“Aku tidak yakin dia Shella atau bukan. Dia hanya mengerjaimu, jangan percaya padanya.”
“Dia ingin menjebak kita?”
Genta mengangguk. Hati sedikit panas mengetahui fakta ini. Untung saja Vidia tidak tahu aku bekerja sama dengan Genta sehingga dia tidak berhati-hati.
Ceroboh! Dia menjatuhkan diri dalam kandang penuh singa lapar.
Jam sudah menunjuk angka sepuluh, aku berniat menelepon Ferdila sesuai rencana Genta. Menurutnya tidak usah mengulur waktu sampai sepekan, semakin cepat semakin baik.
Sementara aku menelepon Ferdila, Genta dengan sigap membakar habis sertifikat rumah dan tanah atas nama Vidia. Entah kapan Ferdila membuat sertifikat itu.
“Tidak usah takut di rumah, ada Genta juga,” sahut Ferdila dari seberang telepon.
“Justru karena ada Genta aku jadi takut, Fer.”
“Aku percaya sama Genta, dia gak akan ganggu atau apa-apain kamu.”
“Kalau aku diap
“Shella? Vidia? Ngapain kalian di sini?” tanyaku lagi, kemudian berdiri.“Anu, tadi kita mau minta tolong kamu, Din,” jelas Vidia.“Iya, betul. Kita mau minta tolong karena tadi itu tiba-tiba dengar suara panci sama darah depan kamar kamu,” tambah Shella.Cih, ternyata dua siluman di depanku tidak begitu pandai berbohong. Mereka bahkan terdengar gugup saat berusaha menjelaskan. Seharusnya babat habis, toh sudah terbiasa berlaku kasar.“Tapi kenapa Shella ada di sini juga? Kalau mau nginap, terus tidur di mana?” Aku melipat kedua tangan di depan dada sambil melangkah mendekati mereka yang perlahan mundur.Pintu tertutup rapat, Shella tertawa nyaring. “Kamu pikir kita benaran takut hanya karena memasang ekspresi gini?”“Takut dengkulmu! Asal kamu tahu saja, Din. Yuni itu gak serius bantu kamu.” Ucapan Vidia membuatku tersentak.Tawa Shella menggema dalam kamar, seme
Aku : Tidak berhasil membuatku terkejut. Vidia : Ck, tak usah pura-pura. Nyatanya kamu ingin menemui Yuni dan melabrak langsung, kan? Aku : Sok tahu kamu! Vidia : Sore nanti aku akan mengajak Yuni ke rumah untuk jalan-jalan saja. Aku tidak lagi membalas karena hanya menambah luka dalam hati. Jika benar Yuni berkhianat begitu pun dengan Genta, maka biarlah. Aku masih bisa berdiri di atas kaki sendiri. Tidak jarang seorang teman mengkhianat. Entah karena uang, jabatan atau ancaman. Untuk saat ini sebenarnya aku masih belum terlalu percaya, bisa jadi Yuni sengaja melakukan itu untuk satu alasan dan tidak memberitahuku agar semua berlangsung alami. Masalah Genta yang tidak menolong tadi malam juga belum bisa disimpulkan kenapa, apalagi kami tidak sempat bertemu pagi tadi. Ingin mengirim sms duluan padanya terkesan murahan. Vidia : Apa jangan-jangan kamu pingsan karena tidak kuat menerima kenyataan? Atau haruskah aku mengirim nutris
“Kenapa tadi malam gak tolong aku atau kasih kabar? Apa jangan-jangan ...,” tanyaku sengaja menggantungkan kalimat akhir. Genta hanya diam, dia terus memasukkan pakaian di mesin cuci.Malam ini begitu dingin, tetapi rasa penasaran yang membuat aku bertahan.“Genta!”“Karena suami kamu!” bentaknya.Aku berdecih. “Ferdila?”Genta melangkah mendekat hingga jarak kami hanya sejengkal. Sejujurnya risih diperlakukan seperti ini hanya saja jika melenggang pergi, maka tidak akan ada jawaban pasti.Aku? Tentu saja hanya akan terombang-ambing di ruang teka-teki.Lelaki itu tersenyum setelah mengembuskan napas kasar berulang kaki yang tepat mengenai wajahku. “Suami kamu itu ....”“Kenapa?”Genta menceritakan semuanya. Ternyata Ferdila tahu kalau Vidia dan Shella melakukan hal ini sehingga saat mereka mulai melakukan misinya, dia melindungi dari jauh.Fer
“Tidak usah bertanya, hari ini aku harus memastikan kamu pulang dalam keadaan baik-baik saja.”“Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?”Genta diam, dia memilih fokus menyetir. Baru saja ingin melempar pertanyaan lainnya, dering ponsel malah mengganggu.“Kenapa, Shella?”Perempuan di seberang telepon terkekeh pelan. “Tidak apa-apa, aku hanya kasihan padamu. Kamu begitu memprihatinkan!”Aku balas tertawa. “Shella, aku tidak tertarik untuk masuk dalam hobimu. Silakan cari target lain. Kamu tahu, apa pun yang kamu katakan itu tidak mempan untukku.”“Hei, jangan terlalu memaksa untuk terdengar kuat.”“Tidak, tentu tidak.”“Hahaha. Kalau mau berbohong jangan padaku.”Aku menekan ikon merah karena malas memperpanjang masalah. Dada bergemuruh hebat. Shella benar-benar pandai membuat orang lain frustrasi. Entah belajar di mana dia.
