"Elia sudah bersamaku, cepatlah! sebelum dia sadar!" Max mengakhiri sepihak panggilan telepon yang tampak membuatnya emosi. Ia kemudian beralih pada Elia yang masih tidak sadarkan diri dengan posisi tangan kaki terikat, Max mengusap surai Elia dengan penuh kasih, "Maaf aku harus melakukan ini, Elia. Demi kita berdua." Beberapa menit mobil menepi, tampak mobil lain muncul dari arah berlawanan. Pengemudinya lekas keluar sembari melempar sebuah kunci, mereka kemudian bertukar kendaraan. "Ini kunci rumahnya, jangan sampai hilang karena hanya ada satu," ucap pria dengan setelan serba hitam itu, mengingatkan Max. Setelah dipindahkan ke mobil lain, Elia terlihat menggeliat kecil. "Cepat pergi sana, efek biusnya mulai pudar." Max khawatir Elia akan segera sadar, ia pun lekas melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh. Namun di tengah perjalanan, perempuan itu mulai membuka matanya, mencari kesadaran. "Maxime?" Elia mengerjapkan mata, berusaha mendapatkan kesadaran penuh. Saat bola mat
Law mengusap darah milik para mayat ke seluruh tubuhnya, menciptakan kesan seolah dirinya terluka parah akibat serangan. "Aku butuh bantuanmu untuk mengatasi mayat-mayat ini, Paman John." "Tidak perlu khawatir, seperti biasa," balas pria baya itu. Sosoknya memiliki peran penting tersendiri di kehidupan Law, namun saat ini ia hanya bertugas sebagai 'pembersih' dari segala bekas kekacauan yang Law buat, termasuk seperti sekarang. Pria itu heran melihat Law masih sibuk dengan darah para mayat. "Kenapa kau mengotori dirimu dengan darah itu?" "Untuk pembuktian kalau Maxime punya niat membunuhku." Law kemudian beralih pada panggilan teleponnya, sembari membiarkan John mulai bekerja. Will menjelaskan, "Law, Elia dibawa Max. Aku terlambat mengatahuinya, dan sepertinya kini mereka sudah pergi jauh." "Elia masih pakai anting-anting yang biasanya, coba lacak dia, aku akan segera berangkat." Law teringat sesuatu, ia telah menaruh pelacak sekaligus penyadap super mikro di kedua anting milik Eli
"Lawrence!" Max terbelalak saat mendengar seruan Elia yang menatap sebuah mobil hitam di belakang mereka, hingga ia tak sadar menginjak pedal gas secara maksimal namun tak memperhatikan sekitar. Mobil hitam Law, menubruk miliknya dengan hantaman kencang, lantas membuatnya terpojok ke sebuah pohon besar. Kedua kendaraan itu berhenti dengan posisi kacau di tengah jalanan hutan yang sepi dan gelap. Max keluar dari mobil, tak lupa mengunci seluruh pintunya. "Perjalanan kalian menyenangkan?" Law menyusul keluar. Pakaian dan tubuh yang terbalur darah membuat Max tersenyum sinis—karena ia pikir itu semua ialah luka yang dihasilkan oleh para pembunuh bayaran. Padahal nyatanya, Law tak tergores sedikitpun. Elia tiba-tiba berseru dari dalam, "Law, dia bawa pistol! hati-hati!" Melihat tonjolan pada salah saru saku celana Max, Law tidak lagi bisa menahan tawa. Senjata berpeluru itu bukan keluaran terbaik, melainkan salah satu produk gagal yang dijual ilegal di pasaran. Bukan berarti tidak be
