"Sayang, kita sudah sampai."
Darren membelai pipinya lalu memberi kecupan sekilas di bibir ranum itu. Sentuhan lembut membangunkan Gian segera. Mata Gian berkedip seperti barong sai karena bulu matanya yang lentik nan panjang.Tidak ada protes atau bantahan yang dilakukan karena Gian semakin mengingat siapa sebenarnya mereka di masa lalu. Bahkan sapaan Pak sudah dia ganti menjadi Mas untuk menyapa suaminya."Kita sudah sampai, Baby."Telapak tangan itu mengelus kembali perut Gian yang ramping. Entah sudah berapa kali sejak tahu kehamilan itu, Darren menyapa dan mengusap perut seolah sedang berkomunikasi dengan bayi yang belum tampak bentuknya. Senang, puas, haru menjadi satu paket."Kenapa kita di sini, bukan balik ke apartemen?"Pertanyaan Gian menerbitkan senyuman di bibir sang suami. Darren tak ingin pisah dan merasa Gian lebih aman jika berada di dekatnya, pun tak mau wanita tersebut sendirian di sana."Kamu lagi ham"Jadi ini menantu Mama yang sedang mengandung penerus keluarga Lesmana?"Wanita senja dengan wajah yang terawat skincare mahal, menarik tangan Gian saat dia baru saja sampai di rumah. Bukannya marah karena putranya menikah tanpa sepengetahuannya, Lidya malah menunjukkan raut sukacita menyambut Giandra.Tadinya, Gian syok ketika Darren bilang mamanya akan tiba di rumah 30 menit lagi. Dia terlalu takut akan status sebagai istri siri yang akan dikait-kaitkan dengan gelar pelakor. "Mama otw dari bandara ke sini. Dia ingin segera bertemu denganmu."Jangankan berbicara, menelan ludah saja sulit dilakukan Gian malam itu karena gugup. Dia hanya bisa membalasnya dengan senyuman termanis yang dimiliki. Untungnya, dia berpakaian rapi tanpa kaos ketat dan celana sempit nan pendek. Jika tidak, entah bagaimana kesan pertama sang mertua tersebut terhadapnya. Untung dia patuh dengan perintah Darren yang menyuruhnya memakai pakaian yang sudah disiapkan untuknya.
"Kenapa belum tidur?"Seusai berdiskusi dengan mama, Darren mengunjungi Gian kembali. Waktu masuk ke dalam kamar, dia mendapati sang istri kedua sedang bermain ponsel dengan senyuman tipis. Pria berkaos putih itu naik ke kasur dan mengambil tubuh wanitanya lalu membawanya ke dalam dekapan."Mas, apa memang tak sebaiknya aku tinggal di apartemen saja? Aku tak nyaman dengan tatapan Bu Emma terhadapku. Aku merasa dia tidak mau keberadaanku di sini."Bukan menjawab pertanyaan, dia malah mengungkapkan keluh kesahnya. Layar ponsel yang menampilkan foto kebersamaan mereka pun dipadamkan setelah dirinya merasa lebih nyaman berada dalam pelukan suaminya. Aroma tubuh pria itu menjadi candu setelah dirinya berbadan dua."Sttt, dia nggak berhak melarangmu untuk tinggal di sini. Ingat, kamu juga istriku, sah di mata agama. Asal aku bisa bersikap adil, tidak ada salahnya dengan posisi kamu sekarang.""Tapi aku merasa Mas tidak berlaku adil malam ini ke
Tanpa bersuara, Gian mengangguk mengizinkan. Dia pun tak punya kuasa untuk melarangnya karena sadar diri apa statusnya di rumah itu. Awalnya, dirinya yang tak diharapkan meski sekarang dia bisa merasakan cinta tulus yang ditransfer Darren untuknya.Pria itu pun keluar dengan langkah gontai setelah menghujani ciuman di kening, hidung, pipi dan terakhir ke bibir Gian. Tidak ada penolakan, Gian menikmati hangat sentuhan bibir sang suami dengan hati yang mengambang. Entah bagaimana perasaannya, antara rela dan tak ikhlas.Akhirnya, Gian tak bisa menahan kantuk dan tertidur. Padahal, tadi dia sudah berjanji dalam diri untuk menunggu sampai Darren kembali ke kamarnya. Sampai jam satu dini hari, pria itu tak kunjung tampak batang hidungnya. Hingga pagi mulai meninggi, sinar matahari yang diam-diam menyusup ke ruangan melalui sela gorden abua-abu, menyilaukan mata. Perlahan, Gian membuka mata. Pertama yang dilakukan saat kesadarannya terkumpul sempurna adalah men
"Emma!"Satu nama terdengar setelah pintu terbuka, mengalihkan perhatian dan pandangan kedua wanita itu. Mereka sama-sama menoleh ke arah pintu dan mendapatkan sosok Darren yang telah mengenakan kemeja marron. Rapi dan elegan."Apa yang kamu lakukan di sini, Emma?"Pria itu mendekati sedangkan Emma sudah berdiri tegak dengan tangan yang telah diturunkan. Bersamaan langkah itu mendekat, bibir Emma berbisik."Awas kalau kamu mengadu." Mata itu cukup mengerikan dan Gian pun membuang pandangan ke sisi lain. Dia tak menyangka Emma akan berubah seperti monster yang nyaris melahapnya hidup-hidup. Aura kebencian tercium membuatnya menyesal karena telah mengingat siapa dirinya sebenarnya. Jasmine, iya. Dia menyesal karena tahu dirinya adalah Jasmine yang mendorong diri itu mencintai dan dicintai Darren."Nggak ngapa-ngapain, Mas. Aku hanya ingin memastikan bagaimana keadaan Gian pagi ini. Biasanya orang hamil akan mengalami morning sick.
