"apa-apaan ini Mas, apa kamu berencana untuk membangun rumah di hadapan garasiku?""Aku hanya berkemah untuk melindungi diri dari panas matahari dan hujan?"Ungkapannya terdengar konyol dan polos sekali, aku sampai tercengang!"Oh ya, aku terkesima mendengar jawabanmu yang terdengar innocent sekali, Mas," sindirku."Aku tidak sok Imut Aisyah, aku sedang berjuang," jawabnya santai."Oh ya, hmmm ..." Aku segera naik ke mobil dan berniat untuk pergi meninggalkan tempat itu secepatnya."Tumben pacarmu tidak menjemput!""Hmm, banyak urusan," gumamku sambil memutar bola mata."Mengapa wajahmu tidak senang, aku bicara kenyataan kan?" ujarnya sambil mengejekku, kurasa dia sengaja memancing emosi untuk mencari-cari cara bicara dengan diri ini. Sayang, aku tak punya waktu."Ya, kau bicara kenyataan. Sayangnya kekasihku adalah pria yang sangat sibuk mengurusi bisnis dan menata masa depannya. Dia tidak ada waktu untuk terus bersamaku lagi pulang terus bersama membuat kerinduan tidak berarti rasan
Usai menemui calon suamiku, makan siang bersamanya sekitar dua menit, kuputuskan untuk pulang karena khawatir dengan kedua anak dan keadaan rumah yang katanya berantakan bekas tenda Mas Hamdan.Setelah dua puluh menit berkendara, aku sampai di rumah, belumlah berbelok ke halaman, mobilku terhalang oleh tenda yang melintang di pintu pagar, tertiup angin dan meleyot sebelah. Sambil mendecak menahan marah, aku segera turun dan menyingkirkan benda tersebut, kugeret ke pinggir sambil menahan dongkol di dalam hati.Rupanya tak semudah itu menarik tenda yang dipancang ke tanah oleh Mas Hamdan, aku harus mencabut tiang dulu baru bisa menyingkirkannya."Kurang ajar, merepotkan saja," ujarku geram. Kulipat tenda itu ke pinggir lalu memasukkan mobilku. Kembali diri ini ke depan untuk mengambil tenda tersebut sebelum hilang lalu pergi menutup pagar."Assalamualaikum," ucapku pada anakku."Walaikum salam, Bunda sudah pulang rupanya," jawabnya sambil bangkit dari posisi rebahannya di depan Tivi.
Hari itu sekitar pukul sembilan Ira datang ke rumah, mantan adik iparku yang merupakan bidan itu menemuiku di halaman belakang ketika diri ini sibuk mengurusi ayam dan burung peliharaan."Assalamualaikum, apa kabr, mbak kayaknya ya ....""Ah, enggak kok, ini kasih makan ayam peliharaan Mas Hamdan dulu," jawabku sambil mengibas tangan dan menyambut Ira."Tumben kemari?""Rindu aja dengan keponakan dan Mbak Aisyah," jawabnya."Bisa aja kamu," balasku tertawa."Btw, sebenarnya aku mau ngajakin Mbak ke rumah, aku diminta menyampaikan pesan kalo Ayah dan ibu ingin berjumpa," ucap wanita itu dengan senyum lebarnya."Berjumpa?""Iya.""Kenapa?""Enggak ada, kangen aja."Ya, mungkin karena aku telah belasan tahun jadi menantu mereka, kedua oang tua Mas Hamdan menjadi sangat akrab layaknya orang tua sendiri."Gimana kabar Ayah dan ibumu?""Ayah dan ibu juga masih ayah dan ibunya Mbak, jadi tidak perlu bertanya seperti itu," ujarnya seraya tersenyum padaku."Apa mereka sakit?""Tidak, sehat sa
"kalau begitu saya pulang saja, situasinya jadi gak enak," ucapku sambil bangun dan megambil tas."Tunggu dulu, kamu baru saja datang," ucap Ibu mertua."Saya rasa canggung sekali berada di tempat ini lama-lama, terlebih saya bukan lagi anggota keluarga.""Ya, tahu diri sana," jawab Mas Hamdan dengan muka tak senang. Nampaknya sikapnya benar-benar berubah, dia yang tadinya ingin kembali padaku, sekarang berubah seakan kami adalah musuh kebuyutan."Hamdan, jaga bicaramu!" bentak ayah sambil menghardiknya agar menjauh."Aku harus bagaimana ayah, mengapa ayah mengundangnya sehingga pertemuan kami jadi seperti ini. Harusnya aku gak bertemu dia lagi agar kami tak berdebat lagi!""Kau itu pergilah lanjutkan urusanmu, jangan di sini!" ujar ayah dengan gemasnya."Apa? gara gara Aisyah aku diusir di rumah sendiri?"Mas Hamdan terbelalak dan rasanya tidak percaya dengan kenyataan."Pergilah sebelum ayah benar-benar kesal!" ucap ayah mertua menunjuk pintu utama, "aku menyuruhnya kemari demi h
