Embun menenggak segelas air putih meredakan haus dan tenggorokannya yang seperti tercekik. Matanya menerawang jauh memikirkan kesakitan hidupnya. Embun belum ingin beranjak dari dapur karena tidak kuasa ketika melewati kamar Jasmine. Wanita itu menghela napas kasar menghalau sesak yang menghimpit dada.
"Berbagi itu indah, tapi berbagi suami itu menyakitkan," gumam Embun lalu kembali menenggak air minum. "Embun." Suara Lintang membuyarkan lamunannya. Embun terperanjat karena tiba-tiba Lintang sudah berada di sampingnya. Mata Embun memperhatikan Lintang dari ujung rambut sampai ujung kaki, terlihat keringat masih mengalir di pelipis lelaki itu. Embun bergidik, ia jijik membayangkan apa yang sudah Lintang dan Jasmine lakukan. Wanita itu menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Lintang. "Mas mau apa di sini?" tanya Embun pada akhirnya. "Aku haus," jawabnya singkat sambil tangannya terulur hendak mengambil gelas di tangan Embun. Embun segera menjauhkan gelas milikya, tidak sudih bibir lelaki itu menempel di gelasnya. "Kamu kenapa, Embun?" tanya Lintang heran. "Ambil saja gelas sendiri, Mas. Aku naik dulu." Embun memutar badan beranjak meninggalkan Lintang. Namun, gerakannya tertahan karena cekalan tangan Lintang dilengannya. "Jangan sentuh aku!" Refleks Embun menghempas tangan Lintang membuat lelaki itu semakin keheranan. "Kamu kenapa, Embun?" Lintang mengernyitkan dahi, bingung atas sikap sang istri. "Kau berkeringat, Mas? Apa AC di kamar kalian mati?" Bukannya menjawab Embun malah melontarkan pertanyaan yang membuat Lintang tidak nyaman. "Aku lupa menyalakannya," jawab Lintang asal, otaknya tidak bisa berpikir jernih. Lelaki itu mengusap tengkuknya. ."Oh, kenapa bisa lupa?" "Aku dan Jasmine terlalu mengantuk, jadi kami langsung tidur saja. Kenapa kau bertanya seperti itu?" "Tidak, aku hanya penasaran saja kenapa kau bisa berkeringat seperti itu, Mas. Seperti kita …." "Jangan berpikir yang aneh-aneh. Tidak baik, Ini sudah malam," sela Lintang. "Kenapa? Sepertinya kau takut sekali aku berpikir yang aneh-aneh, Mas? "Aku hanya tidak ingin kau sakit karena pikiranmu sendiri."Embun tergelak menutupi lukanya yang semakin menganga. Nyatanya ia sudah tau yang sebenarnya, ia bukan lagi anak kecil yang dengan mudah Lintang bohongi dengan cerita karangan. Embun memutar badan dan beranjak meninggalkan Lintang. "Kau mau kemana?" "Aku ngantuk!" Embun segera melesat ke kamarnya, tanpa menoleh sedikitpun pada sang suami. Lintang hanya menatap kepergian Embun hingga ke anak tangga. *****Pagi-pagi pak Yolan dan bu Inggrid juga pak Wijaya datang berkunjung. Canda tawa menghiasi meja makan, semua orang berbahagia, kecuali Embun. Ingin rasanya ia undur diri dari meja itu, mereka seakan tidak melihat keberadaan dirinya. Sejak tadi Embun hanya menjadi pendengar setia celotehan-celoteh dua keluarga itu. Terlihat Jasmine diperlakukan dengan begitu istimewa oleh mertuanya, sebagai wanita biasa ada rasa iri yang menyelinap ke dalam hatinya. "Bagaimana keadaanmu, Nak? Apa kau bahagia? Apa Lintang memperlakukanmu dengan baik?" tanya pak Wijaya pada putrinya. "Iya, Pa. Jasmine bahagia, Mas Lintang memperlakukan Jasmine dengan sangat baik. Iya, kan, Mas?" sahut Jasmine sambil melirik suaminya dengan penuh arti. "I-iya," jawab Lintang. Ekor mata lelaki itu melirik Embun yang terlihat sedih. "Pak Wijaya jangan khawatir, Lintang