Usai sang istri mendapat penenganan dan pemeriksaan saluran napas dari tim medis pribadi, Law menutup rapat pintu kamar hotel, tak mengizinkan kerumunan orang yang berusaha mengetahui kondisi Elia. "Dimana Ann?" Elia beranjak duduk, namun segera dicegah oleh Law yang malah membungkus seluruh tubuhnya makin rapat menggunakan selimut tebal. "Kenapa kau malah menanyakan Ann, lihat kondisimu..." Jadi sebenarnya Ann sengaja melakukan hal ini untuk mencelakainya atau hingga kini dia masih tersesat di hutan dan tidak tahu jalan keluar untuk meminta bantuan. Elia terus dihantui pikiran positif dan negatif yang saling bertubrukan. Ann itu sebenarnya baik, tapi tetap tak sebaik yang ia pikirkan. Elia tidak bodoh untuk memahami isi pikiran seseorang, hanya saja ia ragu. Ia ingin sekali mengungkapkannya pada Law, tapi entah kenapa itu akan membuat Ann dalam kondisi yang sulit, karena bagaimanapun Ann lah yang membawanya ke hutan hingga menyebabkan kejadian ini. Law dengan penuh perhatian tet
"Orang-orang Narcist yang disewa Maxime sudah bersiaga, mereka akan menjalankan aksi malam ini." "Kenapa kau baru mengabariku?" Law menutup mata sembari mengurut pelipis, usai mendapat penggilan telepon dari Will, "Hah, jika mereka tahu aku ini pimpinan Narcist, masih adakah yang berani menampakkan wajah di depanku setelah ini." "Semalam kau sibuk dengan Elia, bahkan kau tak terlalu memperhatikan ucapanku," ungkap Will membela diri. Will dan seluruh tim medis kepercayaan datang ke penginapan pada saat itu juga—usai Law menelepon, melewati dua jam perjalanan hanya untuk melakukan pemeriksaan pada istri Law yang mengalami hipotermia. Padahal pria itu bisa saja memanggil petugas medis yang disiapkan hotel, namun ketidakpercayaan menghalangi tindakannya. "Jadi bagaimana plan mereka? apakah masih sama seperti rencana yang dibuat Liam?" "Ya, masih sama, dan kemungkinan Liam juga mengerahkan anak buahnya untuk melindungimu—baru kemungkinan, entah apa yang dia rencanakan dengan Elia." La
"Elia sudah bersamaku, cepatlah! sebelum dia sadar!" Max mengakhiri sepihak panggilan telepon yang tampak membuatnya emosi. Ia kemudian beralih pada Elia yang masih tidak sadarkan diri dengan posisi tangan kaki terikat, Max mengusap surai Elia dengan penuh kasih, "Maaf aku harus melakukan ini, Elia. Demi kita berdua." Beberapa menit mobil menepi, tampak mobil lain muncul dari arah berlawanan. Pengemudinya lekas keluar sembari melempar sebuah kunci, mereka kemudian bertukar kendaraan. "Ini kunci rumahnya, jangan sampai hilang karena hanya ada satu," ucap pria dengan setelan serba hitam itu, mengingatkan Max. Setelah dipindahkan ke mobil lain, Elia terlihat menggeliat kecil. "Cepat pergi sana, efek biusnya mulai pudar." Max khawatir Elia akan segera sadar, ia pun lekas melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh. Namun di tengah perjalanan, perempuan itu mulai membuka matanya, mencari kesadaran. "Maxime?" Elia mengerjapkan mata, berusaha mendapatkan kesadaran penuh. Saat bola mat
Law mengusap darah milik para mayat ke seluruh tubuhnya, menciptakan kesan seolah dirinya terluka parah akibat serangan. "Aku butuh bantuanmu untuk mengatasi mayat-mayat ini, Paman John." "Tidak perlu khawatir, seperti biasa," balas pria baya itu. Sosoknya memiliki peran penting tersendiri di kehidupan Law, namun saat ini ia hanya bertugas sebagai 'pembersih' dari segala bekas kekacauan yang Law buat, termasuk seperti sekarang. Pria itu heran melihat Law masih sibuk dengan darah para mayat. "Kenapa kau mengotori dirimu dengan darah itu?" "Untuk pembuktian kalau Maxime punya niat membunuhku." Law kemudian beralih pada panggilan teleponnya, sembari membiarkan John mulai bekerja. Will menjelaskan, "Law, Elia dibawa Max. Aku terlambat mengatahuinya, dan sepertinya kini mereka sudah pergi jauh." "Elia masih pakai anting-anting yang biasanya, coba lacak dia, aku akan segera berangkat." Law teringat sesuatu, ia telah menaruh pelacak sekaligus penyadap super mikro di kedua anting milik Eli
