Seminggus setelah insiden mempermalukan diriku di kebun, tidak terdengar kabar apapun tentang Mas Hamdan atau Maura. Katanya dia akan memberiku lima puluh persen dari nilai aset, maka harusnya kata kata itu dia tepati sebelum semua orang mencap Mas Hamdan hanya berani di bibir saja.Tapi ... bukankah Mas Hamdan dalam kesulitan ekonomi, lalu uang dari mana yang akan dia dapatkan untuk mengganti rugi padaku, apa dia akan meminjam bank atau malah menjual kebun dan sawah ke juragan Herman? Ah, hatiku gamang. Tapi seperti yang dikatakan suami, jika dia memang ingin merampas demi memuaskan hati, maka berikan saja apa keinginannya. Percuma menahan karena pada akhirnya sia sia saja. Buang tenaga dan waktu.Kuambil ponsel, kuhubungi Mas Irsyad yang baru sehari kemarin pulang ke rumah lalu pergi lagi demi bisnis-bisnisnya. Kuhubungi suamiku lalu tak lama kemudian dia mengangkatnya."Assalamualaikum aish, apa kabar?""Aku sudah putuskan Mas, demi terbebas dari semua ini aku akan pindah ke kota
Sejak punya suami, aku selalu membicarakan segala sesuatu kepadanya, termasuk apa saja kegiatan yang kulakukan dan kemanapun aku hendak pergi, aku selalu minta pendapatnya. Kodratnya memang harus demikian ya?Pun dengan apa yang terjadi hari ini, setelah renteten panggilan tak terjawab dari Maura, pikiranku terus sibuk berkutat pada wanita muda yang diperistri Mas Hamdan ketika umurnya belum genap dua puluh tahun itu. Kepanikan yang digambarkan padaku lewat telepon tadi terus terngiang-ngiang di kepala.Bisakah dia merawat Mas Hamdan? bisakah dia menangangi admistrasi di rumah sakit? sudahlah dia memberi orang yang pernah jadi suamiku makan, dan sudahkah dia memberi tahu keluarga apa yang terjadi?Rasa rasanya semakin kucoba mengalihkan perhatian semakin pusing diri ini. Kalau aku tidak memberikan arahan, mungkinkah hamdan mati?Iya, kalau masalah akan hilang dengan matinya biang kerok itu. Tapi, bagaimana dengan anak anak yang sejak awal amat bergantung hati mereka pada ayahnya. Ba
Di sinilah aku sekarang duduk berdua dengan wanita yang terus menangisi dirinya. Kami bersandar pada kursi panjang di lorong rumah sakit, menatap dinding tanpa bicara dan hanya sibuk dengan perasaan masing masing. Kulirik wanita di sisiku, dia masih mengusap netra dan kembali memilin jemarinya dengan sedih."Apa yang masih kamu tangisi?""Aku masih syok dengan keadaan Mas Hamdan, juga bingung dengan apa yang akan kulakukan besok," jawabnya lirih."Tidak perlu terlalu memusingkan hari esok jika kau punya keyakinan dan bersandar pada Tuhan," jawabku sambil menghela nafas dan menatap dirinya, kuucapkan kata kata itu dengan nada bicara yang datar."Aku pikir aku bisa mengatasi segala sesuatu dalam hidup ini ternyata semua itu tidak mudah. Aku yang menciptakan jarak diantara kalian dan karena perbuatan diri sendiri juga yang membuat keluarga Mas Hamdan menjauh.""Kesalahan bisa luntur dengan permintaan maaf dan pengampunan. Masalah akan hilang jika dihadapi dan dicarikan solusi bukannya di
* "Bagaimana keadaan Hamdan setelah kau jenguk?" tanya suamiku yang menelponku malam ini."Detailnya aku kurang tahu karena aku tidak menjumpainya langsung. Aku hanya lihat lewat jendela kaca dan dia tertidur.""Apa semua urusan administrasi sudah selesai?""Sudah, aku juga sudah memanggil keluarganya datang.""Oh, syukurlah, aku salut padamu, Sayang.""Kenapa?""Kau tetap punya kepedulian dan rasa belas kasih di dalam hatimu.""Bukannya kamu yang menasehati saya agar saya membantu?""Ya betul, dan aku senang kau percaya arahanku."Aku tergelak mendengar jawaban Mas Irsyad, dari seberang sana dia juga ikut tertawa kecil dan menggoda."Aku merasa khawatir tadi siang takut bahwa pertemuanmu dengan Hamdan akan membuat pria itu semakin jatuh cinta karena kau yang cantik dan juga perhatian.""Hahahah, itu tidak akan terjadi, kalau pun iya, aku tidak akan menanggapi karena sekarang aku milikmu," jawabku."Sungguhkah?""Aku serius dengan itu, Mas.""Kau menjamin?""Tentu saja.""Baiklah, a
