"Emma!"
Satu nama terdengar setelah pintu terbuka, mengalihkan perhatian dan pandangan kedua wanita itu. Mereka sama-sama menoleh ke arah pintu dan mendapatkan sosok Darren yang telah mengenakan kemeja marron. Rapi dan elegan."Apa yang kamu lakukan di sini, Emma?"Pria itu mendekati sedangkan Emma sudah berdiri tegak dengan tangan yang telah diturunkan. Bersamaan langkah itu mendekat, bibir Emma berbisik."Awas kalau kamu mengadu."Mata itu cukup mengerikan dan Gian pun membuang pandangan ke sisi lain. Dia tak menyangka Emma akan berubah seperti monster yang nyaris melahapnya hidup-hidup. Aura kebencian tercium membuatnya menyesal karena telah mengingat siapa dirinya sebenarnya. Jasmine, iya. Dia menyesal karena tahu dirinya adalah Jasmine yang mendorong diri itu mencintai dan dicintai Darren."Nggak ngapa-ngapain, Mas. Aku hanya ingin memastikan bagaimana keadaan Gian pagi ini. Biasanya orang hamil akan mengalami morning sick."Maukah kamu menerima bantuanku untuk mengeringkan rambutmu? Rambut ibu hamil tidak boleh basah terlalu lama, nanti masuk angin."Dia mengambil handuk tanpa permisi meski tangan Gian mulai menghalanginya. Dia tak peduli penolakan si istri yang telah membentengi diri dan menyuruhnya duduk di kursi meja hias. Lalu, dia mulai menyalakan hair dryer dan mengambil rambutnya. Dari pantulan, Gian bisa melihat wajah sang suami yang sepertinya serius dengan kegiatannya. Namun, dia akan berpaling ketika kepergok Darren."Tadi malam apakah kamu tidur terlalu nyenyak? Hingga aku naik ke ranjang, kamu tidak menyadarinya?"Iris mata Gian bergerak ke arah cermin, mencoba masuk di kedalaman mata Darren mencari kepalsuan setelah kalimat itu terucap. Gian belum mau menyahuti, masih ingin menunggu apa kelanjutan yang terjadi tadi malam."Jam satu aku masuk dan aku lihat kamu sudah tertidur. Jadi, aku tidak mau membangunkanmu karena ....""Lelah? Habis gituan
"Karin! Selamat, ya. Project tahun ini, desain kamu yang terpilih."Gian tak bisa menyimpan rasa bahagia atas keberhasilan dan kerja keras sahabatnya membuahkan hasil yang memuaskan. Dia menghamburkan ke pelukan wanita berkacamata yang harus mengimbangi tubuhnya, jika tak mau diri itu jatuh. Serangan spontan terjadi ketika Gian sampai di ruangan kerja dan melihatnya. Sangat mendadak."Iya nih, jangan lupa makan-makan.""Kapan nih? Wah, selamat-selamat.""Memang desain lo beda dari lain, Rin.""Cie, yang dapat bonus tambahan. Mau beli rumah kayaknya."Sahutan demi sahutan terdengar, dan Karina hanya membalas dengan senyuman. Dia juga baru tahu kabar gembira itu pagi tadi dari general manager. Sementara Gian sudah tahu dari Darren tadi saat di mobil. Tidak ada iri di hati, Gian malah berharap Karina yang mendapat reward tersebut karena tahu uang bonus tersebut akan dipakai untuk membeli motor.Belum puas bersenang-senang d
"Hai, Cantik. Lama tak bertemu, kamu tambah cantik dengan busana muslimmu hari ini."Irvan yang baru datang ke kantin, pun langsung duduk bergabung dengan Gian dan Karina tanpa minta permisi. Senyuman lebar ditunjukkan sebab kerinduan yang menyiksa diri kini tercurahkan. Dia tahu kabar ibunya sakit, Gian yang kecelakaan dari Emma. Akan tetapi, pria itu belum tahu ingatan Gian yang hampir pulih dan dalam tubuhnya sudah ada benih Darren.Sama, Karina pun tak tahu rahasia itu. Dan, Gian belum mau si sahabat mengetahuinya. Pasti, suatu saat dia pasti akan diberitahu tetapi belum bisa memastikan kapan itu terjadi. Dia akan mencari waktu yang tepat.Tidak ada respons yang berlebih, Gian hanya melempar senyuman tipis lalu lanjut dengan kegiatan makan. Dia merasa lebih cepat lapar dan mudah lelah setelah dirinya tahu sudah ada makhluk kecil di dalam perutnya. Pun mengingat pesan Darren agar dia tak boleh telat makan, yang akan menaikkan asam lambungnya."
