Elia terbaring lemah di rumah sakit, dalam kondisi sudah sadar. Namun, ia tak dapat bergerak sama sekali akibat telah disuntikkan cairan yang membuat sekujur tubuh mati rasa, hal itu berguna untuk oprasi pengangkatan peluru yang bersarang di betis, beberapa saat lalu. Diluar bangsal, Law hanya memandangi sang istri dengan tangan bersidekap. Matanya seolah kosong, tanpa menyiratkan sebuah arti. "Bagaimana keadaannya?" Lamunan Law buyar berkat kedatangan John, pria baya yang berperan sebagai 'pembersih' kekacauan, "Sementara tidak bisa berjalan, karena luka tembak di kakinya," jelas Law, seperti yang sudah dikatakan oleh dokter yang menangani Elia, "Lalu bagaimana dengan Maxime?" "Pegawaimu dan orang-orangnya Tn. Danne telah mengatasinya. Mereka melaporkannya sebagai penculikan." "Sayang sekali aku tak bisa melihat reaksi Tn. Danne, padahal dia terlihat sangat bangga pada tukang kopi sialan itu." John tersenyum tipis, bola matanya terfokus pada bekas luka di bahu Law yang masih mer
20 tahun lalu "Untuk sementara, kau harus tinggal di panti asuhan ini, aku akan mencarikan orang tua asuh paling tepat untukmu agar bisa hidup lebih baik kedepannya," ucap Johnson Gate meyakinkan seorang anak lelaki bermata sembab karena terus-menerus menangis beberapa hari belakangan. Anak itu ialah Jonathan Rainer. Nathan yang malang telah keluar dari rumah sakit setelah menjalani berbagai perawatan demi menyelamatkan nyawanya. Wajahnya begitu terpuruk karena kehilangan seluruh anggota keluarga hanya dalam semalam, kemudian harus melakukan oprasi luka yang ada di dadanya, dan kini... ia pergi ke panti asuhan yang merupakan tempat tinggal baru, diantara puluhan orang asing. "Baiklah," balasnya patuh, "Kapan Paman John kembali?" "Aku akan datang sesering mungkin untuk menjengukmu," pria itu mengusap pelan surai anak dari teman baiknya tersebut. Ia menjadi iba saat melihat kesedihan yang terpancar melalui kedua bola mata Nathan, "Jangan bersedih, kita akan balaskan dendam pada oran
"Lawrence!" Anak lelaki itu sontak tersenyum lebar, "Paman John!" "Aku punya sepatu baru," di halaman panti, pria itu mengeluarkan sebuah kotak kardus, memberikannya pada Law kecil yang gembira. Sudah dua tahun lamanya Lawrence tinggal di panti asuhan ini, dan sudah dua tahun pula John tak pernah absen berkunjung tiap seminggu sekali. Law mengalami banyak perkembangan pola pikir menyesuaikan kehidupan yang berubah drastis dari sebelumnya, ia jadi semakin cerdas dan mandiri, meski pada dasarnya Law memang anak yang jenius. Meski begitu Law tetaplah seorang anak kecil, dia butuh sosok orang tua, terbukti dari sikapnya yang berubah kekanakan dan ingin disayang ketika John datang. Tiap kali melihat senyum manis Law, John selalu teringat dengan Estefan—teman terbaik yang selalu ada untuknya dalam kondisi apapun. Kepergian Estefan membuat John merasa tanggung jawab masa depan Law ada di tangannya, sehingga ia sangat bekerja keras dalam segala hal agar Law dapat hidup dengan layak, dan u
"Selamat datang, mulai sekarang ini rumah Lawrence juga karena kami adalah orang tuamu." Law terpana melihat kediaman super megah milik keluarga Rollan yang terpampang di depan mata. Bangunan itu sangat tinggi dan luas, mungkin lima kali lipat dari rumah besar milik keluarga kandungnya. Dari situ Law menyadari kalau orang-orang ini sangatlah kaya raya seperti yang dikatakan oleh Paman John. Ia bahkan bisa melihat beberapa mobil mewah berjajar di garasi, total ada belasan kendaraan beroda empat. Pintu setinggi dua meter kemudian dibuka, menampilkan area ruang tamu bernuansa aristokrat yang jauh terlihat lebih mewah karena pernak-pernik yang ada. Law tidak berhenti mengedipkan kepala akibat pantulan dari benda berkilauan itu. Sepasang suami istri itu kemudian membawanya masuk lebih dalam, menyelami tiap sudut rumah dan fungsi ruangannya agar Law merasa lebih nyaman, juga tidak asing. "Terimakasih banyak sudah mengadopsiku," ucap Law kecil dengan polos, ia tidak bisa berhenti mengagu
