ada di sana berjalan cepat ke arah Aksa, namun dia kalah cepat dengan suara Aksa yang tiba-tiba memerintahnya.“Bawa sisanya ke markas. Kita eksekusi besok dan kejar tawanan yang kabur.”Dan dengan perintah itu, Axell dan anggota mafioso yang lain berpencar, meninggalkan Aksa yang masih berdesis pelan sembari menyeret keluar kakinya untuk keluar dari gedung itu.“Ssttt …” Aksa terus berdesis karena rasa nyeri yang berdenyut di lengan kirinya.Dia menghentikan langkahnya di balik tembok tinggi, sebelah utara dari gedung tua itu. Tangannya bergerak cepat mengambil selembar kain yang terlilit di pinggangnya. Dia melilitkan kain hitam itu di sekitar lengan kiri miliknya untuk menghentikan pendarahan.Srakk!Pergerakan tangan Aks
Suara tembakan terdengar saling sahut di sebuah gedung tua yang terletak tidak jauh dari perbatasan laut.Dalam gelap gulita itu, bau anyir darah tercium hingga organ penciuman paling ujung, menusuk dan menimbulkan mual bagi orang-orang yang tidak terbiasa.Dor!Satu tembakan terdengar lagi.Aksa menajamkan indra penglihatan dan pendengarannya. Pakaian serba hitam yang ia pakai berhasil menyembunyikan dirinya dari gelapnya malam. Telinganya tidak tuli ketika mendengar jeritan kesakitan dari orang-orang yang berhasil mafiosonya eksekusi.Dan dengan percaya diri, dia melangkah masuk ke dalam sebuah pintu yang terletak di ujung gedung. Tempat yang akan menjadi sasaran empuk untuknya berpesta darah.Prok, prok, prok.Aksa bertepuk tangan ketika melihat lima orang sedang berjudi dengan duduk melingkari sebuah meja yang penuh dengan botol alkohol. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum miring ketika melihat ekspresi terkejut dari kelima