Tiba tiba pria itu mendekat, berlutut di bawah kakiku sambil menangis putus asa."Astaghfirullah, apa yang kau lakukan?!" Aku terkejut dan menjauhkan gaunku dari jangkauan dan air matanya."Kumohon, ya Allah, demi Allah aku sungguh putus asa dan bisa gila," balasnya sambil meremas ujung gaunku."Hidupku tanpamu sangat kesepian ....""Jadi, air matamu itu air mata cinta?""Ya," jawabnya putus asa. "... Meski aku pernah bersalah, tapi aku juga mampu memperbaikinya. Aku bisa membangun kembali kepercayaan dan menumbuhkan kasih sayang.""Terlambat," jawabku menggeleng pelan sambil tersenyum. "Aku harus keluar menuju kursi pelaminan. Relakan aku ya ...?" Pria itu menangis sambil menggeleng."Tidak, ya allah, hatiku sakit sekali Aisyah ...."Kutatap matanya yang merah dan sembab sambil mendekat dan menepuk bahunya lembut."Mas, boleh ya ...?"Pria yang sudah tidak berdaya itu makin terlihat hancur dan tersedu-sedu. Para keponakan yang kudapuk sebagai Bridesmaids mengetuk pintu dan menjemput.
Sampai rangkaian acara berakhir Mas Hamdan rupanya tetap bergeming di tempatnya, pembawa telah selesai mengakhiri pesta kami, tapi dia tetap di sana, bahkan ketika kami pengantin yang meninggalkan tempat itu dan diiringi oleh ribuan kelopak bunga-bunga.Sungguh pernikahanku yang kali ini jauh lebih meriah dibanding pernikahan pertama bersama Mas Hamdan."Terima kasih sudah memberikan kesan terindah dalam hidupku Mas Irsyad. Aku sangat bahagia hari ini bisikku ketika kami melangkah masuk dan langsung menuju ruang pengantin."Ketika pintu kamar terbuka aku langsung disambut oleh ribuan bunga-bunga yang sudah ditata indah mengelilingi pinggir ranjang. Bahkan bekas kekacauan mengganti pakaian dan merias diri sudah dibereskan. Yang ada hanya keindahan dan nuansa romantis."Ayo masuk," bisik Mas Irsyad."Iya, aku juga sudah kegerahan memakai pakaian ini," jawabku sambil tertawa kecil."Eh tunggu dulu Mas Irsyad sebelum Mas Irsyad masuk kami harus membereskan riasan dan aksesoris pengantin
Seusai memastikan bahwa semua tamu makan dan dilayani baik olehku, sudah mengantar mereka ke depan pintu untuk pulang, aku kembali masuk ke dalam, bercanda sebentar dengan sisa anggota keluarga yang ada lantas masuk ke kamar tidur pengantin kami.Ketika menutup pintu, di dalam sana sudah kudapati Mas Irsyad tidur sambil memeluk guling, wajahnya yang damai membuat dada ini menghangat. Melihatku masuk, pria itu terjaga, bergerak pelan dan memberikan senyum manisnya."Kemana saja kamu, Sayang? Lama sekali....""Aku membaur dengan para tamu dan sisa kerabat," jawabku sambil duduk di tepi ranjang. Kumatikan ponsel lalu mengisi dayanya dan tak lupa kuredupkan lampu kamar."Uhm, aku rindu padamu, dan ingin kucurahkan kerinduan itu dengan penuh kasih," ujarnya sembari bangkit dan duduk bersila menghadapku. Diraihnya tangan ini lalu diciumnya telapak tanganku dengan lembut. "Terima kasih atas semua yang kamu berikan, Mas," balasku lirih. Senyumku tak lekang sejak pagi tadi. Aku sungguh
"apa?""Aku tidak sudi jika pria yang sudah merebutmu dariku tinggal di istana yang kubangun untuk keluarga kita, suruh dia pergi dari sini atau aku akan menghajarnya!""Kau gila atau kenapa Mas?""Biarkan saja aku bilang tapi aku tidak Sudi pria itu menikmati rumah ini!""Baiklah, kami akan pindah, seperti yang kau inginkan, oke?" ucapku sambil menangkupkan kedua belah tangan."Kamu tidak boleh kemana-mana, kamu harus fokus mengurusi anak-anak, yang tidak kusukai adalah pria itu bukan dirimu!""Kau pikir hidup semua orang berada dalam genggamanmu? Kau pikir kau bisa mengatur kami sesuka hatimu? Aku memberimu ruang dan kelembutan bukan berarti aku masih menyukaimu!""Tapi setidaknya aku tahu bahwa kau punya sisa rasa dan nilai," jawabnya."Pergilah Hamdan, kau memang tidak punya cara lain untuk menyakitiku kecuali mengungkit masalah harta dan pemberianmu! Aku benar-benar muak." Kulangkahkan kaki untuk kembali ke dalam, sambil melepas sapu begitu saja dengan kesal."Aisyah tunggu, apa