Lawrence kini telah menginjak usia tujuh belas, dia tumbuh semakin baik dengan postur tinggi dan badan yang bagus akibat rajin berolaharaga sesuai arahan sang ayah. Selain itu, Law juga gemar melakukan olahraga apapun, terutama basket. Ia mengikuti banyak sekali kompetisi basket lewat ekskul di sekolah. Dribble, lompatan, dan lemparan menuju ring membuat keringat bercucuran membasahi seluruh tubuh seakan terguyur hujan. Meski begitu, ia tak peduli, diambil alihnya lagi bola dari lawan untuk kembali mendapat poin. Law suka kemenangan saat benda bulat itu memasuki lingkar ring dengan sempurna dan sorakan para pendukungnya. Ia dan timnya pun ikut melakukan sorakan kegembiraan karena poin terus bertambah, meninggalkan tim lawan jauh dibelakang. "Law!" Matanya seketika bergulir ke arah suara yang menyerukan namanya tersebut. Terlihat Ann di pinggir lapangan mengangkat sebotol air, mengisyaratkannya untuk datang ke sana. Law menerima dengan senang hati air dalam botol merah muda bergam
"Biar ku ingatkan lagi." Law berjalan arogan dengan pakaian hitam yang menutup seluruh tubuh bahkan hingga ujung kaki, tak lupa topeng untuk menyembunyikan wajahnya. Ia menelisik tiap orang yang berdiri membentuk barisan saling berhadapan tersebut dengan pandangan tajam.Orang-orang talam jajaran itu merupakan para ketua dari tiap divisi tim dalam Narcist, istilahnya mereka adalah para petinggi terpenting dalam susunan kepemimpinan Narcist. Semua berkumpul untuk mewakili komplotan masing-masing dan bertanggung jawab atas apa yang dijalankan dalam tiap misinya.Adapula Liam, si ketua tim pembunuh bayaran, dan Davine ketua tim peredaran obat-obatan terlarang juga narkotika.Law mengehentikan langkah tepat di depan Liam yang tidak menunjukkan wajah takut sama sekali meski timnya telah melakukan kesalahan besar—yang juga menjadi alasan dikumpulkannya mereka malam ini.Dibalik topeng, bibirnya tersungging miring."Narcist menjujung tinggi keberhasilan dan kepuasan klien, tapi kali ini tim
"Maxime Millian, ada yang mengunjungimu."Sipir lantas membuka sel tersebut, membawa Max pergi ke ruang tunggu meski dalam kondisi kebingungan mengenai siapa yang berkunjung, ia tidak punya siapapun untuk diharapkan, karena orang tuanya bahkan bilang tak mau menemuinya lagi sampai kapanpun.Max terkejut saat melihat keberadaan Law, raut wajahnya sontak berubah dingin.Lain dari Max, Law justru tampak santai. Ia menyodorkan makanan dalam kotak bekal yang memang sengaja disiapkan sendiri, "Bagaimana kabarmu? menyenangkan menginap di sini?""Jangan banyak basa-basi, mau apa kau kemari?" Max mendengar sindiran halus yang diungkapkan Law secara tidak langsung. Ia sama sekali tak tertarik dengan lelucon basi Law yang membawakannya makanan seolah mereka dekat sebagai kawan."Aku tidak punya maksud selain untuk melihat keadaanmu," elak Law, "Oh, iya. Kau tak mau tahu kabar Elia?"Max mengangkat wajah, tidak menjawab, namun seolah memberi kode kalau ia juga penasaran akan hal itu, hanya saja m
"Aku penasaran, kenapa tidak cerita sekarang? kau belum sepenuhnya percaya padaku ya?""Tidak, hanya menunggu waktu—lebih tepatnya membiarkan waktu yang menjelaskannya padamu"Elia mengulum bibir, tampaknya masa lalu Law benar-benar berat hingga tak bisa diungkapkan pada sembarang orang. "Kalau begitu aku yang mulai bercerita, mumpung ada yang mendengarkan," ungkapnya, mulai bercerita tanpa ragu, "Jadi, dulu sekali... entah kapan, bahkan saat ingatanku pun masih buram, ibuku ditemukan meninggal di tepi pantai. Tubuhnya sudah terseret ombak berkilo-kilo meter, sampai akhirnya terbawa arus ke pedesaan dekat pesisir. Badan ibu sudah kaku dan membiru saat pertama kali ditemukan oleh penduduk setempat."Law menatapnya aneh, "Itu memori yang pahit, mengapa kau tersenyum sambil mengenangnya? dan... kau bilang suka pada laut, padahal dia telah membunuh ibumu.""Itu memang memori pahit, tapi ibuku tersenyum saat ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa," meski samar, Elia masih ingat sekali pada