Embun mengerjapkan mata akibat pancaran sinar matahari yang berhasil menyelinap lewat celah jendela, matanya terasa aneh akibat menangis semalaman. Embun melirik ke samping, kosong, tidak ada lagi senyum hangat yang menyambutnya dan mengucapkan selamat 'pagi matahariku'. Embun tersenyum getir, dadanya kembali sesak mengingat semua yang sudah terjadi dalam waktu singkat ini.
Embun berharap jika pagi ini dirinya bangun dari mimpi buruk. Namun, sayang yang terjadi adalah nyata. Embun bangkit lalu meregangkan badan yang terasa pegal, rasanya bukan hanya hati yang hancur, tapi raganya juga. Wanita itu segera menuju kamar mandi, dia akan melakukan aktivitas seperti biasa.
Sehabis mandi Embun berpakaian rapi dan merias wajahnya yang sembab, meskipun sulit menyembunyikan kondisinya dibalik make-up. Embun mencoba berdamai dengan kenyataan, tidak ada gunanya terus menangis karena keadaan tidak akan berubah. Yang harus dia lakukan sekarang adalah menyiapkan mental untuk menghadapi segala kemungkinan kedepannya. Dia tidak tahu apa yang telah menunggunya di depan sana, entah itu kesakitan ataupun kebahagiaan.
"Mulai sekarang aku harus membahagiakan diriku sendiri karena aku tidak bisa menggantungkan kebahagiaanku kepada siapapun lagi, termasuk suamiku sendiri," gumam Embun sambil memandang pantulan dirinya yang menyedihkan di cermin. Wanita itu meraih tasnya lalu turun ke bawah.
"Bi, sarapannya mana?" tanya Embun melihat meja makan kosong.
"Nyonya mau Bibi buatkan sarapan?" tanya bi Marsinah setelah mendekati Embun.
"Iya, mulai sekarang saya sudah tidak mau lagi mengurusi soal makanan."
"Nyonya mau Bibi buatkan sarapan apa?"
"Tidak usah, Bi. Besok saja, hari ini saya sarapan di luar saja." Embun menenggak segelas air lalu beranjak dari kursi.
Memang selama ini untuk urusan makanan Embun yang memasak dan pekerjaan lain ART yang mengerjakan, Lintang sangat menyukai masakan Embun karena cocok di lidahnya. Namun, mulai hari ini Embun tidak mau lagi terjun langsung ke dapur. Dia merasa apa yang dilakukannya selama ini sia-sia.
Terdengar suara sepatu seseorang beradu dengan lantai, menggema di rumah sepi itu. Embun mengernyitkan dahi dan tidak lama kemudian Langkah Embun terhenti ketika melihat siapa yang datang pagi-pagi.
"Mas, mau apa di sini?" Mata Embun melirik koper yang dibawa Lintang dan istri barunya.
"Embun, aku pulang."
"Maksud, Mas?" Embun mengernyitkan dahi, perasaannya mulai tidak enak.
"Kami akan tinggal di sini juga, Mba. Kita akan tinggal bersama," ucap Jasmine merobek jantung Embun, meruntuhkan kekuatan yang baru saja terkumpul.
"Ti-tinggal di sini?" Embun tergagap. Jantungnya berdegup cepat, kepedihan apa lagi yang akan menimpa hidupnya. Tidak memberi jeda untuk lukanya mengering sudah digores dengan luka yang baru. Setega itukah Lintang padanya.
"Iya, Embun. Mas harap kamu bisa menerima, Jasmine orang yang baik, Mas yakin kalian bisa akur. Anggaplah kalian bersaudara," tutur Lintang semakin memperdalam luka hati Embun.
"Iya, Mba. Kata Mas Lintang biar dia bisa selalu menjaga kita berdua," imbuh Jasmine.
Perkataan Jasmine membuat gendang telinga Embun sakit, Embun tersenyum miring sambil menekan sesak di dada.