"Oh, be-begitu ya... silakan masuk, Mbak. Mari, senang menyambut Mbak di rumah saya," jawabku dengan gugup. Aku tidak punya pilihan kosa kata yang lain selain itu, pikiranku langsung blank melihat wanita cantik dengan softlens abu-abu tersebut."Terima kasih, saya tidak membayangkan penyambutan baik sebelumnya, tapi, ternyata Mbak Aisyah sangat ramah," jawabnya sambil melenggang melewatiku dengan anggun."Iya, Mbak, saya pun senang didatangi mantan istri suamiku, artinya kita bisa menjalin pertemanan dan hubungan baik."Anggota keluarga yang penasaran dengan siapa yang datang, kini ikut keluar ke ruang tamu untuk menyaksikan apa yang terjadi, nyaris semua orang ternganga dengan kemolekan wanita bernama Elsa ini, kebungkaman dan wajah penuh tanda tanya semua orang membuatku makin tak nyaman."Siapa itu?" tanya Ibu."Mbak Elsa, namanya Icha," balasku pada ibuku."Oh, mari silakan," ujar ibu dengan senyum ramah, wanita itu bangkit dan menyalami orang tuaku."Saya dengar Mas Irsyad menika
Usai menyaksikan kepergian wanita itu, suamiku kemudian menghela napas dan merangkul pundakku. Tanpa kata kata aku sudah paham bahwa dia ingin menularkan kekuatan dan kepercayaan diri bahwa untuk saat ini aku adalah orang yang sangat dia cintai dan dia tidak akan goyah pada godaan atau hinaan orang."Ayo masuk, aku ingin mandi dan bersiap untuk salat magrib," ajaknya lembut."Iya, Mas. Kalau begitu mandilah, saya akan ganti baju dan pergi menyiapkan makan malam."Ada beberapa anggota keluarga lagi yang rencananya akan kembali besok pagi, mereka adalah kerabat terakhir yang masih berada di rumah. Jadi jika besok Mereka sudah pergi yang tertinggal hanya aku Mas Irsyad dan anak-anak.**Usai salat berdua dengan suami, kami berdoa meninggikan tangan dan harapan semoga Tuhan memberikan apa yang terbaik untuk kami. Kudekatkan diri padanya, lalu kucium tangannya dengan hormat dan dia pun mengecup keningku dengan penuh kasih."Aku harap kita bisa merajut tali pernikahan ini hingga akhir nanti
Keesokan hari, sekitar pukul tujuh malam, usai suamiku kembali dari pekerjaannya di kota. Kami salat magrib berjamaah dan menikmati makan malam."Mari kita ke rumah Hamdan," ucapnya ketika aku membereskan piring ke wastafel. Dia pun ikut membantu ku mengangkut piring-piring itu ke tempat cuci piring dan membersihkan meja."Ngapain?""Membicarakan harta harta yang dia inginkan," balas suamiku pelan, tapi nadanya tegas."Lagi dia tidak membahasnya kurasa aku pun tidak perlu ikut membahasnya.""Tapi pria itu bisa mengungkit kapanpun dan membuat ketenangan kita terusikkan. Lebih baik kita selesaikan dari awal sehingga tidak ada lagi peluang untuk menuntut, sehingga aku dan kamu pun bahagia dengan cita-cita dan program hidup kita.""Mas Hamdan tentu akan merasa bahwa kamu yang menghasut diri ini untuk berbagi atau menuntut harta gono gini.""Terserah apa penilaiannya, aku tak peduli, yang penting kita bisa menyelesaikan semua itu dengan cepat.""Baiklah Mas jika itu maumu," balasku.Usai
"Jangan datang kemari hanya untuk memamerkan kekayaanmu, aku tahu aku bukanlah laki-laki yang suksestapi aku masih punya harga diri!" Mas Hamdan menghentak suamiku sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya."Mohon maaf sebelumnya, aku tidak pamer, jangan pasang mindset bahwa aku datang ke sini ingin menunjukkan kehebatan. Aku sedang mengembalikan kata kata yang kau ucapkan, jika kau ingin usir anak istrimu, maka aku siap menampung mereka beserta kebutuhannya.""Halah, gayamu! Kau pasti punya modus tersembunyi pada mantan istriku, bukankah dulunya dia adalah investormu?""Betul, tapi sudah kukembalikan apa yang kupinjam.""Kami punya rumah megah dengan dekorasi mewah, kami punya lahan dan sawah luas yang aliran airnya selalu ada dan menguntungkan," kau pasti inginkan itu, Irsyad. Ternyata kau pandai sekali mencuri hati Aisyah! Katakan padaku, bagaimana caranya," kata Mas Hamdan dengan sinis."Hanya kuberikan ketulusan dan rasa hormat, aku tidak pernah merayu Aisyah dengan barang
