"A-apa?" Embun tergagap disertai bulir bening yang lolos begitu saja dari sudut mata. Hatinya pedih tak tertahankan setelah mendengar permintaan sang suami. Embun segera menarik tangannya dari genggaman Lintang. Akankah kisah lama terulang kembali? Embunn pikir bahagia sudah seutuhnya menjadi miliknya. Namun, ternyata hanya singgah sesaat sebelum pergi dan meninggalkan luka. "Dari dulu sudah kukatakan kalau aku ini tidak sempurna, tapi Mas tetap yakin ingin menikahiku dengan menjanjikan segudang kebahagiaan. Sekarang apa? Mas ingkari semua itu." Dada Embun sesak mengingat setahun yang lalu betapa Lintang berusaha keras meyakinkan dirinya untuk menjadi pendamping hidup lelaki itu. "Maafkan aku, Embun. Tidak ada sedikitpun niatku menyakitimu." Lintang tertunduk, tidak memiliki kekuatan menatap sepasang manik basah sang istri. Jujur hatinya juga terluka melihat orang yang sangat dicintainya terluka, terlebih dirinya penyebabnya. "Tapi kamu sudah menyakitiku, Mas! Kamu sudah tahu segal
Bel rumah berbunyi, Embun yang sedang bersiap pergi ke toko kuenya segera melesat ke depan melihat siapa yang berkunjung pagi-pagi. Embun membuka pintu dan nampaklah bu Inggrid yang merupakan ibu mertuanya. Embun mempersilakan bu Inggrid masu, lalu membuatkan beliau minuman. "Bagaimana kabar kamu, Nak?" tanya bu Inggrid setelah Embun meletakkan minuman untuknya. "Alhamdulillah baik, Ma," jawab Embun sambil mendaratkan bokong di sofa. Bu Inggrid menyesap teh hangat buatan sang menantu, wanita paruh baya itu memang menyukai teh buatan Embun yang tidak terlalu manis dan pas di lidahnya. "Apa Lintang sudah bicara sama kamu?" Bu Inggrid meletakkan cangkir teh "Bicara apa, ya, Ma?" Embun terlihat bingung. "Masalah pernikahan Lintang yang akan dilaksanakan minggu depan. Apa kamu sudah tau?" tukas bu Inggrid, seketika membuat tulang-tulang Embun serasa remuk, tidak kuat menopang bobot tubuhnya sendiri. Mata Embun berkaca-kaca, semalam Lintang meminta izin untuk menikah lagi, belum juga d
Bayangan Embun memergoki Eros dengan Jenar di sebuah food court empat tahun yang lalu berputar-putar di kepala bak sebuah film, padahal waktu itu belum ketuk palu dan Eros sudah ada pengganti dirinya. Embun merasa dikhianati, sakit itu tetap terasa, meski sudah tidak ada lagi cinta untuk Eros. Tidak ingin berbasa-basi, Embun segera melewati tubuh Eros. Namun, langkahnya terhenti ketika Eros mengatakan sesuatu. "Tidak bisakah kita berteman, Embun? Kamu terus saja membenciku, padahal …," ucapan Eros terjeda dikala mendengar lengkingan suara anak kecil memanggilnya. "Papa!" "Sayang!" Eros berbalik mendapati putri kecilnya berlari ke arahnya. "Papa, tante ini siapa?" tanya gadis kecil dengan tubuh gembul dan menggemaskan. Kalau saja anak itu bukan anak Eros rasanya Embun ingin mencubit pipinya yang chubby. "Tante ini teman Papa dan Mama, kenalan gih sama tantenya." "Halo tante, nama aku Embun." Dengan pintarnya bocah itu mengulurkan tangan. Embun terkejut mendengar nama anak itu sama
Embun mengerjapkan mata akibat pancaran sinar matahari yang berhasil menyelinap lewat celah jendela, matanya terasa aneh akibat menangis semalaman. Embun melirik ke samping, kosong, tidak ada lagi senyum hangat yang menyambutnya dan mengucapkan selamat 'pagi matahariku'. Embun tersenyum getir, dadanya kembali sesak mengingat semua yang sudah terjadi dalam waktu singkat ini. Embun berharap jika pagi ini dirinya bangun dari mimpi buruk. Namun, sayang yang terjadi adalah nyata. Embun bangkit lalu meregangkan badan yang terasa pegal, rasanya bukan hanya hati yang hancur, tapi raganya juga. Wanita itu segera menuju kamar mandi, dia akan melakukan aktivitas seperti biasa. Sehabis mandi Embun berpakaian rapi dan merias wajahnya yang sembab, meskipun sulit menyembunyikan kondisinya dibalik make-up. Embun mencoba berdamai dengan kenyataan, tidak ada gunanya terus menangis karena keadaan tidak akan berubah. Yang harus dia lakukan sekarang adalah menyiapkan mental untuk menghadapi segala kemu