"Aku mau bicara, Mas!" Embun menatap Lintang tajam dan melesat ke dalam.
Lintang memerintah Jasmine untuk duduk dulu di sofa kemudian lelaki itu menyusul Embun yang sudah menghilang.
"Embun …." Lintang masuk ke kamar dan mendekati istrinya yang berdiri menghadap jendela. Lelaki itu memeluk Embun dari belakang. Namun, belitan tangan Lintang dihempas Embun. Embun merasa jijik, membayangkan apa yang sudah terjadi antara Lintang dan Jasmine semalam.
"Belum puas kau menyakitiku, Mas? Luka yang kemarin belum kering, Mas. Dan sekarang kau perparah lagi dengan membawa duri masuk ke rumah kita?" sarkas Embun, matanya berkaca-kaca.
"Kenapa tidak kau ceraikan saja aku daripada menyiksaku seperti ini?" tambah Embun meledak-ledak, ia sangat kecewa.
"Embun, aku selalu ingin di dekatmu, aku tidak bisa jauh darimu …." Tangan Lintang terulur hendak mencoba meraih tubuh Embun. Namun, tidak sampai menyentuh karena Embun terus menghindar.
"Tapi kenapa harus membawa istrimu ke sini, kenapa kalian tidak tinggal di rumah lain saja, kenapa Mas? Atau aku yang harus tinggal di tempat lain?" sela Embun.
"Embun, tolong mengertilah, cobalah untuk menerima Jasmine. Aku ingin menjaga kalian berdua, tinggal di tempat yang terpisah hanya akan menyulitkanku dalam menjaga kalian. Kalian berdua istriku dan aku ingin kalian berdua selalu di sampingku."
"Kau egois sekali, Mas! Tidak ada sedikitpun kau memikirkan bagaimana perasaanku, yang penting egomu terpenuhi tanpa peduli jika nanti lukaku semakin parah."
"Embun tolong …."
"Terserah kau saja, Mas. Aku tidak berhak mengaturmu." Embun bergegas keluar kamar meninggalkan Lintang. Lintang meremas rambut, frustasi.
*****
"Mengapa kau tega sekali, Mas?" gumam Embun sambil fokus menyetir, sesekali tangannya menyeka lelehan air mata di pipi. Tidak lama kemudian Embun menepikan mobil di tepi jalan karena pandangannya kabur akibat air mata yang tidak ingin berhenti keluar.
"Aku baru saja mulai belajar mengikhlaskan, tapi kenapa kekuatanku kau runtuhkan? Aku baru saja mau mulai berdamai dengan kenyataan, tapi kenapa kau terus-terus menorehkan luka, Mas! Tidakkah kau empati padaku sedikit saja, setidaknya sampai lukaku sedikit membaik!" Embun menelungkupkan wajah di atas setir dan menangis tersedu-sedu.
Setelah cukup puas menumpahkan air mata, Embun kembali melajukan mobil menuju toko kue miliknya. Tidak berapa lama mobilnya berhenti karena rambu menunjukkan warna merah. Embun menghela napas kasar, ada saja hal yang membuat kepalanya terasa berat.
Embun dengan tidak sabar menunggu rambu berubah hijau, mata wanita itu menatap ke depan berharap barisan kendaraan di depannya segera bergerak. Seorang pedagang asongan menghampiri mobil Embun dan menawarkan barang dagangannya. Kasihan melihat bapak tua yang menjajakan dagangan, Embun pun memutuskan membeli tisu.
Setelah kepergian pedagang asongan tersebut, tak sengaja mata Embum menangkap pemandangan yang memedihkan mata dan hatinya. Sebuah keluarga kecil yang tampak bahagia, sepasang suami istri berboncengan di atas motor sederhana, ditengah-tengah mereka ada seorang anak kecil berusia sekitar tiga tahun. Gadis kecil itu tampak cerewet dan sesekali tangannya menunjuk objek yang menarik perhatiannya.