“Ada sesuatu yang perlu dibicarakan?” tanya Yuni setelah berdiri di sisi Vidia.Aku mengalihkan pandangan sejenak, kemudian tersenyum sinis melihat akting Yuni. Dia terlihat serius berpihak pada pelakor genit itu. “Kenapa ikut campur, Yun?”“Masalah Vidia adalah masalahku.”“Memang kamu siapa?” tanyaku dengan meninggikan suara.“Dia lebih memilih bersahabat denganku ketimbang kamu, Din. Sayang sekali ketika temanmu satu-satunya harus berpaling.” Kali ini Vidia yang menjawab.Mereka berdua tertawa, aku menjadi kesal melihatnya. Gegas kaki menuntun masuk rumah daripada harus sakit hati padahal tahu itu sandiwara Yuni.Kepala seketika panas mendengar gelak tawa Vidia. Aku berjanji suatu hari nanti dia tidak akan bisa tertawa lagi bahkan walau hanya mengukir senyum tipis.***Lepas magrib, Yuni masih di rumah. Dia tengah asik mengobrol bersama Vidia seperti yang dilakukann
“Kamu yang masukin air jeruk dalam minumanku, 'kan?!” bentak Vidia pagi ini.“Heh, Pelakor!” Aku mengibas rambut kesal. “Ngapain aku sibuk masukin air jeruk ke minumanmu? Sok penting banget jadi orang!”Plak!Sakit rasanya mendapat tamparan dari perempuan penghancur rumah tanggaku. Bukan hanya di pipi, melainkan hati. Baru saja tanganku ingin balas menampar, tetapi sudah gemetar duluan.Mata Vidia terlalu tajam. Jujur saja selama ini jika aku melawan itu sebenarnya ragu bahkan takut. Nyali terlalu kecil untuk perempuan seperti dia.“Bukan aku, Vid.”“Lalu siapa, hah?! Di rumah ini hanya ada aku, kamu dan Ferdila!” Suaranya kini menggema memekakkan telinga.“Apa ini, pagi-pagi sudah ribut saja. Apa kalian gak malu didengar tetangga?” Ferdila tiba-tiba menghampiri.“Kalian? Vidia mungkin.” Aku membela diri.“Kamu juga, Din! Pagi
Aku tidak suka kehidupan yang seperti ini. Kenapa harus menikah jika hanya merasakan luka. Siapa yang bisa mengobati hati jika dalang di balik masalah ini adalah Ferdila sendiri? "Ardina!" panggilnya lagi. Terpaksa aku membuka pintu kasar. "Apa?" Ferdila langsung menodongku dengan jari telunjuk. Kepala diserang berkali-kali. Vidia yang melihat berusaha melerai, entah apa tujuannya. Ia membisikkan sesuatu di telinga suami kami. Lelaki itu berhenti. Napasnya memburu. "Sekali lagi kamu kayak gitu, aku gak akan maafin!" "Gitu gimana?!" teriakku. Entah kapan kepelikan dalam hidup ini usai. Aku tidak tahu harus berkata apa. Air mata saja yang menggantikan bibir berbicara. Sakit. Ferdila tidak bicara apa-apa. Jika terus seperti ini baiknya cerai saja. Namun, aku tidak mengerti cara mengurus surat cerai apalagi sampai melibatkan Pengadilan Agama. Entah sengaja atau spontan, Vidia melingkarkan tangan di lengan Ferdila dan membaw
Sekali lagi pintu ditendang dari dalam. Vidia terus mengamuk membuatku tertawa lepas. Namun, di sisi lain hati terluka mengingat semua masalah yang ada.Ketika Vidia datang diperkenalkan oleh suamiku, saat itu dunia tidak lagi berarti. Hatiku mengeras meski belum sepenuhnya. Ferdila terlihat tidak peduli.Aku tersenyum merutuki diri yang harus mendapat takdir sekejam ini. Lelaki itu entah tidak ingat atau pura-pura lupa pada janji saat pertama kami melabuhkan asa dan rasa."Ardina, aku tahu kamu bukan perempuan kejam. Tolong, buka pintunya!" teriaknya lagi, tetapi aku malah keluar seraya menutup pintu rumah rapat.***Tiga jam berlalu setelah keliling dengan motor kesayangan, aku kembali ke rumah. Suasana begitu sepi, tidak ada lagi suara gaduh dalam kamar Vidia. Aku menyalakan saklar dan lampu.Lagi, tidak ada suara dari kamar itu. Mungkin terjadi sesuatu pada Vidia. Aku yang merasa kasihan segera merogoh kantong dan mengambil kunci kamar.