tidak akan menyakiti Jasmine. Dia anak yang baik, kami tidak pernah mengajarkan anak kami untuk tidak menghargai perempuan, Lintang pasti akan sangat mencintai Jasmine," sahut pak Yolan. Perkataan pak Yolan membuat hati Embun berdenyut perih, dirinya memang menantu yang tidak diharapkan oleh lelaki tua itu. Dirinya seperti tidak berharga setelah menjadi wanita yang tidak sempurna. "Ayah … Ibu …," batin Embun sambil teringat kepada kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. Tidak ada yang bisa menerima kekurangannya, tidak ada cinta yang benar-benar tulus untuknya selain orang tuanya. "Syukurlah, Jasmine harus selalu bahagia, saya tidak ingin putri saya menderita. Sejak umur lima tahun Jasmine sudah kehilangan mamanya, sejak saat itu dia tidak bisa lagi merasakan kasih sayang mamanya," papar pak Wijaya sembari mengenang almarhumah isinya. Lelaki itu tampak sedih. "Pak Wijaya tenang saja, saya akan memperlakukan Jasmine seperti putri kandung saya. saya akan memberikan apa yang hilang dari Jasmine," ucap bu Inggrid. "Jasmine merasa seperti punya mama, walaupun Mama Inggrid bukan mama kandung Jasmine. Jasmine senang, Pa. Papa jangan khawatir, Mama Inggrid, Papa Yolan juga Mas Lintang akan menyayangi Jasmine." Jasmine melirik Lintang. Lintang menelan ludah kasar, entah apa yang dirasakannya. "Mama juga seperti punya anak perempuan, kan, Mama cuma punya anak satu.""Syukurlah, Papa bahagia kalau kamu bahagia." Pak Wijaya menyeka lelehan air mata yang hampir lolos. Terharu karena semua orang menyayangi putri bungsunya, ia tidak menyesal menyerahkan Jasmine menjadi menantu keluarga Svarga, meskipun jadi yang kedua."Jasmine sudah seperti anak kandung kami, San," imbuh pak Yolan. Embun bergeming, ia merasa asing. Tidak ada yang melibatkannya dalam cengkrama hangat itu. Mereka terlalu bahagia menyambut menantu baru, menantu yang akan memberikan mereka cucu nantinya, sehingga dirinya seperti dianggap tidak kasat mata karena memang tidak berguna. Embun tersenyum getir. "Tuti, apa barangnya sudah semua?" tanya bu Inggrid saat Tuti melewati meja makan. "Sudah, Nya," jawab Tuti sambil menunduk khas asisten rumah tangga. "Barang apa?" tanya Jasmine penasaran. "Kado pernikahan kalian, Mama bawa saja kemari.""Oh, ya benar, kami hampir saja melupakannya. Terima kasih, Ma.""Iya, sayang."Diakhir acara makan pagi itu pak Yolan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku bajunya dan meletakkan dua buah kertas di atas meja. Mama Inggrid tersenyum."Apa ini, Pa?" tanya Jasmine. "Itu tiket untuk kalian bulan madu, hadiah pernikahan kalian dari Mama dan Papa" ujar pak Yolan kemudian melirik istrinya. Mata Embun pedih melihat dua buah tiket itu, ada sesuatu yang mendesak ingin segera keluar dari sudut matanya. Jujur ia sangat iri. Apakah kebahagiaan hanya milik mereka yang sempurna, pikir Embun. "Iya, biar segera dapat kabar baik, ya, kan, Pa?" "Iya, Ma."Kemudian orang-orang di sana tergelak, sementara Jasmine tersipu malu. Aura bahagia terpancar dari masing-masing wajah, kecuali Embun. Ia terlihat biasa saja, meski dalam hati menangis. Tidakkah orang-orang itu memikirkan perasaannya, kenapa harus sekarang? Kenapa harus di depan matanya? Embun hanya bisa meratapi nasibnya yang merasa seperti pajangan. "Tapi, Ma, Pa, kalau aku dan Jasmine pergi, Embun sendirian di rumah, kasihan dia." Perkataan Lintang seketika menghentikan tawa bahagia orang-orang tersebut, "Embun tidak akan sendirian. Di sini ada bi Marsinah dan Tuti. Kenapa harus risau? Sekarang yang harus kamu pikirkan bagaimana caranya agar bisa segera memberi kami cucu."Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut bu Inggrid bagaikan mata pedang yang membelah jantung Embun, ia hanya bisa menjerit dalam hati sembari membendung air mata, sementara Lintang hanya terdiam. "Iya, kan, Embun? Kamu tidak keberatan, Mama yakin kamu pasti mengerti. Kalau Lintang dan Jasmine punya anak otomatis anak itu akan jadi anak kamu juga, kamu juga bisa membantu mengasuhnya dan merasakan menjadi seorang ibu." Bu Inggrid melihat ke arah menantu pertamanya. "I-iya, Ma," jawab Embun dengan berat hati, urat-uratnya seperti tercabut. Embun menghela napas menekan sesak yang bersarang di dada. "Benar kata Mama kamu, Lintang. Kalian fokus saja sama diri kalian, jangan pikirkan yang tidak terlalu penting dulu. Kami sebagai orang tua sangat menantikan kabar bahagia dari kalian dan yang terpenting jangan sampai setetes air mata putriku jatuh karenamu," tegas pak Wijaya. "Berarti aku tidak penting," batin Embun sambil menatap sendu ke dalam piring. Meja makan itu terasa seperti neraka, dimana orang-orang itu menyiksa hati dan perasaannya. "Kalau sampai Lintang melakukan itu, biar saya sendiri yang menghukumnya," sahut pak Yolan. "Tapi Papa percaya kamu tidak akan melakukan itu, iya, kan, Lintan?" tambah pak Yolan sambil melirik putranya. "I-iya, Pa." Lintang menelan ludah kasar. "Jadi, aku ratu apa di hatimu, Mas?" batin Embun lalu tersenyum getir. Ia merasa seperti menenggak racun dan racun itu menyebar ke seluruh tubuh. Semejak tinggal bertiga dibawa atap yang sama, kesakitan dalam hidupnya tidak berhenti, belum kering luka yang kemarin sudah ditoreh lagi dengan luka yang baru.Di bawah meja tangan Lintang menggem tangan Embun, wanita itu terkejut merasakan sentuhan di kulitnya. Embun menatap wajah lelaki yang menggenggam tangannya, mata mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum deheman pak Wijaya mengakhiri semua itu. Dua keluarga itu meninggalkan meja makan, termasuk Lintang yang dirangkul oleh ayah mertuanya menyisakan Embun seorang diri di meja itu. "Mengapa kau begitu kejam Mas. Menahanku tetap di sini hanya untuk menonton kebahagian kalian," batin Embun, setetes air mata mengalir begitu saja selepas kepergian mereka. *****Keesokan harinya, Lintang dan Jasmine bersiap pergi berbulan madu ke tempat yang dihadiahkan oleh mertuanya. Embun menatap sendu dengan hati teriris-iris melihat Lintang dan Jasmine menyeret koper pakaian mereka menuju mobil. Ingin rasanya ia mencegah agar sang suami tidak pergi. Namun, ia tidak punya hak, mereka adalah pasangan sah. "Aku hanya bisa mendoakan kebaikan untukmu, Mas. Aku akan ikut bahagia jika kau bahagia, meskipun hatiku sakit," batin Embun sambil matanya tidak lepas dari Lintang dan Jasmine. "Aku akan terus membiarkan rasa sakit ini menggerogoti hati dan perasaanku hingga perlahan-lahan rasa cinta ini mati. Untuk saat ini, kubiarkan air mataku terus tumpah hingga saatnya tiba aku pergi dari sisimu, tidak ada lagi perasaan yang tersisa," batin Embun seraya tertunduk dengan mata menatap lantai. "Embun." Suara Lintang membuat Embun terperanjat, wanita itu mengangkat kepala dan menatap sang suami yang berada di depannya. "Kamu