Embun mengamati tingkah lucu anak kecil itu dari balik kaca mobil dengan mata yang berkaca-kaca. Dalam hati Embun memekik, dia juga ingin berada di posisi seperti ibu gadis kecil itu, tapi apalah daya wanita mandul sepertinya. Air mata yang baru saja mengering kini kembali tumpah.
"Kenapa aku harus mengalami semua ini, Tuhan? Apa dosaku dimasa lalu hingga engkau hukum aku dengan cara seperti ini? Aku tidak sekuat itu, Tuhan. Ini terlalu sakit, aku rapuh," racau Embun tersedu-sedu lalu memukul setir mobil.
"Dulu aku percaya dengan pepatah yang mengatakan akan ada pelangi setelah hujan, aku pikir kamulah pelangi itu, Mas. Ternyata kamu adalah badai yang memporak-porandakan hidupku!"
"Harusnya aku mati saja dalam kecelakaan itu," tambah Embun frustasi. Kecelakaan yang telah merenggut kebahagiaan dan menjadikannya wanita mandul.
Bersambung ….
, Embun melenggang ke dalam toko kue dengan wajah sembab, tidak dipedulikannya jika nanti ada mata yang memperhatikan. Ia mendaratkan bokong di kursi kebanggaannya, tubuhnya lelah. Wanita itu menyandarkan kepala pada sandaran kursi sambil mendongakkan kepala ke atas dengan mata terpejam. Embun mulai memikirkan skenario hidupnya, andai saja dirinya dapat memberikan keturunan untuk keluarga Svarga tentulah sang suami tidak akan menikah lagi. Sungguh malang nasibnya, berharap bahagia di pernikahan keduanya malah terjebak dalam lembah derita yang lebih menyakitkan. Bertahan sakit, pergi sulit itulah yang dirasakannya kini. Embun mengganti posisi, wanita itu menumpukan kedua sikunya di atas meja dengan telapak tangan menutupi wajah, menahan air mata yang hendak lolos karena perih hati tak kunjung reda. Apa dirinya terlalu egois karena tidak ingin berbagi cinta suami? Tapi wanita mana yang rela jika disposisi dirinya. Dirinya tidak sesolehah itu, dengan lapang dada menerima dipoligam
Pukul lima sore Embun pulang ke rumah, dengan malas ia menyeret langkahnya masuk ke dalam yang kini terasa hampa. Di dalam tampak sepi, entah kemana penghuni rumah itu, tetapi Embun tidak mempedulikan. Justru bagus ia tidak harus melihat wajah orang-orang yang hanya akan membuatnya sakit. Embun menghempas tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar, lelah karena seharian ini bermandi air mata. Tadi pagi ia sudah berusaha untuk kuat. Namun, ada saja hal yang membuat air matanya untuk tumpah. Embun melirik ke sampingnya, dimana biasanya sang suami terbaring. Kini ranjang itu tidak lagi sehangat dulu, bahkan semalaman ia hanya berteman dingin." "Aku harus terbiasa sendiri sekarang," gumam Embun dan tersenyum getir. Embun belum ada niat beranjak dari kasur empuk itu, malas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lama-kelamaan kantuk menyapa dan ia pun tertidur. Entah berapa lama Embun tertidur hingga sebuah usapan lembut di pipinya membangunkannya dari buaian mimpi. Em
