POV ARDINA
***
"Ferdila belum datang, Din?" tanya Naren dari dalam rumah. Ya, aku masih duduk di dekat jendela sambil terus memandang ke luar. Jam sudah menunjuk angka tujuh.
"Belum, mungkin lagi belanja sama Vidia. Abis itu singgah ke sini dan langsung berangkat biar gak repot ganti bajunya nanti." Aku menjawab ragu.
Ada rasa gelisah yang menyelimuti jiwa, tetapi malu mengungkap pada Naren. Biar bagaimana pun, Ferdila tetaplah seorang suami yang wajib aku jaga kehormatannya. Aku merasa seperti itu untuk sesaat.
"Coba ditelepon, jangan sampai menunggu padahal gak jadi pergi."
"Sudah, ponselnya gak aktif. Vidia juga gak baca pesan aku. Kemungkinan besar sibuk belanja."
Naren hanya mengangguk. Aku mengerti bagaimana prihatinnya lelaki itu. Beberapa detik kemudian ada deru mobil dan aku spontan menoleh, sayang sekali itu mobil milik tetangga.
"Sampai kapan kamu akan menunggu, Din?"
"Sampai Ferdila datang. Aku percaya dia ak
Aku gamang. Jantung berdegup semakin cepat. Lelaki itu menyeringai dengan tatapan tajam seakan ingin menerkamku habis-habisan."Tidak usah mencari berkas yang tidak ada. Mari kita menikmati malam berdua, kita habiskan dengan bercumbu rayu!" Pak Robby mendekat. Dia mendorongku."Jangan! Tolong!" teriakku berusaha menghindar, tetapi kalah kekuatan. Tentu saja!"Tidak ada orang lain di sini. Kita nikmati malam ini." Pak Robby hendak membuka bajunya, tetapi terhenti karena pintu tiba-tiba terbuka. Ada yang menendangnya dari luar.Malaikat penolong, pasti itu Naren! batinku penuh harap."Jangan mau menikmati sendirian Robby, bagi ke gue juga!" bentaknya.Robby hanya tersenyum. Dia mempersilakan untuk menj*mahku lebih dulu. Rasa takut semakin menjadi. Aku mulai menitikkan air mata, Naren tidak juga muncul.Lelaki hidung belang yang umurnya tidak lagi muda itu melempar jaket yang dikenakannya asal. Dia pun sudah selesai melepas baju dan ters
Siang hari barulah Vidia kembali ke rumah, dia sendiri dengan tanpa membawa belanjaan. Wajahnya nampak begitu ceria."Dari mana aja, Vid?" Aku yang sedang duduk di sofa tentulah terusik untuk bertanya."Dari bareng Ferdila tadi malam, cuma gak dianter ke sini." Vidia tersenyum. "Oh iya, tadi malam lupa ngabarin kita gak jadi jemput karena aku sakit perut."Aku hanya diam membiarkan Vidia masuk. Rumah masih berantakan, aku enggan untuk membereskan sebelum ada penjelasan dari Ferdila.Hati merasa gamang. Sekilas aku melihat tanda merah di leher perempuan tadi. Tidak mungkin tadi malam mereka sibuk berc*mbu di hotel dan membiarkanku sendirian di rumah."Kenapa rumah berantakan gini?" Vidia kembali ke luar sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sisi."Gak tahu, mungkin tadi malam ada pencuri. Tanya pada Naren karena dia di sini juga tadi malam.""Naren di sini?"Aku mengangguk. Tidak lama kemudian beranjak juga menghampiri perempu
Pukul empat sore aku baru tiba di rumah karena malas jika bertemu Vidia sepanjang hari. Huh, berat sekali beban hidup yang bertengger di pundak."Dari mana?""Bukan urusanmu!" jawabku ketus."Tadi itu Arnila, kan?" Tatapan Vidia terlihat menyelidik. Aku menggeleng cepat sambil mengibaskan tangan berusaha menghindari pertanyaan yang bisa menjebak sampai ketahuan."Arnila apanya?""Aku tidak bisa kamu bohongi, Din. Telinga ini sudah sangat hafal suara saudari kembarmu itu."Untuk sesaat aku memutar bola mata malas, kemudian berlalu masuk kamar. Hati sedang tidak mood untuk diajak membahas hal sepele seperti itu. Biarlah dia menerka sendiri agar tahu bagaimana rasanya penasaran.Dalam kamar aku bersandar pada headboard sambil terus menatap ponsel yang tidak ada kabar dari Ferdila bahkan pesan suara yang aku kirim hanya dibaca. Mungkin dia ingin menjelaskan secara langsung.Ada notifikasi Whats*pp dan itu bukan dari suamiku, tetapi
Baru pukul empat sore, deru mobil sudah terdengar memasuki halaman rumah. Gegas kaki melangkah ke luar untuk memastikan siapa yang datang dan benar saja itu suamiku. Dia melangkah mendekat dan langsung mengulurkan tangannya ketika mata kami saling bertemu."Capek!" keluhnya menjatuhkan bobot di sofa. Aku ikut menemani sementara Vidia sekilas terlihat masuk dapur.Ada rasa iba melihat suami pulang dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh. Jadi, untuk membahas sekarang rasanya tidak perlu. Nanti berujung pertengkaran."Tumben pulang cepat?""Karena mulai besok harus lembur selama sebulan.""Lembur sampai jam berapa?""Jam sembilan malam."Aku hanya mengangguk apalagi tidak terlalu faham dunia pekerjaan. Tidak lama, Vidia keluar dengan baki yang berisi kopi hangat. Senyuman lelaki itu seketika mengambang sempurna.Vidia duduk di sampingku, dia berkata dengan suara sangat lembut, "Mau aku siapin air untuk mandi?""Boleh, Sa