baik-baik di rumah, ya, aku pergi dulu."Embun bergeming, bagaimana mungkin ia bisa baik-baik saja ketika sang suami pergi untuk berbulan madu dengan wanita lain, istri mana yang tidak sakit. Setiap bangun tidur Embun mensugesti dirinya untuk kuat. Namun, ada saja hal yang membuat kekuatan yang susah payah ia kumpulkan runtuh. Setiap hari ia berusaha untuk tidak menangis. Namun, air mata itu kembali tumpah ketika kepedihan melanda. "I-iya, Mas. Hati-hati." Dengan berat hati Embun mengatakan itu, meski dalam hati tidak rela. Namun, mau tidak mau ia harus merelakan. Lintang memegang kedua pundak Embun, mengamati setiap inci wajah wanita yang sudah satu tahun menemaninya.Terlihat jelas segala kesakitan yang dirasakan oleh wanita itu, Lintang kemudian memeluknya. Dalam hati Lintang meminta maaf atas ketidakberdayaannya saat ini. Jantung Lintang berdebar-debar, perasaannya masih sama. Ia masih sangat mencintai Embun. "Maafkan aku," ucap Lintang tanpa suara, lelaki itu memejamkan mata meresapi rasa yang ada. "Mas! Ayo berangkat, nanti ketinggalan pesawat." Suara Jasmine mengurai pelukan Lintang dan Embun. Jasmine berdiri ditambang pintu sambil menatap tidak suka pada pasangan tersebut. Bersambung ….Lintang menoleh pada jasmine lalu berkata, "Sebentar Jasmine, aku sedang berpamitan pada Mba-mu, apa kau tidak mau berpamitan juga?" "Ah, iya, aku hampir lupa. Maaf, Mas. Aku terlalu bahagia dan ingin segera tiba di tempat tujuan." Jasmine menghela napas kasar kemudian dengan berat melangkah masuk ke dalam rumah menghampiri Embun dan Lintang. Jasmine tidak mau terlalu menampakkan jika ia tidak suka pada Embun, entah apa alasannya, yang jelas hatinya menolak Embun berada dalam kehidupannya dan sang suami. Padahal, Embun lebih dulu memiliki Lintang ketimbang dirinya yang baru beberapa hari saja. Jasmine tersenyum palsu agar semua berjalan mulus. "Mba, aku sama Mas Lintang pergi dulu, ya. Mba, baik-baik di rumah. Doakan kami, Mba. Semoga pulang dari honeymoon aku segera hamil, biar mertua kita bahagia," ujar Jasmine menggores hati Embun. Lagi-lagi ucapan Jasmine melukainya, semakin menegaskan jika Embun bukanlah wanita sempurna. Embun tersenyum getir, akhir-akhir ini ia berubah menja
Dering ponsel Embun membangunkannya dari alam mimpi dan mendapati hari sudah pagi, ia belum ingin bangkit dari kasur, tubuhnya terasa remuk.Tangan Embun kemudian meraba ke atas nakas dimana ponselnya masih berdering. Embun melihat siapa yang menelpon, kemudian mengucek mata yang terasa aneh memastikan tidak salah lihat nama si pebelpon. "Mas Lintang," gumamnya dengan suara serak. Embun rasanya tidak ingin menerima panggilan itu. Ia tidak mengerti, saat sang suami jauh ia merasa rindu. Namun, bila melihat wajah lelaki itu ia muak. Setelah menimbang-nimbang akhirnya Embun menerima telpon dari lelaki yang sejak semalam mengganggu pikirannya. "Halo," jawab Embun setelah bangkit dan duduk. "Selamat pagi, matahariku!" ucap Lintang sambil tersenyum. Kata-kata yang tidak Embun dengar selama beberapa hari ini. Wanita tersebut bergeming, kalau dulu kalimat itu terdengar manis dan membuat hatinya berbunga-bunga. Namun, sekarang ia mendengarnya hanya sebatas bualan semata. Bibir Embun terkatup