"Mau kemana ini?!" Dia yang turun dari mobil langsung menghempas pintu dengan kasarnya."Kamu keluar," jawabku singkat."Kemana?" tanyanya sambil mengangkat dagu, sungguh songong!"Kemana saja, yang penting menyenangkan. Minggir sana, janga halangi mobil kami," jawabku."Kamu boleh pergi, tapi tak perlu mengajak anak anakku, karena aku ke sini datang menjemput mereka," ujarnya lantang.Entah untuk berapa kali lagi aku harus dipermalukan oleh perbuatan mantan suami. Sudah sering aku canggung pada warga kampung dan tetangga karena sikap Mas Hamdan yag selalu cari perhatian dan bikin ribut. Sekarang, apa-apaan dia ...."Maaf ya, anak anak mau pergi dengan kami," ucap Irsyad menimpali."Diam kamu! Kamu bukan bapaknya!" bentak Mas Hamdan sambil melotot, putri kecil Irsyad nampak takut dan meringkuk ke lengan ayahnya karena takut pada mantan suamiku."Biar anak anak yang tentukan mau ikut siapa!" selaku cepat.Anak anak kupandangi, mereka membalasku dan menggeleng kecil, isyarat bahwa mer
Ada masanya aku bosan hanya berada di rumah, hanya sibuk menghitung detik dan menunggu waktu serta menonton tv saja. Kuputuskan untuk pergi menyibukkan diri di kebun, merawat sayur dan tanaman hidroponik yang kukembangkan di rumah penyemaian.Setelah mengganti baju dengan pakaian berkebun, aku ke rumah kaca untuk merawat sayuran organik, menyemprot dan merawat sepenuh hati agar tumbuhannya subur dan tidak diganggu ulat pemakan daun.Tak terasa waktu berlalu, sejam kemudian aku kedatangan seseorang yang sudah kuduga akan mencariku. Mas Hamdan lagi.Dari kejauhan dia nampak menyapa dan menyalami pekerja di kebun, memeriksa taman dan padi lalu bersitatap denganku yang kini merawat sayur dan buah anggur.Tentu saja dia yang melihatku sendiri tidak melewatkan kesempatan itu untuk mendatangiku."Assalamualaikum kau terlihat telaten sekali," ujarnya menyapa."Waalaikumsalam Apa yang kau lakukan di tempat ini?""Kau terdengar seakan tidak menyukai kedatanganku," ucapnya dengan wajah tid
"Hari sudah sore, ayo pulang," ujarku setelah beberapa menit berdiri dalam diam dengannya."Tidak ada tujuan pulang bagiku," ujarnya lesu."Kalau begitu aku pulang dulu," jawabku yang tak mau membuang lebih banyak waktu. Aku paham dia ingin mencurahkan kegamangan sementara dia mengharapku memberinya hiburan. Aku tak punya waktu untuk itu, aku masih peduli pada ego dan martabatku."Oh ya, Mas, agar tidak lagi jadi polemik di kemudian hari, aku ingin membalik nama semua aset yang ada di tanganku. Maaf, bukanya egois atau serakah. Hak-hak anak anak harus dilindungi dari sekarang.""Tapi, kau juga ikut menikmatinya," ujar pria itu dengan tatapan mata menerawang ke cakrawala."Aku mengelolanya dan memakan sedikit hasilnya, kurasa masuk akal selama aku tidak bermegah-megahan," jawabku."Tegaskan padaku, kau akan memberi atau merampas?""Terserah kau saja ....""Memang ya, tak semudah itu merelakan tanah perkebunan yang luas, ditambah rumah dan mobil, tapi jika kau berpikir dari mana dan ba
"Dari pihak notaris sudah mengeluarkan surat permintaan persetujuan dan tanda tangan pemilik awal, tapi aku belum sempat menemui Mas Hamdan, diri ini terlampau sibuk.""Kalau begitu, maukah kuantarkan. Sekalian aku akan menjagamu dari kemungkinan yang tak kita inginkan," ujarnya sambil tersenyum penuh makna."Oke."Jadi, siang itu aku pergi mengantarkan undangan pengajian dan akad nikah, namun yang kusaksikan di sana sangat miris. Baru saja sampai di depan pintu utama, aku sudah mendapatkan kondisi kantor yang lengang dan sedikit berantakan."Oh, mungkin Minggu ya, jadi pekerja tidak datang," gumamku sambil melangkahkan kaki masuk ke ruang ruko tersebut.Kuucapkan salam tapi tidak ada sahutan.Kupindai ruangan yang nampak berdebu dengan lantai kotor bekas pijakan kaki berlumpur karena hujan, meja yang nampak kotor, paket paket yang belum habis diantar bertumpuk di sudut ruangan. Suasana ruko begitu suram, terlebih jendela tidak dibuka dan ruangan menjadi lembab. "Ah, jenis wanita ap
