Akhirnya Reni tiba juga di sebuah terminal. Dari lokasi yang dia tahu lewat maps, tempat Dani tinggal selama ini ada di sekitar sini.
Reni bertanya pada orang yang ada di sana tentang tempat yang ditunjukkan oleh maps itu. Dia harus naik angkot sekali lagi untuk sampai di sana.
Untung saja perutnya hanya begah, bukan karena bayinya akan keluar. Buktinya, Reni baik-baik saja ketika keluar dari angkot tadi. Kini Reni memilih untuk berdiri saja. Mengambil gawai di dalam tasnya.
[Mas aku tunggu di terminal XX. Kalau nggak datang juga, aku bakalan ke kos kamu untuk bilang sama Pak RT-nya, biar kalian di arak sekalian.] Send to Suami Brengsek.
Sengaja Reni menamai nomor Dani dengan nama itu. Nyatanya suaminya itu memang benar-benar brengsek. Memaksa Reni ikut pulang tetapi malah lebih sering tidur bersama Tari. Reni sendiri tak yakin, apakah kedua manusia itu telah menikah atau belum.
Merasa capek, Reni duduk di bangku pinggir terminal. Menung
"Tar. Aku nanti pulang ke rumah, ya?" Merasa sudah lama tidak pulang, tiba-tiba Dani teringat Reni. Bagaimana kondisi kandungannya? Apa baik-baik saja? Tiba-tiba hatinya merasa tidak enak.Tari cemberut. Tak ingin berpisah dari Dani di kala kehamilannya telah menyentuh usia 9 bulan. Dia takut jika sewaktu-waktu akan melahirkan."Aku udah mau lahiran, lho, Mas," rengek wanita itu. Dia sangat tidak ikhlas jika Dani menemui Reni, istrinya."Perasaan Mas nggak enak, Tar." Keduanya tengah berbaring di kasur lantai kamar kos yang sempit. Beberapa bulan yang lalu, Tari diberhentikan dari pekerjaannya karena sering ijin tidak masuk kerja. Kehamilannya sering kali membuatnya merasa tidak enak badan, sehingga menjadikannya tak kuat untuk bekerja.Tari berdecak, "Gimana kalau aku lahiran, Mas? Aku di sini sendirian lho." Dani menghela napas. Benar yang disebut Tari. Jika Reni, dia di rumah masih ada Halimah dan juga Karin. Dani pun memutuskan untuk tidak pulang lagi
Dani melajukan motornya secepat yang dia bisa. Di satu sisi, takut Reni kenapa-kenapa. Tapi di sini lain, dia takut Reni membuktikan ucapannya. Dani yakin Reni bisa sangat nekat jika sedang marah.Reni duduk dengan tenang di kursi panjang itu. Si ibu-ibu masih berada di sana, mungkin juga sedang menunggu jemputan."Suaminya sudah mau datang, Nak?" tanya ibu itu.Reni mengangguk, "Iya, Bu." Setelahnya tidak ada lagi pembicaraan antara mereka. Pandangan Reni tertuju pada handphone yang ada di tangannya. Hatinya sebenarnya sangat cemas kali ini. Rasa begah terus terasa saat dia duduk terlalu lama seperti ini.Sedikit menunggu lebih lama, akhirnya motor Dani berhenti tepat di depan Reni duduk. Dia mencoba tersenyum pada Reni, yang dibalas wanita itu dengan senyum kecut. Sungguh jika tidak sedang ada orang lain, dia tidak akan membalas senyum Dani."Naik!" titah Dani pada istrinya."Permisi, Bu." Reni tersenyum pada ibu yang duduk di
Reni merasa kesal dengan Dani hingga malas melihat wajah pria itu. Sungguh sangat menyakitkan berada bersama Dani saat ini.Reni merasakan pinggangnya terasa nyeri, "Apa ini sudah waktunya?" gumam wanita itu. Dia sedang ada di kamar, sedang Dani masih di luar.Reni bingung, haruskah dia memberitahukan masalah ini pada Dani?"Nggak usahlah. Mungkin belum waktunya juga." Reni rebahan, berharap rasa nyeri di pinggang menghilang. Dia berusaha mengatur napasnya. Berusaha miring, karena tak nyaman dalam posisi terlentang."Kok nggak enak semua, ya?" Reni berusaha mencari posisi ternyamannya. Sungguh dia sama sekali tidak menemukan kenyamanan.Napas Reni semakin berat, "Bilang Mas Dani, ah." Meski terpaksa, akhirnya Reni memutuskan untuk memberi tahu Dani. Apa tanggapan lelaki jika Reni berkeluh padanya?"Mas." Reni mendatangi Dani yang masih sibuk dengan ponselnya. Entah dia sedang berbalas pesan dengan siapa? Reni belum mau memikirkan itu dulu."Apa, Re
Reni tak menghiraukan Dani yang terus mengoceh ingin mengantarkannya ke bidan. Dia segera mengambil gawainya dan memesan taksi online dari salah satu aplikasi. Menunggu sejenak di ruang tamu."Ayolah, Ren. Aku antar kamu ke bidan. Apa kata orang-orang jika tahu kamu pesen taksi sedang aku ada di rumah?" Dani terus mengikuti Reni yang tengah duduk tak tenang karena pinggangnya yang terus merasa nyeri."Itu urusan kamu, Mas. Kenapa tadi kamu nggak langsung nganter aku saat aku minta tolong?" Reni memalingkan wajahnya, merasa kesal dengan lelaki yang ada di sebelahnya itu. Dalam kondisi seperti ini, nyatanya bukan kondisinya dan juga bayi dalam perutnya yang dikhawatirkan Dani. Yang Dani pikirkan hanyalah pandangan orang-orang terhadapnya."Aku tadi belum yakin, Ren. Tapi, sekarang aku yakin kok.""Setelah tanya sama selingkuhan kamu itu, baru kamu yakin?" Reni mengangkat sebelah sudut bibirnya. Merasa miris dengan kenyataan ini."Tolongla