POV ARNILASetelah mengirim pesan balasan pada Ardina, aku langsung mematikan ponsel karena nendengar suara pintu kamar yang terbuka. Benar sekali, seseorang yang keluar adalah adik iparku si Ferdila.Dia menoleh dengan raut wajah bingung. Beruntung aku sudah di depan kamar jadi tidak terlalu pusing mengambil alasan."Kenapa ke luar?""Tadi aku haus, jadi mau ke dapur buat minum. Kamu sendiri?" Aku berusaha bersikap santai."Mau minum juga," jawab Ferdila santai. "Kenapa bawa ponsel?"Aku menatap ponsel, kemudian tertawa renyah. "Ah, iya kenapa bawa ponsel padahal ponselnya mati."Lelaki itu geleng-geleng kepala kemudian melangkah ke dapur. Mau tidak mau aku harus mengikuti dari belakang karena kalau langsung masuk kamar bisa ketahuan. Lagi pula siapa tahu ada kesempatan mencuri informasi.Lampu dapur sudah menyala, aku gegas mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Setengah saja karena tidak benar-benar haus. Ber
"Good morning, Vidia! How are you to day?" sapaku setelah melihatnya sibuk di dapur sepagi ini."Morning too, i am fine," sahutnya, kemudian tangan yang sedang menumis ikan itu berhenti dan menoleh padaku. "Arnila?"Aku mengibas tangan di depan wajah sambil tersenyum. "Kenapa, Vid? Kangen sama saudariku?"Dia memicingkan mata tanda curiga. Cepat-cepat aku bertingkah seperti Ardina yang lugu. Sementara perempuan itu kembali melakukan aktivitasnya. "Entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu mengira kamu Arnila.""Lucu sekali," ejekku."Di mana dia sekarang? Pasti sibuk mengerjai Shella dan juga Falen, kan?"Aku meletakkan gelas di meja, duduk di kursi sambil menatap punggung perempuan berambut pirang itu. Jengkel sekali melihatnya bahkan ada rasa ingin mendorong wajah menyebalkan itu ke wajan agar semakin terlihat menawan."Entahlah, aku juga tidak tahu Arnila sedang apa sekarang. Kami tidak pernah mengobrol walau sekadar menanyakan
Setelah kepergian Ferdila ke kantor, aku kembali masuk ke dalam rumah dengan niat mengerjai Vidia. Sudah cukup dia melukai hati adik kembarku. Kini, dia harus merasakan luka paling pahit."Mau ke mana, Vid?""Ngagetin tau gak?!" jerit Vidia sambil memutar badan menghadapku. Pasalnya dia baru saja menutup pintu kamar."Biasa aja kali. Lagian mau ke mana sepagi ini juga, suami baru berangkat kerja, malah gak minta izinnya dulu. Kalau kayak gini caranya, bisa ada kecurigaan dalam rumah tangga. Gimana kalau ...." Aku sengaja menggantung kalimat agar perempuan berambut pirang di depanku ini berpikir.Bukannya menjawab, dia malah tersenyum seraya mengibas tangan. Aku mengikuti dari belakang, beruntung sudah mandi. Langkah Vidia terhenti tepat di depan pintu, tanpa menoleh dia berucap, "Kamu di sini aja jaga rumah, aku mau shopping dulu! Oke?""Dengan David atau–""Shut up!" Vidia menempelkan jari telunjuknya di bibirku. Spontan aku gigit den
Pukul empat sore aku baru sampai di rumah, Vidia belum juga datang. Jenuh menghampiri akhirnya aku menonton televisi sambil rebahan hingga terbuai di alam mimpi."Ardina!" Suara lembut menyapa hingga aku terjaga dari tidur. Saat melirik jam rupanya sudah hampir pukul enam sore dan pemilik suara itu adalah Ferdila. Gegas aku bangkit dari tidur."Udah pulang?""Tentu saja. Vidia mana?""Aku gak tahu, sejak pagi tadi dia keluar." Aku mengucek mata. "Aku sendirian di rumah, rada bete jadi nonton tv malah ketiduran."Ferdila mengangguk, dia mengusap pucuk kepalaku. Ingin sekali menepis kasar, tetapi dia bisa curiga. Huh, andai dia tahu aku bukan Ardina, entah bagaimana tanggapannya.Lelaki itu kini ikut menatap layar televisi yang masih menyala. Senyum mulai terkuro di wajahnya yang sudah segar kembali setelah mandi, kemudian di menit berikutnya dia meminta maaf karena merasa tidak mampu berlaku adil.Aku hanya bisa mengangguk. Adik