Kunaiki mobil Fortuner milik suamiku lalu kami pun meluncur di jalan mulus menuju kembali ke rumah. "Apa yang terjadi dengan Maura. Kenapa dia menangis tersedu-sedu seperti tadi?""Dia terus mengeluhkan nasibnya yang tidak terduga, Mas Hamdan dan dia sering berselisih paham, lalu utang yang menumpuk juga permasalahan lain," jawabku."Mungkin itu resiko menikahi wanita muda ya, mereka mudah sekali menyerah dan mengeluh.""Masalahnya, Mas Hamdan seolah kehilangan akal dan tidak punya gairah bekerja, minatnya hilang pada semua hal sejak aku dan kamu menikah.""Apa hubungannya?""Sebenarnya tidak ada, tapi entah kenapa dia harus depresi seperti itu.""Mungkin masih cinta.""Bisa jadi, tapi maaf, aku tidak bisa membalas cintanya.""Hem ... Ayah mungkin terlalu lelah, Bund, bukan Bucin." Raihan tiba tiba menimpali, kulirik anakku yang duduk di kursi belakang, dia nampaknya tidak senang ayahnya dibicarakan demikian."Maaf.""Hanya ayah dan Tuhan yang tahu perasaan dan keinginannya, jadi
"Baiklah, tenang, jangan panik, aku akan segera menghubungi Ira," jawabku pada Maura."Kenapa dengan Mbak Ira?""Aku akan memintanya datang untuk membantumu," jawabku."Tapi, aku minta bantuan pada Mbak Aisyah, bukan Mbak Ira.""Bukannya tidak mau membantu, tapi aku bingung ...""Bingung kenapa, Mbak tinggal transfer ke rekening saya," jawabnya cepat. "Bukan masalah itu ... sejujurnya aku harus bicara pada suamiku dulu.""Apakah tadi pagi Mbak memberi saya uang atau izin suaminya?""Tentu saja, sekarang aku sudah menikah, tentu saja segala sesuatu harus atas sepengetahuan suamiku," jawabku memberi alasan. Sebenarnya bukan tidak mau menolong, tapi aku tidak ingin terlalu memanjakan dan membuat Maura bergantung padaku. Masih baik aku menolongnya sedikit dan aku tak akan memberinya ruang untuk melunjak lebih dari batasan. Aku hanya orang asing bagi dia dan keluarganya sekarang. Lagipula keluarga mantan mertua juga bukan keluarga miskin jadi, untuk ukuran uang dua ratus ribu, aku yakin
Wanita itu langsung tercengang sambil memegangi pipinya yang berubah merah, kuyakin itu sakit dan pedih. "Jadi ini adalah hal yang ingin Mbak bicarakan padaku?""Beraninya kau menghubungi anakku dan minta solusi darinya. Apa kau sungguh putus asa?!""Iya, aku putus asa, kupikir ia akan membantuku bicara padamu atau minimal ....""Minimal apa? minimal kau menciptakan jarak di antara kami?! Kurang ajar sekali kau ini, sudah kuberi hati, tapi kau malah menikam jantungku!"Wanita muda yang sedang hamil 6 bulan itu itu mendongak ke arahku dengan bola mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar hendak mengatakan sesuatu tapi dia menahannya."Apa kau ingin bilang bahwa kamu saat itu tidak punya pilihan?"Tak lantas menjawab wanita itu malah menangis, tersedu sedu dan menarik perhatian semua orang yang kebetulan lewat. Ia tergugu sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan, lalu berlari ke arah kamar Mas Hamdan.Dia pasti akan membuat drama lagi dengan mengadu pada Ibu dan Hamid lebih jauh dia a
Entah cara apa yang harus kutempuh untuk memberi kesadaran serta membuat wanita muda itu tahu diri, untuk menghargai posisi dan martabatku sebagai mantan istri Mas Hamdan dan Ibu dari anak anaknya. Atau jika dia tidak bisa memberiku penghormatan seperti itu, minimal dia bisa menghargaiku sebagai manusia atau orang asing karena kami memang bukan keluarga dan secara teknis aku bukan siapa siapa baginya.Aku masih terdiam di depan si bibi dengan kepala yang masih berdenyut menahan sakit hati dan gemuruh emosi, kucoba menggali lebih dalam ke ceruk memory lalu kusimpulkan bahwa tingkah Maura sudah benar benar keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan.Kemarin sudah kuberikan dia uang dengan ikhlas, kupikir dengan itu dia bisa membeli obat Hamdan. Setelah berulang kali ia melinangkan air mata kesedihan, puluhan kali mengeluh, dia masih saja tidak tahu malu merebut lebih dariku.Lalu dia kembali minta tambahan uang lagi bahkan berani mengeluh ke Raihan. Tapi, jauh sebelum itu, tanpa sepengetahua
