Sebuah motor metik terparkir di sebuah halaman rumah sederhana. Hari sudah gelap saat Dani sampai di rumah itu. Dari luar, terdengar suara gelak tawa dari arah ruang tamu. Rupanya Reni tengah berkumpul bersama Zaki dan kedua orang tuanya.
Jika jam segini, mereka telah berada di rumah dan menikmati waktu mereka. Warung makan hanya buka sampai jam 4 sore. Tak mau Reni berjualan hingga malam, karena itu sangat membuatnya lelah.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'laikumsalam," jawab keempatnya serentak. Raut wajah Reni mendadak mendung saat melihat siapa yang datang. Setelah berbulan-bulan tidak kelihatan batang hidungnya, mengapa suaminya itu tiba-tiba ingat untuk mengunjunginya? Tak hanya Reni, Bahkan kedua orang tuanya pun juga merasakan hal yang sama.
Hanya Zaki yang bersikap wajar karena tidak tahu apa pun urusan kakaknya.
"Eh, Mas Dani! Jam berapa dari rumah, Mas?" Zaki berusaha beramah tamah dengan kakak iparnya itu. Zaki maju ke depan dan menc
"Aku tidak akan menceraikanmu, Ren. Jadi, mari kita pulang." Dani semakin menekankan kata-katanya. Sekali lagi dia ingin mengingatkan tentang kenyataan itu.Mendengar kalimat itu, Reni hanya terdiam. Dia tak tahu lagi harus menjawab apa. Seketika dia membenci status yang masih disandangnya."Nak Dani, biarkan Reni berada di sini dulu." Yanti melas melihat Reni yang seakan ingin menangis. Sungguh dia tak tega membiarkan anaknya itu kembali bersedih. Reni kembali ceria saat dia berada di rumah ini, apa yang akan terjadi jika dia kembali ke rumah Dani?"Bu, maaf. Bukannya saya tidak menghormati ibu, tapi ini masalah rumah tangga kami." Dani berusaha bersikap semanis mungkin. Satu sisi baik Dani yaitu begitu menghormati mertuanya. Dia menganggap mereka seperti orang tuanya sendiri."Tapi, Nak--." Bambang meremas tangan istrinya untuk tidak ikut campur. Memiliki anak perempuan yang sudah menikah itu rumit. Di satu sisi dia benar-benar anaknya, namun di sisi la
Reni menarik napas panjang sebelum melangkahkan kaki ke dalam rumah. Dani nampak memberikan tangannya agar digandeng oleh Reni. Namun, sayang Reni lebih memilih mengabaikannya dan langsung masuk ke dalam rumah.'Reni ... tahanan beberapa bulan lagi.' Reni terus berusaha menguatkan hatinya untuk menerima takdirnya kali ini. Kenyataan yang menyakitkan, bahwa benar dirinya masih seorang istri.Reni menghampiri mertuanya yang tengah duduk bersama Karin, adik iparnya. Dia meraih tangannya untuk dia jabat. Meski benci, Reni tetap menghormati mertuanya. Ekspresi keduanya begitu datar terhadap Reni.Apa Reni peduli? Tidak sama sekali. Setelah menyalami Halimah dan Karin, Reni langsung masuk ke dalam kamar. Hari sudah malam dan Reni sudah sangat mengantuk. Dia segera merebahkan tubuhnya di atas kasur dan mencoba meredakan hatinya yang terasa sakit. Mertuanya itu sama sekali tidak menanyakan perihal kehamilannya."Ck! Istri kamu itu, Dan. Nggak ada sopannya.
Reni segera bangkit dari tidurnya. Dia merasa jijik dengan sentuhan Dani."Jangan sentuh, Mas!" Reni mendorong Dani pelan. Rasanya dia merasa jijik saat mengingat ada peluh tar di tubuh Dani."Ck! Aku suami kamu, Ren!" protes Dani. Dia merasa marah dengan penolakan Reni. Sunggung dia sangat merindukan istrinya itu. Ingin menyentuh dan juga menikmati tubuhnya. Mengecup bibir dan membuat penyatuan dengannya. Setidaknya itulah yang dia rasakan saat ini. Nafsunya benar-benar sudah di ubun-ubun."Aku bersedia pulang bukan berarti aku mau disentuh olehmu, Mas!" Reni tak kalah geram dengan Dani, "apa Mas pikir aku akan sama dengan selingkuhanmu itu? Yang sembarangan saja mau disentuh oleh laki-laki lain?""Tapi, aku bukan orang lain. Aku suami kamu!" bentak Dani. Saat ini, Dani merasa terhina dengan penolakan Reni. Bukankah seorang istri tidak boleh menolak ajakan suami? Sungguh bukan sebuah perbuatan yang terpuji sebagai seorang istri."Maaf, Mas.
