"Apa yang terjadi, Dok? Apa benar istri saya mengalami amnesia di masa lalu?"
Pria berumur senja yang merupakan dokter spesialis saraf itu membuka mulut setelah mempersilakan Darren duduk. Beliau tahu sang suami diliputi rasa penasaran dan kegelisahan yang teramat besar."Hasil CT Scan di kepala pasien, kami menemukan adanya keretakan kecil. Kami butuh informasi tentang kecelakaan yang dialami pasien di tahun-tahun sebelumnya. Apakah Bapak bisa menjabarkan kepada saya?"Darren yang belum sempat bertanya kepada keluarga baru Gian, pun hanya bisa menghela napas berat. Selama dua hari setelah ibu membaik, dia sibuk dengan pekerjaannya di Jakarta. Setelah itu, dia lupa bertanya bagaimana awal pertemuan si ibu, Jihan dan Gian."Amnesia pasca trauma merupakan jenis amnesia yang menyebabkan seseorang kehilangan ingatan akibat dari cedera kepala. Itu terjadi bisa karena kecelakaan dalam berkendara, mendapat benturan keras di kepala, atau jatuh dari keting"Dari hasil USG, usia kandungan sudah memasuki minggu keenam. Kami harap pasien harus banyak istirahat dan tidak stress yang akan mempengaruhi perkembangan janinnya. Kecelakaan tempo lalu benar-benar sangat berisiko dan bersyukur kandungannya kuat."Usai mendengar penuturan dokter spesial kandungan, Darren berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Sang Pencipta dan dokter bertugas. Semenit kemudian, tim medis yang memeriksa meninggalkan tempat setelah memastikan Gian dalam kondisi stabil."Kamu dengar, Sayang? Kamu lagi hamil. Kita akan segera punya anak. Apa kamu senang?"Satu tangan mengelus perut istri yang masih datar dan tangan lain mengelus kepalanya. Gian yang duduk bersandar memberi senyuman simpul dengan hati gembira lega bercampur bimbang. Senang karena dia berhasil hamil sebagai tugasnya. Namun di sisi lain, dia harus bersiap untuk rela melepaskan bayi dan suami yang entah sejak kapan sudah mulai dia cintai. Iya, ketika anak itu dilahirkan, dir
"Sayang, kita sudah sampai."Darren membelai pipinya lalu memberi kecupan sekilas di bibir ranum itu. Sentuhan lembut membangunkan Gian segera. Mata Gian berkedip seperti barong sai karena bulu matanya yang lentik nan panjang.Tidak ada protes atau bantahan yang dilakukan karena Gian semakin mengingat siapa sebenarnya mereka di masa lalu. Bahkan sapaan Pak sudah dia ganti menjadi Mas untuk menyapa suaminya."Kita sudah sampai, Baby."Telapak tangan itu mengelus kembali perut Gian yang ramping. Entah sudah berapa kali sejak tahu kehamilan itu, Darren menyapa dan mengusap perut seolah sedang berkomunikasi dengan bayi yang belum tampak bentuknya. Senang, puas, haru menjadi satu paket."Kenapa kita di sini, bukan balik ke apartemen?"Pertanyaan Gian menerbitkan senyuman di bibir sang suami. Darren tak ingin pisah dan merasa Gian lebih aman jika berada di dekatnya, pun tak mau wanita tersebut sendirian di sana."Kamu lagi ham
"Jadi ini menantu Mama yang sedang mengandung penerus keluarga Lesmana?"Wanita senja dengan wajah yang terawat skincare mahal, menarik tangan Gian saat dia baru saja sampai di rumah. Bukannya marah karena putranya menikah tanpa sepengetahuannya, Lidya malah menunjukkan raut sukacita menyambut Giandra.Tadinya, Gian syok ketika Darren bilang mamanya akan tiba di rumah 30 menit lagi. Dia terlalu takut akan status sebagai istri siri yang akan dikait-kaitkan dengan gelar pelakor. "Mama otw dari bandara ke sini. Dia ingin segera bertemu denganmu."Jangankan berbicara, menelan ludah saja sulit dilakukan Gian malam itu karena gugup. Dia hanya bisa membalasnya dengan senyuman termanis yang dimiliki. Untungnya, dia berpakaian rapi tanpa kaos ketat dan celana sempit nan pendek. Jika tidak, entah bagaimana kesan pertama sang mertua tersebut terhadapnya. Untung dia patuh dengan perintah Darren yang menyuruhnya memakai pakaian yang sudah disiapkan untuknya.
