“Kamu yang masukin air jeruk dalam minumanku, 'kan?!” bentak Vidia pagi ini.
“Heh, Pelakor!” Aku mengibas rambut kesal. “Ngapain aku sibuk masukin air jeruk ke minumanmu? Sok penting banget jadi orang!”
Plak!
Sakit rasanya mendapat tamparan dari perempuan penghancur rumah tanggaku. Bukan hanya di pipi, melainkan hati. Baru saja tanganku ingin balas menampar, tetapi sudah gemetar duluan.
Mata Vidia terlalu tajam. Jujur saja selama ini jika aku melawan itu sebenarnya ragu bahkan takut. Nyali terlalu kecil untuk perempuan seperti dia.
“Bukan aku, Vid.”
“Lalu siapa, hah?! Di rumah ini hanya ada aku, kamu dan Ferdila!” Suaranya kini menggema memekakkan telinga.
“Apa ini, pagi-pagi sudah ribut saja. Apa kalian gak malu didengar tetangga?” Ferdila tiba-tiba menghampiri.
“Kalian? Vidia mungkin.” Aku membela diri.
“Kamu juga, Din! Pagi
Aku tidak suka kehidupan yang seperti ini. Kenapa harus menikah jika hanya merasakan luka. Siapa yang bisa mengobati hati jika dalang di balik masalah ini adalah Ferdila sendiri? "Ardina!" panggilnya lagi. Terpaksa aku membuka pintu kasar. "Apa?" Ferdila langsung menodongku dengan jari telunjuk. Kepala diserang berkali-kali. Vidia yang melihat berusaha melerai, entah apa tujuannya. Ia membisikkan sesuatu di telinga suami kami. Lelaki itu berhenti. Napasnya memburu. "Sekali lagi kamu kayak gitu, aku gak akan maafin!" "Gitu gimana?!" teriakku. Entah kapan kepelikan dalam hidup ini usai. Aku tidak tahu harus berkata apa. Air mata saja yang menggantikan bibir berbicara. Sakit. Ferdila tidak bicara apa-apa. Jika terus seperti ini baiknya cerai saja. Namun, aku tidak mengerti cara mengurus surat cerai apalagi sampai melibatkan Pengadilan Agama. Entah sengaja atau spontan, Vidia melingkarkan tangan di lengan Ferdila dan membaw
Sekali lagi pintu ditendang dari dalam. Vidia terus mengamuk membuatku tertawa lepas. Namun, di sisi lain hati terluka mengingat semua masalah yang ada.Ketika Vidia datang diperkenalkan oleh suamiku, saat itu dunia tidak lagi berarti. Hatiku mengeras meski belum sepenuhnya. Ferdila terlihat tidak peduli.Aku tersenyum merutuki diri yang harus mendapat takdir sekejam ini. Lelaki itu entah tidak ingat atau pura-pura lupa pada janji saat pertama kami melabuhkan asa dan rasa."Ardina, aku tahu kamu bukan perempuan kejam. Tolong, buka pintunya!" teriaknya lagi, tetapi aku malah keluar seraya menutup pintu rumah rapat.***Tiga jam berlalu setelah keliling dengan motor kesayangan, aku kembali ke rumah. Suasana begitu sepi, tidak ada lagi suara gaduh dalam kamar Vidia. Aku menyalakan saklar dan lampu.Lagi, tidak ada suara dari kamar itu. Mungkin terjadi sesuatu pada Vidia. Aku yang merasa kasihan segera merogoh kantong dan mengambil kunci kamar.
Detik-detik berlalu begitu cepat, aku telah selesai masak untuk makan malam nanti. Vidia tidak pernah keluar, kamarnya pun di kunci tanpa ada sahutan ketika aku mengetuk berulang kali.Sebentar lagi magrib, aku gegas melangkah ke kamar untuk mandi. Namun, seseorang memanggil dengan suara penuh amarah. Tepat di depan kamar aku menoleh, ternyata itu Ferdila. Ia melangkah cepat dan begitu sampai di hadapanku, satu tamparan melayang tanpa aba-aba."Fer?""Istri biad*b! Kamu itu gak tahu diuntung banget, sih, jadi orang?""Maksud kamu apa, Fer? Kamu itu datang-datang langsung marah, nampar aku malah bukannya ngucap salam." Aku sungguh tidak mengerti dengan sikap Ferdila.Lelaki itu berdecih, kemudian mengusap wajah gusar dengan memalingkan wajah ke kanan. Tidak lama, ia kembali menatapku tajam. "Kamu mau bunuh Vidia juga anaknya, 'kan?""Maksud kamu?""Ah, gak usah bac*t! Vidia sendiri yang bilang kalo kamu ngunci dia dalam kamar abis itu
"Tunggu dan lihat saja! Aku malas jika harus membuang waktu satu dua detik untuk mengeja namanya." Vidia tersenyum. Ia kemudian mengibas tangannya kasar. Genderang perang benar-benar sudah semakin panas. Ferdila terlihat melonggarkan dasinya, kemudian melangkah mengekori Vidia. Ia sama sekali tidak menganggap aku sebagai istri lagi. Sangat mengherankan. Aku merindukan lelaki itu saat pertama kami bertemu. Tentang janji yang dirangkai sedemikian rupa untuk ditepati. Namun, nyatanya hanya bisa ingkar. Sungguh bukan aku yang memulai, melainkan dia. Apakah jagat raya sedang bercanda? Mungkinkah hubungan kami tidak direstui? Dan jika iya kenapa harus menikah? Pintu mereka banting kasar. Aku terus menatapnya dengan hati bergemuruh. Detik selanjutnya kaki melangkah cepat masuk kamar agar pikiran bisa segar lagi. Perlahan tapi pasti, kalian akan menyesal meremehkanku. Selepas makan malam aku kembali mencuci piring. Pasutri yang sok bahagia itu kembali