, Embun melenggang ke dalam toko kue dengan wajah sembab, tidak dipedulikannya jika nanti ada mata yang memperhatikan. Ia mendaratkan bokong di kursi kebanggaannya, tubuhnya lelah. Wanita itu menyandarkan kepala pada sandaran kursi sambil mendongakkan kepala ke atas dengan mata terpejam. Embun mulai memikirkan skenario hidupnya, andai saja dirinya dapat memberikan keturunan untuk keluarga Svarga tentulah sang suami tidak akan menikah lagi. Sungguh malang nasibnya, berharap bahagia di pernikahan keduanya malah terjebak dalam lembah derita yang lebih menyakitkan. Bertahan sakit, pergi sulit itulah yang dirasakannya kini. Embun mengganti posisi, wanita itu menumpukan kedua sikunya di atas meja dengan telapak tangan menutupi wajah, menahan air mata yang hendak lolos karena perih hati tak kunjung reda. Apa dirinya terlalu egois karena tidak ingin berbagi cinta suami? Tapi wanita mana yang rela jika disposisi dirinya. Dirinya tidak sesolehah itu, dengan lapang dada menerima dipoligam
Pukul lima sore Embun pulang ke rumah, dengan malas ia menyeret langkahnya masuk ke dalam yang kini terasa hampa. Di dalam tampak sepi, entah kemana penghuni rumah itu, tetapi Embun tidak mempedulikan. Justru bagus ia tidak harus melihat wajah orang-orang yang hanya akan membuatnya sakit. Embun menghempas tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar, lelah karena seharian ini bermandi air mata. Tadi pagi ia sudah berusaha untuk kuat. Namun, ada saja hal yang membuat air matanya untuk tumpah. Embun melirik ke sampingnya, dimana biasanya sang suami terbaring. Kini ranjang itu tidak lagi sehangat dulu, bahkan semalaman ia hanya berteman dingin." "Aku harus terbiasa sendiri sekarang," gumam Embun dan tersenyum getir. Embun belum ada niat beranjak dari kasur empuk itu, malas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lama-kelamaan kantuk menyapa dan ia pun tertidur. Entah berapa lama Embun tertidur hingga sebuah usapan lembut di pipinya membangunkannya dari buaian mimpi. Em
Embun menenggak segelas air putih meredakan haus dan tenggorokannya yang seperti tercekik. Matanya menerawang jauh memikirkan kesakitan hidupnya. Embun belum ingin beranjak dari dapur karena tidak kuasa ketika melewati kamar Jasmine. Wanita itu menghela napas kasar menghalau sesak yang menghimpit dada. "Berbagi itu indah, tapi berbagi suami itu menyakitkan," gumam Embun lalu kembali menenggak air minum. "Embun." Suara Lintang membuyarkan lamunannya. Embun terperanjat karena tiba-tiba Lintang sudah berada di sampingnya. Mata Embun memperhatikan Lintang dari ujung rambut sampai ujung kaki, terlihat keringat masih mengalir di pelipis lelaki itu. Embun bergidik, ia jijik membayangkan apa yang sudah Lintang dan Jasmine lakukan. Wanita itu menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Lintang. "Mas mau apa di sini?" tanya Embun pada akhirnya. "Aku haus," jawabnya singkat sambil tangannya terulur hendak mengambil gelas di tangan Embun. Embun segera menjauhkan gelas milikya, tidak sudih bibir
Lintang menoleh pada jasmine lalu berkata, "Sebentar Jasmine, aku sedang berpamitan pada Mba-mu, apa kau tidak mau berpamitan juga?" "Ah, iya, aku hampir lupa. Maaf, Mas. Aku terlalu bahagia dan ingin segera tiba di tempat tujuan." Jasmine menghela napas kasar kemudian dengan berat melangkah masuk ke dalam rumah menghampiri Embun dan Lintang. Jasmine tidak mau terlalu menampakkan jika ia tidak suka pada Embun, entah apa alasannya, yang jelas hatinya menolak Embun berada dalam kehidupannya dan sang suami. Padahal, Embun lebih dulu memiliki Lintang ketimbang dirinya yang baru beberapa hari saja. Jasmine tersenyum palsu agar semua berjalan mulus. "Mba, aku sama Mas Lintang pergi dulu, ya. Mba, baik-baik di rumah. Doakan kami, Mba. Semoga pulang dari honeymoon aku segera hamil, biar mertua kita bahagia," ujar Jasmine menggores hati Embun. Lagi-lagi ucapan Jasmine melukainya, semakin menegaskan jika Embun bukanlah wanita sempurna. Embun tersenyum getir, akhir-akhir ini ia berubah menja
