“Kenapa tadi malam gak tolong aku atau kasih kabar? Apa jangan-jangan ...,” tanyaku sengaja menggantungkan kalimat akhir. Genta hanya diam, dia terus memasukkan pakaian di mesin cuci.
Malam ini begitu dingin, tetapi rasa penasaran yang membuat aku bertahan.
“Genta!”
“Karena suami kamu!” bentaknya.
Aku berdecih. “Ferdila?”
Genta melangkah mendekat hingga jarak kami hanya sejengkal. Sejujurnya risih diperlakukan seperti ini hanya saja jika melenggang pergi, maka tidak akan ada jawaban pasti.
Aku? Tentu saja hanya akan terombang-ambing di ruang teka-teki.
Lelaki itu tersenyum setelah mengembuskan napas kasar berulang kaki yang tepat mengenai wajahku. “Suami kamu itu ....”
“Kenapa?”
Genta menceritakan semuanya. Ternyata Ferdila tahu kalau Vidia dan Shella melakukan hal ini sehingga saat mereka mulai melakukan misinya, dia melindungi dari jauh.
Fer
“Tidak usah bertanya, hari ini aku harus memastikan kamu pulang dalam keadaan baik-baik saja.”“Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?”Genta diam, dia memilih fokus menyetir. Baru saja ingin melempar pertanyaan lainnya, dering ponsel malah mengganggu.“Kenapa, Shella?”Perempuan di seberang telepon terkekeh pelan. “Tidak apa-apa, aku hanya kasihan padamu. Kamu begitu memprihatinkan!”Aku balas tertawa. “Shella, aku tidak tertarik untuk masuk dalam hobimu. Silakan cari target lain. Kamu tahu, apa pun yang kamu katakan itu tidak mempan untukku.”“Hei, jangan terlalu memaksa untuk terdengar kuat.”“Tidak, tentu tidak.”“Hahaha. Kalau mau berbohong jangan padaku.”Aku menekan ikon merah karena malas memperpanjang masalah. Dada bergemuruh hebat. Shella benar-benar pandai membuat orang lain frustrasi. Entah belajar di mana dia.
“Ada sesuatu yang perlu dibicarakan?” tanya Yuni setelah berdiri di sisi Vidia.Aku mengalihkan pandangan sejenak, kemudian tersenyum sinis melihat akting Yuni. Dia terlihat serius berpihak pada pelakor genit itu. “Kenapa ikut campur, Yun?”“Masalah Vidia adalah masalahku.”“Memang kamu siapa?” tanyaku dengan meninggikan suara.“Dia lebih memilih bersahabat denganku ketimbang kamu, Din. Sayang sekali ketika temanmu satu-satunya harus berpaling.” Kali ini Vidia yang menjawab.Mereka berdua tertawa, aku menjadi kesal melihatnya. Gegas kaki menuntun masuk rumah daripada harus sakit hati padahal tahu itu sandiwara Yuni.Kepala seketika panas mendengar gelak tawa Vidia. Aku berjanji suatu hari nanti dia tidak akan bisa tertawa lagi bahkan walau hanya mengukir senyum tipis.***Lepas magrib, Yuni masih di rumah. Dia tengah asik mengobrol bersama Vidia seperti yang dilakukann
“Kamu yang masukin air jeruk dalam minumanku, 'kan?!” bentak Vidia pagi ini.“Heh, Pelakor!” Aku mengibas rambut kesal. “Ngapain aku sibuk masukin air jeruk ke minumanmu? Sok penting banget jadi orang!”Plak!Sakit rasanya mendapat tamparan dari perempuan penghancur rumah tanggaku. Bukan hanya di pipi, melainkan hati. Baru saja tanganku ingin balas menampar, tetapi sudah gemetar duluan.Mata Vidia terlalu tajam. Jujur saja selama ini jika aku melawan itu sebenarnya ragu bahkan takut. Nyali terlalu kecil untuk perempuan seperti dia.“Bukan aku, Vid.”“Lalu siapa, hah?! Di rumah ini hanya ada aku, kamu dan Ferdila!” Suaranya kini menggema memekakkan telinga.“Apa ini, pagi-pagi sudah ribut saja. Apa kalian gak malu didengar tetangga?” Ferdila tiba-tiba menghampiri.“Kalian? Vidia mungkin.” Aku membela diri.“Kamu juga, Din! Pagi
Aku tidak suka kehidupan yang seperti ini. Kenapa harus menikah jika hanya merasakan luka. Siapa yang bisa mengobati hati jika dalang di balik masalah ini adalah Ferdila sendiri? "Ardina!" panggilnya lagi. Terpaksa aku membuka pintu kasar. "Apa?" Ferdila langsung menodongku dengan jari telunjuk. Kepala diserang berkali-kali. Vidia yang melihat berusaha melerai, entah apa tujuannya. Ia membisikkan sesuatu di telinga suami kami. Lelaki itu berhenti. Napasnya memburu. "Sekali lagi kamu kayak gitu, aku gak akan maafin!" "Gitu gimana?!" teriakku. Entah kapan kepelikan dalam hidup ini usai. Aku tidak tahu harus berkata apa. Air mata saja yang menggantikan bibir berbicara. Sakit. Ferdila tidak bicara apa-apa. Jika terus seperti ini baiknya cerai saja. Namun, aku tidak mengerti cara mengurus surat cerai apalagi sampai melibatkan Pengadilan Agama. Entah sengaja atau spontan, Vidia melingkarkan tangan di lengan Ferdila dan membaw