"Saya mau kamu buatkan kue ulang tahun unicorn yang cantik, mewah dan berbeda dari yang lain. Saya ingin memberikan yang terbaik untuk putri saya, sebagai ibu saya ingin membuat dia bahagia," lanjut Jenar. "Sayang, jangan seperti itu, kita bisa cari di toko yang lain," bisik Eros pada Jenar. Namun, terdengar jelas di telinga Embun. "Tidak mau! Aku maunya di sini!" rajuk Jenar seperti anak kecil, membuang wajah ke arah lain sambil tangannya bersilang dada. Perut buncitnya semakin jelas. "Iya, sayang. Jangan marah, dong. Kan, Mas cuma memberi saran saja," bujuk Eros sambil mengelus perut Jenar. Mata Embun perih melihat itu, bukan karena ia masih mencintai Eros, tapi merasa semakin tidak berdaya karena kekurangannya. Jujur dia iri pada Jenar. "Embun, apa bisa buatkan kue permintaan istri saya?" tanya Eros. Sebenarnya lelaki itu tidak enak hati meminta seperti yang Jenar inginkan, meskipun ia tahu toko Embun pasti menerima request pelanggan. Sebagai lelaki yang pernah menorehkan luk
Embun sudah rapi bersiap pergi ke toko kue, ia meraih tas dan beranjak meninggalkan kamar. Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, pintu terbuka karena didorong dari luar. "Mas Lintang." Embun terkejut karena tiba-tiba Lintang muncul, lelaki yang sudah seminggu tidak ada kabar itu kini berada di depan mata. Embun melirik ke belakang sang suami mencari keberadaan Jasmine. Namun, perempuan itu tidak terlihat. "Aku merindukanmu." Lintang langsung memeluk Embun sambil menghirup aroma tubuh sang istri. Embun bergeming, matanya memanas mendengar kalimat tersebut, kalau memang sang suami merindukannya mengapa tidak menghubunginya. Mengapa setiap ungkapan yang keluar dari mulut lelaki itu terasa menyakitkan. Embun tidak membalas pelukan itu, tangannya hanya menggantung di samping badan. Lintang melepaskan pelukan, kedua tangan lelaki itu berpindah menangkup wajah Embun, mata mereka bertemu menyiratkan rindu yang menggebu. "Kau tidak merindukan aku?" kata itu meluncur dari mulu
Embun menatap pantulan dirinya di cermin, dadanya terasa sesak mengingat apa yang dilihat di meja makan tadi. Jasmine seperti tidak memberi kesempatan untuk ia dan sang suami berdua seolah-olah Lintang hanya miliknya seorang. Embun merapikan penampilan dan merias kembali wajahnya, setelah itu Embun beranjak keluar dari kamar. Rencana hari ini gagal total. Saat melewati kamar sang madu tidak sengaja Embun mendengar desahan Jasmine yang menggetarkan jiwa, tubuhnya serasa melayang karena lagi-lagi harus mendengar suara itu. Embun mempercepat langkahnya melewati kamar tersebut. "Ya, Tuhan. Apa mereka tidak memikirkan perasaanku?" Mata Embun berkaca-kaca, dengan tangan yang masih bergetar Embun menarik tuas mobil dan melajukannya ke toko kue. Pukul delapan malam, toko sudah tutup barulah Embun beranjak meninggalkan tempat itu bersamaan dengan para karyawan. Mungkin mereka bertanya-tanya karena tidak biasanya bos mereka pulang di jam yang sama dengan mereka. Embun menghela napas melepas
Di dalam kamar mandi Jasmine memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa air. Wanita itu mual ketika mencium bau makanan yang di bawa oleh bi Mar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tubuhnya lemas. Jasmine membasuh wajah lalu menatap pantulan dirinya yang berantakan di cermin. Tidak lama kemudian perutnya kembali seperti diaduk-aduk dan kembali muntah, mulutnya terasa pahit. "Kau kenapa Jasmine?" Lintang menerobos masuk ke dalam kamar mandi, lelaki itu kemudian membantu memijat tengkuk Jasmine. Embun menyusul Lintang ke kamar Jasmine, penasaran apa yang terjadi pada madunya itu. Ia berdiri tidak jauh dari kamar mandi, melihat apa yang terjadi. "Aku tidak tahu, badanku lemas, Mas," ucap Jasmine lirih. Wajahnya pucat. "Kau sakit, ayo ke rumah sakit sekarang!" Lintang langsung mengangkat tubuh Jasmine, melewati Embun dan membawanya ke mobil. Wanita itu terkulai lemas dalam gendongan sang suami. Mata Embun mengikuti langkah suaminya sambil memegangi dada yang berdegup, perasaannya