Embun menenggak segelas air putih meredakan haus dan tenggorokannya yang seperti tercekik. Matanya menerawang jauh memikirkan kesakitan hidupnya. Embun belum ingin beranjak dari dapur karena tidak kuasa ketika melewati kamar Jasmine. Wanita itu menghela napas kasar menghalau sesak yang menghimpit dada. "Berbagi itu indah, tapi berbagi suami itu menyakitkan," gumam Embun lalu kembali menenggak air minum. "Embun." Suara Lintang membuyarkan lamunannya. Embun terperanjat karena tiba-tiba Lintang sudah berada di sampingnya. Mata Embun memperhatikan Lintang dari ujung rambut sampai ujung kaki, terlihat keringat masih mengalir di pelipis lelaki itu. Embun bergidik, ia jijik membayangkan apa yang sudah Lintang dan Jasmine lakukan. Wanita itu menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Lintang. "Mas mau apa di sini?" tanya Embun pada akhirnya. "Aku haus," jawabnya singkat sambil tangannya terulur hendak mengambil gelas di tangan Embun. Embun segera menjauhkan gelas milikya, tidak sudih bibir
Lintang menoleh pada jasmine lalu berkata, "Sebentar Jasmine, aku sedang berpamitan pada Mba-mu, apa kau tidak mau berpamitan juga?" "Ah, iya, aku hampir lupa. Maaf, Mas. Aku terlalu bahagia dan ingin segera tiba di tempat tujuan." Jasmine menghela napas kasar kemudian dengan berat melangkah masuk ke dalam rumah menghampiri Embun dan Lintang. Jasmine tidak mau terlalu menampakkan jika ia tidak suka pada Embun, entah apa alasannya, yang jelas hatinya menolak Embun berada dalam kehidupannya dan sang suami. Padahal, Embun lebih dulu memiliki Lintang ketimbang dirinya yang baru beberapa hari saja. Jasmine tersenyum palsu agar semua berjalan mulus. "Mba, aku sama Mas Lintang pergi dulu, ya. Mba, baik-baik di rumah. Doakan kami, Mba. Semoga pulang dari honeymoon aku segera hamil, biar mertua kita bahagia," ujar Jasmine menggores hati Embun. Lagi-lagi ucapan Jasmine melukainya, semakin menegaskan jika Embun bukanlah wanita sempurna. Embun tersenyum getir, akhir-akhir ini ia berubah menja
Dering ponsel Embun membangunkannya dari alam mimpi dan mendapati hari sudah pagi, ia belum ingin bangkit dari kasur, tubuhnya terasa remuk.Tangan Embun kemudian meraba ke atas nakas dimana ponselnya masih berdering. Embun melihat siapa yang menelpon, kemudian mengucek mata yang terasa aneh memastikan tidak salah lihat nama si pebelpon. "Mas Lintang," gumamnya dengan suara serak. Embun rasanya tidak ingin menerima panggilan itu. Ia tidak mengerti, saat sang suami jauh ia merasa rindu. Namun, bila melihat wajah lelaki itu ia muak. Setelah menimbang-nimbang akhirnya Embun menerima telpon dari lelaki yang sejak semalam mengganggu pikirannya. "Halo," jawab Embun setelah bangkit dan duduk. "Selamat pagi, matahariku!" ucap Lintang sambil tersenyum. Kata-kata yang tidak Embun dengar selama beberapa hari ini. Wanita tersebut bergeming, kalau dulu kalimat itu terdengar manis dan membuat hatinya berbunga-bunga. Namun, sekarang ia mendengarnya hanya sebatas bualan semata. Bibir Embun terkatup
"Saya mau kamu buatkan kue ulang tahun unicorn yang cantik, mewah dan berbeda dari yang lain. Saya ingin memberikan yang terbaik untuk putri saya, sebagai ibu saya ingin membuat dia bahagia," lanjut Jenar. "Sayang, jangan seperti itu, kita bisa cari di toko yang lain," bisik Eros pada Jenar. Namun, terdengar jelas di telinga Embun. "Tidak mau! Aku maunya di sini!" rajuk Jenar seperti anak kecil, membuang wajah ke arah lain sambil tangannya bersilang dada. Perut buncitnya semakin jelas. "Iya, sayang. Jangan marah, dong. Kan, Mas cuma memberi saran saja," bujuk Eros sambil mengelus perut Jenar. Mata Embun perih melihat itu, bukan karena ia masih mencintai Eros, tapi merasa semakin tidak berdaya karena kekurangannya. Jujur dia iri pada Jenar. "Embun, apa bisa buatkan kue permintaan istri saya?" tanya Eros. Sebenarnya lelaki itu tidak enak hati meminta seperti yang Jenar inginkan, meskipun ia tahu toko Embun pasti menerima request pelanggan. Sebagai lelaki yang pernah menorehkan luk
