Pukul tiga sore, Ardina sudah berganti peran dengan saudari kembarnya tentu atas bantuan Naren. Pakaian mereka sengaja dibuat kembar agar Vidia tidak menaruh curiga.
Ada rasa bahagia yang hadir di hati Ardina karena malam ini akan kembali bersama sang suami. Setelah beberapa hari tidak beradu tatap, tentu membuat rindu membuncah tanpa mampu ditahannya.
"Hai, Ardina!" sapa Vidia.
"Iya." Ardina menjawab singkat dengan suara sangat lembut membuat Vidia curiga kalau perempuan yang kini duduk di dekatnya bukan perempuan tempramental seperti pagi tadi.
Akhirnya muncul ide untuk menelusuri lebih jauh. Dia bertanya tentang hal apa saja yang dilakukannya dengan Naren pagi tadi di depan rumah. Ardina yang lugu memutar otak karena tadi tidak diberitahu Arnila.
"Mencuci mobil, kan?"
Ardina mengangguk, sementara Vidia tersenyum penuh arti. Dia semakin yakin kalau perempuan itu adalah kakak madunya. Sekarang dia merasa bebas dari cekaman dan akan balas de
POV ARDINAAku terkejut mendengar apa yang dikatakan Vidia barusan. Beruntung tadi sempat membawa ponsel karena was-was. Akan tetapi, rasa takut tiba-tiba hadir menyelimuti jiwa. Seharusnya menuruti titah Arnila.Pintu gudang mulai tertutup rapat. Ruangan seketika gelap. Di dalam sini memang ada lampu, tetapi remang-remang. Aku nyalakan dengan membaca basmalah berharap tidak ada sesuatu yang aneh.Tidak lama kemudian, aku mencari nomor telepon Arnila dan langsung menghubunginya. Tersambung setelah lima menit berlalu. "Arnila!" Suaraku terdengar gemetaran."Aku tahu, pasti sekarang kamu terjebak di gudang kan? Lagian kenapa harus membangkang padahal tahu sendiri Vidia itu sangat licik?!" maki Arnila."Maafkan aku, tapi Ferdila yang memintaku masuk ke sini nanti dibukakan sama dia." Air mata mulai bercucuran."Lagian kalau berhadapan sama Vidia, jangan terlalu lembek. Kamu harus tegas karena dia akan melemah. Lihat saja, dia tidak pernah mampu
WARNING! 21+~"Malam ini aku minta jatah dan kamu tidak boleh menolak lagi!" tukas Ferdila. Aku mengangguk sambil tersenyum manis. Lelaki itu dengan gerak cepat melucuti pakaianku hingga tidak tersisa selembar pun."Semoga dengan ini kita bisa mendapat keturunan," gumamku. Ferdila menatap penuh cinta. Dia tersenyum sangat manis, kemudian dia mengikis jarak hingga semakin dekat. Napasnya berembus tak beraturan.Beberapa jam kemudian ...."Aku lelah," ucapku dengan napas tersengal karena baru saja selesai bergumul dengan Ferdila. Sebelum melakukan itu, lisan tidak pernah luput meminta kepada Allah agar diberikan keturunan.Mungkin bagi mereka, mandul berarti tidak punya anak sampai kapan pun. Akan tetapi, bagiku bisa saja Allah memberi ketika kita meminta dan berprasangka baik pada-Nya. Jika sampai ditiupkan ruh dalam rahim ini, aku janji akan berpuasa sebagai bentuk rasa syukur."Terimakasih, Sayang." Napas Ferdila pun terdengar lemah
Satu bulan berlalu sejak kejadian itu, Vidia masih tetap betah menyendiri dalam kamar dan hanya keluar beberapa kali. Dia mengaku marah pada Ferdila yang cuek padanya. Padahal aku tahu kalau perempuan itu sibuk video call dengan David.Sudah tiga hari ini pula aku merasakan mual dan muntah setiap pagi dan ketika mencium parfum stella di mobil suami. Sekalipun masih sedikit trauma, tetap saja aku membeli tespeck dengan harapan Allah mengijabah doa kami.Aku membuka mata dengan pelan. Jantung berdebar tak ubahnya pacuan kuda. Ada rasa yang tidak bisa dijabarkan. Entah. Ketika mata terbuka pada detik ke lima, aku langsung berdiri sambil menganga."Dua garis biru?" gumamku tidak percaya.Ya, di tespeck itu menampilkan dua garis biru walau salah satunya sedikit buram. Namun, aku tahu kalau hal itu tetap saja dikata positif. Untuk memastikan, jumat besok aku harus ke klinik kandungan.Benda kecil yang kerapkali melukai hati meski bukan kesalahannya itu a
