Wanita itu langsung tercengang sambil memegangi pipinya yang berubah merah, kuyakin itu sakit dan pedih. "Jadi ini adalah hal yang ingin Mbak bicarakan padaku?""Beraninya kau menghubungi anakku dan minta solusi darinya. Apa kau sungguh putus asa?!""Iya, aku putus asa, kupikir ia akan membantuku bicara padamu atau minimal ....""Minimal apa? minimal kau menciptakan jarak di antara kami?! Kurang ajar sekali kau ini, sudah kuberi hati, tapi kau malah menikam jantungku!"Wanita muda yang sedang hamil 6 bulan itu itu mendongak ke arahku dengan bola mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar hendak mengatakan sesuatu tapi dia menahannya."Apa kau ingin bilang bahwa kamu saat itu tidak punya pilihan?"Tak lantas menjawab wanita itu malah menangis, tersedu sedu dan menarik perhatian semua orang yang kebetulan lewat. Ia tergugu sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan, lalu berlari ke arah kamar Mas Hamdan.Dia pasti akan membuat drama lagi dengan mengadu pada Ibu dan Hamid lebih jauh dia a
Entah cara apa yang harus kutempuh untuk memberi kesadaran serta membuat wanita muda itu tahu diri, untuk menghargai posisi dan martabatku sebagai mantan istri Mas Hamdan dan Ibu dari anak anaknya. Atau jika dia tidak bisa memberiku penghormatan seperti itu, minimal dia bisa menghargaiku sebagai manusia atau orang asing karena kami memang bukan keluarga dan secara teknis aku bukan siapa siapa baginya.Aku masih terdiam di depan si bibi dengan kepala yang masih berdenyut menahan sakit hati dan gemuruh emosi, kucoba menggali lebih dalam ke ceruk memory lalu kusimpulkan bahwa tingkah Maura sudah benar benar keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan.Kemarin sudah kuberikan dia uang dengan ikhlas, kupikir dengan itu dia bisa membeli obat Hamdan. Setelah berulang kali ia melinangkan air mata kesedihan, puluhan kali mengeluh, dia masih saja tidak tahu malu merebut lebih dariku.Lalu dia kembali minta tambahan uang lagi bahkan berani mengeluh ke Raihan. Tapi, jauh sebelum itu, tanpa sepengetahua
Kupikir tadinya aku akan menemui Maura di satu tempat lalu menghajarnya sampai di babak belur tapi kuurungkan semua nafsu hatiku karena itu bukanlah perbuatan bijak dan aku bisa berujung di penjara, terlebih hukum di zaman sekarang bisa dipelintir dengan uang dan banyak kebohongan. Aku tidak akan mendapatkan keadilan dari sisi manapun. Bukankah sudah lumrah kalau korban yang pada akhirnya malah jadi tersangka? Hmm, begitulah.Aku tidak akan memberinya hukuman dalam waktu dekat, tapi aku tetap berencana mengatakan semua itu pada Hamdan. Akan kuberi peringatan terakhir sebelum terulang lagi atau kami harus menyelesaikannya di kantor polisi.Kupikir bersikap tenang dan tetap elegan adalah pilihan terbaik, sebelum semua orang muak dengan masalah yang terus berulang ulang, Maura si licik itu akan mendapatkan banyak simpati sementara aku yang merupakan korban kelicikannya akan selalu dipersalahkan.*"Bunda minta maaf atas apa yang terjadi kemarin, Bunda tidak sengaja membuatmu kesal,"ucap
Usai mengunci rumah dan memastikan tidak ada lagi yang tertinggal, aku segera menuju garasi untuk menyusun koper di bagasi mobil. Para tetanggaku yang baik dan sudah belasan tahun bergaul serta sudah seperti saudara sendiri datang untuk mengantar kepergian kami ke kota."Mbak, jangan lupa untuk terus datang," ucap Rini."Bagaimana pun Mbak Aisyah sudah seperti saudara untuk kami semua. Tanpa Mbak Aisyah acara terasa kurang lengkap," imbuh tetanggaku yang berada di sebelah kanan rumah."Saya akan usahakan pulang sehari dalam seminggu, jadi jangan khawatir," balasku sambil menyalami mereka semua.Kupeluk para tetangga dan kerabat, juga kedua orang tuaku yang sejak pagi sudah datang untuk melihat persiapanku pindah ke kota."Bu, Aisyah pergi ya, doakan semoga kehidupan di kota lebih bahagia dan tentram," ucapku sambil merangkul beliau.Tak terasa air mata ibu mengalir, beliau nampak mengangguk kecil sambil tersenyum memaksa dirinya terlihat tegar padahal sebenarnya mungkin beliau berat j