Sekali lagi pintu ditendang dari dalam. Vidia terus mengamuk membuatku tertawa lepas. Namun, di sisi lain hati terluka mengingat semua masalah yang ada.Ketika Vidia datang diperkenalkan oleh suamiku, saat itu dunia tidak lagi berarti. Hatiku mengeras meski belum sepenuhnya. Ferdila terlihat tidak peduli.Aku tersenyum merutuki diri yang harus mendapat takdir sekejam ini. Lelaki itu entah tidak ingat atau pura-pura lupa pada janji saat pertama kami melabuhkan asa dan rasa."Ardina, aku tahu kamu bukan perempuan kejam. Tolong, buka pintunya!" teriaknya lagi, tetapi aku malah keluar seraya menutup pintu rumah rapat.***Tiga jam berlalu setelah keliling dengan motor kesayangan, aku kembali ke rumah. Suasana begitu sepi, tidak ada lagi suara gaduh dalam kamar Vidia. Aku menyalakan saklar dan lampu.Lagi, tidak ada suara dari kamar itu. Mungkin terjadi sesuatu pada Vidia. Aku yang merasa kasihan segera merogoh kantong dan mengambil kunci kamar.
Detik-detik berlalu begitu cepat, aku telah selesai masak untuk makan malam nanti. Vidia tidak pernah keluar, kamarnya pun di kunci tanpa ada sahutan ketika aku mengetuk berulang kali.Sebentar lagi magrib, aku gegas melangkah ke kamar untuk mandi. Namun, seseorang memanggil dengan suara penuh amarah. Tepat di depan kamar aku menoleh, ternyata itu Ferdila. Ia melangkah cepat dan begitu sampai di hadapanku, satu tamparan melayang tanpa aba-aba."Fer?""Istri biad*b! Kamu itu gak tahu diuntung banget, sih, jadi orang?""Maksud kamu apa, Fer? Kamu itu datang-datang langsung marah, nampar aku malah bukannya ngucap salam." Aku sungguh tidak mengerti dengan sikap Ferdila.Lelaki itu berdecih, kemudian mengusap wajah gusar dengan memalingkan wajah ke kanan. Tidak lama, ia kembali menatapku tajam. "Kamu mau bunuh Vidia juga anaknya, 'kan?""Maksud kamu?""Ah, gak usah bac*t! Vidia sendiri yang bilang kalo kamu ngunci dia dalam kamar abis itu
"Tunggu dan lihat saja! Aku malas jika harus membuang waktu satu dua detik untuk mengeja namanya." Vidia tersenyum. Ia kemudian mengibas tangannya kasar. Genderang perang benar-benar sudah semakin panas. Ferdila terlihat melonggarkan dasinya, kemudian melangkah mengekori Vidia. Ia sama sekali tidak menganggap aku sebagai istri lagi. Sangat mengherankan. Aku merindukan lelaki itu saat pertama kami bertemu. Tentang janji yang dirangkai sedemikian rupa untuk ditepati. Namun, nyatanya hanya bisa ingkar. Sungguh bukan aku yang memulai, melainkan dia. Apakah jagat raya sedang bercanda? Mungkinkah hubungan kami tidak direstui? Dan jika iya kenapa harus menikah? Pintu mereka banting kasar. Aku terus menatapnya dengan hati bergemuruh. Detik selanjutnya kaki melangkah cepat masuk kamar agar pikiran bisa segar lagi. Perlahan tapi pasti, kalian akan menyesal meremehkanku. Selepas makan malam aku kembali mencuci piring. Pasutri yang sok bahagia itu kembali
"Ardina, bangun!" teriak Vidia.Aku sengaja tidak menyahut agar disangka benar-benar tidur. Hanya sedikit menggeliat, kemudian menarik selimut itu lagi. "Dingin," lirihku.Vidia tertawa renyah, kemudian derap langkah mereka terdengar menjauh. Aku masih menutup mata dengan mempertajam pendengaran. Pintu kamarnya ditutup dengan suara keras. Lebih baik menghindar saja dulu, aksi berlanjut besok.Ferdila membawa perempuan kedua ke rumah ini. Dia berhasil memporak-porandakan hati, maka dari itu aku mengubah misi rumah tangga yang sebelumnya inginkan sakinah. Tepatnya aku menganggap pernikahan hanyalah permainan jadi cukup bermain-main meski tidak menutup kemungkinan hati merasakan luka.Takdir yang sangat buruk harus dialami perempuan sepertiku. Namun, aku pastikan suatu hari nanti Vidia akan menyesali tawanya yang menggema sementara Ferdila akan bertekuk lutut.***Cahaya mentari menembus masuk kamar melalui celah ventilasi. Aku mengerjam