Mungkinkah sikap arogan Mas Irsyad ditengarai oleh kecemburuannya yang begitu besar kepada Hamdan atau mungkinkah karena dendamnya padaku karena sudah menyakiti Elsa, entahlah, aku tak tahu, yang jelas aku merasa sangat sakit dan tersinggung. Air mataku berurai pedih dan menyesal. "Andai aku tidak termakan kata kata manis dan bujukan sejak awal, mungkin aku tidak akan pernah menikahi pria busuk seperti Irsyad. Dia hanya baik di awal dan kejam di akhir, dia benar benar membalikkan persepsiku tentang perilaku dan sifatnya."Pagi menjelang, matahari menyapa, tapi aku enggan menatapnya. Diri ini masih terbaring di ranjang meski waktu sudah menunjukkan pukul tujuh."Kamu tidak bangun untuk menyiapkan sarapanku dan anak-anak?""Aku sedang tidak enak badan dan kalian bisa beli makanan di drive thru, anak anak akan senang," jawabku dari balik selimut."Aneh sekali sikapmu hari ini Aisyah," gumamnya."Memangnya aku tidak boleh sakit memangnya sesekali aku tidak boleh libur dari rutinitas rum
"Berani sekali istrimu memukulku, aku kesakitan Mas, aku kesakitan ...." Wanita itu meraung dan menjerit kesakitan sambil berusaha melindungi dirinya di belakang Mas Irsyad.Saat itu yang aku rasakan tidak ada lagi kewarasan, hanya sakit, panas hati dan amarah yang menggelegak. Saking tak tahannya aku dengan kekesalan, rasa-rasanya ubun-ubun ini ingin meleleh."Beraninya kau mengusik suamiku, menghapus ketentraman rumah tangga dan membuat hidupku tidak nyaman!" Aku melesat ke belakang Mas Irsyad, tanpa bisa dicegah aku langsung mencekik leher wanita itu sampai dia terdorong dan terdesak tepat di depan tangga rumah."To-tolong... Akh ... akkk ...." Wanita itu meronta "Aisyah, stop, ya Allah, Aish, please, lepasin Elsa." Mas Irsyad berusaha menengani tapi sia sia saja.Nafas wanita itu mulai sesak dan megap-megap, dia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Aku yang seakan dirasuki sebuah kekuatan besar terus menekan lehernya hingga nyaris saja wanita itu meregang nyawa dengan bola
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Tak mau terus menyiksa batinku sendiri dengan terus menguping pembicaraan Mas Irsyad dan mantan istrinya akhirnya kuputuskan untuk turun saja mengambil air minum dan kembali ke kamar.Namun sebelum aku melanjutkan langkah, kembali perasaan marahku meronta-ronta. Haruskah aku melabrak dan meneriakinya, lalu mencecarnya dengan banyak pertanyaan mengapa dia berani sekali menelepon wanita lain di tengah malam dan memberinya kata-kata yang indah. Oh Tuhan, hatiku dilema.Ingin kutahan diri tapi rasa haus seakan menusuk tenggorokan sehingga aku tidak punya pilihan.Dengan gaun tidur yang masih menjuntai ke lantai, aku berjalan ke dapur. Melihatku tiba-tiba datang pria itu terkesiap dan kaget. Dengan salah tingkah dia segera mematikan ponsel dan menyembunyikan benda itu di bawah dudukannya. Tapi sayang, aku melihatnya.Aku yang pura-pura tidak tahu apa-apa hanya berjalan dengan cuek lalu mengambil gelas dan memencet dispenser lantas kuteguk air sambil berusaha menahan diriku."Kok belum tid