Mungkinkah sikap arogan Mas Irsyad ditengarai oleh kecemburuannya yang begitu besar kepada Hamdan atau mungkinkah karena dendamnya padaku karena sudah menyakiti Elsa, entahlah, aku tak tahu, yang jelas aku merasa sangat sakit dan tersinggung. Air mataku berurai pedih dan menyesal. "Andai aku tidak termakan kata kata manis dan bujukan sejak awal, mungkin aku tidak akan pernah menikahi pria busuk seperti Irsyad. Dia hanya baik di awal dan kejam di akhir, dia benar benar membalikkan persepsiku tentang perilaku dan sifatnya."Pagi menjelang, matahari menyapa, tapi aku enggan menatapnya. Diri ini masih terbaring di ranjang meski waktu sudah menunjukkan pukul tujuh."Kamu tidak bangun untuk menyiapkan sarapanku dan anak-anak?""Aku sedang tidak enak badan dan kalian bisa beli makanan di drive thru, anak anak akan senang," jawabku dari balik selimut."Aneh sekali sikapmu hari ini Aisyah," gumamnya."Memangnya aku tidak boleh sakit memangnya sesekali aku tidak boleh libur dari rutinitas rum
"Berani sekali istrimu memukulku, aku kesakitan Mas, aku kesakitan ...." Wanita itu meraung dan menjerit kesakitan sambil berusaha melindungi dirinya di belakang Mas Irsyad.Saat itu yang aku rasakan tidak ada lagi kewarasan, hanya sakit, panas hati dan amarah yang menggelegak. Saking tak tahannya aku dengan kekesalan, rasa-rasanya ubun-ubun ini ingin meleleh."Beraninya kau mengusik suamiku, menghapus ketentraman rumah tangga dan membuat hidupku tidak nyaman!" Aku melesat ke belakang Mas Irsyad, tanpa bisa dicegah aku langsung mencekik leher wanita itu sampai dia terdorong dan terdesak tepat di depan tangga rumah."To-tolong... Akh ... akkk ...." Wanita itu meronta "Aisyah, stop, ya Allah, Aish, please, lepasin Elsa." Mas Irsyad berusaha menengani tapi sia sia saja.Nafas wanita itu mulai sesak dan megap-megap, dia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Aku yang seakan dirasuki sebuah kekuatan besar terus menekan lehernya hingga nyaris saja wanita itu meregang nyawa dengan bola
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Tak mau terus menyiksa batinku sendiri dengan terus menguping pembicaraan Mas Irsyad dan mantan istrinya akhirnya kuputuskan untuk turun saja mengambil air minum dan kembali ke kamar.Namun sebelum aku melanjutkan langkah, kembali perasaan marahku meronta-ronta. Haruskah aku melabrak dan meneriakinya, lalu mencecarnya dengan banyak pertanyaan mengapa dia berani sekali menelepon wanita lain di tengah malam dan memberinya kata-kata yang indah. Oh Tuhan, hatiku dilema.Ingin kutahan diri tapi rasa haus seakan menusuk tenggorokan sehingga aku tidak punya pilihan.Dengan gaun tidur yang masih menjuntai ke lantai, aku berjalan ke dapur. Melihatku tiba-tiba datang pria itu terkesiap dan kaget. Dengan salah tingkah dia segera mematikan ponsel dan menyembunyikan benda itu di bawah dudukannya. Tapi sayang, aku melihatnya.Aku yang pura-pura tidak tahu apa-apa hanya berjalan dengan cuek lalu mengambil gelas dan memencet dispenser lantas kuteguk air sambil berusaha menahan diriku."Kok belum tid