"Mau pulang sekarang, Bu?"Senyuman dan nada yang ramah tidak bisa menetralkan debaran jantung Gian yang kian bertalu. Masalahnya suasana di sana sedikit mencekam. Apalagi langit yang sudah menghitam akibat baru selesai turun hujan, padahal masih jam magrib. Angin sepoi-sepoi nan dingin menambah hawa aneh, merindingkan tubuhnya. Dia butuh jaket agar menghangat badan."Mari, Bu."Tangan Pak Dadang mempersilakan saat melihat anggukan kepala Gian. Wanita itu tak sanggup bersuara, pun hanya bisa berjalan mengekor sampai si supir membukakan pintu untuknya. Lalu, dia mengamati Pak Dadang membuka pintu untuknya sendiri, duduk lalu menyalakan mesin mobil. Tak lama, mobil itu bergerak meninggalkan tempat.Tidak ada prasangka apa-apa, Gian percaya dengan kinerja si supir yang sudah mengabdi puluhan tahun tersebut. Dia yakin Pak Dadang akan mengantarnya pulang sampai di rumah dengan selamat. Dia pun membuka dan bermain ponselnya untuk membunuh rasa bosan.
"Buka pintunya, aku mau lihat wanita jalang itu!"Samar-samar terdengar suara yang mengusik kesadaran Gian. Perlahan, dia membuka mata. Silau seketika kala pintu terbuka. Ruangan yang ditempati Gian tercium lembab dan sangat gelap. Kini sedikit terang karena terpercik lampu luar."Di mana aku sekarang? Apa yang terjadi? Kenapa aku terasa pusing dan sangat mual? Bau apa ini?"Mata Gian belum bisa melihat siapa orang yang datang dengan baik. Dia mencoba mengedar ke seluruh ruangan penuh bungkusan sisa makanan, botol, kaleng bekas yang sangat kotor dan banyak sarang laba-laba di sudut ruang. Sangat menjijikan, dia merasa mual seketika. Mie Aceh yang tadi siang nyaris keluar dari mulut. Lalu, dia memperhatikan dirinya yang terduduk di lantai dengan mulut ditempelkan lakban hitam. Pantas saja mulutnya terasa kebas. Dan, itu yang membuat makanan itu tak bisa keluar.Wanita itu mencoba bangkit. Ah, tangannya yang pegal ternyata diikat tali ke belakang te
Emosi Emma makin tersulut karena Gian terus berusaha menyahuti. Tangannya terkepal kesal untuk mengendalikan, tetapi dia gagal."Aku tidak ....""Diam! Aku tak butuh pembelaan apa-apa darimu. Aku jijik denganmu. Aku ...."Sebuah tamparan meluncur mulus di pipi Gian bersamaan suara Emma pun melengking memenuhi ruangan. Dia tak ingin memberi kesempatan wanita itu untuk membela diri. Dia tak sanggup melihat air mata Gian yang semakin lama kian deras. Bukan, Emma bukan wanita kasar dan bukan juga orang pendendam. Hasutan Puspa telah meracuni pikirannya. Dia pun tak menyangka bisa menjadi setan yang sangat menakutkan."Cukup, Emma! Kamu bisa melukainya."Irvan mendekat lagi dan menarik tangan Emma. Dengan cepat, pria itu beralih pandangan ke arah wajah Gian yang memerah. Raut wajah lelah dan sendu sangat kentara di sana. Air mata pun sudah membasahi pipi. Sungguh, dia trenyuh dan ini tak bisa dibiarkan lagi."Sudah kuajak kamu pergi t
"Pergi kamu dari sini! Aku tak sudi menganggapmu menantu meski anak ingusan ini dan bayi yang kamu kandung adalah anak dari putraku. Kalian tak lain adalah kotoran yang menjijikan di mataku."Seorang wanita senja dengan cincin berlian tersemat di jari telunjuk, membidik tajam ke arah Merlin. Merlin ketahuan sudah menjadi wanita simpanan Gatot selama tiga tahun. Entah bagaimana caranya, si mama mencium perselingkuhan sang putra. Kini kakinya sedang menginjak di sebuah rumah sederhana yang dibeli Gatot untuk selingkuhannya sekadar berteduh dan bersembunyi."Tapi, Bu. Saya dan Mas Gatot saling mencintai. Dia berjanji akan memperkenalkan aku kepada ibu dan istrinya minggu depan. Dia akan ....""Jangan mimpi kamu, wanita jalang! Kamu tak lebih dari seperti sampah yang kini akan dibuang pada tempatnya. Kamu tahu, Gatot anakku tidak akan pernah datang lagi ke sini untuk menjenguk apalagi membawa kamu ke rumah kami. Rumah kami akan tertutup rapat untuk kamu. Asal