Elia terbaring lemah di rumah sakit, dalam kondisi sudah sadar. Namun, ia tak dapat bergerak sama sekali akibat telah disuntikkan cairan yang membuat sekujur tubuh mati rasa, hal itu berguna untuk oprasi pengangkatan peluru yang bersarang di betis, beberapa saat lalu. Diluar bangsal, Law hanya memandangi sang istri dengan tangan bersidekap. Matanya seolah kosong, tanpa menyiratkan sebuah arti. "Bagaimana keadaannya?" Lamunan Law buyar berkat kedatangan John, pria baya yang berperan sebagai 'pembersih' kekacauan, "Sementara tidak bisa berjalan, karena luka tembak di kakinya," jelas Law, seperti yang sudah dikatakan oleh dokter yang menangani Elia, "Lalu bagaimana dengan Maxime?" "Pegawaimu dan orang-orangnya Tn. Danne telah mengatasinya. Mereka melaporkannya sebagai penculikan." "Sayang sekali aku tak bisa melihat reaksi Tn. Danne, padahal dia terlihat sangat bangga pada tukang kopi sialan itu." John tersenyum tipis, bola matanya terfokus pada bekas luka di bahu Law yang masih mer
20 tahun lalu "Untuk sementara, kau harus tinggal di panti asuhan ini, aku akan mencarikan orang tua asuh paling tepat untukmu agar bisa hidup lebih baik kedepannya," ucap Johnson Gate meyakinkan seorang anak lelaki bermata sembab karena terus-menerus menangis beberapa hari belakangan. Anak itu ialah Jonathan Rainer. Nathan yang malang telah keluar dari rumah sakit setelah menjalani berbagai perawatan demi menyelamatkan nyawanya. Wajahnya begitu terpuruk karena kehilangan seluruh anggota keluarga hanya dalam semalam, kemudian harus melakukan oprasi luka yang ada di dadanya, dan kini... ia pergi ke panti asuhan yang merupakan tempat tinggal baru, diantara puluhan orang asing. "Baiklah," balasnya patuh, "Kapan Paman John kembali?" "Aku akan datang sesering mungkin untuk menjengukmu," pria itu mengusap pelan surai anak dari teman baiknya tersebut. Ia menjadi iba saat melihat kesedihan yang terpancar melalui kedua bola mata Nathan, "Jangan bersedih, kita akan balaskan dendam pada oran
"Lawrence!" Anak lelaki itu sontak tersenyum lebar, "Paman John!" "Aku punya sepatu baru," di halaman panti, pria itu mengeluarkan sebuah kotak kardus, memberikannya pada Law kecil yang gembira. Sudah dua tahun lamanya Lawrence tinggal di panti asuhan ini, dan sudah dua tahun pula John tak pernah absen berkunjung tiap seminggu sekali. Law mengalami banyak perkembangan pola pikir menyesuaikan kehidupan yang berubah drastis dari sebelumnya, ia jadi semakin cerdas dan mandiri, meski pada dasarnya Law memang anak yang jenius. Meski begitu Law tetaplah seorang anak kecil, dia butuh sosok orang tua, terbukti dari sikapnya yang berubah kekanakan dan ingin disayang ketika John datang. Tiap kali melihat senyum manis Law, John selalu teringat dengan Estefan—teman terbaik yang selalu ada untuknya dalam kondisi apapun. Kepergian Estefan membuat John merasa tanggung jawab masa depan Law ada di tangannya, sehingga ia sangat bekerja keras dalam segala hal agar Law dapat hidup dengan layak, dan u
"Selamat datang, mulai sekarang ini rumah Lawrence juga karena kami adalah orang tuamu." Law terpana melihat kediaman super megah milik keluarga Rollan yang terpampang di depan mata. Bangunan itu sangat tinggi dan luas, mungkin lima kali lipat dari rumah besar milik keluarga kandungnya. Dari situ Law menyadari kalau orang-orang ini sangatlah kaya raya seperti yang dikatakan oleh Paman John. Ia bahkan bisa melihat beberapa mobil mewah berjajar di garasi, total ada belasan kendaraan beroda empat. Pintu setinggi dua meter kemudian dibuka, menampilkan area ruang tamu bernuansa aristokrat yang jauh terlihat lebih mewah karena pernak-pernik yang ada. Law tidak berhenti mengedipkan kepala akibat pantulan dari benda berkilauan itu. Sepasang suami istri itu kemudian membawanya masuk lebih dalam, menyelami tiap sudut rumah dan fungsi ruangannya agar Law merasa lebih nyaman, juga tidak asing. "Terimakasih banyak sudah mengadopsiku," ucap Law kecil dengan polos, ia tidak bisa berhenti mengagu