Embun sudah rapi bersiap pergi ke toko kue, ia meraih tas dan beranjak meninggalkan kamar. Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, pintu terbuka karena didorong dari luar. "Mas Lintang." Embun terkejut karena tiba-tiba Lintang muncul, lelaki yang sudah seminggu tidak ada kabar itu kini berada di depan mata. Embun melirik ke belakang sang suami mencari keberadaan Jasmine. Namun, perempuan itu tidak terlihat. "Aku merindukanmu." Lintang langsung memeluk Embun sambil menghirup aroma tubuh sang istri. Embun bergeming, matanya memanas mendengar kalimat tersebut, kalau memang sang suami merindukannya mengapa tidak menghubunginya. Mengapa setiap ungkapan yang keluar dari mulut lelaki itu terasa menyakitkan. Embun tidak membalas pelukan itu, tangannya hanya menggantung di samping badan. Lintang melepaskan pelukan, kedua tangan lelaki itu berpindah menangkup wajah Embun, mata mereka bertemu menyiratkan rindu yang menggebu. "Kau tidak merindukan aku?" kata itu meluncur dari mulu
Embun menatap pantulan dirinya di cermin, dadanya terasa sesak mengingat apa yang dilihat di meja makan tadi. Jasmine seperti tidak memberi kesempatan untuk ia dan sang suami berdua seolah-olah Lintang hanya miliknya seorang. Embun merapikan penampilan dan merias kembali wajahnya, setelah itu Embun beranjak keluar dari kamar. Rencana hari ini gagal total. Saat melewati kamar sang madu tidak sengaja Embun mendengar desahan Jasmine yang menggetarkan jiwa, tubuhnya serasa melayang karena lagi-lagi harus mendengar suara itu. Embun mempercepat langkahnya melewati kamar tersebut. "Ya, Tuhan. Apa mereka tidak memikirkan perasaanku?" Mata Embun berkaca-kaca, dengan tangan yang masih bergetar Embun menarik tuas mobil dan melajukannya ke toko kue. Pukul delapan malam, toko sudah tutup barulah Embun beranjak meninggalkan tempat itu bersamaan dengan para karyawan. Mungkin mereka bertanya-tanya karena tidak biasanya bos mereka pulang di jam yang sama dengan mereka. Embun menghela napas melepas
Makan malam tiba, Bu Inggrid mendorong kursi roda suaminya mendekati meja makan. Mereka melihat Jasmine menunggu sendirian di sana.“Lho, Jasmine, Lintang mana? tanya Bu Inggrid sambil mengatur duduk suaminya.“Mas Lintang di rumah Mba Embun,” sahut Jasmine santai.“Ck! Anak itu, dasar keras kepala!” gerutu Bu Inggrid yang dapat terdengar jelas oleh Jasmine. Wanita hamil itu tersenyum tipis tanpa sepengetahuan mertuanya.“Telepon saja, Ma, suruh pulang anak itu biar dia tau tanggung jawabnya,” usul Pak Yolan. Beliau geram dengan tingkah Lintang yang meninggalkan istri yang sedang hamil.“Sebentar, Pa.” Bu Inggrid segera pergi dari ruang makan. Jasmine semakin senang, sedapat mungkin dia menahan bibir agar senyum jahatnya tidak lolos. Dia hanya memasang wajah polos.“Apa Lintang sering seperti ini?” tanya Pak Yolan pada menantu kesayangannya.“Ehm ….” Jasmine terlihat ragu-ragu untuk menjawab, padahal itu hanyalah sandiwara.“Katakan saja, tidak perlu merasa sungkan. Kamu sudah Papa an