Sayangnya, si penguasa tak menggubris rintihannya. Dia melenggangkan kaki masuk ke dalam mobil, menemui menantu yang tak lain adalah istri sah Gatot. Tangisan tersedu-sedu itu hanya bisa disaksikan Lidya dari dalam mobil, pun tak berani membantu atau membantah mertua yang mengambil andil penting dalam keluarga.Dari balik kaca jendela, Lidya melihat selingkuhan suaminya diseret paksa, anaknya digendong dan dibawa masuk ke dalam mobil panther tua. Dibawa ke mana, dia tak tahu."Kamu bisa tenang sekarang. Wanita itu sudah tak bisa mengganggu ketenangan rumah tangga kalian. Ingat, jangan memberitahu Gatot soal ini. Biar saja dia menganggap wanita itu kabur dari kota ini. Kamu paham, Lidya?"Suara kharisma itu tak bisa disanggah oleh Lidya yang merupakan mama Darren. Dia hanya mengangguk patuh. Namun di lubuk hati paling dalam, dia tak ingin seperti itu akhir dari permasalahan tersebut. Meski iya, hatinya sakit ketika tahu suaminya punya wanita lain dan mempun
Gian menghentakkan tangan Darren yang menggenggam tangannya saat mereka sudah menginjak lantai kantor."Kenapa?" Tanpa melepasnya, dia menoleh ke arah Gian sambil terus berjalan menuju lift."Nggak enak dilihat anak-anak. Aku jadi grogi."Tersenyum lebar, Darren malah mengganti posisi tangan, merangkul bahu wanita yang jalan bersisian dengannya."Mas!" Mata Gian semakin melotot."Kamu istri sah sekarang. Kenapa malu? Ini kamu lihat apa yang aku bawa?"Gian menggeserkan bola mata menuju ke arah tangan yang memegang setumpuk kartu undangan. Dia mengerutkan kening lalu mendongak kepala mencari jawaban."Karyawan di sini harus kenal dengan nyonya Lesmana yang baru dan aku akan mengundang mereka semua.""What?"Tanpa memberi kesempatan Gian melayangkan protes, Darren membawanya masuk ke dalam lift bersama karyawan lain yang menyembunyikan rasa ingin tahu. Darren tampak tak peduli sedangkan Gian ber
Pria itu Agung Wirawan yang kebetulan bertemu dengan Lidya di London dan berkenalan. Sudah lama dia tak pulang ke Indonesia sampai akhirnya dia menemukan flash disk rekaman CCTV. Entah siapa yang memindahkan rekaman itu ke dalam flash disk yang tak sengaja dia temukan di meja kerja sang papa.Di sana terlihat jelas Puspa memasukkan sesuatu ke dalam minuman si suami di dapur. Lalu, tak lama pria itu mendatangi meja makan dan meminumnya setelah disuguhkan Puspa. Hanya butuh sepuluh detik, papa Agung kejang dan mengeluarkan buih dari mulutnya. Sementara Puspa melipat tangan ke depan dada dan tak terlihat panik sama sekali. Sampai akhirnya, tubuh suaminya lemas dan melosot ke lantai."Mama membunuh papa?"Setelah menyaksikan sepotong cuplikan di layar laptop, mulut Emma membeo dengan pelan."Jangan panggil dia Mama. Dia bukan mama kita. Mama kita sudah tenang di surga. Wanita keji itu tak lain adalah seekor binatang yang kejam. Demi menguasai semua ha