"Tidak ada panggilan yang lebih special untukku? Seperti Mas panggil Mba Embun dengan sebutan sayang." tanya Jasmine lagi setelah memasang seat belt "kau juga ingin dipanggil sayang?" Lintang menoleh ke arah Jasmine sambil satu tangannya memegang tuas mobil. "Tidak mau! Aku tidak mau sama seperti Mba Embun." Jasmine menyilangkan tangan di dada dan memalingkan wajahnya ke luar jendela, ia akan memanfaatkan kehamilannya agar Lintang menuruti keinginannya. "Ya sudah kalau seperti itu." Lintang menyalakan mesin mobil dan menatap lurus ke depan. "Apa aku ini tidak spesial untukmu, Mas?" Jasmine menoleh ke arah Lintang dengan tatapan jengkel. Namun, sang suami tidak melihatnya. "Apalagi, Jasmine? Jangan bertanya yang ane-aneh." Lintang mulai menjalankan mobil. "Aku hanya ingin tahu, aku ini ada artinya atau tidak untukmu, Mas." Jasmine meluruskan pandangannya. "Kau mau apa sebenarnya?" Lintang menoleh sekilas lalu kembali fokus ke jalan. "Aku seperti tidak ada artinya untukmu,
Embun beranjak dari duduknya dan bersiap meninggalkan meja, dia tidak kuat lagi jika harus menyaksikan drama romantis itu. Lebih baik ia pergi. "Mau kemana? Kita baru saja datang dan belum pesan apapun." Lintang melirik Embun yang sudah berdiri. "Pulang," sahut Embun singkat sambil meraih tasnya kemudian meninggalkan pasangan itu. "Bagus! Wanita mandul itu sadar diri dan membiarkan kami berdua. Kenapa juga harus bertemu dia di sini, membuat moodku rusak!" batin Jasmine. Embun berjalan gontai menuju mobilnya sambil mata menerawang jauh. Tidak bisakah Lintang mengerti perasaannya sedikit saja, setidaknya jangan selalu muncul di depan mata dan menyuguhkan pemandangan yang membuatnya semakin rapuh. Bagaimanapun ia belum bisa menerima Jasmine sepenuhnya, meski ikhlas sudah terucap. Embun larut dalam lamunan sehingga tidak memperhatikan jalan, tanpa sengaja seseorang menabraknya dan membuatnya jatuh ke tanah. Embun meringis karena tubuhnya terhempas. "Maaf, Mba. Saya tidak sengaj
Makan malam tiba, Bu Inggrid mendorong kursi roda suaminya mendekati meja makan. Mereka melihat Jasmine menunggu sendirian di sana.“Lho, Jasmine, Lintang mana? tanya Bu Inggrid sambil mengatur duduk suaminya.“Mas Lintang di rumah Mba Embun,” sahut Jasmine santai.“Ck! Anak itu, dasar keras kepala!” gerutu Bu Inggrid yang dapat terdengar jelas oleh Jasmine. Wanita hamil itu tersenyum tipis tanpa sepengetahuan mertuanya.“Telepon saja, Ma, suruh pulang anak itu biar dia tau tanggung jawabnya,” usul Pak Yolan. Beliau geram dengan tingkah Lintang yang meninggalkan istri yang sedang hamil.“Sebentar, Pa.” Bu Inggrid segera pergi dari ruang makan. Jasmine semakin senang, sedapat mungkin dia menahan bibir agar senyum jahatnya tidak lolos. Dia hanya memasang wajah polos.“Apa Lintang sering seperti ini?” tanya Pak Yolan pada menantu kesayangannya.“Ehm ….” Jasmine terlihat ragu-ragu untuk menjawab, padahal itu hanyalah sandiwara.“Katakan saja, tidak perlu merasa sungkan. Kamu sudah Papa an
