“Shella? Vidia? Ngapain kalian di sini?” tanyaku lagi, kemudian berdiri.
“Anu, tadi kita mau minta tolong kamu, Din,” jelas Vidia.
“Iya, betul. Kita mau minta tolong karena tadi itu tiba-tiba dengar suara panci sama darah depan kamar kamu,” tambah Shella.
Cih, ternyata dua siluman di depanku tidak begitu pandai berbohong. Mereka bahkan terdengar gugup saat berusaha menjelaskan. Seharusnya babat habis, toh sudah terbiasa berlaku kasar.
“Tapi kenapa Shella ada di sini juga? Kalau mau nginap, terus tidur di mana?” Aku melipat kedua tangan di depan dada sambil melangkah mendekati mereka yang perlahan mundur.
Pintu tertutup rapat, Shella tertawa nyaring. “Kamu pikir kita benaran takut hanya karena memasang ekspresi gini?”
“Takut dengkulmu! Asal kamu tahu saja, Din. Yuni itu gak serius bantu kamu.” Ucapan Vidia membuatku tersentak.
Tawa Shella menggema dalam kamar, seme
Aku : Tidak berhasil membuatku terkejut. Vidia : Ck, tak usah pura-pura. Nyatanya kamu ingin menemui Yuni dan melabrak langsung, kan? Aku : Sok tahu kamu! Vidia : Sore nanti aku akan mengajak Yuni ke rumah untuk jalan-jalan saja. Aku tidak lagi membalas karena hanya menambah luka dalam hati. Jika benar Yuni berkhianat begitu pun dengan Genta, maka biarlah. Aku masih bisa berdiri di atas kaki sendiri. Tidak jarang seorang teman mengkhianat. Entah karena uang, jabatan atau ancaman. Untuk saat ini sebenarnya aku masih belum terlalu percaya, bisa jadi Yuni sengaja melakukan itu untuk satu alasan dan tidak memberitahuku agar semua berlangsung alami. Masalah Genta yang tidak menolong tadi malam juga belum bisa disimpulkan kenapa, apalagi kami tidak sempat bertemu pagi tadi. Ingin mengirim sms duluan padanya terkesan murahan. Vidia : Apa jangan-jangan kamu pingsan karena tidak kuat menerima kenyataan? Atau haruskah aku mengirim nutris
“Kenapa tadi malam gak tolong aku atau kasih kabar? Apa jangan-jangan ...,” tanyaku sengaja menggantungkan kalimat akhir. Genta hanya diam, dia terus memasukkan pakaian di mesin cuci.Malam ini begitu dingin, tetapi rasa penasaran yang membuat aku bertahan.“Genta!”“Karena suami kamu!” bentaknya.Aku berdecih. “Ferdila?”Genta melangkah mendekat hingga jarak kami hanya sejengkal. Sejujurnya risih diperlakukan seperti ini hanya saja jika melenggang pergi, maka tidak akan ada jawaban pasti.Aku? Tentu saja hanya akan terombang-ambing di ruang teka-teki.Lelaki itu tersenyum setelah mengembuskan napas kasar berulang kaki yang tepat mengenai wajahku. “Suami kamu itu ....”“Kenapa?”Genta menceritakan semuanya. Ternyata Ferdila tahu kalau Vidia dan Shella melakukan hal ini sehingga saat mereka mulai melakukan misinya, dia melindungi dari jauh.Fer
“Tidak usah bertanya, hari ini aku harus memastikan kamu pulang dalam keadaan baik-baik saja.”“Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?”Genta diam, dia memilih fokus menyetir. Baru saja ingin melempar pertanyaan lainnya, dering ponsel malah mengganggu.“Kenapa, Shella?”Perempuan di seberang telepon terkekeh pelan. “Tidak apa-apa, aku hanya kasihan padamu. Kamu begitu memprihatinkan!”Aku balas tertawa. “Shella, aku tidak tertarik untuk masuk dalam hobimu. Silakan cari target lain. Kamu tahu, apa pun yang kamu katakan itu tidak mempan untukku.”“Hei, jangan terlalu memaksa untuk terdengar kuat.”“Tidak, tentu tidak.”“Hahaha. Kalau mau berbohong jangan padaku.”Aku menekan ikon merah karena malas memperpanjang masalah. Dada bergemuruh hebat. Shella benar-benar pandai membuat orang lain frustrasi. Entah belajar di mana dia.