"Jangan bunuh anakku! Pergi kalian! Pergi!"Suara keras memenuhi ruangan 3x3 meter. Dengan tangan yang terikat, terselip di baju khusus rumah sakit jiwa, Puspa meronta. Terkadang dia tertawa tak jelas ketika melihat sesuatu yang lucu baginya."Apa lihat-lihat? Belum pernah lihat wanita kaya dan cantik seperti aku?" Tawa di akhir kalimat itu membuat bulu kuduk Gian dan Emma merinding. Mereka tak diperbolehkan masuk karena khawatir Puspa akan melukai dan bertindak kasar. Mereka berdiri di depan pintu dengan jendela kaca di tengahnya. Hanya dengan cara ini, mereka bisa melihat wanita yang sudah divonis menderita gangguan jiwa oleh dokter.Seminggu lalu, saat melihat darah mengalir keluar dari perut Irvan, Puspa merasa sangat menyesal. Tidak sengaja telah menghilangkan nyawa darah dagingnya sendiri. Tak lama kejadian itu, beberapa polisi serta Darren masuk ke dalam ruang yang beraroma amis dan tak menemukan Gian.Emma. Wanita itu duduk sambi
Mendengar kabar duka itu, Gian sangat terpukul. Dia tak menyangka bayi dalam perutnya tidak bisa bertahan sampai dia dilahirkan. Namun, dia tahu rasa nyeri di perut semalaman itu sudah memberi isyarat bahwa kondisi si janin sedang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang bisa disesali, bukan kesalahan Darren karena terlambat datang menolongnya. Keesokkan harinya, Gian terpaksa menjalankan tindakan kuret yang ditemani Darren. Dokter mengizinkan lantaran wanita itu butuh pendamping yang menguatkannya. Dia bisa tiba-tiba menangis jika mengingat sesuatu hal sedih yang baru terjadi. Suasana hatinya tak menentu dan belum stabil.***"Bagaimana akhirnya Mas bisa menemukan aku di kota itu?"Setelah seminggu keadaannya sudah stabil, Gian memberanikan diri untuk bertanya hal yang ingin diketahui. Dia sudah bisa menerima apapun yang telah menimpa pada calon bayinya. Ikhlas dan pasrah."Selama ini diam-diam aku menautkan GPS di ponselmu dan aku bisa lel
Namun jika dipikir kembali, Gian bisa mengambil semua hikmah yang terjadi. Dengan semua rangkaian permasalahan yang rumit itu, dia bisa kembali ke kehidupan masa lalunya. Bertemu Darren dan menjadi istrinya yang memang tak disengaja. Benar kata orang, skenario Tuhan tidak ada yang tahu bagaimana ending-nya. Akan tetapi dia percaya, semua akan indah pada waktunya.Entah apa yang dijawab Hardi, Gian tak bisa mendengarkannya. Nyeri menjalar di seluruh kepala ketika dia berhasil mengingat kejadian demi kejadian. Menutup mata, dia larut dalam mimpi. Lelah hati dan fisik membuatnya hanya bisa pasrah apa yang akan terjadi selanjutnya. Haus, lapar, sakit di sekujur tubuhnya bergabung menjadi satu paket. Deru napasnya terlihat berirama dan kesadaran itu menghilang.***"Sayang, kamu bisa mendengarkan aku? Bagaimana kabarmu? Apakah kamu membaik?"Perlahan, orang yang dipanggil membuka mata dengan mengerjapkan berkali-kali. Aroma obat khas rumah sakit menero
Kebetulan tadi di jam saat Puspa, Irvan dan Emma mau mengunjungi Gian, Hardi dan Jaka yang bertugas. Di dalam sana, dia melihat Gian terikat tali dan berniat melepaskannya jika ada kesempatan yang tepat. Tak lama, dia merasa alam telah merestui hajatnya. Aksi rebutan senjata tadi benar-benar memuluskan niatnya."Gian, ayo turun!"Pandangan Gian mengedar sekeliling dan tak tahu ada di mana. Tadi sepanjang perjalanan, dia menumpang tidur di punggung pria yang sudah lama dia cari. Akhirnya ketemu di tempat dan waktu yang sangat menegangkan. Hardi kembali menuntunnya masuk ke sebuah rumah kosong. Entah rumah siapa, dia tak tahu. Sedikit kotor dan gelap."Aku haus, Bang. Aku mau minum."Hardi meneliti wajah Gian yang semakin pucat, lalu mengedar sekililing ruangan."Abang nggak punya makanan dan minuman, Gi. Kamu sabar, ya. Setidaknya kamu di sini sudah aman. Kita tunggu sampe subuh. Kalau memungkinkan, Abang akan cari warung terdek