Kami sampai di rumah sakit umum kota, bangunan berlantai dua dengan dengan dinding depan yang kesemuanya dilapisi panel kaca tebal yang jika tertimpa matahari akan berwarna kehijauan. Ada ruang UGD di sebelah kiri dan lobby utama yang ada di tengah-tengah bangunan. Mas Irsyad segera membawa mobilnya ke lokasi parkir yang di taman kanan sebelah depan bangunan, berdekatan dengan parkiran motor dan anjungan tunai mandiri."Di mana Mas Hamdan berada?""Di ruang perawatan intensif, keadaannya lemah dan nyaris tidak sadarkan diri."Ngobrolnya nanti saja ayo segera lihat Hamdannya," ucap Mas Irsyad sambil mengarahkan kami ke pintu lobby utama.Dengan langkah setengah berlari kami menyusuri lorong koridor dan beberapa anak tangga juga turunan, kontur rumah sakit yang dibangun di daerah perbukitan dengan tanah yang tidak rata membuat kami berkali-kali harus melewati lantai menukik yang menuju ke kamar perawatan penyakit dalam.Kuketuk perlahan pintu kamar Mas Hamdan ucapkan salam lalu orang-or
Setelah usai berbicara dengan Mas Hamdan aku dan suamiku lantas berinisiatif untuk pamitan meninggalkan ruang perawatan mantan suamiku.Kusalami dia dan semua orang yang ada di sana lantas mengajak anak anak untuk kembali pulang ke rumah. Sewaktu akan meninggalkan lorong khusus penyakit dalam, tiba tiba Maura menahan langkahku."Oh ya, Mbak, masih ada sedikit hal yang harus saya bicarakan, tunggu sebentar saja.""Tapi ini sudah siang, aku harus ke pasar dan menyiapkan makanan," jawabku sambil melirik arloji kecil yang melingkari tangan."Gak apa apa, Bund," ucap Mas Irsyad sambil mengangguk padaku."Tapi kita sudah habiskan banyak waktu, Mas, maura bisa menyampaikannya padaku lewat telepon.""Tidak bisa lewat telepon Mbak, aku harus bicara langsung.""Baiklah, ayo duduk di kursi itu," jawabku ambil menunjuk kursi yang ada di sudut ruangan. Kami lalu melangkah beriringan ke sana dan duduk untuk bicara secara pribadi."Ada apa Maura?""Sebenarnya ini topik yang cukup serius entah tepat
Kunaiki mobil Fortuner milik suamiku lalu kami pun meluncur di jalan mulus menuju kembali ke rumah. "Apa yang terjadi dengan Maura. Kenapa dia menangis tersedu-sedu seperti tadi?""Dia terus mengeluhkan nasibnya yang tidak terduga, Mas Hamdan dan dia sering berselisih paham, lalu utang yang menumpuk juga permasalahan lain," jawabku."Mungkin itu resiko menikahi wanita muda ya, mereka mudah sekali menyerah dan mengeluh.""Masalahnya, Mas Hamdan seolah kehilangan akal dan tidak punya gairah bekerja, minatnya hilang pada semua hal sejak aku dan kamu menikah.""Apa hubungannya?""Sebenarnya tidak ada, tapi entah kenapa dia harus depresi seperti itu.""Mungkin masih cinta.""Bisa jadi, tapi maaf, aku tidak bisa membalas cintanya.""Hem ... Ayah mungkin terlalu lelah, Bund, bukan Bucin." Raihan tiba tiba menimpali, kulirik anakku yang duduk di kursi belakang, dia nampaknya tidak senang ayahnya dibicarakan demikian."Maaf.""Hanya ayah dan Tuhan yang tahu perasaan dan keinginannya, jadi
"Baiklah, tenang, jangan panik, aku akan segera menghubungi Ira," jawabku pada Maura."Kenapa dengan Mbak Ira?""Aku akan memintanya datang untuk membantumu," jawabku."Tapi, aku minta bantuan pada Mbak Aisyah, bukan Mbak Ira.""Bukannya tidak mau membantu, tapi aku bingung ...""Bingung kenapa, Mbak tinggal transfer ke rekening saya," jawabnya cepat. "Bukan masalah itu ... sejujurnya aku harus bicara pada suamiku dulu.""Apakah tadi pagi Mbak memberi saya uang atau izin suaminya?""Tentu saja, sekarang aku sudah menikah, tentu saja segala sesuatu harus atas sepengetahuan suamiku," jawabku memberi alasan. Sebenarnya bukan tidak mau menolong, tapi aku tidak ingin terlalu memanjakan dan membuat Maura bergantung padaku. Masih baik aku menolongnya sedikit dan aku tak akan memberinya ruang untuk melunjak lebih dari batasan. Aku hanya orang asing bagi dia dan keluarganya sekarang. Lagipula keluarga mantan mertua juga bukan keluarga miskin jadi, untuk ukuran uang dua ratus ribu, aku yakin