“Kenapa? Mau belain istri kurang ajar kamu ini, hah?!”
“Kamu yang kurang ajar! Aku mengenal Ardina lebih baik. Sebenarnya, andai saat itu kamu tidak menggodaku sampai kamu hamil begini, kita tidak akan menikah!”
“Apa? Coba ulangi kalimatmu? Seperti ada yang salah.”
Ferdila diam, dia mengepalkan tangan hingga rahangnya mengeras. Dia meninggalkan kami dan melangkah ke luar rumah entah ke mana.
Kekacauan kembali terjadi. Seperti inilah yang diinginkan lelaki yang mementingkan hawa nafsu dengan membawa hukum poligami. Dia tidak tahu poligami seperti apa yang diperbolehkan.
Ferdila salat saja tidak, kenapa ingin melakukan sunnah? Hahahaha.
“Kepar*t! Anj*ng! Bangs*t!” umpat Vidia, lalu menatapku tajam.
“Kenapa?”
“Mungkin kali ini kamu menang, tapi itu sifatnya sementara. Kamu belum mengenal aku, Din.” Tatapan Vidia kini lebih menantang.
“Kamu menganc
“Genta, boleh minta nomor telepon kamu gak?”Lelaki yang baru saja menutup pintu kamar itu menoleh. “Boleh.”Dia pun menyebut sepuluh angka, kemudian tersenyum dan melangkah ke luar. Hari ini mereka bertiga harus ke kantor. Oke, aku memang seperti pembantu yang tinggal di rumah.Panggilan masuk dari Yuni.“Kamu ada rencana apa hari ini?”“Gak ada, bingung juga. Ada, sih, ngajakin Genta selingkuh.”“Ngajakin Genta selingkuh?”“Kamu kerja di perusahaan papa kamu, 'kan? Boloslah sehari. Bete, nih!”“Kamu pikir aku bisa bebas bolos? Tapi, yaudah, aku ke sana!”Hanya butuh waktu satu jam lebih, Yuni sudah ada di hadapanku. Dia terlihat bahagia, seperti ada ide baru dalam pikirannya.“Kenapa senyum mulu? Kayak orang gila tau gak?”Bukannya berhenti, Yuni malah terbahak. Aku semakin kesal hingga terpaksa memutar bola ma
“Kamu memang berparas cantik juga seksi, tetapi aku sama sekali tidak tertarik padamu!” Genta menjawab tegas.Perempuan berambut pirang itu mengembuskan napas kasar berulang kali, kemudian berteriak. Dia seperti orang gila dan untuk menghindari kekacauan, aku melangkah masuk kamar dan mengunci pintu rapat.Ada sms dari Yuni yang menanyakan kejutan, aku membalas singkat sekaligus mengucapkan terimakasih. Air mata kembali berderai mengingat saat sebelum perempuan itu hadir.Hanya ada canda dan tawa di rumah ini. Ketenangan dan kedamaian menjadikannya seperti surga.Aku mengirim sms pada Genta agar dia tahu nomorku.Genta : Oke, aku save nomor kamu. Malam ini boleh kita bertemu diam-diam? Ada satu hal yang harus kita bicarakan.Aku : Boleh saja. Pukul 12 nanti, kita ketemu di belakang rumah.Tidak ada balasan lain, sekarang aku hanya harus mandi dan memakai wewangian agar lelaki itu terpesona dan berminat ikut dalam permainan
“Siapa di sana?” teriakku.Suara panci saling bersahutan. Aku melangkah dengan ragu-ragu, tidak lupa mengirim sms pada Genta untuk ikut membuka pintu.Genta : Tidak ada apa-apa di luar kamar.Sms balasan itu malah membuatku semakin penasaran. Aku membuka pintu lebar dan benar tidak ada orang atau panci yang tergeletak.Genta memberi isyarat untuk masuk kembali karena malam sudah semakin larut. Aku menurut saja. Pintu tertutup rapat. Seseorang tiba-tiba menyeretku kasar.Dia memakai pakaian serba hitam dengan wajah yang ditutupi topi. Kamar dalam keadaan gelap hanya ada bantuan sinar rembulan melalui cela ventilasi sehingga sulit mengenalinya.Dia membekap mulutku, kemudian membaringkan tubuh ini di tempat tidur. Kedua tanganku diikat paksa di kepala ranjang, kemudian entahlah.***Sinar mentari menembus masuk kamar. Aku menggeliat beberapa saat kemudian membuka mata. Kepala sedikit sakit, tetapi rasanya hilang
