Malam itu angin berembus dengan lembutnya, dan bulan nampak sempurna dibayangi awan cerah serta cuaca amat mendukung acara. Suasana di rumah sudah terang benderang dipercantik oleh dekorasi bunga, dan murattal Al Qur'an yang disetel di pengeras suara menyejukkan hati. Orang orang mulai berdatangan duduk di bangku yang disediakan lalu tamu tamu penting dan keluarga dekat masuk ke dalam rumah dan duduk di karpet yang dihamparkan.Acara dimulai, aku duduk diapit orang tua dan anak-anakku sampai puncak rangkaian cara di mana aku diminta untuk menghaturkan permintaan restu dan izin kepada kedua orang tua. Sambil membacakan ungkapan terima kasih dan permintaan maaf aku mendekat dan bersimpuh di hadapan kedua orang tuaku."Ibu ... ayah, izinkan saya meminta keridhaan hati dan restu Ibu, Ayah, agar saya bisa menempuh hidup baru yang lebih bahagia," ucapku sambil bersembah sujud di pangkuan mereka "Iya Nak, kami mengizinkan dan mendoakan yang terbaik. Menikahlah dan berbahagialah," jawab Aya
Ternyata kehilangan seseorang membuatku belajar banyak hal dalam hidup. Kini aku lebih memahami sudut pandang dan penilaian orang lain, juga hasrat dan harapan mereka yang kadang bertentangan. Dan aku di antara semua itu berusaha menempatkan diri sesuai posisi dan porsi.Mantan suami, ya, kelebatan memory tentangnya kembali menggerayangi ceruk akalku sore ini. Aku terkenang pada sisi baik dan romantisnya, lalu teringat betapa sakit dan menyebalkan sikapnya sejak mengenal Maura. Andai pria itu tidak jatuh cinta mungkin sampai sekarang dia masih priaku, dia masih sosok yang selalu merindukan pulang kerja lebih cepat demi menyantap hidangan buatan istri lalu membercandai kami, anggota keluarganya. Banyak mimpi yang kami susun seperti permainan balok tarik pasang, ratusan hal yang kami pertaruhkan demi kesuksesan dan harta padahal tahu resikonya adalah ambruk dan dan hancur, kami berani ambil resiko Bukan tidak pernah jatuh, bahkan kami tertatih berusaha membangunkan diri, tapi ak
"Ya ampun dia kenapa ya, Irsyad?" tanyaku yang tercengang dengan sikap aneh Maura."Hmm, gak tahu, biarkan saja dia dengan segala keluhan hidup dan bebannya. Fokuslah kamu untuk bahagia dengan segala urusan dan anak anakmu. Jangan terus memusingkan diri.""Iya, tapi ...," jawabku lirih."Bukannya kita tidak punya empati, pengorbananmu bahkan telah lebih dari sekadar empati, aku mohon, biarkan dia. Dia punya suami dan orang orang yang akan mengurusinya" balas Irsyad sambil menggenggam tanganku."Benar juga, aku setuju denganmu," gumamku sambil mengangguk dan tak lama kemudian pesanan makanan kami datang."Terima kasih," ucapku pada pelayan."Sama-sama, Bu."Irsyad lantas mencoba salah satu makanan dengan garpu lalu terlihat berbinar padaku dengan senang."Luar biasa, ini enak sekali," pujinya."Ini sudah jadi restoran favoritku sejak lama," balasku sambil menggigit bagia kebabku."Apa ... kamu dan Hamdan sering kemari?""Ehm, ya, sesekali, tidak begitu sering," jawabku jujur. "Kena
Alhamdulillah, ini hari hari yang telah lama kami tunggu dan rencanakan. Aku yang duduk di depan kaca rias dengan para perias yang sibuk memasangkan hijab dan kembang goyang. Aku bisa menatap sendiri betapa pancaran aura bahagia dan haru di mata karena pada akhirnya kudapatkan pengganti suamiku yang direbut orang lain.Aku tak bisa menjamin bahwa Mas Irsyad lebih baik dari Mas Hamdan, tapi setidaknya dekat dengannya membuatku lebih tenang dan bersemangat. Dia tahu cara membuatku tertawa dan meleleh bahagia atas sikap manisnya."Pengantinnya terlihat pangling," ujar salah seorang MUA ketika memasangkan jilbab slyaer panjang."Iya, terlihat seperti masih gadis, tubuhnya juga singset, pasti perawatannya bagus ya, Mbak?" balas yang lain."Ah, gak juga Mbak, saya hanya minum jamu dan sesekali ikut senam sama ibu ibu di kampung" balasku kalem."Selamat ya, semoga berkah Mbak," ucap mua itu."Amin, terima kasih."Seusai dirias aku kemudian melanjutkan dengan sesi foto tunggal dan foto bersa
Tiba tiba pria itu mendekat, berlutut di bawah kakiku sambil menangis putus asa."Astaghfirullah, apa yang kau lakukan?!" Aku terkejut dan menjauhkan gaunku dari jangkauan dan air matanya."Kumohon, ya Allah, demi Allah aku sungguh putus asa dan bisa gila," balasnya sambil meremas ujung gaunku."Hidupku tanpamu sangat kesepian ....""Jadi, air matamu itu air mata cinta?""Ya," jawabnya putus asa. "... Meski aku pernah bersalah, tapi aku juga mampu memperbaikinya. Aku bisa membangun kembali kepercayaan dan menumbuhkan kasih sayang.""Terlambat," jawabku menggeleng pelan sambil tersenyum. "Aku harus keluar menuju kursi pelaminan. Relakan aku ya ...?" Pria itu menangis sambil menggeleng."Tidak, ya allah, hatiku sakit sekali Aisyah ...."Kutatap matanya yang merah dan sembab sambil mendekat dan menepuk bahunya lembut."Mas, boleh ya ...?"Pria yang sudah tidak berdaya itu makin terlihat hancur dan tersedu-sedu. Para keponakan yang kudapuk sebagai Bridesmaids mengetuk pintu dan menjemput.