Hal yang baru saja dia katakan memantik sebuah keheranan di hatiku. Di satu sisi dia ingin aku membiarkannya untuk berhubungan baik dengan Elsa namun sebaliknya ketika aku dan Mas Hamdan berkomunikasi dan hendak menjalin hubungan baik lagi, dia seakan sangat keberatan dan benci."Mungkinkah suamiku adalah penganut pernikahan terbuka di mana dia bebas melakukan apa saja dengan dunia dan teman wanita, sementara aku akan terjerat dan harus mematuhi semua aturan yang dibuat. Bukankah itu tidak adil?!"Alangkah arogan dirinya ketika mengatakan bahwa aku tidak boleh turut serta dalam acara aqiqah yang diselenggarakan Mas Hamdan sementara dia terus malah padaku agar bisa menemui mantan istrinya dengan berbagai alasan kurasa jika aku sudah jengah sendiri dan bosan, dia akan kutinggalkan.Kadang timbul kesesakan tersendiri di dalam hatiku, keheranan entah mengapa aku selalu gagal menjalin tali pernikahan. Apakah aku memang harus ditakdirkan punya suami ajaib yang tidak pernah sesuai dengan
Mungkin aktivitas romantis yang kami lakukan semalam yang membuat moodku membaik di pagi hari. Aku bangun, menyibak tirai jendela membiarkan matahari menghangatkan setiap sisi ruangan rumah. Aku beranjak ke dapur untuk menjerang air dan membuat sarapan keluarga. Selagi menunggu air mendidih luperiksa ponsel yang Alhamdulillah tidak ada notifikasi apa apa. Ya, bagiku kehadiran notifikasi selalu membuat diri ini berdebar dan cemas. Selalu, setiap kali ada yang menghubungi pasti ada masalah atau apa saja yang berkemungkinan merepotkan diri ini."Ah, andai setiap hari hidup kita seperti ini, pasti akan menyenangkan sekali," gumamku sambil menakar bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir suami."Bunda ...." Anak anak turun lebih pagi, mereka terlihat sudah rapi degan seragam dan sunggingan senyum yang ceria. "Bagaimana malam tadi, apa kalian tidur dengan nyenyak?""Tentu, kami tidur dengan nyaman dan pulas sekali, Icha tidur bersamaku dan kami sempat membaca buku cerita dan dongeng. Oh ya
"Tidak perlu harus sedramatis itu, Aish, wanita itu sudah demikian tersakiti," ujar Mas Irsyad sambil menutup pintu mobilnya."Jadi kau membelanya?""Bukan begitu?""Mas ... Kalau kamu memang merasa kasihan dan sayang pada wanita itu maka tinggalkan aku dan pilihlah dia, aku tidak akan keberatan sama sekali.""Aisyah, kamu hanya salah paham.""Cukup, jangan mengulur pembicaraan dan mengulang situasi yang sama. Situasi yang pernah aku rasakan bersama Mas Hamdan, aku sudah bosan, demi tuhan, aku ingin menghindarinya," jawabku sambil beranjak masuk ke dalam rumah."Bisa kita pura pura baik baik saja setidaknya di depan Icha, kasihan anakku, dia pasti bingung ....""Aku juga tidak mau membuat anakmu bingung tapi dia pun harus diberi pengertian dan harus tahu seperti ini kondisi orang tuanya sekarang, anak itu harus menyadarinya, Mas.""Jangan terkesan memaksa " Mas Irsyad memburuku di tangga."Lebih cepat tahu lebih baik. Anak anak harus diajari dari sekarang contoh bahwa kita tidak boleh
Akhirnya aku dan anak tiriku berkendara satu mobil menuju rumah ibunya. Aku sebenarnya punya rencana sendiri untuk membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Besar keyakinanku bahwa wanita itu hanya pura pura amnesia untuk meraih perhatian semua orang.Sepuluh menit kemudian kami sampai di rumah bercat cream dengan taman kecil dan pohon palem di depannya. Elsa terlihat menunggu di depan teras, senyumannya terkembang saat melihat Fortuner milik Mas Irsyad. Meski tertatih namun semangat dan visual ceria terlihat sekali di wajahnya. Melihat ibunya mendekat, Aisyah membuka pintu dan menyambut, mereka berpelukan dan hendak masuk. Alangkah terkejut Elsa saat mendapati diri ini duduk di kursi depan di dekat mantan suaminya. Raut wajahnya berubah syok dan tidak nyaman."Hai, Elsa," sapaku sambil melambai kecil, bahagia sekali melihat wanita kesal."Siapa dia Mas?"Mas Irsyad nampak ragu, tapi aku yang tidak suka mengulur waktu segera memberi tahu bahwa aku istrinya. Biasanya reaksi orang yang