Kamis sore sekitar pukul 17.06 kami sudah tiba di klinik kandungan dengan perjalanan yang memakan waktu satu jam lebih. Saat ini kami sudah mengikuti antri yang begitu panjang."Aku takut tespeck itu salah, Fer," lirihku menunduk. Ferdila meraih kedua tangan ini dan mengecup lembut telapaknya.Rasa penasaran semakin menjadi, jatung bsrdegup cepat seakan saling berkejaran. Berulang kali aku harus menghela napas panjang untuk melonggarkan dada yang terasa sesak."Berprasangka baik sama Allah, yuk!" ajak Ferdila tiba-tiba sok alim, tetapi aku malah mengikuti."Ibu Ardina!" panggil perawat lima belas menit kemudian.Kami berdua langsung berdiri, masuk ke ruangan dan duduk di hadapan spesialis kandungan. Dia cantik memakai jilbab warna putih. Andai aku seprofesi dengannya, mungkin saja Ferdila enggan mendua karena gajiku banyak.Ah, mungkin."Apa keluhannya, Bu?"Tanpa basa-basi aku mulai menceritakan semua keluhan selama tiga
Pukul 20.53 kami baru tiba di rumah karena menyempatkan singgah di pusat perbelanjaan sebagai hadiah khusus. Aku bahagia karena kasih sayang Ferdila semakin bertambah. Dia selalu mengaku tidak sabar menunggu sembilan bulan ke depan.Vidia tidak membuka pintu tadi, untung aku bawa kunci utama. Tanpa memanggil perempuan itu, Ferdila mengajakku langsung masuk kamar. Bukan menuntun, melainkan menggendong langsung. Setelah tiba, dia meletakkanku dengan pelan di tempat tidur."Andai waktu bisa diputar, aku ingin berada di bulan ke sembilan di mana status suami berubah menjadi ayah. Ya, ayah dari anak kita." Ferdila tersenyum. Aku terharu dan mengusap lembut kepala yang berada di atas perut. Dia mencium penuh kelembutan."Kamu mau anak perempuan atau laki-laki?" tanyaku dengan suara pelan.Ferdila bangkit, dia duduk dengan posisi masih menghadapku. Senyum di bibirnya belum juga pudar. Jelas sekali di manik mata itu terpancar kebahagiaan, mungkin tiada tara. Dua
Pukul sepuluh lagi, mobil Naren sudah memasuki halaman rumah. Dia keluar dengan langkah santai, kemudian masuk rumah. Aku dan Ferdila yang duduk di depan televisi sambil menikmati kue bolu memintanya bergabung.Ferdila sudah tahu Naren akan datang karena aku ceritakan tadi sekalipun berbeda. Tidak mungkin memberitahu kalau Falen kejang-kejang dan Shella meninggal.Setelah Naren duduk di dekat kami, aku menyuguhkan minuman milik Vidia yang belum disentuh. Pasalnya perempuan bersmbut pirang itu sok sekali mau dibujuk. Aku mah tidak mau apalagi Ferdila."Ferdila dipecat, kamu ada solusi apa buat usaha?" Aku membuka percakapan.Naren melirik sekilas ke arah Ferdila, lalu menjawab, " Bakso bakar mau?""Kenapa bakso bakar?" Ferdila ikut bertanya.Lelaki tampan itu menjelaskan bahwa saat ini bakso sedang laris di pasaran dan di lingkungan dekat sini belum ada penjualnya. Lagi pula idak mengapa kalau pasang outlet depan rumah sekalian es teh b
POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi.Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang
POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m