Lawrence kini telah menginjak usia tujuh belas, dia tumbuh semakin baik dengan postur tinggi dan badan yang bagus akibat rajin berolaharaga sesuai arahan sang ayah. Selain itu, Law juga gemar melakukan olahraga apapun, terutama basket. Ia mengikuti banyak sekali kompetisi basket lewat ekskul di sekolah. Dribble, lompatan, dan lemparan menuju ring membuat keringat bercucuran membasahi seluruh tubuh seakan terguyur hujan. Meski begitu, ia tak peduli, diambil alihnya lagi bola dari lawan untuk kembali mendapat poin. Law suka kemenangan saat benda bulat itu memasuki lingkar ring dengan sempurna dan sorakan para pendukungnya. Ia dan timnya pun ikut melakukan sorakan kegembiraan karena poin terus bertambah, meninggalkan tim lawan jauh dibelakang. "Law!" Matanya seketika bergulir ke arah suara yang menyerukan namanya tersebut. Terlihat Ann di pinggir lapangan mengangkat sebotol air, mengisyaratkannya untuk datang ke sana. Law menerima dengan senang hati air dalam botol merah muda bergam
"Di mana Law? seharian aku tak bisa menghubunginya sama sekali," tanya Ann sesaat setelah memasuki ruangan paling terjaga privasinya di Narcist. Pertanyaan yang ia lontarkan pada Will, En, dan John—bagian dari orang penting Narcist yang seolah menjadi penjaga ruang tersebut, hanya sekedar basa-basi untuk membuka pembicaraan, karena keduanya terlihat sangat tenang, terlarut dalam pikiran masing-masing.Will mengangkat bahu, "Dia menyerahkan tugas kantor pada orang lain, dan tugas komunitas padaku, entah kemana orang itu.""Haruskah kita mencari tahu?" tanya En sekaligus menyampaikan pendapatnya, "Mungkin saja dia sedang menyelesaikan masalah berbahaya yang tidak bisa melibatkan kita, seperti tahun lalu di sungai idris?""Law tidak se-spontan itu, kalaupun ada masalah yang tidak bisa melibatkan kita, dia pasti berbicara sebelumnya," balas John, merasa tak ada masalah selagi Law tidak meminta bantuan darinya, "Bukan malah menghilang tiba-tiba begini."Ann menghela nafas sembari mengambil
"Eh, kau tidak apa-apa?!" Elia terbelalak saat seorang anak tiba-tiba berlari menubruk kursi rodanya hingga tersungkur ke lantai.Anak perempuan itu mengeluh, sembari mengusap lututnya yang memar akibat benturan dengan lantai, "Aduh, sakit..." ia tidak menangis, malah menatap tajam Elia dengan pandangan kesal. Padahal luka itu juga karena kesalahannya sendiri yang tidak berhati-hati saat berjalan."Sini duduk dulu," Elia meraih tangan anak itu, mendudukannya ke pangkuan, hingga pandangan kesalnya seketika sirna.Diusapnya bekas memar itu secara lembut. Membuat anak itu mengalihkan pandangan ke Elia, menatap dari dekat secara teliti."Bibi istrinya Paman Law ya?"Elia mengangguk membalas pertanyaan gadis kecil itu.Sontak wajahnya berubah masam, membuat Elia keheranan. Anak itu menyentuh beberapa bagian kursi roda, sembari bertanya, "Kenapa dia bisa menikah dengan orang cacat? padahal Paman sangat sempurna, semua anak perempuan mau menikah dengannya nanti saat dewasa."Elia terkejut de