Sudah sekitar 3 bulan Reni pulang ke rumah mertuanya, dan apa hubungan mereka membaik? Tentu tidak. Reni sengaja membentuk dinding penghalang antara keduanya. Dia benar-benar bertekad untuk tidak memaafkan Dani. Mungkin bisa dibilang dia bersalah dan berdosa, tapi luka dan perasaan kecewa yang terlanjur ada, tidak bisa dengan mudah dihilangkannya. Reni juga tidak peduli dengan omelan mertuanya yang dia dengar setiap hari. Dia hanya ingin membuat dirinya nyaman di tempat yang sama sekali tidak nyaman. "Ren! Nanti Tari mau ke sini." Entah apa yang ada dalam pikiran pria itu, membawa selingkuhannya ke rumah yang juga ditinggali oleh istrinya. "Buat apa?" Reni sedang berada di kamar, dengan tangan tengah memeganghandphonemangontrol kedua usahanya lewat Zaki. Dia benar-benar bangga pada adiknya itu. Dia benar-benar bisa dipercaya dan sangat berbakat. Buktinya usahanya baik-baik saja dan malah semakin maju. Sepertinya dia harus memberikan
"Sudah, Bu! Sudah! Kita keluar saja!" ajak Dani pada ibunya. Dani memegang bahu Halimah dan mendorong pelan ibunya itu ke luar kamar."Kamu kenapa, sih, Dan? Ibu itu mau ngajarin istri kamu biar nggak ngelawan sama orang tua. Malah kamu suruh ibu untuk keluar. Kenapa juga kemarin kamu ajak dia pulang ke rumah? Istri nggak bisa diandelin kayak gitu." Halimah mengeluarkan segala unek-uneknya pada Reni. Posisi mereka kini ada tepat di depan kamar Dani. Dan Reni bisa dengan jelas mendengarnya."Ssst ... Bu. Jangan keras-keras." Dani meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibirnya."Halah! Biar dia denger. Ibu lebih mending kamu nikah sama Tari dari pada ngajak pulang Reni."Reni hanya bisa menahan tangisnya kali ini. Sebenci itukah Halimah terhadapnya? Jika benar seperti itu, kenapa kemarin mengizinkan Dani membawanya pulang? Ini benar-benar membuatnya bertambah sakit. Tapi, ini tidak akan menjadikannya lemah, malah dia ingin semakin gencar membalas denda
"Hebat, ya, selingkuhannya kamu, Mas?" Reni menyeringai, "Apa kalian juga memikirkan perasaanku saat kalian membuat anak itu?"Ditanya seperti itu oleh Reni, baik Dani maupun Tari gelagapan. Tentu saja semua orang pasti tahu jawabannya. Dani dan Tari saling pandang, sedang Halimah lebih memilih untuk diam setelah mendapat sindiran dari Reni.Jangan dikira Reni bersedia pulang untuk menjadi lemah. Dia akan membalaskan segala sakit yang telah dia terima dari orang-orang ini."Berpikirlah sebagai seorang wanita, Mbak. Bagaimana jika Mbak berada dalam posisi saya?" Tari mulai histeris mengetahui Reni tak sedikit pun menunjukkan empati terhadapnya. Perutnya semakin membesar dan dia tidak memiliki status pernikahan."Berpikir sebagai seorang wanita?" Reni melipat kedua tangannya di dada. Dia tidak akan gentar kali ini, "Apa pikiran wanita yang Anda maksud itu menggoda suami orang?" Tatapan mereka bertemu, Reni seakan benar-benar ingin menghabisi wanita it
"Aku mesti gimana, Mas?" Mata Tari berkaca-kaca mengingat saat ini dia tidak akan menyandang status sebagai istri sah. Bagaimana status anaknya kelak?Tak ada jawaban dari Dani, karena dia juga tidak tahu mesti bagaimana. Tangannya terus berusaha menepuk punggung Tari agar wanita itu bisa tenang, meski tidak banyak membantu. Tari malah menangis semakin kencang.Dani merasa geram dengan sikap Reni yang dinilainya sangat keras kepala dan tidak memiliki hati nurani. Seharusnya sebegai sesama wanita, Reni bisa memikirkan jika dia dalam posisi Tari, bukan malah semakin memperburuk keadaan.'Apa susahnya tinggal memberi ijin untukku menikah lagi?' gerutu Dani dalam hati. Entah siapa yang mereka nilai tidak memiliki nurani? Para pengkhianat itu atau seorang istri yang sudah dikhianati?"Bu ... saya mesti gimana?" Kini Tari menatap ke arah Halimah. Wanita paruh baya itu juga tidak menjawab. Hanya menghela napas panjang dan setelahnya dia beranjak dari duduk