"Irvan! Anakku!"Jeritan itu terdengar keras lalu tak lama suara tangisan menggelegar. Haru dan sungguh kasihan melihat kedua insan tersebut. Ibu dan anak yang saling merebut senjata yang berakhir dengan tembakan di salah satu dari mereka.Membiarkan aksi itu, Hardi, si sosok serba hitam itu terus melangkahkan kaki sambil terus membantu Gian untuk bisa keluar dari ruangan yang mencekam. Dia tak peduli kalau dirinya akan diancam Puspa atau bertemu dengan polisi yang selama ini paling ditakutkan. Ingat, dia masuk dalam daftar pencarian orang."Kumohon, Jaka. Lepaskan wanita ini. Dia ... Dia adalah adik angkatku yang tengah hamil muda. Bukankah kau memiliki istri yang sedang hamil juga? Jadi, aku mohon belas kasihanmu. Pikirkan jika istrimu berada di posisi wanita ini. Tolong, Jaka. Aku mohon!"Dengan sedikit susah payah, Hardi terus berusaha keras agar bisa meluluhkan hati rekan kerjanya. Jaka yang masuk ke dalam ruangan, hendak mencegat Hardi ketik
Suara Puspa keras tetapi bergetar. Kebencian yang mengakar kuat di hati menguar kala wajah mertua kejam itu terbesit dalam pelupuk matanya. Dendam harus segera dia tuntaskan detik itu juga. Saat lengah, dia tak tahu ternyata diam-diam kaki Irvan terus mendekat dengan pelan. Dengan cepat, tangan Irvan menangkap tangan si mama setelah jarak hanya terbentang satu langkah.Lantaran panik dan refleks aksi itu, Puspa tak sengaja menekan pelatuk pistol sehingga menghasilkan suara tembakan yang keras. Peluru itu melesat entah ke mana. Aksi rebut merebut pun terjadi lagi antara Puspa dan Irvan detik berikutnya.Emma yang berdiri di sana, menyaksikan dengan ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Hatinya ngilu selepas mendapatkan pengakuan barusan dari Puspa yang belum pernah dia tahu sebelumnya. Dia? Siapa dirinya? Dari mana asalnya? Siapa orangtuanya? Dia belum tahu siapa dirinya sehingga dia bisa tinggal dan dirawat olehnya.Tiba-tiba suara tembakan kedua terdengar lagi yang membuat kaki Emma ki
Kepingan ingatan saat si mertua mengusir lalu membuangnya ke hutan bersama Irvan kecil dan janin di perut. Sayangnya, calon bayi itu harus meninggal di perut karena guncangan demi guncangan saat dia terjatuh. Diri itu diperlakukan kasar oleh kedua bodyguard berjas hitam tersebut.Siapa yang menolongnya saat itu? Siapa yang merasa iba kepadanya? Tidak ada. Dia harus berjuang sendiri menjadi pengemis dan pemulung. Sampai akhirnya, dia terpaksa menjadi pelayan di salah satu bar. Di situlah dia bertemu seorang duda, tengah mencari kehangatan di malam yang dingin. Duda kaya yang mempunyai banyak anak. Jumlahnya berapa, si wanita tak pernah tahu. Memang, Puspa bisa seberuntung itu.Menikah dengan berganti nama dari Merlin menjadi Puspa, si duda menyanggupinya. Setelah menikah, Puspa merengek ingin merombak hidung dan bibirnya di negara ginseng dengan alasan untuk mempercantik diri.Bukan, bukan itu alasan sebenarnya. Dia sudah merencanakan jauh hari untuk membalaskan dendam. Dan, hari itu te