Makan malam tiba, Bu Inggrid mendorong kursi roda suaminya mendekati meja makan. Mereka melihat Jasmine menunggu sendirian di sana.“Lho, Jasmine, Lintang mana? tanya Bu Inggrid sambil mengatur duduk suaminya.“Mas Lintang di rumah Mba Embun,” sahut Jasmine santai.“Ck! Anak itu, dasar keras kepala!” gerutu Bu Inggrid yang dapat terdengar jelas oleh Jasmine. Wanita hamil itu tersenyum tipis tanpa sepengetahuan mertuanya.“Telepon saja, Ma, suruh pulang anak itu biar dia tau tanggung jawabnya,” usul Pak Yolan. Beliau geram dengan tingkah Lintang yang meninggalkan istri yang sedang hamil.“Sebentar, Pa.” Bu Inggrid segera pergi dari ruang makan. Jasmine semakin senang, sedapat mungkin dia menahan bibir agar senyum jahatnya tidak lolos. Dia hanya memasang wajah polos.“Apa Lintang sering seperti ini?” tanya Pak Yolan pada menantu kesayangannya.“Ehm ….” Jasmine terlihat ragu-ragu untuk menjawab, padahal itu hanyalah sandiwara.“Katakan saja, tidak perlu merasa sungkan. Kamu sudah Papa an
“Tidak! Tidak sama sekali!” tukas Jenar berpura-pura. “Kaulah yang melakukan itu!” lanjutnya.“Kau yang memintanya!”“Aku memberimu uang!” sahut Jenar dengan ketus. “Kau saja yang bodoh, andai waktu itu ….” lanjutnya dan terhenti tatkala Jafar menyelanya.“Jika aku tidak pernah melakukan itu, tentu sampai saat ini kau tidak akan pernah memiliki Eros! Kau harusnya berterima kasih, permainamu yang bagus itu takluput dari peranku! Sekarang aku minta sedikit bagian dari apa yang kau capai dalam hidupmu itu dan kau menolak! Dasar tidak tahu diri!” sarkas Jafar.Air mata Embun meluncur begitu saja seiring luka lama yang kembali terbuka saat mengetahui fakta itu. Bibirnya bergetar menahan tangis, sedapat mungkin agar tidak menimbulkan suara.Embun beristighfar berkali-kali di dalam hati menahan sakit yang semakin menghunjam. rasanya pertahannya hampir runtuh. Segera dia menyudahi rekaman dan segera pergi dari cafe itu.Embun menepikan mobil di pinggir jalan karena pandangannya dipenuhi oleh
Embun tetap bergeming sambil menahan rasa yang ditimbulkan akibat sentuhan lembut itu. Tidak bisa dipungkiri tubuhnya sangat mendamba sentuhan itu, tetapi hatinya tidak siap."Sampai kapan kau akan terus berpura-pura tidur, padahal tubuhmu sangat menginginkan aku," ujar Lintang lalu perlahan menyingkirkan selimut yang membalut tubuh sang istri"Aku lelah, Mas. Mau tidur," sahut Embun menarik dan merapatkan selimutnya."Ayolah sayang …." Ucapan Lintang terhenti tatkala ponsel Embun di atas nakas memekik keras. Sang pemilik pun bangkit dan meraih benda pipih tersebut."Ganggu saja!" Gerutu Lintang dengan kesal. Lelaki itu mengusap wajah dengan frustasi karena dirinya sudah benar-benar diselimuti kabut napsu."Ada apa mama menelpon malam-malam seperti ini," batin Embun sambil menatap layar yang belum berhenti berdering itu."Siapa?" tanya Lintang dengan curiga, lantas Embun menunjukkan ponselnya pada sang suami dan berkata, "Mamamu!" Setelah itu Embun menjawab panggilan yang sudah tiga
Embun melayangkan tamparan keras pada pipi Lintang. "Aku tidak serendah itu, Mas!" sarkasnya dengan dada naik turun karena emosi.Lintang bergeming sambil menahan panas yang menjalar di pipi. Dia tidak menyangka sang istri berani melakukan itu padanya. Matanya menatap tajam."Lalu, untuk apa kau menemui laki-laki lain di luar sana selain suamimu kalau bukan untuk selingkuh!" Lintang masih terbawa emosi, terbayang Embun berbincang dengan seorang pria di tepi jalan.Embun terdiam sejenak, rupanya lelaki itu melihatnya dan Eros tadi. "Tidak seperti itu, Mas! Kamu salah paham!" ujar Embun, "lelaki yang kau lihat itu adalah adik iparmu, Mas! Dia membantuku mengganti ban mobil yang kempes," lanjutnya.Amarah Lintang perlahan mereda setelah mendengar penjelasan sang istri. Ia bernapas lega, meski masih tersisa sedikit kecemburuan di hatinya mengingat Eros adalah mantan suami Embun."Memangnya kau dari mana malam-malam sendiri?" Pertanyaan konyo