Hari-hari berat Reni lalui di rumah itu. Dia tetap melakukan tugasnya sebagai seorang istri tentunya, selain melayani masalah hubungan badan. Dia benar-benar trauma disentuh oleh Dani. Ada rasa jijik dan juga enggan saat Dani menyentuhnya.Masalah bisnisnya dia serahkan ke Zaki dan ibunya. Ada sedikit penurunan meski tak sampai membuat rugi. Tapi, meski begitu Reni sangat bersyukur memiliki keluarga yang bisa membantunya kala seperti ini.Hubungannya dengan Yudha pun seperti biasa. Hanya berputar masalah bisnis, tidak lebih. Reni selalu menghindar saat Yudha terang-terangan mengungkapkan perasaannya.[Ren! Nggak bisakah kamu mempertimbangkan keputusanmu?] Setelah sebelumnya berbalasan pesan membahas tentang pekerjaan, tiba-tiba saja Yudha membahas tentang hubungan pribadinya.Reni tak langsung membalas pesan lelaki itu. Dia bingung harus bagaimana. Yudha lelaki baik dan Reni sangat tahu dia tulus banget sama dia, tatepi ini waktu yang salah. Dia masih mem
Reni memasak makanan yang menjadi ciri khas di rumah makannya, rica-rica kelinci. Selama ini memang ibunya yang memasak di sana, sementara Reni kembali ke rumah Dani. Namun, saat Reni kembali, dia memutuskan untuk memasak sendiri, kasihan Yanti katanya. Kondisi Yanti semakin lemah, jadi dia tidak boleh capek-capek.Hidangan sudah siap, dia bersiap menyajikan untuk Bram dan Yudha. Berkali-kali dia menarik napas karena kali ini dia berniat untuk membicarakan hal ini dengan keduanya. Dia harus tegas agar keduanya tak terluka."Makanan sudah siap, silakan dimakan." Reni tersenyum ke arah dua pria yang masih saling menatap dengan tatapan yang tak suka. Sungguh Reni sangat merasa bersalah kepada keduanya. Apa dia yang jahat karena seolah memanfaatkan mereka berdua?Reni meletakkan masing-masing satu porsi di hadapan Bram dan juga Yudha. Setelah itu, dia menarik kursi di antara keduanya."Makan dulu! Ada yang pengen aku omongin." Reni berusaha sesantai mungkin,
Bram tak banyak berharap pada Reni. Dia tahu jika rasa sakit Reni memang bisa membuatnya trauma. Mungkin dia yang terlalu terburu-buru hingga membuat Reni merasa takut."Aku antar ke mana ini, Ren?""Ke warung aja, Bram. Masih ada urusan di sana."Lebih baik tak memberi harapan untuk keduanya. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Reni saat ini. Dia harus sangat berhati-hati kini. Karena hidup tak melulu soal cinta. Hubungan pun bukan hanya suami istri. Ada hubungan yang lebih luas dari pada itu."Oke!" Bram pun menerima penolakan Reni kali ini. Tak mudah bagi seorang wanita yang telah diselingkuhi, membuka hatinya untuk lelaki lain. Dan itu terjadi pada Reni. Lama belum hamil, disalahkan oleh orang-orang sekitar.Saat hamil, malah dia diselingkuhi oleh suaminya. Di samping itu, dalam kehamilannya, suaminya itu malah semakin melukai hatinya. Berjuang sendiri hingga hamil besar, tanpa kasih sayang dan juga dukungan suami. Bahkan saat det
"Kamu kalau lagi ngambek cantik, deh.""Gombalanmu udah nggak mempan ke aku.""Aku nggak nggombal, sumpah! Mau nggak jadi istri aku?"Reni tercengang mendengar apa yang dikatakan oleh Bram barusan. Wanita itu melongo, nggak nyangka jika lelaki yang berprofesi sebagai pengacara itu memiliki rasa untuknya. Persoalan dengan Yudha saja sudah membuatnya merasa sangat pusing, kini ditambah dengan Bram.Apa ini artinya, Bram sedang melamarnya dengan tidak romantis? Di dalam mobil, tanpa cincin, tanpa candle light dinner yang romantis. Tapi, bukan itu sebenarnya ini permasalahannya. Reni belum sembuh benar hatinya saat ini. Masih ada trauma yang menghinggapi hatinya."Kenapa kamu, Ren?" Melihat Reni yang malah bengong, membuat Bram penasaran. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh wanita di sebelahnya."Uhm ... Bram." Reni berusaha mencari kata yang tepat untuk menjelaskan bahwa dia belum bisa menerima Bram. Tapi, dia juga bingung karena Bram telah mem
Setelah proses yang panjang, akhirnya Reni dan Dani resmi bercerai. Meski awalnya Dani masih keukeuh ingin mempertahankan pernikahan ini, namun Reni mengantungi banyak bukti.Dengan bantuan dari Bram, akhirnya Reni dapat lolos juga dari jeratan Dani. Hubungan toxic yang hanya menyakiti dirinya sendiri. Hubungan yang sehat tak akan menyakiti."Puas sekarang kamu, Ren. Misahin anak sama ayahnya?" Dani menghampiri Reni di depan pengadilan agama. Reni saat ini tengah bersama dengan Bram. Dani melirik ke arah pengacara itu dengan muka kesal. Dia tak mungkin menyewa pengacara, duit aja nggak punya. Terlebih dia juga tengah memikirkan tuntutan dari keluarga Tari tentang uang yang digunakan untuk operasi. Kerjaan aja nggak pasti, bagaimana dia bisa dapat uang?Reni memutar bola mata malas, menghadapi Dani harus berkali-kali menghela napas panjang. Sepertinya lelaki macam itu akan sulit untuk melihat keburukannya sendiri."Maaf, Mas. Tidak ada kepentingan lagi antar
Reni tersenyum getir menanggapi permintaan Dani. Dia tidak mungkin mengubah keputusannya. Hatinya telah tertutup bagi Dani dan sama sekali dia tidak berpikir untuk membukanya lagi."Memulai lagi, Mas? Jangan buat aku ketawa. Setelah semua yang telah kamu perbuat padaku, kamu ingin kita memulai lagi? Jangan bikin aku ketawa, Mas." Yang ada di hati Reni kini hanya rasa benci dan juga kecewa, mana bisa dia harus memulai semuanya lagi dengan Dani? Itu hal yang sangat menakutkan baginya. Atau lebih seperti sebuah trauma yang amat sangat mencekam.Reni melewati kehamilannya seorang diri. Dani hanya sesekali saja berada di sampingnya. Dan itupun tak menampilkan tanda-tanda jika Dani menyayangi anak yang ada dalam kandungan Reni. Tak pernah sekali pun Dani mengelus perut Reni, mencoba berinteraksi dengan bayi yang dikandung Reni. Dan kini Dani dengan tidak tahu malunya meminta Reni untuk memulai semuanya dari awal?"Ren! Apa kamu nggak mikirin anak kita? Dia masih butuh sosok
Setelah kepulangan Reni ke rumah orang tuanya, Dani terus saja menghubungi Reni. Dia selalu berbicara ingin memulai lagi semuanya dengan Reni. Tapi, Reni masih keukeuh dnegan keputusannya. Dia sudah enggan bertemu dengan Dani."Ren! Dani datang dengan kedua orang tuanya ingin bicara sama kamu." Yanti masuk ke kamar Reni yang sedang menyusui bayinya. Reni membuang napas panjang kala mendengar nama Dani."Nanti, Buk. Aku masih netekin si Rey." Sebenarnya sudah sangat malas Reni berhadapan dengan keluarga itu. Tetapi, dia masih menghormati kedua orang tua Dani, meski mereka tidak pernah berlaku baik padanya.Yanti hanya menuruti anaknya. Dia tidak enak hati jika mengusir besannya. Walau bagaimanapun, mereka masih orang yang memiliki unggah ungguh."Sebentar, Reni sedang menyusui Rey." Yanti ikut duduk di ruang tamu, menemani tamunya. Dia sendiri sebenarnya geram dengan perilaku Dani dan juga orang tuanya. Jika orang tua yang benar, anaknya selingkuh, mereka akan men
Setelah Wahyu berbicara dengan ibunya, akhirnya Tari diperbolehkan untuk sementara tinggal di situ. Dan Dani diminta untuk datang ke rumah keluarga Tari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.Beberapa hari yang lalu, Tari melahirkan secara sesar. Jika dihitung, itu selang dua hari dari waktu Reni melahirkan. Mungkin bisa dikatakan itu sebagai untung double bagi Dani. Atau mungkin kepusingan berlipat bagi lelaki tak memiliki pekerjaan tetap seperti Dani. Hanya modal rayuan dan juga modal dengkul, lelaki tamak itu ingin memiliki istri lebih dari satu. Minus akhlak maupun harta, tetapi begitu serakah.Lelaki baik tidak akan mengkhianati istrinya, begitu pula wanita baik. Dia tidak akan datang di antara rumah tangga orang lain. Apalagi jika hanya dicurhati oleh lelaki bersuami tentang masalah rumah tangganya. Jika dia belum mengantungi surat cerai, itu tandanya dia masih lelaki beristri.Sekarang mereka berdua sama-sama pusing. Tari dengan statusnya, sedang Dani
Tari menangis sejadi-jadinya. Dia tak menyangka ibunya akan menyalahkannya seperti itu. Dia berpikir jika ibunya akan memeluknya dan memberinya kekuatan. Tapi nyatanya, jauh panggang dari pada api. Bahkan tak ada satu pun yang terlihat membelanya kini. "Bu, aku anakmu kenapa Ibu malah menyalahkanku?" tanya Tari dengan masih terisak. Ibunya membuang muka. Dia merasa kecewa dengan anaknya itu. "Kamu mau tahu kenapa?" Ibu Tari ikut terisak bersama dengan anaknya. Rasanya sakit sekali hatinya kali ini. Kenapa anaknya sendiri sekarang yang merusak rumah tangga orang lain. "Karena ibu pernah berada di posisi wanita itu. Seorang istri yang diselingkuhi suaminya dengan wanita lain." Semua orang yang ada di ruangan itu kaget, kecuali paman Tari dan juga ayahnya. "A-apa?" Tari melihat ke arah ayahnya yang tengah menunduk. Sepertinya ayahnya malu kala aibnya di masa lalu akhirnya terbongkar saat ini di hadapan anak-anaknya. Lutut Tari seketik
Tari menunggu Wahyu dengan perasaan gelisah. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Dia takut tapi juga tak bisa melakukan semua itu sendiri. Dia butuh orang lain saat seperti ini.Tari berbenah dengan perasaan hancur. Dia yang awalnya mendambakan masa depan bersama dengan Dani, harus menelan pil pahit karena sikap Dani yang plin plan dan juga sikap keras kepala Reni yang tak mau dimadu.Air mata terus meleleh membasahi pipi. Semakin deras hingga Tari seakan lupa cara untuk berhenti. Dia tak bisa seperti ini. Awalnya sudah salah, sampai kapan pun pasti tetap salah.Saat membuka lemari dan memberesi bajunya, Tari menemukan beberapa baju milik Dani. Dia mendekat sejenak lantas memasukkannya ke kantung yang berbeda."Ini ijazah sama akte Mas Dani enaknya gimana?" Tari ragu, Dani memang sudah berencana kabur dengan Tari setelah Tari lahiran. Tetapi akhirnya Dani kembali plin plan dan memilih untuk kembali pada Reni. Hancur sudah semua harapan