"Jadi kau istrinya Lawrence? maaf karena tidak bisa datang di hari pernikahan kalian waktu itu, Ibu terlalu sibuk pada anak-anak di sini hingga mengabaikan hari kebahagiaan Law."Elia agak bingung saat mulai diajak berbicara, ia baru sadar kalau orang-orang di sana merupakan masa lalu Law yang dipandang cukup berharga oleh pria itu, saat dia bermain, berlarian, bercanda pada semua anak-anak. Law yang ada di hadapannya saat ini menjadi persis seperti Law yang membawanya ke tepi pantai tempo hari, sebelum terjadinya insiden yang membuat keduanya renggang.Elia menjabat tangan wanita baya itu—Sarah, begitu yang tertulis pada bordiran di sisi kanan pakaiannya, "Tidak seharusnya anda meminta maaf padaku."Sarah tampak ramah, wajar jika dia menjadi pengurus panti asuhan sekaligus ibu dari seluruh anak malang yang tak mendapat kasih dari orang tua kandungnya. "Jadi, bagaimana Law sejauh ini? dia memperlakukanmu dengan baik 'kan?""Tentu, dia baik." Elia menjawabnya agak ragu."Syukurlah," he
"Asal kau tahu, Ann pernah hampir membunuhku.""Membunuh," Law terbelalak, tidak cukup percaya dengan hal itu. Ia tahu Ann tak menyukai Elia, tapi tak mungkin pula kalau Ann sampai tega melakukan tindakam berbahaga, itu sama saja seperti dia cari mati.Elia memutar bola mata, "Malam itu di hutan dekat perkebunan," ia memperjelas pernyataan yang semakin membuat Law percaya, "Menurutmu apa yang bisa membawaku sampai ke sana? kau pun tak pernah ingin tahu lagi setelah masalahnya selesai."Law terdiam, waktu itu ia memang tidak bertanya lebih banyak karena khawatir. Elia terlihat sangat traumatis, sehingga ia tak berusaha membahasnya."Ann bilang topinya terjatuh ke jurang, topi peninggalan orang tuanya, padahal aku sebenarnya tahu jelas kalau kalian berasal dari panti asuhan. Waktu itu aku tak tahu apa maksudnya, tapi aku tetap membantu turun untuk mengambilkannya—dan kau tahu apa yang dia lakukan?" "Dia... mendorongmu?" tebak Law.Wanita itu sontak tertawa masam—ia yakin Law faham soal
Elia mendekam di dalam kamar usai mengantarkan makanan dari rumah Law, berlagak seolah tak terjadi apapun, padahal perasaannya amat kalut sekaligus penasaran.Ia memandang cermin kecil yang ada dalam genggaman, "Apa maksunya masa lalu dari keluarga kita dahulu? apakah pernah terjadi sesuatu antara ayah atau ibu dengan keluarga kandung Law?""Lalu, apa dia juga sudah tahu rencana-rencana jahat ayah untuk mengambil alih semua kepemilikannya?—mengapa pembicaraan mereka seolah menargetkan hal itu.""Dan apa maksudnya Law sedang mempersiapkan puncak permainannya? memangnya permainan apa yang akan dilakukan?!"Elia frustasi karena memikirkan banyak sekali tanda tanya di dalam kepalanya. Namun, ia tak berniat mengungkapkan hal itu terhadap sang ayah ataupun kakak lelakinya. Mereka justru akan mempersulit suasana dan menyusahkan dirinya.Law tampaknya lebih takut kalau ia salah faham soal keberadaan dia dan Ann dalam satu ruangan tanpa orang lain, walaupun Elia tahu sikap dan perasaan yang di
Malam itu, Law menegak wine pemberian John yang padahal hampir tidak pernah tersentuh selama beberapa bulan. Ia tidak suka alkohol, tapi bukan berarti tak mau mengkonsumsinya. Law akan minum pada malam-malam tertentu kalau memang dirinya sedang ingin. Kepalanya mulai pening setelah beberapa saat kemudian, sampai suara Ann yang mengetuk ruang kerjanya tak terdengar sama sekali. Wanita itu menutup pintu rapat-rapat saat melihat siluet Law berdiri di dekat jendela, "Law?" "Lawrence?" ulangnya. Pria itu abai, tak menghiraukan and kedatangan Ann. Atau mungkin alam bawah sadar telah mempengaruhi pikirannya secara penuh. "Gelap sekali, sedang apa kau?" komentar Ann sembari berjalan ke sudut ruangan, menghampiri sakelar lampu. Namun langkahnya terhenti saat Law mulai bicara. "Kepalaku pusing, jangan nyalakan lampunya, biarkan redup seperti ini." Ann menghela napas, kemudian kembali duduk ke meja kerja Law. Di sana pandangan matanya fokus terhadap sebuah potret manis antara sepasang peng
