"Tidak usah takut dipeluk jika kamu memang Ardina. Bahkan kalau bisa kalian ciuman untuk membuktikan saja. Suami istri boleh melakukan itu, kan?"
"Gila kamu!" sungutku kesal.
"Pak Ferdila!" panggil seseorang. Itu tentu saja Naren. Aku bernapas lega. "Mohon maaf, sedikit mengganggu. Ada yang mencari Bapak di depan. Namanya David."
"W-what?!" Vidia kaget. Wajahnya pucat. Dengan gerak cepat dia menyusul Ferdila ke luar. Aku tentu saja tidak ingin ketinggalan. Namun, sebelum meninggalkan kamar aku melihat Naren mengedipkan sebelah matanya dengan senyum manis.
Tampan juga sahabatku itu, semoga dia segera menikah hingga tidak perlu mengikutiku lagi.
Di depan rumah, terlihat seorang lelaki breawok yang bisa dikata tampan. Dia langsung menarik Vidia dan memeluknya di depan Ferdila. Tangan adik iparku terkepal kuat dengan rahang mengeras. Dia tersulut emosi.
"Siapa itu, Vidia?" tanyaku. Sementara Vidia meronta ingin dilepas, tetapi kekuatan Dav
POV NAREN *** "Besok lo harus datang ke rumah Ferdila ngaku apa yang udah lo lakuin sama Vidia. Lo harus jujur bahkan kalau bisa lebih meyakinkan lagi!" titahku ketika David kembali menelepon. Sebenarnya sejak Vidia ketahuan selingkuh dengan lelaki breawok ini aku diam-diam mengajaknya kenalan bahkan memamerkan kekayaan. Melihat dia tergiur, tanpa basa-basi aku mengajaknya bekerja sama. Ternyata cinta itu palsu. David hanya ingin memanfaatkan Vidia untuk menguras harta Ferdila. Jadi, dia akan melakukan apa pun yang kuminta dengan bayaran mahal tentunya. Semua aku lakukan demi Arnila bukan saudarinya. "Iya, Ren. Gue bakal ngelakuin apa aja asal dapat duit yang banyak. Gak peduli Vidia mau berubah atau enggak, yang pasti masih banyak wanita malam di luar sana." Aku menarik senyum simpul ketika mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Melihat Ardina yang cantik dan berani selalu berhasil menciptakan debaran dalam dadaku. Meski kami dekat,
POV AUTHOR"Kenapa kamu bisa terjebak dengan David, Vidia?" tanya Ferdila. Lelaki jangkung itu tengah berusaha mengontrol emosi agar tidak langsung main tangan."Utang. Kalau kamu bisa melunasi, maka aku bebas darinya!" jawab Vidia ketus padahal sebenarnya bukan seperti itu dan perselingkuhan mereka sama sekali tidak ada kaitannya dengan utang.Ferdila menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Dia menanyakan apa saja yang dilakukan Vidia ketika bertemu David karena mustahil ketika dua orang dewasa berada dalam kamar tanpa melakukan hal tidak senonoh.Perempuan berambut pirang itu menggeleng, dia berkilah bahwa David bukan selingkuhannya dan mereka hanya bertemu di saat darurat saja itu pun dipaksa. Ketika bersama, David hanya mencium tidak sampai menjamah. Walau begitu, tetap saja Ferdila merasakan cemburu."Aku ini suami kamu, Vidia!""Tentu saja. Lantas, harusnya kamu lunasi utang itu biar istrimu ini bebas!" Vidia mengibas rambut.
Pukul tiga sore, Ardina sudah berganti peran dengan saudari kembarnya tentu atas bantuan Naren. Pakaian mereka sengaja dibuat kembar agar Vidia tidak menaruh curiga.Ada rasa bahagia yang hadir di hati Ardina karena malam ini akan kembali bersama sang suami. Setelah beberapa hari tidak beradu tatap, tentu membuat rindu membuncah tanpa mampu ditahannya."Hai, Ardina!" sapa Vidia."Iya." Ardina menjawab singkat dengan suara sangat lembut membuat Vidia curiga kalau perempuan yang kini duduk di dekatnya bukan perempuan tempramental seperti pagi tadi.Akhirnya muncul ide untuk menelusuri lebih jauh. Dia bertanya tentang hal apa saja yang dilakukannya dengan Naren pagi tadi di depan rumah. Ardina yang lugu memutar otak karena tadi tidak diberitahu Arnila."Mencuci mobil, kan?"Ardina mengangguk, sementara Vidia tersenyum penuh arti. Dia semakin yakin kalau perempuan itu adalah kakak madunya. Sekarang dia merasa bebas dari cekaman dan akan balas de