"Sabar, Nak. Jangan keluar di sini." Sebelah tangan Reni mengelus perutnya, berusaha menenangkan anak dalam perutnya yang mulai meronta minta keluar.Sopir taksi itu pun ikutan panik, dia segera melajukan taksinya secepat yang dia bisa. Reni mulai mengatur napasnya. Berdoa semoga anaknya mau menunggu sedikit lebih lama lagi."Bentar, Mbak. Ini sudah hampir sampai." Berkali-kali sopir taksi itu menoleh ke arah Reni, merasa kasihan. Dia ingat istrinya yang ada di desa. Apa wanita jika hendak melahirkan seperti ini? Selama ini dia merantau dan belum pernah mendampingi istrinya melahirkan.Pelang tanda rumah sakit semakin dekat, sopir taksi itu pun merasa lega. Dia segera mengambil reting kiri dan memelankan taksinya. Taksi masuk ke parkiran rumah sakit. Supir taksi itu ikut turun membantu Reni untuk menuju ke IGD. Tak tega rasanya jika meninggalkan wanita itu sendirian"Terima kasih, Pak." Hanya itu yang bisa Reni ucapkan ketika bapak itu membantunya hingga
"Alhamdulillah. Anaknya lahir dengan selamat. Anaknya di-adzan dulu, Pak." Bidan yang membantu proses kelahiran Reni memebri tahu Dani. Sementara Reni dalam proses melahirkan, Dani tak diperbolehkan masuk meskipun untuk menemani. Reni sendiri tak masalah, karena dia memang bersiap untuk menghadapi ini seorang diri. Tak ada pilihan lain bagi Reni untuk membiarkan Dani berada di sana. Dia langsung pembukaan 8 sesaat suaminya itu datang. Dan rasa mulas yang dia rasakan semakin lama semakin memenuhi perut. Dani masuk, tanpa sadar, Dani pun melengkungkan bibirnya, mengetahui anaknya telah lahir dengan selamat. Dia segera masuk ke dalam ruangan untuk meng-adzani anaknya. "Jagoan ayah," gumam Dani seorang diri. Seburuk-burukna Dani, nyatanya dia masih bisa bahagia menyambut kehadiran darah dagingnya. Dia bahkan tak henti-henti melihat ke arah anaknya itu yang kini tengah menangis. Lebih baik bayi yang baru lahir itu menangis dari pada hanya diam. Pasti yang me
Dani hanya bergeming. Dia sudah kehabisan alasan untuk membuat Reni tetap tinggal. Dia tak menyangka jika Reni mengetahui pembicaraannya dengan Tari."Dari mana dia tahu pesanku dengan Tari?" Dani masih memikirkan berbagai kemungkinan, "Apa mungkin Reni sebenarnya tahu kunci ponselku?" Dani galau jika harus kehilangan keduanya.Reni sudah jauh, dai pergi dan tidak akan pernah lagi menoleh pada Dani. Baginya, kini Dani akan menjadi masa lalu. Dia akan menata masa depannya bersama anaknya. Tak lagi ada Dani atau siapa pun.Reni pulang dengan dijemput oleh keluarganya dengan menyewa mobil agar Reni lebih nyaman. Sebenarnya, Yudha sudah menawarkan diri untuk menjemput Reni, tetapi wanita itu menolak. Reni tak mau lagi merepotkan lelaki itu setelah apa yang dia lakukan padanya.Keputusan sudah diambil dan Reni tak akan pernah berbalik lagi. Reni sudah memantapkan hatinya untuk menggugat cerai Dani saat dia sudah melahirkan. Sudah cukup semua luka dan der
Flashback Tari Sepeninggalan Dani, Tari begitu kacau. Dia bingung bagaimana jika nanti Dani tidak kembali? Dia modar-mandir di dalam kamar kos. Kandungannya mulai besar, mungkin nggak ada seminggu anaknya bakalan lahir. Sebagai seorang yang telah berpengalaman, tentunya Tari cukup tahu tahu tentang tanda-tanda menjelang kelahiran. "Gimana jika Mas Dani nggak ada di sini saat aku merasakan saat itu?" Tari menggigit kuku jari tangannya. Dia berusaha tenang saat ini, meski tak pernah bisa. Hatinya terus dilingkupi perasaan khawatir dia akan melahirkan sendirian di kamar kos ini. "Aku harus menghubungi Mas Wahyu." Wahyu adalah kakak kandung Tari. Dia tak tahan untuk memendam hal ini seorang diri. Salah satu keluarganya harus tahu tentang kehamilannya. Dengan tergesa, Tari mengambil gawainya dan menghubungi kakaknya itu. Dia tidak akan memikirkan Dani lagi. Persetan dengan janji Dani yang bakal menikahinya. Dia tak mau mati konyol di kosan sendiri.