Tanpa mau menghabiskan waktu, Darren kembali masuk ke dalam gedung putih, mencari keberadaan orang yang menjadi bahan pemikirannya sejak tadi malam. Dia mengambil ponsel dari dalam saku celana. Jari itu mencari nama Gian lalu menekan tombol hijau.
Meski sejak tadi pagi panggilannya tak digubris, Darren tak putus asa dan berusaha berpikir positif."Mungkin dia tak dengar deringan ponselnya saat aku hubungi. Barangkali sekarang dia sudah luang dan kali ini angkat teleponnya."Benar saja. Hanya butuh dua kali deringan, suara lembut seorang wanita menerobos ke dalam gendang telinganya."Kamu di mana , Jasmine?"Terdengar decakan kesal karena kesalahan nama panggilan tersebut."Aku bukan ....""Iya, aku tidak mau begitu kamu mempermasalahkannya sekarang. Kamu ada di instalsi apa?""Instalasi?""Iya, kamu ada di rumah sakit umum Karawang, kan? Aku sudah di depan gedung. Kamu ada di lantai berapa dan instalasi"Itu tadi siapa, Bang? Yang jalan bareng dengan Kak Gian? Apakah pacar atau temannya? Tapi kalau teman, tidak mungkin. Soalnya aku lihat mereka dekat dan ...."Jihan yang langsung melangkah ke koridor segera bertemu Jacky untuk menuntaskan rasa ingin tahu. Namun bukannya menjawab, pria itu bangkit berdiri dan seperti menghindari pertanyaan yang tak ingin didengar."Bang!""Kamu tanyakan sendiri dengan kakakmu, Han. aku tidak tahu soal itu."Percakapan itu diakhiri ketika mata mereka melihat tiga orang berseragam hijau dari koridor berjalan dengan tergesa menuju ke pintu ICU."Apa yang terjadi, Dok? Apa sudah ada perkembangan tentang ibu saya?""Maaf, kami akan segera kabari setelah selesai melakukan tindakan lebih lanjut."Pintu ICU pun tertutup dengan rapat, meninggalkan Jihan dan Jacky yang mematung sehingga punggung itu menghilang.***"Aku harus kembali ke rumah sakit untuk melihat perkembangan ibu,
"Dia ...."Baru satu kata yang terucap, pintu ruang ICU terbuka. Perhatian mereka pun teralih ke arah pria berambut putih dengan seragam hijau yang baru keluar. Disusul dua perawat yang tampak sibuk dengan alat medis di kedua tangan mereka."Bagaimana dengan ibu kami, Dok?"Gian maupun Jihan berhamburan mendekat setelah sang dokter melepas kacamata tebalnya. Sebagian wajah yang dihiasi keriput itu terlihat lebih rileks dan hangat."Alhamdullilah, beliau sudah sadar. Kadar oksigen telah normal. Hanya saja, tekanan darah dan kadar gula masih meninggi. Kita harus ekstra memperhatikan, jangan sampai terlampau batas yang bisa merambat ke penyakit komplikasi."Setelah mendengarkan penjelasan, mereka mengucapkan terima kasih sebelum dokter tersebut pamit. Mereka belum diperbolehkan masuk ke dalam ruang steril secara bersamaan. Jadi, Gian terlebih dahulu yang masuk dan hanya diizinkan selama lima menit saja.Suara irama mesin terdengar t
Ibu melanjutkan setelah tak mendapat respons Gian. Kondisi yang sudah hampir stabil, membuatnya bisa mengendalikan hati yang tiba-tiba terasa tersayat. Dia tak rela salah satu putrinya menyandang istri siri yang masih menjadi cemoohan masyarakat.Di sana, Gian berupaya memberi pengertian kepada ibu dan menyatakan tidak menyesal melakukan hal itu, alih-alih demi keluarga. Dirinya pun tak ada keinginan merebut harta dari suaminya. Dia berjerih payah memastikan ibu agar beliau menjadi tenang."Semua kulakukan demi Ibu dan Jihan. Jadi, kalian tak perlu mengkhawatirkan bagaimana aku ke depannya. Semuanya akan baik-baik saja setelah aku melahirkan anak Pak Darren."Bersyukur setelah menjelaskan, ibu tidak menampilkan wajah protes meski hatinya masih belum ikhlas. Dan setelahnya, ibu pun tak bertanya banyak hal karena ingin beristirahat sebab jarum pendek di jam dinding sudah menunjukkan angka delapan.Sudah dua hari, Darren yang kembali ke Jakarta belum
"Kau bisa dalam masalah besar jika kabur dari tugas ini. Karena kau sudah ambil uangnya di muka. Kau tahu bagaimana nasib Soni yang dulu gagal membuang Jasmine ke jurang?"Lawan bicaranya hanya diam tetapi otak itu sibuk menerka apa yang terjadi pada orang suruhan majikanya. Tidak mengenalnya, sih, tetapi pernah mendengar nama itu disebut sebagai orang yang bertugas melenyapkan nyawa seorang gadis. Namun, kabarnya orang tersebut gagal menjalankan tugas itu."Mati. Keluarganya pun nggak ada yang selamat satu pun. Kejam memang, tapi bayaran nyonya nggak main-main. Kau ingat, utang judimu sudah dilunaskannya. Jadi, ingat semua jasa yang sudah pernah dia lakukan dan jangan sekali pun pernah mengecewakannya."Hardi, sosok serba hitam yang merupakan orang suruhan si nyonya, sudah patah semangat menjalankan tugas tersebut. Lantaran orang yang harus dimusnahkan adalah Giandra dan Darren. Dia tak sampai hati melakukannya. Darren sudah menyelamatkan ibu sedangkan Gi