“Tidak! Tidak sama sekali!” tukas Jenar berpura-pura. “Kaulah yang melakukan itu!” lanjutnya.“Kau yang memintanya!”“Aku memberimu uang!” sahut Jenar dengan ketus. “Kau saja yang bodoh, andai waktu itu ….” lanjutnya dan terhenti tatkala Jafar menyelanya.“Jika aku tidak pernah melakukan itu, tentu sampai saat ini kau tidak akan pernah memiliki Eros! Kau harusnya berterima kasih, permainamu yang bagus itu takluput dari peranku! Sekarang aku minta sedikit bagian dari apa yang kau capai dalam hidupmu itu dan kau menolak! Dasar tidak tahu diri!” sarkas Jafar.Air mata Embun meluncur begitu saja seiring luka lama yang kembali terbuka saat mengetahui fakta itu. Bibirnya bergetar menahan tangis, sedapat mungkin agar tidak menimbulkan suara.Embun beristighfar berkali-kali di dalam hati menahan sakit yang semakin menghunjam. rasanya pertahannya hampir runtuh. Segera dia menyudahi rekaman dan segera pergi dari cafe itu.Embun menepikan mobil di pinggir jalan karena pandangannya dipenuhi oleh
Embun tetap bergeming sambil menahan rasa yang ditimbulkan akibat sentuhan lembut itu. Tidak bisa dipungkiri tubuhnya sangat mendamba sentuhan itu, tetapi hatinya tidak siap."Sampai kapan kau akan terus berpura-pura tidur, padahal tubuhmu sangat menginginkan aku," ujar Lintang lalu perlahan menyingkirkan selimut yang membalut tubuh sang istri"Aku lelah, Mas. Mau tidur," sahut Embun menarik dan merapatkan selimutnya."Ayolah sayang …." Ucapan Lintang terhenti tatkala ponsel Embun di atas nakas memekik keras. Sang pemilik pun bangkit dan meraih benda pipih tersebut."Ganggu saja!" Gerutu Lintang dengan kesal. Lelaki itu mengusap wajah dengan frustasi karena dirinya sudah benar-benar diselimuti kabut napsu."Ada apa mama menelpon malam-malam seperti ini," batin Embun sambil menatap layar yang belum berhenti berdering itu."Siapa?" tanya Lintang dengan curiga, lantas Embun menunjukkan ponselnya pada sang suami dan berkata, "Mamamu!" Setelah itu Embun menjawab panggilan yang sudah tiga
Embun melayangkan tamparan keras pada pipi Lintang. "Aku tidak serendah itu, Mas!" sarkasnya dengan dada naik turun karena emosi.Lintang bergeming sambil menahan panas yang menjalar di pipi. Dia tidak menyangka sang istri berani melakukan itu padanya. Matanya menatap tajam."Lalu, untuk apa kau menemui laki-laki lain di luar sana selain suamimu kalau bukan untuk selingkuh!" Lintang masih terbawa emosi, terbayang Embun berbincang dengan seorang pria di tepi jalan.Embun terdiam sejenak, rupanya lelaki itu melihatnya dan Eros tadi. "Tidak seperti itu, Mas! Kamu salah paham!" ujar Embun, "lelaki yang kau lihat itu adalah adik iparmu, Mas! Dia membantuku mengganti ban mobil yang kempes," lanjutnya.Amarah Lintang perlahan mereda setelah mendengar penjelasan sang istri. Ia bernapas lega, meski masih tersisa sedikit kecemburuan di hatinya mengingat Eros adalah mantan suami Embun."Memangnya kau dari mana malam-malam sendiri?" Pertanyaan konyo
