"Buka pintunya, aku mau lihat wanita jalang itu!"
Samar-samar terdengar suara yang mengusik kesadaran Gian. Perlahan, dia membuka mata. Silau seketika kala pintu terbuka. Ruangan yang ditempati Gian tercium lembab dan sangat gelap. Kini sedikit terang karena terpercik lampu luar."Di mana aku sekarang? Apa yang terjadi? Kenapa aku terasa pusing dan sangat mual? Bau apa ini?"Mata Gian belum bisa melihat siapa orang yang datang dengan baik. Dia mencoba mengedar ke seluruh ruangan penuh bungkusan sisa makanan, botol, kaleng bekas yang sangat kotor dan banyak sarang laba-laba di sudut ruang. Sangat menjijikan, dia merasa mual seketika. Mie Aceh yang tadi siang nyaris keluar dari mulut. Lalu, dia memperhatikan dirinya yang terduduk di lantai dengan mulut ditempelkan lakban hitam. Pantas saja mulutnya terasa kebas. Dan, itu yang membuat makanan itu tak bisa keluar.Wanita itu mencoba bangkit. Ah, tangannya yang pegal ternyata diikat tali ke belakang teEmosi Emma makin tersulut karena Gian terus berusaha menyahuti. Tangannya terkepal kesal untuk mengendalikan, tetapi dia gagal."Aku tidak ....""Diam! Aku tak butuh pembelaan apa-apa darimu. Aku jijik denganmu. Aku ...."Sebuah tamparan meluncur mulus di pipi Gian bersamaan suara Emma pun melengking memenuhi ruangan. Dia tak ingin memberi kesempatan wanita itu untuk membela diri. Dia tak sanggup melihat air mata Gian yang semakin lama kian deras. Bukan, Emma bukan wanita kasar dan bukan juga orang pendendam. Hasutan Puspa telah meracuni pikirannya. Dia pun tak menyangka bisa menjadi setan yang sangat menakutkan."Cukup, Emma! Kamu bisa melukainya."Irvan mendekat lagi dan menarik tangan Emma. Dengan cepat, pria itu beralih pandangan ke arah wajah Gian yang memerah. Raut wajah lelah dan sendu sangat kentara di sana. Air mata pun sudah membasahi pipi. Sungguh, dia trenyuh dan ini tak bisa dibiarkan lagi."Sudah kuajak kamu pergi t
"Pergi kamu dari sini! Aku tak sudi menganggapmu menantu meski anak ingusan ini dan bayi yang kamu kandung adalah anak dari putraku. Kalian tak lain adalah kotoran yang menjijikan di mataku."Seorang wanita senja dengan cincin berlian tersemat di jari telunjuk, membidik tajam ke arah Merlin. Merlin ketahuan sudah menjadi wanita simpanan Gatot selama tiga tahun. Entah bagaimana caranya, si mama mencium perselingkuhan sang putra. Kini kakinya sedang menginjak di sebuah rumah sederhana yang dibeli Gatot untuk selingkuhannya sekadar berteduh dan bersembunyi."Tapi, Bu. Saya dan Mas Gatot saling mencintai. Dia berjanji akan memperkenalkan aku kepada ibu dan istrinya minggu depan. Dia akan ....""Jangan mimpi kamu, wanita jalang! Kamu tak lebih dari seperti sampah yang kini akan dibuang pada tempatnya. Kamu tahu, Gatot anakku tidak akan pernah datang lagi ke sini untuk menjenguk apalagi membawa kamu ke rumah kami. Rumah kami akan tertutup rapat untuk kamu. Asal
Sayangnya, si penguasa tak menggubris rintihannya. Dia melenggangkan kaki masuk ke dalam mobil, menemui menantu yang tak lain adalah istri sah Gatot. Tangisan tersedu-sedu itu hanya bisa disaksikan Lidya dari dalam mobil, pun tak berani membantu atau membantah mertua yang mengambil andil penting dalam keluarga.Dari balik kaca jendela, Lidya melihat selingkuhan suaminya diseret paksa, anaknya digendong dan dibawa masuk ke dalam mobil panther tua. Dibawa ke mana, dia tak tahu."Kamu bisa tenang sekarang. Wanita itu sudah tak bisa mengganggu ketenangan rumah tangga kalian. Ingat, jangan memberitahu Gatot soal ini. Biar saja dia menganggap wanita itu kabur dari kota ini. Kamu paham, Lidya?"Suara kharisma itu tak bisa disanggah oleh Lidya yang merupakan mama Darren. Dia hanya mengangguk patuh. Namun di lubuk hati paling dalam, dia tak ingin seperti itu akhir dari permasalahan tersebut. Meski iya, hatinya sakit ketika tahu suaminya punya wanita lain dan mempun
"Katakan yang sebenarnya, Ma. Mungkin inilah saat yang tepat."Irvan yang menyembunyikan pisau di belakang tubuh, berharap Emma mengurungkan niat melukai Gian yang terlihat semakin lemah. Tangan wanita itu masih terikat di belakang, tetapi Irvan pun tak bisa bantu melepaskan, mengingat ancaman sang mama"Tidak, Irvan! Jangan gila, kamu. Apa sebenarnya rencanamu sehingga kamu akan membeberkan rahasia yang sudah kita sepakati?"Puspa terlihat gusar kala mata Emma melebar seolah meminta penjelasan dengan paksa. Detik berikut, Emma berjalan selangkah demi selangkah mendekati sang mama yang mengakui hanya mempunyai satu anak. Dia ingin mengetahui rahasia apa yang sudah tersimpan di antara mereka, yang belum dia ketahui."Rahasia apa, Ma? Apa benar aku bukan anak Mama? Lalu, apa tujuan Mama terus menyuruh aku membunuh Gian? Memancing Darren? Mengapa kalian malah menargetkan suamiku? Apa kalian ingin melenyapkannya juga?"Pertanyaan demi pertany