POV ARDINAAku terkejut mendengar apa yang dikatakan Vidia barusan. Beruntung tadi sempat membawa ponsel karena was-was. Akan tetapi, rasa takut tiba-tiba hadir menyelimuti jiwa. Seharusnya menuruti titah Arnila.Pintu gudang mulai tertutup rapat. Ruangan seketika gelap. Di dalam sini memang ada lampu, tetapi remang-remang. Aku nyalakan dengan membaca basmalah berharap tidak ada sesuatu yang aneh.Tidak lama kemudian, aku mencari nomor telepon Arnila dan langsung menghubunginya. Tersambung setelah lima menit berlalu. "Arnila!" Suaraku terdengar gemetaran."Aku tahu, pasti sekarang kamu terjebak di gudang kan? Lagian kenapa harus membangkang padahal tahu sendiri Vidia itu sangat licik?!" maki Arnila."Maafkan aku, tapi Ferdila yang memintaku masuk ke sini nanti dibukakan sama dia." Air mata mulai bercucuran."Lagian kalau berhadapan sama Vidia, jangan terlalu lembek. Kamu harus tegas karena dia akan melemah. Lihat saja, dia tidak pernah mampu
WARNING! 21+~"Malam ini aku minta jatah dan kamu tidak boleh menolak lagi!" tukas Ferdila. Aku mengangguk sambil tersenyum manis. Lelaki itu dengan gerak cepat melucuti pakaianku hingga tidak tersisa selembar pun."Semoga dengan ini kita bisa mendapat keturunan," gumamku. Ferdila menatap penuh cinta. Dia tersenyum sangat manis, kemudian dia mengikis jarak hingga semakin dekat. Napasnya berembus tak beraturan.Beberapa jam kemudian ...."Aku lelah," ucapku dengan napas tersengal karena baru saja selesai bergumul dengan Ferdila. Sebelum melakukan itu, lisan tidak pernah luput meminta kepada Allah agar diberikan keturunan.Mungkin bagi mereka, mandul berarti tidak punya anak sampai kapan pun. Akan tetapi, bagiku bisa saja Allah memberi ketika kita meminta dan berprasangka baik pada-Nya. Jika sampai ditiupkan ruh dalam rahim ini, aku janji akan berpuasa sebagai bentuk rasa syukur."Terimakasih, Sayang." Napas Ferdila pun terdengar lemah
Satu bulan berlalu sejak kejadian itu, Vidia masih tetap betah menyendiri dalam kamar dan hanya keluar beberapa kali. Dia mengaku marah pada Ferdila yang cuek padanya. Padahal aku tahu kalau perempuan itu sibuk video call dengan David.Sudah tiga hari ini pula aku merasakan mual dan muntah setiap pagi dan ketika mencium parfum stella di mobil suami. Sekalipun masih sedikit trauma, tetap saja aku membeli tespeck dengan harapan Allah mengijabah doa kami.Aku membuka mata dengan pelan. Jantung berdebar tak ubahnya pacuan kuda. Ada rasa yang tidak bisa dijabarkan. Entah. Ketika mata terbuka pada detik ke lima, aku langsung berdiri sambil menganga."Dua garis biru?" gumamku tidak percaya.Ya, di tespeck itu menampilkan dua garis biru walau salah satunya sedikit buram. Namun, aku tahu kalau hal itu tetap saja dikata positif. Untuk memastikan, jumat besok aku harus ke klinik kandungan.Benda kecil yang kerapkali melukai hati meski bukan kesalahannya itu a
Kamis sore sekitar pukul 17.06 kami sudah tiba di klinik kandungan dengan perjalanan yang memakan waktu satu jam lebih. Saat ini kami sudah mengikuti antri yang begitu panjang."Aku takut tespeck itu salah, Fer," lirihku menunduk. Ferdila meraih kedua tangan ini dan mengecup lembut telapaknya.Rasa penasaran semakin menjadi, jatung bsrdegup cepat seakan saling berkejaran. Berulang kali aku harus menghela napas panjang untuk melonggarkan dada yang terasa sesak."Berprasangka baik sama Allah, yuk!" ajak Ferdila tiba-tiba sok alim, tetapi aku malah mengikuti."Ibu Ardina!" panggil perawat lima belas menit kemudian.Kami berdua langsung berdiri, masuk ke ruangan dan duduk di hadapan spesialis kandungan. Dia cantik memakai jilbab warna putih. Andai aku seprofesi dengannya, mungkin saja Ferdila enggan mendua karena gajiku banyak.Ah, mungkin."Apa keluhannya, Bu?"Tanpa basa-basi aku mulai menceritakan semua keluhan selama tiga
Pukul 20.53 kami baru tiba di rumah karena menyempatkan singgah di pusat perbelanjaan sebagai hadiah khusus. Aku bahagia karena kasih sayang Ferdila semakin bertambah. Dia selalu mengaku tidak sabar menunggu sembilan bulan ke depan.Vidia tidak membuka pintu tadi, untung aku bawa kunci utama. Tanpa memanggil perempuan itu, Ferdila mengajakku langsung masuk kamar. Bukan menuntun, melainkan menggendong langsung. Setelah tiba, dia meletakkanku dengan pelan di tempat tidur."Andai waktu bisa diputar, aku ingin berada di bulan ke sembilan di mana status suami berubah menjadi ayah. Ya, ayah dari anak kita." Ferdila tersenyum. Aku terharu dan mengusap lembut kepala yang berada di atas perut. Dia mencium penuh kelembutan."Kamu mau anak perempuan atau laki-laki?" tanyaku dengan suara pelan.Ferdila bangkit, dia duduk dengan posisi masih menghadapku. Senyum di bibirnya belum juga pudar. Jelas sekali di manik mata itu terpancar kebahagiaan, mungkin tiada tara. Dua