Sampai rangkaian acara berakhir Mas Hamdan rupanya tetap bergeming di tempatnya, pembawa telah selesai mengakhiri pesta kami, tapi dia tetap di sana, bahkan ketika kami pengantin yang meninggalkan tempat itu dan diiringi oleh ribuan kelopak bunga-bunga.Sungguh pernikahanku yang kali ini jauh lebih meriah dibanding pernikahan pertama bersama Mas Hamdan."Terima kasih sudah memberikan kesan terindah dalam hidupku Mas Irsyad. Aku sangat bahagia hari ini bisikku ketika kami melangkah masuk dan langsung menuju ruang pengantin."Ketika pintu kamar terbuka aku langsung disambut oleh ribuan bunga-bunga yang sudah ditata indah mengelilingi pinggir ranjang. Bahkan bekas kekacauan mengganti pakaian dan merias diri sudah dibereskan. Yang ada hanya keindahan dan nuansa romantis."Ayo masuk," bisik Mas Irsyad."Iya, aku juga sudah kegerahan memakai pakaian ini," jawabku sambil tertawa kecil."Eh tunggu dulu Mas Irsyad sebelum Mas Irsyad masuk kami harus membereskan riasan dan aksesoris pengantin
Seusai memastikan bahwa semua tamu makan dan dilayani baik olehku, sudah mengantar mereka ke depan pintu untuk pulang, aku kembali masuk ke dalam, bercanda sebentar dengan sisa anggota keluarga yang ada lantas masuk ke kamar tidur pengantin kami.Ketika menutup pintu, di dalam sana sudah kudapati Mas Irsyad tidur sambil memeluk guling, wajahnya yang damai membuat dada ini menghangat. Melihatku masuk, pria itu terjaga, bergerak pelan dan memberikan senyum manisnya."Kemana saja kamu, Sayang? Lama sekali....""Aku membaur dengan para tamu dan sisa kerabat," jawabku sambil duduk di tepi ranjang. Kumatikan ponsel lalu mengisi dayanya dan tak lupa kuredupkan lampu kamar."Uhm, aku rindu padamu, dan ingin kucurahkan kerinduan itu dengan penuh kasih," ujarnya sembari bangkit dan duduk bersila menghadapku. Diraihnya tangan ini lalu diciumnya telapak tanganku dengan lembut. "Terima kasih atas semua yang kamu berikan, Mas," balasku lirih. Senyumku tak lekang sejak pagi tadi. Aku sungguh
"apa?""Aku tidak sudi jika pria yang sudah merebutmu dariku tinggal di istana yang kubangun untuk keluarga kita, suruh dia pergi dari sini atau aku akan menghajarnya!""Kau gila atau kenapa Mas?""Biarkan saja aku bilang tapi aku tidak Sudi pria itu menikmati rumah ini!""Baiklah, kami akan pindah, seperti yang kau inginkan, oke?" ucapku sambil menangkupkan kedua belah tangan."Kamu tidak boleh kemana-mana, kamu harus fokus mengurusi anak-anak, yang tidak kusukai adalah pria itu bukan dirimu!""Kau pikir hidup semua orang berada dalam genggamanmu? Kau pikir kau bisa mengatur kami sesuka hatimu? Aku memberimu ruang dan kelembutan bukan berarti aku masih menyukaimu!""Tapi setidaknya aku tahu bahwa kau punya sisa rasa dan nilai," jawabnya."Pergilah Hamdan, kau memang tidak punya cara lain untuk menyakitiku kecuali mengungkit masalah harta dan pemberianmu! Aku benar-benar muak." Kulangkahkan kaki untuk kembali ke dalam, sambil melepas sapu begitu saja dengan kesal."Aisyah tunggu, apa