Kepingan ingatan saat si mertua mengusir lalu membuangnya ke hutan bersama Irvan kecil dan janin di perut. Sayangnya, calon bayi itu harus meninggal di perut karena guncangan demi guncangan saat dia terjatuh. Diri itu diperlakukan kasar oleh kedua bodyguard berjas hitam tersebut.Siapa yang menolongnya saat itu? Siapa yang merasa iba kepadanya? Tidak ada. Dia harus berjuang sendiri menjadi pengemis dan pemulung. Sampai akhirnya, dia terpaksa menjadi pelayan di salah satu bar. Di situlah dia bertemu seorang duda, tengah mencari kehangatan di malam yang dingin. Duda kaya yang mempunyai banyak anak. Jumlahnya berapa, si wanita tak pernah tahu. Memang, Puspa bisa seberuntung itu.Menikah dengan berganti nama dari Merlin menjadi Puspa, si duda menyanggupinya. Setelah menikah, Puspa merengek ingin merombak hidung dan bibirnya di negara ginseng dengan alasan untuk mempercantik diri.Bukan, bukan itu alasan sebenarnya. Dia sudah merencanakan jauh hari untuk membalaskan dendam. Dan, hari itu te
Suara Puspa keras tetapi bergetar. Kebencian yang mengakar kuat di hati menguar kala wajah mertua kejam itu terbesit dalam pelupuk matanya. Dendam harus segera dia tuntaskan detik itu juga. Saat lengah, dia tak tahu ternyata diam-diam kaki Irvan terus mendekat dengan pelan. Dengan cepat, tangan Irvan menangkap tangan si mama setelah jarak hanya terbentang satu langkah.Lantaran panik dan refleks aksi itu, Puspa tak sengaja menekan pelatuk pistol sehingga menghasilkan suara tembakan yang keras. Peluru itu melesat entah ke mana. Aksi rebut merebut pun terjadi lagi antara Puspa dan Irvan detik berikutnya.Emma yang berdiri di sana, menyaksikan dengan ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Hatinya ngilu selepas mendapatkan pengakuan barusan dari Puspa yang belum pernah dia tahu sebelumnya. Dia? Siapa dirinya? Dari mana asalnya? Siapa orangtuanya? Dia belum tahu siapa dirinya sehingga dia bisa tinggal dan dirawat olehnya.Tiba-tiba suara tembakan kedua terdengar lagi yang membuat kaki Emma ki
"Irvan! Anakku!"Jeritan itu terdengar keras lalu tak lama suara tangisan menggelegar. Haru dan sungguh kasihan melihat kedua insan tersebut. Ibu dan anak yang saling merebut senjata yang berakhir dengan tembakan di salah satu dari mereka.Membiarkan aksi itu, Hardi, si sosok serba hitam itu terus melangkahkan kaki sambil terus membantu Gian untuk bisa keluar dari ruangan yang mencekam. Dia tak peduli kalau dirinya akan diancam Puspa atau bertemu dengan polisi yang selama ini paling ditakutkan. Ingat, dia masuk dalam daftar pencarian orang."Kumohon, Jaka. Lepaskan wanita ini. Dia ... Dia adalah adik angkatku yang tengah hamil muda. Bukankah kau memiliki istri yang sedang hamil juga? Jadi, aku mohon belas kasihanmu. Pikirkan jika istrimu berada di posisi wanita ini. Tolong, Jaka. Aku mohon!"Dengan sedikit susah payah, Hardi terus berusaha keras agar bisa meluluhkan hati rekan kerjanya. Jaka yang masuk ke dalam ruangan, hendak mencegat Hardi ketik
Kebetulan tadi di jam saat Puspa, Irvan dan Emma mau mengunjungi Gian, Hardi dan Jaka yang bertugas. Di dalam sana, dia melihat Gian terikat tali dan berniat melepaskannya jika ada kesempatan yang tepat. Tak lama, dia merasa alam telah merestui hajatnya. Aksi rebutan senjata tadi benar-benar memuluskan niatnya."Gian, ayo turun!"Pandangan Gian mengedar sekeliling dan tak tahu ada di mana. Tadi sepanjang perjalanan, dia menumpang tidur di punggung pria yang sudah lama dia cari. Akhirnya ketemu di tempat dan waktu yang sangat menegangkan. Hardi kembali menuntunnya masuk ke sebuah rumah kosong. Entah rumah siapa, dia tak tahu. Sedikit kotor dan gelap."Aku haus, Bang. Aku mau minum."Hardi meneliti wajah Gian yang semakin pucat, lalu mengedar sekililing ruangan."Abang nggak punya makanan dan minuman, Gi. Kamu sabar, ya. Setidaknya kamu di sini sudah aman. Kita tunggu sampe subuh. Kalau memungkinkan, Abang akan cari warung terdek