“Aku tidak yakin dia Shella atau bukan. Dia hanya mengerjaimu, jangan percaya padanya.”“Dia ingin menjebak kita?”Genta mengangguk. Hati sedikit panas mengetahui fakta ini. Untung saja Vidia tidak tahu aku bekerja sama dengan Genta sehingga dia tidak berhati-hati.Ceroboh! Dia menjatuhkan diri dalam kandang penuh singa lapar.Jam sudah menunjuk angka sepuluh, aku berniat menelepon Ferdila sesuai rencana Genta. Menurutnya tidak usah mengulur waktu sampai sepekan, semakin cepat semakin baik.Sementara aku menelepon Ferdila, Genta dengan sigap membakar habis sertifikat rumah dan tanah atas nama Vidia. Entah kapan Ferdila membuat sertifikat itu.“Tidak usah takut di rumah, ada Genta juga,” sahut Ferdila dari seberang telepon.“Justru karena ada Genta aku jadi takut, Fer.”“Aku percaya sama Genta, dia gak akan ganggu atau apa-apain kamu.”“Kalau aku diap
“Shella? Vidia? Ngapain kalian di sini?” tanyaku lagi, kemudian berdiri.“Anu, tadi kita mau minta tolong kamu, Din,” jelas Vidia.“Iya, betul. Kita mau minta tolong karena tadi itu tiba-tiba dengar suara panci sama darah depan kamar kamu,” tambah Shella.Cih, ternyata dua siluman di depanku tidak begitu pandai berbohong. Mereka bahkan terdengar gugup saat berusaha menjelaskan. Seharusnya babat habis, toh sudah terbiasa berlaku kasar.“Tapi kenapa Shella ada di sini juga? Kalau mau nginap, terus tidur di mana?” Aku melipat kedua tangan di depan dada sambil melangkah mendekati mereka yang perlahan mundur.Pintu tertutup rapat, Shella tertawa nyaring. “Kamu pikir kita benaran takut hanya karena memasang ekspresi gini?”“Takut dengkulmu! Asal kamu tahu saja, Din. Yuni itu gak serius bantu kamu.” Ucapan Vidia membuatku tersentak.Tawa Shella menggema dalam kamar, seme
Aku : Tidak berhasil membuatku terkejut. Vidia : Ck, tak usah pura-pura. Nyatanya kamu ingin menemui Yuni dan melabrak langsung, kan? Aku : Sok tahu kamu! Vidia : Sore nanti aku akan mengajak Yuni ke rumah untuk jalan-jalan saja. Aku tidak lagi membalas karena hanya menambah luka dalam hati. Jika benar Yuni berkhianat begitu pun dengan Genta, maka biarlah. Aku masih bisa berdiri di atas kaki sendiri. Tidak jarang seorang teman mengkhianat. Entah karena uang, jabatan atau ancaman. Untuk saat ini sebenarnya aku masih belum terlalu percaya, bisa jadi Yuni sengaja melakukan itu untuk satu alasan dan tidak memberitahuku agar semua berlangsung alami. Masalah Genta yang tidak menolong tadi malam juga belum bisa disimpulkan kenapa, apalagi kami tidak sempat bertemu pagi tadi. Ingin mengirim sms duluan padanya terkesan murahan. Vidia : Apa jangan-jangan kamu pingsan karena tidak kuat menerima kenyataan? Atau haruskah aku mengirim nutris
“Kenapa tadi malam gak tolong aku atau kasih kabar? Apa jangan-jangan ...,” tanyaku sengaja menggantungkan kalimat akhir. Genta hanya diam, dia terus memasukkan pakaian di mesin cuci.Malam ini begitu dingin, tetapi rasa penasaran yang membuat aku bertahan.“Genta!”“Karena suami kamu!” bentaknya.Aku berdecih. “Ferdila?”Genta melangkah mendekat hingga jarak kami hanya sejengkal. Sejujurnya risih diperlakukan seperti ini hanya saja jika melenggang pergi, maka tidak akan ada jawaban pasti.Aku? Tentu saja hanya akan terombang-ambing di ruang teka-teki.Lelaki itu tersenyum setelah mengembuskan napas kasar berulang kaki yang tepat mengenai wajahku. “Suami kamu itu ....”“Kenapa?”Genta menceritakan semuanya. Ternyata Ferdila tahu kalau Vidia dan Shella melakukan hal ini sehingga saat mereka mulai melakukan misinya, dia melindungi dari jauh.Fer
“Tidak usah bertanya, hari ini aku harus memastikan kamu pulang dalam keadaan baik-baik saja.”“Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?”Genta diam, dia memilih fokus menyetir. Baru saja ingin melempar pertanyaan lainnya, dering ponsel malah mengganggu.“Kenapa, Shella?”Perempuan di seberang telepon terkekeh pelan. “Tidak apa-apa, aku hanya kasihan padamu. Kamu begitu memprihatinkan!”Aku balas tertawa. “Shella, aku tidak tertarik untuk masuk dalam hobimu. Silakan cari target lain. Kamu tahu, apa pun yang kamu katakan itu tidak mempan untukku.”“Hei, jangan terlalu memaksa untuk terdengar kuat.”“Tidak, tentu tidak.”“Hahaha. Kalau mau berbohong jangan padaku.”Aku menekan ikon merah karena malas memperpanjang masalah. Dada bergemuruh hebat. Shella benar-benar pandai membuat orang lain frustrasi. Entah belajar di mana dia.