“Tidak! Tidak sama sekali!” tukas Jenar berpura-pura. “Kaulah yang melakukan itu!” lanjutnya.“Kau yang memintanya!”“Aku memberimu uang!” sahut Jenar dengan ketus. “Kau saja yang bodoh, andai waktu itu ….” lanjutnya dan terhenti tatkala Jafar menyelanya.“Jika aku tidak pernah melakukan itu, tentu sampai saat ini kau tidak akan pernah memiliki Eros! Kau harusnya berterima kasih, permainamu yang bagus itu takluput dari peranku! Sekarang aku minta sedikit bagian dari apa yang kau capai dalam hidupmu itu dan kau menolak! Dasar tidak tahu diri!” sarkas Jafar.Air mata Embun meluncur begitu saja seiring luka lama yang kembali terbuka saat mengetahui fakta itu. Bibirnya bergetar menahan tangis, sedapat mungkin agar tidak menimbulkan suara.Embun beristighfar berkali-kali di dalam hati menahan sakit yang semakin menghunjam. rasanya pertahannya hampir runtuh. Segera dia menyudahi rekaman dan segera pergi dari cafe itu.Embun menepikan mobil di pinggir jalan karena pandangannya dipenuhi oleh
Embun tetap bergeming sambil menahan rasa yang ditimbulkan akibat sentuhan lembut itu. Tidak bisa dipungkiri tubuhnya sangat mendamba sentuhan itu, tetapi hatinya tidak siap."Sampai kapan kau akan terus berpura-pura tidur, padahal tubuhmu sangat menginginkan aku," ujar Lintang lalu perlahan menyingkirkan selimut yang membalut tubuh sang istri"Aku lelah, Mas. Mau tidur," sahut Embun menarik dan merapatkan selimutnya."Ayolah sayang …." Ucapan Lintang terhenti tatkala ponsel Embun di atas nakas memekik keras. Sang pemilik pun bangkit dan meraih benda pipih tersebut."Ganggu saja!" Gerutu Lintang dengan kesal. Lelaki itu mengusap wajah dengan frustasi karena dirinya sudah benar-benar diselimuti kabut napsu."Ada apa mama menelpon malam-malam seperti ini," batin Embun sambil menatap layar yang belum berhenti berdering itu."Siapa?" tanya Lintang dengan curiga, lantas Embun menunjukkan ponselnya pada sang suami dan berkata, "Mamamu!" Setelah itu Embun menjawab panggilan yang sudah tiga
Embun melayangkan tamparan keras pada pipi Lintang. "Aku tidak serendah itu, Mas!" sarkasnya dengan dada naik turun karena emosi.Lintang bergeming sambil menahan panas yang menjalar di pipi. Dia tidak menyangka sang istri berani melakukan itu padanya. Matanya menatap tajam."Lalu, untuk apa kau menemui laki-laki lain di luar sana selain suamimu kalau bukan untuk selingkuh!" Lintang masih terbawa emosi, terbayang Embun berbincang dengan seorang pria di tepi jalan.Embun terdiam sejenak, rupanya lelaki itu melihatnya dan Eros tadi. "Tidak seperti itu, Mas! Kamu salah paham!" ujar Embun, "lelaki yang kau lihat itu adalah adik iparmu, Mas! Dia membantuku mengganti ban mobil yang kempes," lanjutnya.Amarah Lintang perlahan mereda setelah mendengar penjelasan sang istri. Ia bernapas lega, meski masih tersisa sedikit kecemburuan di hatinya mengingat Eros adalah mantan suami Embun."Memangnya kau dari mana malam-malam sendiri?" Pertanyaan konyo