Kupikir tadinya aku akan menemui Maura di satu tempat lalu menghajarnya sampai di babak belur tapi kuurungkan semua nafsu hatiku karena itu bukanlah perbuatan bijak dan aku bisa berujung di penjara, terlebih hukum di zaman sekarang bisa dipelintir dengan uang dan banyak kebohongan. Aku tidak akan mendapatkan keadilan dari sisi manapun. Bukankah sudah lumrah kalau korban yang pada akhirnya malah jadi tersangka? Hmm, begitulah.Aku tidak akan memberinya hukuman dalam waktu dekat, tapi aku tetap berencana mengatakan semua itu pada Hamdan. Akan kuberi peringatan terakhir sebelum terulang lagi atau kami harus menyelesaikannya di kantor polisi.Kupikir bersikap tenang dan tetap elegan adalah pilihan terbaik, sebelum semua orang muak dengan masalah yang terus berulang ulang, Maura si licik itu akan mendapatkan banyak simpati sementara aku yang merupakan korban kelicikannya akan selalu dipersalahkan.*"Bunda minta maaf atas apa yang terjadi kemarin, Bunda tidak sengaja membuatmu kesal,"ucap
Usai mengunci rumah dan memastikan tidak ada lagi yang tertinggal, aku segera menuju garasi untuk menyusun koper di bagasi mobil. Para tetanggaku yang baik dan sudah belasan tahun bergaul serta sudah seperti saudara sendiri datang untuk mengantar kepergian kami ke kota."Mbak, jangan lupa untuk terus datang," ucap Rini."Bagaimana pun Mbak Aisyah sudah seperti saudara untuk kami semua. Tanpa Mbak Aisyah acara terasa kurang lengkap," imbuh tetanggaku yang berada di sebelah kanan rumah."Saya akan usahakan pulang sehari dalam seminggu, jadi jangan khawatir," balasku sambil menyalami mereka semua.Kupeluk para tetangga dan kerabat, juga kedua orang tuaku yang sejak pagi sudah datang untuk melihat persiapanku pindah ke kota."Bu, Aisyah pergi ya, doakan semoga kehidupan di kota lebih bahagia dan tentram," ucapku sambil merangkul beliau.Tak terasa air mata ibu mengalir, beliau nampak mengangguk kecil sambil tersenyum memaksa dirinya terlihat tegar padahal sebenarnya mungkin beliau berat j
Selagi aku dan Mas Irsyad berbicara dan suamiku bersiap untuk pergi, tiba tiba ibuku datang dan mendekati kami."Ada apa, Aisyah, ada masalah?""Sebenarnya tidak begitu serius, Bu. Aku akan menanganinya," jawab suamiku sambil tersenyum."Ini adalah momen terbaik berkumpul semua keluarga. Siapa yang ingin meninggalkannya kecuali ada masalah serius?""Begini Ibu, kami ada sedikit masalah, tapi insya Allah kami bisa mengatasinya," jawabku."Memang bukan hakku untuk menganggu privasi kalian, tapi, sekarang Irsyad adalah anakku, katakan saja yang jujur kenapa kalian begitu gelisah?""Uhm, ...." Aku agak ragu, sambil kupandangi suamiku. Dia nampak.gelisah tapi tidak punya pilihan selain bicara."Uhm, begini, Elsa mantan istri saya melakukan percobaan bunuh diri."Seketika ibu terkejut dan heran mendengar pengakuan Mas Irsyad. Dia mengernyit sambil menggeleng tak habis pikir.""Mengapa mantan istrimu sampai senekat itu?""Karena ... dia ingin kembali padaku, dia terobsesi untuk rujuk kem
Memang, jenis perempuan seperti Elsa dan Maura sangat memuakkan. Siapapun yang berurusan dengan mereka pasti kewalahan dan sulit mengendalikan apa sebenarnya kemauannya.Seperti sekarang, segala drama dan usaha dilakukan Elsa demi bisa mendapatkan atensi Mas Irsyad. Dia sampai rela menyakiti diri sendiri demi mengambil hati. Sayangnya semua usaha itu sia-sia, karena aku selalu menghalaunya. Mungkin harus ada satu scene di mana aku akan menampar kesadaran wanita itu, agar dia malu dan tidak mengulangi kesalahannya. Mungkin ada masa nanti akan kubuat wanita itu jera sehingga dia akan trauma untuk menjumpaiku dan tidak menunjukkan wajah selamanya.Namun, pertanyaannya, kapan dan bagaimana aku akan melakukan semua rencanaku? Sepertinya, aku harus mengaturnya segera.*"Ayo bangun Mas, kita harus pulang ke kota, anak anak pasti sudah gelisah," ucapku membangunkan Mas Irsyad. Kami yang memilih menginap di rumah ibu memang bermalam dengan nyaman sehingga sampai pukul tujuh saja, Mas Irsyad