“Ada sesuatu yang perlu dibicarakan?” tanya Yuni setelah berdiri di sisi Vidia.Aku mengalihkan pandangan sejenak, kemudian tersenyum sinis melihat akting Yuni. Dia terlihat serius berpihak pada pelakor genit itu. “Kenapa ikut campur, Yun?”“Masalah Vidia adalah masalahku.”“Memang kamu siapa?” tanyaku dengan meninggikan suara.“Dia lebih memilih bersahabat denganku ketimbang kamu, Din. Sayang sekali ketika temanmu satu-satunya harus berpaling.” Kali ini Vidia yang menjawab.Mereka berdua tertawa, aku menjadi kesal melihatnya. Gegas kaki menuntun masuk rumah daripada harus sakit hati padahal tahu itu sandiwara Yuni.Kepala seketika panas mendengar gelak tawa Vidia. Aku berjanji suatu hari nanti dia tidak akan bisa tertawa lagi bahkan walau hanya mengukir senyum tipis.***Lepas magrib, Yuni masih di rumah. Dia tengah asik mengobrol bersama Vidia seperti yang dilakukann
“Kamu yang masukin air jeruk dalam minumanku, 'kan?!” bentak Vidia pagi ini.“Heh, Pelakor!” Aku mengibas rambut kesal. “Ngapain aku sibuk masukin air jeruk ke minumanmu? Sok penting banget jadi orang!”Plak!Sakit rasanya mendapat tamparan dari perempuan penghancur rumah tanggaku. Bukan hanya di pipi, melainkan hati. Baru saja tanganku ingin balas menampar, tetapi sudah gemetar duluan.Mata Vidia terlalu tajam. Jujur saja selama ini jika aku melawan itu sebenarnya ragu bahkan takut. Nyali terlalu kecil untuk perempuan seperti dia.“Bukan aku, Vid.”“Lalu siapa, hah?! Di rumah ini hanya ada aku, kamu dan Ferdila!” Suaranya kini menggema memekakkan telinga.“Apa ini, pagi-pagi sudah ribut saja. Apa kalian gak malu didengar tetangga?” Ferdila tiba-tiba menghampiri.“Kalian? Vidia mungkin.” Aku membela diri.“Kamu juga, Din! Pagi
Aku tidak suka kehidupan yang seperti ini. Kenapa harus menikah jika hanya merasakan luka. Siapa yang bisa mengobati hati jika dalang di balik masalah ini adalah Ferdila sendiri? "Ardina!" panggilnya lagi. Terpaksa aku membuka pintu kasar. "Apa?" Ferdila langsung menodongku dengan jari telunjuk. Kepala diserang berkali-kali. Vidia yang melihat berusaha melerai, entah apa tujuannya. Ia membisikkan sesuatu di telinga suami kami. Lelaki itu berhenti. Napasnya memburu. "Sekali lagi kamu kayak gitu, aku gak akan maafin!" "Gitu gimana?!" teriakku. Entah kapan kepelikan dalam hidup ini usai. Aku tidak tahu harus berkata apa. Air mata saja yang menggantikan bibir berbicara. Sakit. Ferdila tidak bicara apa-apa. Jika terus seperti ini baiknya cerai saja. Namun, aku tidak mengerti cara mengurus surat cerai apalagi sampai melibatkan Pengadilan Agama. Entah sengaja atau spontan, Vidia melingkarkan tangan di lengan Ferdila dan membaw
Sekali lagi pintu ditendang dari dalam. Vidia terus mengamuk membuatku tertawa lepas. Namun, di sisi lain hati terluka mengingat semua masalah yang ada.Ketika Vidia datang diperkenalkan oleh suamiku, saat itu dunia tidak lagi berarti. Hatiku mengeras meski belum sepenuhnya. Ferdila terlihat tidak peduli.Aku tersenyum merutuki diri yang harus mendapat takdir sekejam ini. Lelaki itu entah tidak ingat atau pura-pura lupa pada janji saat pertama kami melabuhkan asa dan rasa."Ardina, aku tahu kamu bukan perempuan kejam. Tolong, buka pintunya!" teriaknya lagi, tetapi aku malah keluar seraya menutup pintu rumah rapat.***Tiga jam berlalu setelah keliling dengan motor kesayangan, aku kembali ke rumah. Suasana begitu sepi, tidak ada lagi suara gaduh dalam kamar Vidia. Aku menyalakan saklar dan lampu.Lagi, tidak ada suara dari kamar itu. Mungkin terjadi sesuatu pada Vidia. Aku yang merasa kasihan segera merogoh kantong dan mengambil kunci kamar.
Detik-detik berlalu begitu cepat, aku telah selesai masak untuk makan malam nanti. Vidia tidak pernah keluar, kamarnya pun di kunci tanpa ada sahutan ketika aku mengetuk berulang kali.Sebentar lagi magrib, aku gegas melangkah ke kamar untuk mandi. Namun, seseorang memanggil dengan suara penuh amarah. Tepat di depan kamar aku menoleh, ternyata itu Ferdila. Ia melangkah cepat dan begitu sampai di hadapanku, satu tamparan melayang tanpa aba-aba."Fer?""Istri biad*b! Kamu itu gak tahu diuntung banget, sih, jadi orang?""Maksud kamu apa, Fer? Kamu itu datang-datang langsung marah, nampar aku malah bukannya ngucap salam." Aku sungguh tidak mengerti dengan sikap Ferdila.Lelaki itu berdecih, kemudian mengusap wajah gusar dengan memalingkan wajah ke kanan. Tidak lama, ia kembali menatapku tajam. "Kamu mau bunuh Vidia juga anaknya, 'kan?""Maksud kamu?""Ah, gak usah bac*t! Vidia sendiri yang bilang kalo kamu ngunci dia dalam kamar abis itu
POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya
POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D
POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V
"Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah."Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren."Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit."Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se
Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia.Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo
"Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay
Malam menyapa ketika kami bertiga sedang kumpul di depan televisi. Vidia datang dengan senyum merekah dan duduk di dekat kami. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku.Aku cuek saja, lalu meraih gelas dan meneguk isinya. Malam ini tidak boleh stres karena bisa berakibat parah pada janin yang baru saja hadir dalam rahimku."Fer, tidakkah kamu berpikir Ardina mempermainkanmu?" Vidia membuka percakapan. Aku menoleh padanya begitupun Naren, tidak dengan Ferdila."Maksud kamu mempermainkan apa, Vid?" Aku bertanya.Ferdila menatapku dalam. Dia memberi isyarat untuk tidak merespon Vidia. Memang magrib tadi aku juga diperingatkan untuk mendiami perempuan berambut pirang itu agar tidak semakin menjadi atau berbuat sesuka hati.Aku memang setuju, tetapi mendengar kalimat itu membuat darah seketika nendidih dalam hitungan detik. Ingin sekali tangan ini menjambak rambut dan merobek mulutnya. Huh, hidup bersama Vidia memang tidak pernah membawa ketena
POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m
POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi.Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang