"Aku mesti gimana, Mas?" Mata Tari berkaca-kaca mengingat saat ini dia tidak akan menyandang status sebagai istri sah. Bagaimana status anaknya kelak?
Tak ada jawaban dari Dani, karena dia juga tidak tahu mesti bagaimana. Tangannya terus berusaha menepuk punggung Tari agar wanita itu bisa tenang, meski tidak banyak membantu. Tari malah menangis semakin kencang.
Dani merasa geram dengan sikap Reni yang dinilainya sangat keras kepala dan tidak memiliki hati nurani. Seharusnya sebegai sesama wanita, Reni bisa memikirkan jika dia dalam posisi Tari, bukan malah semakin memperburuk keadaan.
'Apa susahnya tinggal memberi ijin untukku menikah lagi?' gerutu Dani dalam hati. Entah siapa yang mereka nilai tidak memiliki nurani? Para pengkhianat itu atau seorang istri yang sudah dikhianati?
"Bu ... saya mesti gimana?" Kini Tari menatap ke arah Halimah. Wanita paruh baya itu juga tidak menjawab. Hanya menghela napas panjang dan setelahnya dia beranjak dari duduk
Hari-hari berat Reni lalui di rumah itu. Dia tetap melakukan tugasnya sebagai seorang istri tentunya, selain melayani masalah hubungan badan. Dia benar-benar trauma disentuh oleh Dani. Ada rasa jijik dan juga enggan saat Dani menyentuhnya.Masalah bisnisnya dia serahkan ke Zaki dan ibunya. Ada sedikit penurunan meski tak sampai membuat rugi. Tapi, meski begitu Reni sangat bersyukur memiliki keluarga yang bisa membantunya kala seperti ini.Hubungannya dengan Yudha pun seperti biasa. Hanya berputar masalah bisnis, tidak lebih. Reni selalu menghindar saat Yudha terang-terangan mengungkapkan perasaannya.[Ren! Nggak bisakah kamu mempertimbangkan keputusanmu?] Setelah sebelumnya berbalasan pesan membahas tentang pekerjaan, tiba-tiba saja Yudha membahas tentang hubungan pribadinya.Reni tak langsung membalas pesan lelaki itu. Dia bingung harus bagaimana. Yudha lelaki baik dan Reni sangat tahu dia tulus banget sama dia, tatepi ini waktu yang salah. Dia masih mem
Pagi ini Reni bangun seperti biasanya. Dalam hati dia telah bertekad untuk menemui Dani, di mana pun dia berada. Sudah beberapa hari ini Dani tidak pulang dan juga tidak memberi kabar.Reni sudah cukup geram selama ini. Dia diam, namun Dani malah semakin menjadi. Dipikirannya, Reni hanyalah wanita bodoh yang tidak bisa melakukan apa pun. Padahal hal mudah bagi Reni untuk mengetahui di mana sebenarnya mereka tinggal. Sampai saat ini, Dani belum tahu jika Reni bisa melacak keberadaannya menggunakan alamat email yang terdaftar di ponselnya. Dan Reni memang tidak berniat memberitahukan hal itu."Mau ke mana kamu, Ren?" tanya Halimah saat Reni ke luar rumah sudah menyelempangkan tas di bahunya. Halimah heran karena selama pulang kembali ke rumah ini, Reni tak pernah sekali pun pergi. Terlebih kini perutnya mulai membesar dan hanya tinggal menghitung hari."Mencari Mas Dani. Ibunya sendiri tak peduli anaknya itu yang tidak pulang meninggalkan istrinya yang tengah hami
Akhirnya Reni tiba juga di sebuah terminal. Dari lokasi yang dia tahu lewat maps, tempat Dani tinggal selama ini ada di sekitar sini. Reni bertanya pada orang yang ada di sana tentang tempat yang ditunjukkan oleh maps itu. Dia harus naik angkot sekali lagi untuk sampai di sana. Untung saja perutnya hanya begah, bukan karena bayinya akan keluar. Buktinya, Reni baik-baik saja ketika keluar dari angkot tadi. Kini Reni memilih untuk berdiri saja. Mengambil gawai di dalam tasnya. [Mas aku tunggu di terminal XX. Kalau nggak datang juga, aku bakalan ke kos kamu untuk bilang sama Pak RT-nya, biar kalian di arak sekalian.] Send to Suami Brengsek. Sengaja Reni menamai nomor Dani dengan nama itu. Nyatanya suaminya itu memang benar-benar brengsek. Memaksa Reni ikut pulang tetapi malah lebih sering tidur bersama Tari. Reni sendiri tak yakin, apakah kedua manusia itu telah menikah atau belum. Merasa capek, Reni duduk di bangku pinggir terminal. Menung
"Tar. Aku nanti pulang ke rumah, ya?" Merasa sudah lama tidak pulang, tiba-tiba Dani teringat Reni. Bagaimana kondisi kandungannya? Apa baik-baik saja? Tiba-tiba hatinya merasa tidak enak.Tari cemberut. Tak ingin berpisah dari Dani di kala kehamilannya telah menyentuh usia 9 bulan. Dia takut jika sewaktu-waktu akan melahirkan."Aku udah mau lahiran, lho, Mas," rengek wanita itu. Dia sangat tidak ikhlas jika Dani menemui Reni, istrinya."Perasaan Mas nggak enak, Tar." Keduanya tengah berbaring di kasur lantai kamar kos yang sempit. Beberapa bulan yang lalu, Tari diberhentikan dari pekerjaannya karena sering ijin tidak masuk kerja. Kehamilannya sering kali membuatnya merasa tidak enak badan, sehingga menjadikannya tak kuat untuk bekerja.Tari berdecak, "Gimana kalau aku lahiran, Mas? Aku di sini sendirian lho." Dani menghela napas. Benar yang disebut Tari. Jika Reni, dia di rumah masih ada Halimah dan juga Karin. Dani pun memutuskan untuk tidak pulang lagi
Dani melajukan motornya secepat yang dia bisa. Di satu sisi, takut Reni kenapa-kenapa. Tapi di sini lain, dia takut Reni membuktikan ucapannya. Dani yakin Reni bisa sangat nekat jika sedang marah.Reni duduk dengan tenang di kursi panjang itu. Si ibu-ibu masih berada di sana, mungkin juga sedang menunggu jemputan."Suaminya sudah mau datang, Nak?" tanya ibu itu.Reni mengangguk, "Iya, Bu." Setelahnya tidak ada lagi pembicaraan antara mereka. Pandangan Reni tertuju pada handphone yang ada di tangannya. Hatinya sebenarnya sangat cemas kali ini. Rasa begah terus terasa saat dia duduk terlalu lama seperti ini.Sedikit menunggu lebih lama, akhirnya motor Dani berhenti tepat di depan Reni duduk. Dia mencoba tersenyum pada Reni, yang dibalas wanita itu dengan senyum kecut. Sungguh jika tidak sedang ada orang lain, dia tidak akan membalas senyum Dani."Naik!" titah Dani pada istrinya."Permisi, Bu." Reni tersenyum pada ibu yang duduk di
Reni merasa kesal dengan Dani hingga malas melihat wajah pria itu. Sungguh sangat menyakitkan berada bersama Dani saat ini.Reni merasakan pinggangnya terasa nyeri, "Apa ini sudah waktunya?" gumam wanita itu. Dia sedang ada di kamar, sedang Dani masih di luar.Reni bingung, haruskah dia memberitahukan masalah ini pada Dani?"Nggak usahlah. Mungkin belum waktunya juga." Reni rebahan, berharap rasa nyeri di pinggang menghilang. Dia berusaha mengatur napasnya. Berusaha miring, karena tak nyaman dalam posisi terlentang."Kok nggak enak semua, ya?" Reni berusaha mencari posisi ternyamannya. Sungguh dia sama sekali tidak menemukan kenyamanan.Napas Reni semakin berat, "Bilang Mas Dani, ah." Meski terpaksa, akhirnya Reni memutuskan untuk memberi tahu Dani. Apa tanggapan lelaki jika Reni berkeluh padanya?"Mas." Reni mendatangi Dani yang masih sibuk dengan ponselnya. Entah dia sedang berbalas pesan dengan siapa? Reni belum mau memikirkan itu dulu."Apa, Re
Reni tak menghiraukan Dani yang terus mengoceh ingin mengantarkannya ke bidan. Dia segera mengambil gawainya dan memesan taksi online dari salah satu aplikasi. Menunggu sejenak di ruang tamu."Ayolah, Ren. Aku antar kamu ke bidan. Apa kata orang-orang jika tahu kamu pesen taksi sedang aku ada di rumah?" Dani terus mengikuti Reni yang tengah duduk tak tenang karena pinggangnya yang terus merasa nyeri."Itu urusan kamu, Mas. Kenapa tadi kamu nggak langsung nganter aku saat aku minta tolong?" Reni memalingkan wajahnya, merasa kesal dengan lelaki yang ada di sebelahnya itu. Dalam kondisi seperti ini, nyatanya bukan kondisinya dan juga bayi dalam perutnya yang dikhawatirkan Dani. Yang Dani pikirkan hanyalah pandangan orang-orang terhadapnya."Aku tadi belum yakin, Ren. Tapi, sekarang aku yakin kok.""Setelah tanya sama selingkuhan kamu itu, baru kamu yakin?" Reni mengangkat sebelah sudut bibirnya. Merasa miris dengan kenyataan ini."Tolongla
"Sabar, Nak. Jangan keluar di sini." Sebelah tangan Reni mengelus perutnya, berusaha menenangkan anak dalam perutnya yang mulai meronta minta keluar.Sopir taksi itu pun ikutan panik, dia segera melajukan taksinya secepat yang dia bisa. Reni mulai mengatur napasnya. Berdoa semoga anaknya mau menunggu sedikit lebih lama lagi."Bentar, Mbak. Ini sudah hampir sampai." Berkali-kali sopir taksi itu menoleh ke arah Reni, merasa kasihan. Dia ingat istrinya yang ada di desa. Apa wanita jika hendak melahirkan seperti ini? Selama ini dia merantau dan belum pernah mendampingi istrinya melahirkan.Pelang tanda rumah sakit semakin dekat, sopir taksi itu pun merasa lega. Dia segera mengambil reting kiri dan memelankan taksinya. Taksi masuk ke parkiran rumah sakit. Supir taksi itu ikut turun membantu Reni untuk menuju ke IGD. Tak tega rasanya jika meninggalkan wanita itu sendirian"Terima kasih, Pak." Hanya itu yang bisa Reni ucapkan ketika bapak itu membantunya hingga
Reni memasak makanan yang menjadi ciri khas di rumah makannya, rica-rica kelinci. Selama ini memang ibunya yang memasak di sana, sementara Reni kembali ke rumah Dani. Namun, saat Reni kembali, dia memutuskan untuk memasak sendiri, kasihan Yanti katanya. Kondisi Yanti semakin lemah, jadi dia tidak boleh capek-capek.Hidangan sudah siap, dia bersiap menyajikan untuk Bram dan Yudha. Berkali-kali dia menarik napas karena kali ini dia berniat untuk membicarakan hal ini dengan keduanya. Dia harus tegas agar keduanya tak terluka."Makanan sudah siap, silakan dimakan." Reni tersenyum ke arah dua pria yang masih saling menatap dengan tatapan yang tak suka. Sungguh Reni sangat merasa bersalah kepada keduanya. Apa dia yang jahat karena seolah memanfaatkan mereka berdua?Reni meletakkan masing-masing satu porsi di hadapan Bram dan juga Yudha. Setelah itu, dia menarik kursi di antara keduanya."Makan dulu! Ada yang pengen aku omongin." Reni berusaha sesantai mungkin,
Bram tak banyak berharap pada Reni. Dia tahu jika rasa sakit Reni memang bisa membuatnya trauma. Mungkin dia yang terlalu terburu-buru hingga membuat Reni merasa takut."Aku antar ke mana ini, Ren?""Ke warung aja, Bram. Masih ada urusan di sana."Lebih baik tak memberi harapan untuk keduanya. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Reni saat ini. Dia harus sangat berhati-hati kini. Karena hidup tak melulu soal cinta. Hubungan pun bukan hanya suami istri. Ada hubungan yang lebih luas dari pada itu."Oke!" Bram pun menerima penolakan Reni kali ini. Tak mudah bagi seorang wanita yang telah diselingkuhi, membuka hatinya untuk lelaki lain. Dan itu terjadi pada Reni. Lama belum hamil, disalahkan oleh orang-orang sekitar.Saat hamil, malah dia diselingkuhi oleh suaminya. Di samping itu, dalam kehamilannya, suaminya itu malah semakin melukai hatinya. Berjuang sendiri hingga hamil besar, tanpa kasih sayang dan juga dukungan suami. Bahkan saat det
"Kamu kalau lagi ngambek cantik, deh.""Gombalanmu udah nggak mempan ke aku.""Aku nggak nggombal, sumpah! Mau nggak jadi istri aku?"Reni tercengang mendengar apa yang dikatakan oleh Bram barusan. Wanita itu melongo, nggak nyangka jika lelaki yang berprofesi sebagai pengacara itu memiliki rasa untuknya. Persoalan dengan Yudha saja sudah membuatnya merasa sangat pusing, kini ditambah dengan Bram.Apa ini artinya, Bram sedang melamarnya dengan tidak romantis? Di dalam mobil, tanpa cincin, tanpa candle light dinner yang romantis. Tapi, bukan itu sebenarnya ini permasalahannya. Reni belum sembuh benar hatinya saat ini. Masih ada trauma yang menghinggapi hatinya."Kenapa kamu, Ren?" Melihat Reni yang malah bengong, membuat Bram penasaran. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh wanita di sebelahnya."Uhm ... Bram." Reni berusaha mencari kata yang tepat untuk menjelaskan bahwa dia belum bisa menerima Bram. Tapi, dia juga bingung karena Bram telah mem
Setelah proses yang panjang, akhirnya Reni dan Dani resmi bercerai. Meski awalnya Dani masih keukeuh ingin mempertahankan pernikahan ini, namun Reni mengantungi banyak bukti.Dengan bantuan dari Bram, akhirnya Reni dapat lolos juga dari jeratan Dani. Hubungan toxic yang hanya menyakiti dirinya sendiri. Hubungan yang sehat tak akan menyakiti."Puas sekarang kamu, Ren. Misahin anak sama ayahnya?" Dani menghampiri Reni di depan pengadilan agama. Reni saat ini tengah bersama dengan Bram. Dani melirik ke arah pengacara itu dengan muka kesal. Dia tak mungkin menyewa pengacara, duit aja nggak punya. Terlebih dia juga tengah memikirkan tuntutan dari keluarga Tari tentang uang yang digunakan untuk operasi. Kerjaan aja nggak pasti, bagaimana dia bisa dapat uang?Reni memutar bola mata malas, menghadapi Dani harus berkali-kali menghela napas panjang. Sepertinya lelaki macam itu akan sulit untuk melihat keburukannya sendiri."Maaf, Mas. Tidak ada kepentingan lagi antar
Reni tersenyum getir menanggapi permintaan Dani. Dia tidak mungkin mengubah keputusannya. Hatinya telah tertutup bagi Dani dan sama sekali dia tidak berpikir untuk membukanya lagi."Memulai lagi, Mas? Jangan buat aku ketawa. Setelah semua yang telah kamu perbuat padaku, kamu ingin kita memulai lagi? Jangan bikin aku ketawa, Mas." Yang ada di hati Reni kini hanya rasa benci dan juga kecewa, mana bisa dia harus memulai semuanya lagi dengan Dani? Itu hal yang sangat menakutkan baginya. Atau lebih seperti sebuah trauma yang amat sangat mencekam.Reni melewati kehamilannya seorang diri. Dani hanya sesekali saja berada di sampingnya. Dan itupun tak menampilkan tanda-tanda jika Dani menyayangi anak yang ada dalam kandungan Reni. Tak pernah sekali pun Dani mengelus perut Reni, mencoba berinteraksi dengan bayi yang dikandung Reni. Dan kini Dani dengan tidak tahu malunya meminta Reni untuk memulai semuanya dari awal?"Ren! Apa kamu nggak mikirin anak kita? Dia masih butuh sosok
Setelah kepulangan Reni ke rumah orang tuanya, Dani terus saja menghubungi Reni. Dia selalu berbicara ingin memulai lagi semuanya dengan Reni. Tapi, Reni masih keukeuh dnegan keputusannya. Dia sudah enggan bertemu dengan Dani."Ren! Dani datang dengan kedua orang tuanya ingin bicara sama kamu." Yanti masuk ke kamar Reni yang sedang menyusui bayinya. Reni membuang napas panjang kala mendengar nama Dani."Nanti, Buk. Aku masih netekin si Rey." Sebenarnya sudah sangat malas Reni berhadapan dengan keluarga itu. Tetapi, dia masih menghormati kedua orang tua Dani, meski mereka tidak pernah berlaku baik padanya.Yanti hanya menuruti anaknya. Dia tidak enak hati jika mengusir besannya. Walau bagaimanapun, mereka masih orang yang memiliki unggah ungguh."Sebentar, Reni sedang menyusui Rey." Yanti ikut duduk di ruang tamu, menemani tamunya. Dia sendiri sebenarnya geram dengan perilaku Dani dan juga orang tuanya. Jika orang tua yang benar, anaknya selingkuh, mereka akan men
Setelah Wahyu berbicara dengan ibunya, akhirnya Tari diperbolehkan untuk sementara tinggal di situ. Dan Dani diminta untuk datang ke rumah keluarga Tari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.Beberapa hari yang lalu, Tari melahirkan secara sesar. Jika dihitung, itu selang dua hari dari waktu Reni melahirkan. Mungkin bisa dikatakan itu sebagai untung double bagi Dani. Atau mungkin kepusingan berlipat bagi lelaki tak memiliki pekerjaan tetap seperti Dani. Hanya modal rayuan dan juga modal dengkul, lelaki tamak itu ingin memiliki istri lebih dari satu. Minus akhlak maupun harta, tetapi begitu serakah.Lelaki baik tidak akan mengkhianati istrinya, begitu pula wanita baik. Dia tidak akan datang di antara rumah tangga orang lain. Apalagi jika hanya dicurhati oleh lelaki bersuami tentang masalah rumah tangganya. Jika dia belum mengantungi surat cerai, itu tandanya dia masih lelaki beristri.Sekarang mereka berdua sama-sama pusing. Tari dengan statusnya, sedang Dani
Tari menangis sejadi-jadinya. Dia tak menyangka ibunya akan menyalahkannya seperti itu. Dia berpikir jika ibunya akan memeluknya dan memberinya kekuatan. Tapi nyatanya, jauh panggang dari pada api. Bahkan tak ada satu pun yang terlihat membelanya kini. "Bu, aku anakmu kenapa Ibu malah menyalahkanku?" tanya Tari dengan masih terisak. Ibunya membuang muka. Dia merasa kecewa dengan anaknya itu. "Kamu mau tahu kenapa?" Ibu Tari ikut terisak bersama dengan anaknya. Rasanya sakit sekali hatinya kali ini. Kenapa anaknya sendiri sekarang yang merusak rumah tangga orang lain. "Karena ibu pernah berada di posisi wanita itu. Seorang istri yang diselingkuhi suaminya dengan wanita lain." Semua orang yang ada di ruangan itu kaget, kecuali paman Tari dan juga ayahnya. "A-apa?" Tari melihat ke arah ayahnya yang tengah menunduk. Sepertinya ayahnya malu kala aibnya di masa lalu akhirnya terbongkar saat ini di hadapan anak-anaknya. Lutut Tari seketik
Tari menunggu Wahyu dengan perasaan gelisah. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Dia takut tapi juga tak bisa melakukan semua itu sendiri. Dia butuh orang lain saat seperti ini.Tari berbenah dengan perasaan hancur. Dia yang awalnya mendambakan masa depan bersama dengan Dani, harus menelan pil pahit karena sikap Dani yang plin plan dan juga sikap keras kepala Reni yang tak mau dimadu.Air mata terus meleleh membasahi pipi. Semakin deras hingga Tari seakan lupa cara untuk berhenti. Dia tak bisa seperti ini. Awalnya sudah salah, sampai kapan pun pasti tetap salah.Saat membuka lemari dan memberesi bajunya, Tari menemukan beberapa baju milik Dani. Dia mendekat sejenak lantas memasukkannya ke kantung yang berbeda."Ini ijazah sama akte Mas Dani enaknya gimana?" Tari ragu, Dani memang sudah berencana kabur dengan Tari setelah Tari lahiran. Tetapi akhirnya Dani kembali plin plan dan memilih untuk kembali pada Reni. Hancur sudah semua harapan