"Eros?""Ada yang bisa dibantu?" ujar mantan suami Embun tersebut. Embun terdiam sesaat dan nampak berpikir.""Embun." Suara Eros kembali mengejutkan wanita tersebut."Ban mobilku kempes dan aku tidak bisa menggantinya," ucap embun pada akhirnya. Setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya jika dia meminta bantuan lelaki itu, toh di antara mereka sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi. Lagi pula status mereka saat ini mereka adalah keluarga."Baiklah aku akan membantumu.""Terima kasih.""Tidak usah sungkan seperti itu, sudah seperti sama siapa saja," ujar Eros sambil mengikuti langkah Embun ke belakang mobil guna mengambil ban cadangan. Wanita itu hanya tersenyum canggung.Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan antara mereka, mata Embun menatap ke jalan melihat kendaraan yang berlalu lalang, sementara Eros sibuk mengganti ban."Habis dari luar?" tanya Eros memecah kebisuan."Iya," jawab Embun singkat tanpa menoleh ke arah lawan bicara."Sendiri saja? Lintang mana?"Embun berdecak dalam
Embun melangkah masuk ke dalam cafe, pemandangan pertama yang dilihatnya cukup membuatnya terkejut. Lintang dan Jasmine juga berada di sana, mereka terlihat bahagia diselingi canda tawa.Jantungnya berdenyut perih, kakinya terpaku di lantai, ia merasa dibohongi karena Lintang tadi mengatakan baru saja kembali dari rumah sakit. Seharusnya wanita hamil tersebut istirahat di rumah jika memang yang dikatakan sang suami benar. Embun meremas gaunnya karena api kebencian berkobar di dada."Permisi, Mba," ucap seorang pengunjung yang hendak masuk. Embun tersadar ternyata dirinya menghalangi di pintu masuk."Maaf," ucap Embun setelahnya mencari meia untuk duduk. Ia duduk tidak jauh dari mria suami dan madunya."Kenapa kau ha
Jenar menutup pintu setelah mobil Eros menghilang di balik pagar. Bibirnya tersenyum bahagia karena kehidupan pernikahannya yang sempurna, sesuai dengan apa yang pernah diimpikan. Memiliki suami yang tampan dan penyayang, anak-anak yang lucu dan ekonomi yang berkecukupan.Jenar merasa menjadi wanita paling beruntung karena menikah dengan Eros, meskipun telah merebut lelaki itu dari wanita lain. Dia justru merasa bangga atas dosanya dan tidak merasa bersalah sama sekali.Ponsel di genggaman Jenar berdering, tanpa melihat nama si penelpon dia langsung menjawab panggilan itu sambil mendaratkan bokong di sofa. Dia mengira itu adalah Eros."Halo, Mas ...," ucap Jenar dengan lembut."Jenar …." Suara di seberang tel
Lintang berjalan gontai menuruni anak tangga, kepalanya terasa berat memikirkan permasalahan rumah tangga. Dia melihat Embun di ujung tangga yang entah dari mana hendak naik ke lantai atas."Embun!" Lintang mempercepat langkah mendekati Embun, sementara yang dipanggil menghentikan langkah seraya kepalanya mendongak ke arah suara."Aku mau bicara," tukas Lintang dan langsung menarik tangan Embun menuju ke taman belakang."Bukankah kita tadi sudah bicara," ujar Embun sambil mengikuti langkah suaminya. Namun, Lintang tidak menjawab perkataan sang istri. Lelaki itu menghempas tangan Embun kasar setelah sampai di taman."Kau sangat keras kepala!" ketus Lintang. Embun mengernyitkan kening, bingung.
"Aku mau hakku! Kita sudah lama tidak melakukan ini, kan?" ujar Lintang, "kau pasti juga merindukan sentuhanku," lanjutnya."Tidak, aku tidak mau!""Kenapa? Aku suamimu, aku berhak melakukan apapun terhadap tubuhmu," tegas Lintang."Kau minta saja pada Jasmine!""Kau juga istriku! Aku tidak ingin kau merasa seperti tidak memiliki suami. Ini, kan, yang kau mau?""Ini bukan hanya soal melakukan hubungan saja!" pekik Embun dalam hati, Lintang sudah salah mengartikan ucapannya."Tapi, aku sedang datang bulan!"Perlahan cengkraman tangan