"Lawrence!" Max terbelalak saat mendengar seruan Elia yang menatap sebuah mobil hitam di belakang mereka, hingga ia tak sadar menginjak pedal gas secara maksimal namun tak memperhatikan sekitar. Mobil hitam Law, menubruk miliknya dengan hantaman kencang, lantas membuatnya terpojok ke sebuah pohon besar. Kedua kendaraan itu berhenti dengan posisi kacau di tengah jalanan hutan yang sepi dan gelap. Max keluar dari mobil, tak lupa mengunci seluruh pintunya. "Perjalanan kalian menyenangkan?" Law menyusul keluar. Pakaian dan tubuh yang terbalur darah membuat Max tersenyum sinis—karena ia pikir itu semua ialah luka yang dihasilkan oleh para pembunuh bayaran. Padahal nyatanya, Law tak tergores sedikitpun. Elia tiba-tiba berseru dari dalam, "Law, dia bawa pistol! hati-hati!" Melihat tonjolan pada salah saru saku celana Max, Law tidak lagi bisa menahan tawa. Senjata berpeluru itu bukan keluaran terbaik, melainkan salah satu produk gagal yang dijual ilegal di pasaran. Bukan berarti tidak be
Elia terbaring lemah di rumah sakit, dalam kondisi sudah sadar. Namun, ia tak dapat bergerak sama sekali akibat telah disuntikkan cairan yang membuat sekujur tubuh mati rasa, hal itu berguna untuk oprasi pengangkatan peluru yang bersarang di betis, beberapa saat lalu. Diluar bangsal, Law hanya memandangi sang istri dengan tangan bersidekap. Matanya seolah kosong, tanpa menyiratkan sebuah arti. "Bagaimana keadaannya?" Lamunan Law buyar berkat kedatangan John, pria baya yang berperan sebagai 'pembersih' kekacauan, "Sementara tidak bisa berjalan, karena luka tembak di kakinya," jelas Law, seperti yang sudah dikatakan oleh dokter yang menangani Elia, "Lalu bagaimana dengan Maxime?" "Pegawaimu dan orang-orangnya Tn. Danne telah mengatasinya. Mereka melaporkannya sebagai penculikan." "Sayang sekali aku tak bisa melihat reaksi Tn. Danne, padahal dia terlihat sangat bangga pada tukang kopi sialan itu." John tersenyum tipis, bola matanya terfokus pada bekas luka di bahu Law yang masih mer
20 tahun lalu "Untuk sementara, kau harus tinggal di panti asuhan ini, aku akan mencarikan orang tua asuh paling tepat untukmu agar bisa hidup lebih baik kedepannya," ucap Johnson Gate meyakinkan seorang anak lelaki bermata sembab karena terus-menerus menangis beberapa hari belakangan. Anak itu ialah Jonathan Rainer. Nathan yang malang telah keluar dari rumah sakit setelah menjalani berbagai perawatan demi menyelamatkan nyawanya. Wajahnya begitu terpuruk karena kehilangan seluruh anggota keluarga hanya dalam semalam, kemudian harus melakukan oprasi luka yang ada di dadanya, dan kini... ia pergi ke panti asuhan yang merupakan tempat tinggal baru, diantara puluhan orang asing. "Baiklah," balasnya patuh, "Kapan Paman John kembali?" "Aku akan datang sesering mungkin untuk menjengukmu," pria itu mengusap pelan surai anak dari teman baiknya tersebut. Ia menjadi iba saat melihat kesedihan yang terpancar melalui kedua bola mata Nathan, "Jangan bersedih, kita akan balaskan dendam pada oran
"Lawrence!" Anak lelaki itu sontak tersenyum lebar, "Paman John!" "Aku punya sepatu baru," di halaman panti, pria itu mengeluarkan sebuah kotak kardus, memberikannya pada Law kecil yang gembira. Sudah dua tahun lamanya Lawrence tinggal di panti asuhan ini, dan sudah dua tahun pula John tak pernah absen berkunjung tiap seminggu sekali. Law mengalami banyak perkembangan pola pikir menyesuaikan kehidupan yang berubah drastis dari sebelumnya, ia jadi semakin cerdas dan mandiri, meski pada dasarnya Law memang anak yang jenius. Meski begitu Law tetaplah seorang anak kecil, dia butuh sosok orang tua, terbukti dari sikapnya yang berubah kekanakan dan ingin disayang ketika John datang. Tiap kali melihat senyum manis Law, John selalu teringat dengan Estefan—teman terbaik yang selalu ada untuknya dalam kondisi apapun. Kepergian Estefan membuat John merasa tanggung jawab masa depan Law ada di tangannya, sehingga ia sangat bekerja keras dalam segala hal agar Law dapat hidup dengan layak, dan u