"Kenapa belum tidur?"Seusai berdiskusi dengan mama, Darren mengunjungi Gian kembali. Waktu masuk ke dalam kamar, dia mendapati sang istri kedua sedang bermain ponsel dengan senyuman tipis. Pria berkaos putih itu naik ke kasur dan mengambil tubuh wanitanya lalu membawanya ke dalam dekapan."Mas, apa memang tak sebaiknya aku tinggal di apartemen saja? Aku tak nyaman dengan tatapan Bu Emma terhadapku. Aku merasa dia tidak mau keberadaanku di sini."Bukan menjawab pertanyaan, dia malah mengungkapkan keluh kesahnya. Layar ponsel yang menampilkan foto kebersamaan mereka pun dipadamkan setelah dirinya merasa lebih nyaman berada dalam pelukan suaminya. Aroma tubuh pria itu menjadi candu setelah dirinya berbadan dua."Sttt, dia nggak berhak melarangmu untuk tinggal di sini. Ingat, kamu juga istriku, sah di mata agama. Asal aku bisa bersikap adil, tidak ada salahnya dengan posisi kamu sekarang.""Tapi aku merasa Mas tidak berlaku adil malam ini ke
Tanpa bersuara, Gian mengangguk mengizinkan. Dia pun tak punya kuasa untuk melarangnya karena sadar diri apa statusnya di rumah itu. Awalnya, dirinya yang tak diharapkan meski sekarang dia bisa merasakan cinta tulus yang ditransfer Darren untuknya.Pria itu pun keluar dengan langkah gontai setelah menghujani ciuman di kening, hidung, pipi dan terakhir ke bibir Gian. Tidak ada penolakan, Gian menikmati hangat sentuhan bibir sang suami dengan hati yang mengambang. Entah bagaimana perasaannya, antara rela dan tak ikhlas.Akhirnya, Gian tak bisa menahan kantuk dan tertidur. Padahal, tadi dia sudah berjanji dalam diri untuk menunggu sampai Darren kembali ke kamarnya. Sampai jam satu dini hari, pria itu tak kunjung tampak batang hidungnya. Hingga pagi mulai meninggi, sinar matahari yang diam-diam menyusup ke ruangan melalui sela gorden abua-abu, menyilaukan mata. Perlahan, Gian membuka mata. Pertama yang dilakukan saat kesadarannya terkumpul sempurna adalah men
"Emma!"Satu nama terdengar setelah pintu terbuka, mengalihkan perhatian dan pandangan kedua wanita itu. Mereka sama-sama menoleh ke arah pintu dan mendapatkan sosok Darren yang telah mengenakan kemeja marron. Rapi dan elegan."Apa yang kamu lakukan di sini, Emma?"Pria itu mendekati sedangkan Emma sudah berdiri tegak dengan tangan yang telah diturunkan. Bersamaan langkah itu mendekat, bibir Emma berbisik."Awas kalau kamu mengadu." Mata itu cukup mengerikan dan Gian pun membuang pandangan ke sisi lain. Dia tak menyangka Emma akan berubah seperti monster yang nyaris melahapnya hidup-hidup. Aura kebencian tercium membuatnya menyesal karena telah mengingat siapa dirinya sebenarnya. Jasmine, iya. Dia menyesal karena tahu dirinya adalah Jasmine yang mendorong diri itu mencintai dan dicintai Darren."Nggak ngapa-ngapain, Mas. Aku hanya ingin memastikan bagaimana keadaan Gian pagi ini. Biasanya orang hamil akan mengalami morning sick.
"Maukah kamu menerima bantuanku untuk mengeringkan rambutmu? Rambut ibu hamil tidak boleh basah terlalu lama, nanti masuk angin."Dia mengambil handuk tanpa permisi meski tangan Gian mulai menghalanginya. Dia tak peduli penolakan si istri yang telah membentengi diri dan menyuruhnya duduk di kursi meja hias. Lalu, dia mulai menyalakan hair dryer dan mengambil rambutnya. Dari pantulan, Gian bisa melihat wajah sang suami yang sepertinya serius dengan kegiatannya. Namun, dia akan berpaling ketika kepergok Darren."Tadi malam apakah kamu tidur terlalu nyenyak? Hingga aku naik ke ranjang, kamu tidak menyadarinya?"Iris mata Gian bergerak ke arah cermin, mencoba masuk di kedalaman mata Darren mencari kepalsuan setelah kalimat itu terucap. Gian belum mau menyahuti, masih ingin menunggu apa kelanjutan yang terjadi tadi malam."Jam satu aku masuk dan aku lihat kamu sudah tertidur. Jadi, aku tidak mau membangunkanmu karena ....""Lelah? Habis gituan
"Karin! Selamat, ya. Project tahun ini, desain kamu yang terpilih."Gian tak bisa menyimpan rasa bahagia atas keberhasilan dan kerja keras sahabatnya membuahkan hasil yang memuaskan. Dia menghamburkan ke pelukan wanita berkacamata yang harus mengimbangi tubuhnya, jika tak mau diri itu jatuh. Serangan spontan terjadi ketika Gian sampai di ruangan kerja dan melihatnya. Sangat mendadak."Iya nih, jangan lupa makan-makan.""Kapan nih? Wah, selamat-selamat.""Memang desain lo beda dari lain, Rin.""Cie, yang dapat bonus tambahan. Mau beli rumah kayaknya."Sahutan demi sahutan terdengar, dan Karina hanya membalas dengan senyuman. Dia juga baru tahu kabar gembira itu pagi tadi dari general manager. Sementara Gian sudah tahu dari Darren tadi saat di mobil. Tidak ada iri di hati, Gian malah berharap Karina yang mendapat reward tersebut karena tahu uang bonus tersebut akan dipakai untuk membeli motor.Belum puas bersenang-senang d