"Eros?""Ada yang bisa dibantu?" ujar mantan suami Embun tersebut. Embun terdiam sesaat dan nampak berpikir.""Embun." Suara Eros kembali mengejutkan wanita tersebut."Ban mobilku kempes dan aku tidak bisa menggantinya," ucap embun pada akhirnya. Setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya jika dia meminta bantuan lelaki itu, toh di antara mereka sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi. Lagi pula status mereka saat ini mereka adalah keluarga."Baiklah aku akan membantumu.""Terima kasih.""Tidak usah sungkan seperti itu, sudah seperti sama siapa saja," ujar Eros sambil mengikuti langkah Embun ke belakang mobil guna mengambil ban cadangan. Wanita itu hanya tersenyum canggung.Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan antara mereka, mata Embun menatap ke jalan melihat kendaraan yang berlalu lalang, sementara Eros sibuk mengganti ban."Habis dari luar?" tanya Eros memecah kebisuan."Iya," jawab Embun singkat tanpa menoleh ke arah lawan bicara."Sendiri saja? Lintang mana?"Embun berdecak dalam
Embun melangkah masuk ke dalam cafe, pemandangan pertama yang dilihatnya cukup membuatnya terkejut. Lintang dan Jasmine juga berada di sana, mereka terlihat bahagia diselingi canda tawa.Jantungnya berdenyut perih, kakinya terpaku di lantai, ia merasa dibohongi karena Lintang tadi mengatakan baru saja kembali dari rumah sakit. Seharusnya wanita hamil tersebut istirahat di rumah jika memang yang dikatakan sang suami benar. Embun meremas gaunnya karena api kebencian berkobar di dada."Permisi, Mba," ucap seorang pengunjung yang hendak masuk. Embun tersadar ternyata dirinya menghalangi di pintu masuk."Maaf," ucap Embun setelahnya mencari meia untuk duduk. Ia duduk tidak jauh dari mria suami dan madunya."Kenapa kau ha
Jenar menutup pintu setelah mobil Eros menghilang di balik pagar. Bibirnya tersenyum bahagia karena kehidupan pernikahannya yang sempurna, sesuai dengan apa yang pernah diimpikan. Memiliki suami yang tampan dan penyayang, anak-anak yang lucu dan ekonomi yang berkecukupan.Jenar merasa menjadi wanita paling beruntung karena menikah dengan Eros, meskipun telah merebut lelaki itu dari wanita lain. Dia justru merasa bangga atas dosanya dan tidak merasa bersalah sama sekali.Ponsel di genggaman Jenar berdering, tanpa melihat nama si penelpon dia langsung menjawab panggilan itu sambil mendaratkan bokong di sofa. Dia mengira itu adalah Eros."Halo, Mas ...," ucap Jenar dengan lembut."Jenar …." Suara di seberang tel
Lintang berjalan gontai menuruni anak tangga, kepalanya terasa berat memikirkan permasalahan rumah tangga. Dia melihat Embun di ujung tangga yang entah dari mana hendak naik ke lantai atas."Embun!" Lintang mempercepat langkah mendekati Embun, sementara yang dipanggil menghentikan langkah seraya kepalanya mendongak ke arah suara."Aku mau bicara," tukas Lintang dan langsung menarik tangan Embun menuju ke taman belakang."Bukankah kita tadi sudah bicara," ujar Embun sambil mengikuti langkah suaminya. Namun, Lintang tidak menjawab perkataan sang istri. Lelaki itu menghempas tangan Embun kasar setelah sampai di taman."Kau sangat keras kepala!" ketus Lintang. Embun mengernyitkan kening, bingung.
"Aku mau hakku! Kita sudah lama tidak melakukan ini, kan?" ujar Lintang, "kau pasti juga merindukan sentuhanku," lanjutnya."Tidak, aku tidak mau!""Kenapa? Aku suamimu, aku berhak melakukan apapun terhadap tubuhmu," tegas Lintang."Kau minta saja pada Jasmine!""Kau juga istriku! Aku tidak ingin kau merasa seperti tidak memiliki suami. Ini, kan, yang kau mau?""Ini bukan hanya soal melakukan hubungan saja!" pekik Embun dalam hati, Lintang sudah salah mengartikan ucapannya."Tapi, aku sedang datang bulan!"Perlahan cengkraman tangan