Selagi aku dan Mas Irsyad berbicara dan suamiku bersiap untuk pergi, tiba tiba ibuku datang dan mendekati kami."Ada apa, Aisyah, ada masalah?""Sebenarnya tidak begitu serius, Bu. Aku akan menanganinya," jawab suamiku sambil tersenyum."Ini adalah momen terbaik berkumpul semua keluarga. Siapa yang ingin meninggalkannya kecuali ada masalah serius?""Begini Ibu, kami ada sedikit masalah, tapi insya Allah kami bisa mengatasinya," jawabku."Memang bukan hakku untuk menganggu privasi kalian, tapi, sekarang Irsyad adalah anakku, katakan saja yang jujur kenapa kalian begitu gelisah?""Uhm, ...." Aku agak ragu, sambil kupandangi suamiku. Dia nampak.gelisah tapi tidak punya pilihan selain bicara."Uhm, begini, Elsa mantan istri saya melakukan percobaan bunuh diri."Seketika ibu terkejut dan heran mendengar pengakuan Mas Irsyad. Dia mengernyit sambil menggeleng tak habis pikir.""Mengapa mantan istrimu sampai senekat itu?""Karena ... dia ingin kembali padaku, dia terobsesi untuk rujuk kem
Memang, jenis perempuan seperti Elsa dan Maura sangat memuakkan. Siapapun yang berurusan dengan mereka pasti kewalahan dan sulit mengendalikan apa sebenarnya kemauannya.Seperti sekarang, segala drama dan usaha dilakukan Elsa demi bisa mendapatkan atensi Mas Irsyad. Dia sampai rela menyakiti diri sendiri demi mengambil hati. Sayangnya semua usaha itu sia-sia, karena aku selalu menghalaunya. Mungkin harus ada satu scene di mana aku akan menampar kesadaran wanita itu, agar dia malu dan tidak mengulangi kesalahannya. Mungkin ada masa nanti akan kubuat wanita itu jera sehingga dia akan trauma untuk menjumpaiku dan tidak menunjukkan wajah selamanya.Namun, pertanyaannya, kapan dan bagaimana aku akan melakukan semua rencanaku? Sepertinya, aku harus mengaturnya segera.*"Ayo bangun Mas, kita harus pulang ke kota, anak anak pasti sudah gelisah," ucapku membangunkan Mas Irsyad. Kami yang memilih menginap di rumah ibu memang bermalam dengan nyaman sehingga sampai pukul tujuh saja, Mas Irsyad
Tentu saja kami sekeluarga terbelalak dengan apa yang terjadi begitu cepat. Sesegera mungkin aku dan anak-anak turun danencqri ponsel untuk memanggilkan ambulans sementara Mas Irsyad memanjat jendela dan dinding untuk segera turun ke kanopi dan melihat keadaan Elsa."Segera lakukan sesuatu, Mas." Aku benar benar panik."Panggilin ambulan ya, Bund, akan kulihat Elsa di sana." Suamiku membalas dengan wajah penuh. Masih kulihat wanita itu dari kaca ketik menuruni tangga, darah segar menyembur dari mulutnya dengan sekali semburan. Aku syok menyaksikan itu dan makin ingin segera memanggil petugas medis.Sepuluh menit kemudian bunyi sirine ambulan terdengar, mobil pasien berwarna putih dengan lis merah itu, langsung menurunkan para medis dan beberapa orang tetangga juga membantu proses evakuasi Elsa dari atas kanopi. Wanita itu tak sadarkan diri, kepalanya pecah dan kurasa kaki tangannya juga patah, terbukti ketika diturunkan dari kanopi dan diangkat ke ambulans Wanita itu harus dibopong
"Kenapa Ibu menyalahkan saya?""Kamu adalah orang yang membuat anakku terluka," desisnya sambil memicingkan mata."Dia yang datang sendiri ke rumah kami dan berusaha menggoda Mas Irsyad, tugas saya adalah menjaga suamiku dengan baik. Lagipula aku hanya bertanya mengapa dia berada di rumah ketika kami sedang keluar kota.""Tetap saja, apapun yang dilakukan Elsa tidak membenarkan bahwa kau bisa bersikap kasar padanya."Melihat perdebatan yang terjadi dari balik dinding kaca, Mas Irsyad sontak keluar dan menarik lengan ini menjauh dari mantan ibu mertuanya. Mas irsyad marah dan tidak senang dengan perlakuan ibunda Elsa yang kasar."Ibu, kenapa ibu memukul istri saya, Elsa bunuh diri bukan salah Aisyah. Jangan jadikan Aisyah kambing hitam, terima kenyatannya Bu.""Kalau bukan karenanya, kalian tidak akan pernah berkonflik sampai separah ini!" geram wanita tua itu seraya mendecak."Dia istriku, aku wajar membelanya! Anak ibu yang tak tahu diri, mengapa dia tidur di tempatku padahal punya