"Ardina, bangun!" teriak Vidia.Aku sengaja tidak menyahut agar disangka benar-benar tidur. Hanya sedikit menggeliat, kemudian menarik selimut itu lagi. "Dingin," lirihku.Vidia tertawa renyah, kemudian derap langkah mereka terdengar menjauh. Aku masih menutup mata dengan mempertajam pendengaran. Pintu kamarnya ditutup dengan suara keras. Lebih baik menghindar saja dulu, aksi berlanjut besok.Ferdila membawa perempuan kedua ke rumah ini. Dia berhasil memporak-porandakan hati, maka dari itu aku mengubah misi rumah tangga yang sebelumnya inginkan sakinah. Tepatnya aku menganggap pernikahan hanyalah permainan jadi cukup bermain-main meski tidak menutup kemungkinan hati merasakan luka.Takdir yang sangat buruk harus dialami perempuan sepertiku. Namun, aku pastikan suatu hari nanti Vidia akan menyesali tawanya yang menggema sementara Ferdila akan bertekuk lutut.***Cahaya mentari menembus masuk kamar melalui celah ventilasi. Aku mengerjam
"Kenapa, Din?" "Gak apa-apa." "Yakin?" Aku tidak menjawab, tetapi langsung melepas lingerie karena rasanya begitu panas. Falen menampilkan senyuman, ia melipat kedua tangan di depan dada. Tanpa rasa malu aku duduk di tepi ranjang dengan dada terbuka sambil terus melakukan hal tabu pada diri sendiri. "Falen, bantu aku!" teriakku karena hasrat membuncah. Sial, pasti ada sesuatu yang dicampurkan dalam minuman itu. Mau tidak mau aku harus menuntaskan hasrat bersama lelaki asing itu. Tidak enak rasanya melakukan sendirian. Toh, Ferdila juga tidak ada. Aku berdiri dan menarik paksa Falen. Lelaki itu dengan sigap membuka seluruh pakaiannya. Tidak perlu diceritakan apa yang terjadi karena yang pastu malam ini terasa begitu indah. Menit demi menit terus berputar. Kami masih dalam aktivitas terlarang. Ini lebih menyenangkan karena ada obat perangsang terlebih sudah lama tidak melakukannya. Andai Ferdila tahu mungkin tidak akan marah. Jika suamiku bisa melakukannya dengan dua perempuan,
Falen beranjak dariku, kemudian memakai pakaiannya satu per satu begitupun denganku. Mata Ferdila memerah, melihat ini aku diam-diam bahagia karena masih ada cinta di hatinya. "Siapa lelaki yang sudah menidurimu?" Vidia terlihat mengelus lengan Ferdila. Aku sampai lupa kalau sekarang tanggal merah. Seharusnya was-was jangan sampai ketahuan. Semua sudah terlanjur. "Jawab!" bentak Ferdila. "Kenalin gue Falen. Semalam gue ngeliat rumah ini gak tertutup jadi main masuk aja. Maaf, ini semua salah gue, tapi Ardina juga salah. Dia yang maksa gue nuntasin hasratnya." "Gak percaya! Lo pasti selingkuhan Ardina, 'kan? Apa jangan-jangan ...." "Jangan-jangan apa, Fer?" tanyaku gugup. "Diam, Jal*ng!" hardiknya. "Jangan-jangan kamu hamil anaknya dia." Mata ini seketika membulat sempurna. Lelaki di hadapanku tidak merasa bersalah tentang perempuan yang ada di sisinya. Ia hanya mementingkan ego dan nafsu sendiri. Siapa yang tidak akan mencari lelaki lain jika suami saja hanya bisa mengukir luk
Selesai mandi, kini aku duduk di depan Vidia dalam kamarnya. Ferdila sudah tidak ada, entah ke mana. Ia lebih sering izin ke istri kedua dibanding aku.Perempuan di depanku tersenyum simpul, kemudian bertanya, "Sesakit apa hatimu sampai harus menyewa lelaki lain, Ardina?""Dia menyetub*himu secara gratis bahkan kalian mengaku tidak saling mengenal. Lantas jika seperti itu bukankah lebih rendah dari kupu-kupu malam?""Lelaki itu bahkan menjamahmu bebas di rumah sendiri. Siapa yang akan percaya kalian tidak kenal dan tanpa janjian dulu sebelumnya?"Aku mengembuskan napas kasar tidak tahu harus berkata apa pada Vidia. Di satu sisi ingin menceritakan kejadian sebenarnya, tetapi di sisi lain ia akan tertawa tidak percaya."Lalu, kenapa kamu mengenakan lingerie jika mengaku tidak kenal?"Pertanyaan itu Vidia tekankan. Aku berdiri. "Ini bukan urusan kamu. Satu yang pasti adalah kami tidak saling kenal.""Lalu maksudnya Falen memperkosamu yan