"Maukah kamu menerima bantuanku untuk mengeringkan rambutmu? Rambut ibu hamil tidak boleh basah terlalu lama, nanti masuk angin."Dia mengambil handuk tanpa permisi meski tangan Gian mulai menghalanginya. Dia tak peduli penolakan si istri yang telah membentengi diri dan menyuruhnya duduk di kursi meja hias. Lalu, dia mulai menyalakan hair dryer dan mengambil rambutnya. Dari pantulan, Gian bisa melihat wajah sang suami yang sepertinya serius dengan kegiatannya. Namun, dia akan berpaling ketika kepergok Darren."Tadi malam apakah kamu tidur terlalu nyenyak? Hingga aku naik ke ranjang, kamu tidak menyadarinya?"Iris mata Gian bergerak ke arah cermin, mencoba masuk di kedalaman mata Darren mencari kepalsuan setelah kalimat itu terucap. Gian belum mau menyahuti, masih ingin menunggu apa kelanjutan yang terjadi tadi malam."Jam satu aku masuk dan aku lihat kamu sudah tertidur. Jadi, aku tidak mau membangunkanmu karena ....""Lelah? Habis gituan
"Karin! Selamat, ya. Project tahun ini, desain kamu yang terpilih."Gian tak bisa menyimpan rasa bahagia atas keberhasilan dan kerja keras sahabatnya membuahkan hasil yang memuaskan. Dia menghamburkan ke pelukan wanita berkacamata yang harus mengimbangi tubuhnya, jika tak mau diri itu jatuh. Serangan spontan terjadi ketika Gian sampai di ruangan kerja dan melihatnya. Sangat mendadak."Iya nih, jangan lupa makan-makan.""Kapan nih? Wah, selamat-selamat.""Memang desain lo beda dari lain, Rin.""Cie, yang dapat bonus tambahan. Mau beli rumah kayaknya."Sahutan demi sahutan terdengar, dan Karina hanya membalas dengan senyuman. Dia juga baru tahu kabar gembira itu pagi tadi dari general manager. Sementara Gian sudah tahu dari Darren tadi saat di mobil. Tidak ada iri di hati, Gian malah berharap Karina yang mendapat reward tersebut karena tahu uang bonus tersebut akan dipakai untuk membeli motor.Belum puas bersenang-senang d
"Hai, Cantik. Lama tak bertemu, kamu tambah cantik dengan busana muslimmu hari ini."Irvan yang baru datang ke kantin, pun langsung duduk bergabung dengan Gian dan Karina tanpa minta permisi. Senyuman lebar ditunjukkan sebab kerinduan yang menyiksa diri kini tercurahkan. Dia tahu kabar ibunya sakit, Gian yang kecelakaan dari Emma. Akan tetapi, pria itu belum tahu ingatan Gian yang hampir pulih dan dalam tubuhnya sudah ada benih Darren.Sama, Karina pun tak tahu rahasia itu. Dan, Gian belum mau si sahabat mengetahuinya. Pasti, suatu saat dia pasti akan diberitahu tetapi belum bisa memastikan kapan itu terjadi. Dia akan mencari waktu yang tepat.Tidak ada respons yang berlebih, Gian hanya melempar senyuman tipis lalu lanjut dengan kegiatan makan. Dia merasa lebih cepat lapar dan mudah lelah setelah dirinya tahu sudah ada makhluk kecil di dalam perutnya. Pun mengingat pesan Darren agar dia tak boleh telat makan, yang akan menaikkan asam lambungnya."
"Mau pulang sekarang, Bu?"Senyuman dan nada yang ramah tidak bisa menetralkan debaran jantung Gian yang kian bertalu. Masalahnya suasana di sana sedikit mencekam. Apalagi langit yang sudah menghitam akibat baru selesai turun hujan, padahal masih jam magrib. Angin sepoi-sepoi nan dingin menambah hawa aneh, merindingkan tubuhnya. Dia butuh jaket agar menghangat badan."Mari, Bu."Tangan Pak Dadang mempersilakan saat melihat anggukan kepala Gian. Wanita itu tak sanggup bersuara, pun hanya bisa berjalan mengekor sampai si supir membukakan pintu untuknya. Lalu, dia mengamati Pak Dadang membuka pintu untuknya sendiri, duduk lalu menyalakan mesin mobil. Tak lama, mobil itu bergerak meninggalkan tempat.Tidak ada prasangka apa-apa, Gian percaya dengan kinerja si supir yang sudah mengabdi puluhan tahun tersebut. Dia yakin Pak Dadang akan mengantarnya pulang sampai di rumah dengan selamat. Dia pun membuka dan bermain ponselnya untuk membunuh rasa bosan.