Hal yang baru saja dia katakan memantik sebuah keheranan di hatiku. Di satu sisi dia ingin aku membiarkannya untuk berhubungan baik dengan Elsa namun sebaliknya ketika aku dan Mas Hamdan berkomunikasi dan hendak menjalin hubungan baik lagi, dia seakan sangat keberatan dan benci."Mungkinkah suamiku adalah penganut pernikahan terbuka di mana dia bebas melakukan apa saja dengan dunia dan teman wanita, sementara aku akan terjerat dan harus mematuhi semua aturan yang dibuat. Bukankah itu tidak adil?!"Alangkah arogan dirinya ketika mengatakan bahwa aku tidak boleh turut serta dalam acara aqiqah yang diselenggarakan Mas Hamdan sementara dia terus malah padaku agar bisa menemui mantan istrinya dengan berbagai alasan kurasa jika aku sudah jengah sendiri dan bosan, dia akan kutinggalkan.Kadang timbul kesesakan tersendiri di dalam hatiku, keheranan entah mengapa aku selalu gagal menjalin tali pernikahan. Apakah aku memang harus ditakdirkan punya suami ajaib yang tidak pernah sesuai dengan
Mungkin aktivitas romantis yang kami lakukan semalam yang membuat moodku membaik di pagi hari. Aku bangun, menyibak tirai jendela membiarkan matahari menghangatkan setiap sisi ruangan rumah. Aku beranjak ke dapur untuk menjerang air dan membuat sarapan keluarga. Selagi menunggu air mendidih luperiksa ponsel yang Alhamdulillah tidak ada notifikasi apa apa. Ya, bagiku kehadiran notifikasi selalu membuat diri ini berdebar dan cemas. Selalu, setiap kali ada yang menghubungi pasti ada masalah atau apa saja yang berkemungkinan merepotkan diri ini."Ah, andai setiap hari hidup kita seperti ini, pasti akan menyenangkan sekali," gumamku sambil menakar bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir suami."Bunda ...." Anak anak turun lebih pagi, mereka terlihat sudah rapi degan seragam dan sunggingan senyum yang ceria. "Bagaimana malam tadi, apa kalian tidur dengan nyenyak?""Tentu, kami tidur dengan nyaman dan pulas sekali, Icha tidur bersamaku dan kami sempat membaca buku cerita dan dongeng. Oh ya
"Tidak perlu harus sedramatis itu, Aish, wanita itu sudah demikian tersakiti," ujar Mas Irsyad sambil menutup pintu mobilnya."Jadi kau membelanya?""Bukan begitu?""Mas ... Kalau kamu memang merasa kasihan dan sayang pada wanita itu maka tinggalkan aku dan pilihlah dia, aku tidak akan keberatan sama sekali.""Aisyah, kamu hanya salah paham.""Cukup, jangan mengulur pembicaraan dan mengulang situasi yang sama. Situasi yang pernah aku rasakan bersama Mas Hamdan, aku sudah bosan, demi tuhan, aku ingin menghindarinya," jawabku sambil beranjak masuk ke dalam rumah."Bisa kita pura pura baik baik saja setidaknya di depan Icha, kasihan anakku, dia pasti bingung ....""Aku juga tidak mau membuat anakmu bingung tapi dia pun harus diberi pengertian dan harus tahu seperti ini kondisi orang tuanya sekarang, anak itu harus menyadarinya, Mas.""Jangan terkesan memaksa " Mas Irsyad memburuku di tangga."Lebih cepat tahu lebih baik. Anak anak harus diajari dari sekarang contoh bahwa kita tidak boleh
Akhirnya aku dan anak tiriku berkendara satu mobil menuju rumah ibunya. Aku sebenarnya punya rencana sendiri untuk membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Besar keyakinanku bahwa wanita itu hanya pura pura amnesia untuk meraih perhatian semua orang.Sepuluh menit kemudian kami sampai di rumah bercat cream dengan taman kecil dan pohon palem di depannya. Elsa terlihat menunggu di depan teras, senyumannya terkembang saat melihat Fortuner milik Mas Irsyad. Meski tertatih namun semangat dan visual ceria terlihat sekali di wajahnya. Melihat ibunya mendekat, Aisyah membuka pintu dan menyambut, mereka berpelukan dan hendak masuk. Alangkah terkejut Elsa saat mendapati diri ini duduk di kursi depan di dekat mantan suaminya. Raut wajahnya berubah syok dan tidak nyaman."Hai, Elsa," sapaku sambil melambai kecil, bahagia sekali melihat wanita kesal."Siapa dia Mas?"Mas Irsyad nampak ragu, tapi aku yang tidak suka mengulur waktu segera memberi tahu bahwa aku istrinya. Biasanya reaksi orang yang