Siapa sangka, pria mesum itu malah membawanya ke suatu daerah yang jauh dari kota. Keinginan untuk menodai lalu setelah bersenang-senang dia baru akan membuangnya ke jurang atau sungai sekitar."Sini, Cantik! Kita berpesta dulu. Abang yakin Cantik tidak akan menyesal dan malah ketagihan dengan belaian Abang.""Awas, jangan mendekat!"Si wanita itu tak ingin tersentuh dan mencoba melarikan diri. Tubuhnya yang masih lemah dan efek obat bius masih mengisahkan rasa kantuk. Tak peduli dengan kondisi kaki tanpa alas, dia terus bergerak dan menjauh. Sampai kaki itu menjejaki di dekat sungai yang aliran airnya lumayan deras.Buntu. Satu-satunya jalan agar dia selamat dari penangkapan adalah melompat ke sana. Namun, apakah jika menerjang ke air, dia akan selamat? Atau malah akan mati seketika."Jangan, jangan mendekat! Aku mohon, jangan sakiti aku!"Si wanita itu terus memohon ketika pria yang mengenakan masker dan pakaian serba hitam sem
"Apa yang terjadi, Dok? Apa benar istri saya mengalami amnesia di masa lalu?"Pria berumur senja yang merupakan dokter spesialis saraf itu membuka mulut setelah mempersilakan Darren duduk. Beliau tahu sang suami diliputi rasa penasaran dan kegelisahan yang teramat besar."Hasil CT Scan di kepala pasien, kami menemukan adanya keretakan kecil. Kami butuh informasi tentang kecelakaan yang dialami pasien di tahun-tahun sebelumnya. Apakah Bapak bisa menjabarkan kepada saya?"Darren yang belum sempat bertanya kepada keluarga baru Gian, pun hanya bisa menghela napas berat. Selama dua hari setelah ibu membaik, dia sibuk dengan pekerjaannya di Jakarta. Setelah itu, dia lupa bertanya bagaimana awal pertemuan si ibu, Jihan dan Gian."Amnesia pasca trauma merupakan jenis amnesia yang menyebabkan seseorang kehilangan ingatan akibat dari cedera kepala. Itu terjadi bisa karena kecelakaan dalam berkendara, mendapat benturan keras di kepala, atau jatuh dari keting
"Dari hasil USG, usia kandungan sudah memasuki minggu keenam. Kami harap pasien harus banyak istirahat dan tidak stress yang akan mempengaruhi perkembangan janinnya. Kecelakaan tempo lalu benar-benar sangat berisiko dan bersyukur kandungannya kuat."Usai mendengar penuturan dokter spesial kandungan, Darren berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Sang Pencipta dan dokter bertugas. Semenit kemudian, tim medis yang memeriksa meninggalkan tempat setelah memastikan Gian dalam kondisi stabil."Kamu dengar, Sayang? Kamu lagi hamil. Kita akan segera punya anak. Apa kamu senang?"Satu tangan mengelus perut istri yang masih datar dan tangan lain mengelus kepalanya. Gian yang duduk bersandar memberi senyuman simpul dengan hati gembira lega bercampur bimbang. Senang karena dia berhasil hamil sebagai tugasnya. Namun di sisi lain, dia harus bersiap untuk rela melepaskan bayi dan suami yang entah sejak kapan sudah mulai dia cintai. Iya, ketika anak itu dilahirkan, dir
"Sayang, kita sudah sampai."Darren membelai pipinya lalu memberi kecupan sekilas di bibir ranum itu. Sentuhan lembut membangunkan Gian segera. Mata Gian berkedip seperti barong sai karena bulu matanya yang lentik nan panjang.Tidak ada protes atau bantahan yang dilakukan karena Gian semakin mengingat siapa sebenarnya mereka di masa lalu. Bahkan sapaan Pak sudah dia ganti menjadi Mas untuk menyapa suaminya."Kita sudah sampai, Baby."Telapak tangan itu mengelus kembali perut Gian yang ramping. Entah sudah berapa kali sejak tahu kehamilan itu, Darren menyapa dan mengusap perut seolah sedang berkomunikasi dengan bayi yang belum tampak bentuknya. Senang, puas, haru menjadi satu paket."Kenapa kita di sini, bukan balik ke apartemen?"Pertanyaan Gian menerbitkan senyuman di bibir sang suami. Darren tak ingin pisah dan merasa Gian lebih aman jika berada di dekatnya, pun tak mau wanita tersebut sendirian di sana."Kamu lagi ham