"Eros?""Ada yang bisa dibantu?" ujar mantan suami Embun tersebut. Embun terdiam sesaat dan nampak berpikir.""Embun." Suara Eros kembali mengejutkan wanita tersebut."Ban mobilku kempes dan aku tidak bisa menggantinya," ucap embun pada akhirnya. Setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya jika dia meminta bantuan lelaki itu, toh di antara mereka sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi. Lagi pula status mereka saat ini mereka adalah keluarga."Baiklah aku akan membantumu.""Terima kasih.""Tidak usah sungkan seperti itu, sudah seperti sama siapa saja," ujar Eros sambil mengikuti langkah Embun ke belakang mobil guna mengambil ban cadangan. Wanita itu hanya tersenyum canggung.Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan antara mereka, mata Embun menatap ke jalan melihat kendaraan yang berlalu lalang, sementara Eros sibuk mengganti ban."Habis dari luar?" tanya Eros memecah kebisuan."Iya," jawab Embun singkat tanpa menoleh ke arah lawan bicara."Sendiri saja? Lintang mana?"Embun berdecak dalam
Embun melangkah masuk ke dalam cafe, pemandangan pertama yang dilihatnya cukup membuatnya terkejut. Lintang dan Jasmine juga berada di sana, mereka terlihat bahagia diselingi canda tawa.Jantungnya berdenyut perih, kakinya terpaku di lantai, ia merasa dibohongi karena Lintang tadi mengatakan baru saja kembali dari rumah sakit. Seharusnya wanita hamil tersebut istirahat di rumah jika memang yang dikatakan sang suami benar. Embun meremas gaunnya karena api kebencian berkobar di dada."Permisi, Mba," ucap seorang pengunjung yang hendak masuk. Embun tersadar ternyata dirinya menghalangi di pintu masuk."Maaf," ucap Embun setelahnya mencari meia untuk duduk. Ia duduk tidak jauh dari mria suami dan madunya."Kenapa kau ha
Jenar menutup pintu setelah mobil Eros menghilang di balik pagar. Bibirnya tersenyum bahagia karena kehidupan pernikahannya yang sempurna, sesuai dengan apa yang pernah diimpikan. Memiliki suami yang tampan dan penyayang, anak-anak yang lucu dan ekonomi yang berkecukupan.Jenar merasa menjadi wanita paling beruntung karena menikah dengan Eros, meskipun telah merebut lelaki itu dari wanita lain. Dia justru merasa bangga atas dosanya dan tidak merasa bersalah sama sekali.Ponsel di genggaman Jenar berdering, tanpa melihat nama si penelpon dia langsung menjawab panggilan itu sambil mendaratkan bokong di sofa. Dia mengira itu adalah Eros."Halo, Mas ...," ucap Jenar dengan lembut."Jenar …." Suara di seberang tel
Lintang berjalan gontai menuruni anak tangga, kepalanya terasa berat memikirkan permasalahan rumah tangga. Dia melihat Embun di ujung tangga yang entah dari mana hendak naik ke lantai atas."Embun!" Lintang mempercepat langkah mendekati Embun, sementara yang dipanggil menghentikan langkah seraya kepalanya mendongak ke arah suara."Aku mau bicara," tukas Lintang dan langsung menarik tangan Embun menuju ke taman belakang."Bukankah kita tadi sudah bicara," ujar Embun sambil mengikuti langkah suaminya. Namun, Lintang tidak menjawab perkataan sang istri. Lelaki itu menghempas tangan Embun kasar setelah sampai di taman."Kau sangat keras kepala!" ketus Lintang. Embun mengernyitkan kening, bingung.
"Aku mau hakku! Kita sudah lama tidak melakukan ini, kan?" ujar Lintang, "kau pasti juga merindukan sentuhanku," lanjutnya."Tidak, aku tidak mau!""Kenapa? Aku suamimu, aku berhak melakukan apapun terhadap tubuhmu," tegas Lintang."Kau minta saja pada Jasmine!""Kau juga istriku! Aku tidak ingin kau merasa seperti tidak memiliki suami. Ini, kan, yang kau mau?""Ini bukan hanya soal melakukan hubungan saja!" pekik Embun dalam hati, Lintang sudah salah mengartikan ucapannya."Tapi, aku sedang datang bulan!"Perlahan cengkraman tangan