Elia tengah bersiap di depan cermin rias, walaupun sebenarnya ia tak sungguh-sungguh sedang berdandan, wanita itu malah terdiam sembari memandangi ponsel. Jujur, Elia sangat tidak bersemangat untuk pulang ke rumah sang ayah, di sana ia hanya akan mendapat tekanan secara terus menerus tanpa henti, tidak ada pula yang akan menenangkannya.Tapi kalau Law sudah tampak memaksa, ia bisa apa. Jika ditolak nanti, pasti akan berakhir dengan pertengkaran sama seperti sebelum-sebelumnya. Elia nyaman bersama Law, ia tak ingin punya masalah lagi dengan suaminya itu."Omong-omong cincinmu kemana? aku tidak lihat sama sekali akhir-akhir ini," tanya Law, turut bercermin membenahi surai legamnya."Oh, astaga! aku lupa menaruhnya!" Elia panik, ia hampir lupa dengan cincin nikah yang dilempar di telaga taman kota oleh Max. Ia lekas mencari alasan, "Mungkin masih di sekitar rumah, di kamar mandi atau tempat lain.""Jangan dilepas, nanti hilang." Law memperingati, ia tampak tidak terlalu mempermasalahkan
Law termenung di ruang pribadi miliknya, dalam gedung bertingkat Narcist. Ia kali ini tak sendirian, terdapat John dan En yang menemani. Mereka semula membicarakan masalah pekerjaan, namun semakin lama, justru merembet ke masalah-masalah lain. Terutama problematikan yang bermunculan usai Law memutuskan untuk menikahi anak pembunuh keluarga kandungnya. Sejauh ini John memandang ada perubahan dari sikap anak sahabat karibnya itu, terutama sejak keberadaan Elia mulai berarti di sekitarnya. "Elia itu bukan targetmu, dia juga sudah menderita selama melalui kehidupannya sejauh ini. Lebih baik cuci otaknya agar mau menjadi bagian dari kita, dengan begitu pula kau bisa lebih puas menghancurkan Liam—tanpa memikirkan perasaan perempuan itu," ungkap John menasehati pemikiran dangkal Law yang masih tak mampu melihat ketertarikan pada istrinya sendiri. "Aku akan mencobanya pelan-pelan." Law selalu percaya dengan apa yang dikatakan John, sehingga tiap saran yang diberikan selalu membuatnya yakin
"Law, kau ingin punya anak tidak?" Elia menarik selimut, menutup seluruh tubuh yang masih polos usai Law mengakhiri kegiatan di atasnya."Tentu, anak kembar lelaki dan perempuan," kata Law tanpa ragu.Elia menggigit bibir, "Secepatnya?""Kalau itu terserah padamu. Yang hamil, melahirkan, dan menyusui kan kau, jadi keputusannya ada di tanganmu," balas Law tenang dan bijak. Elia sudah berdebar tidak karuan, khawatir kalau mereka akan bertengkar lagi karena hal-hal sepele samacam ini.Ia berusaha semampunya untuk berani mengungkap fakta kondisi kesehatan organ kewanitaannya yang mulai kacau akibat konsumsi obat kontrasepsi secara overdosis.Elia meraih tangan Law untuk digenggam, sekaligus mengambil kepercayaannya setulus mungkin, "Kalau begitu kita tunda dulu ya, satu atau dua tahun lagi. Aku masih ingin menikmati masa awal-awal pernikahan seperti sekarang—tanpa banyak problematika, aku ingin kita terus seperti ini, selalu peduli dan saling menyayangi.""Baiklah jika itu maumu, aku hany