"Aku akan membawamu ke klinik." Cressida membantu Darren berjalan. Dia memanggil pengawas kuda untuk mengurus Brown dan juga Chloe.
Ben, dokter yang ditugaskan di klinik itu cukup terkejut saat melihat Darren masuk ke ruangannya dengan bantuan Cressida. "Darren, apa yang terjadi?" tanya dokter yang cukup mengenal Darren sebagai seorang penunggang kuda profesional dan mengetahui bahwa dia sangat terampil dalam olahraganya."Dia cedera." Cressida yang menjelaskan."Bagaimana bisa?" Ben bertanya kembali."Tentu saja bisa." Cressida yang masih mewakili Darren untuk menjawab. "Hari ini dia mau jadi pahlawan bagi seorang gadis."Darren mencebik. "Mulutku tidak cedera. Masih bisa dipakai untuk bicara. Jadi, kau tidak perlu mewakiliku untuk menjawab pertanyaan Ben!"Wah, sepertinya mereka sedang bertengkar. "Mari aku periksa." Ben meminta Darren agar duduk dan dia akan memeriksa cedera tangan pada pria itu.Ben melakukan serangkaian pemeriksaan awal pada Darren. Dia memeriksa gerakan sendi dan kekuatan ototnya serta mencari tanda-tanda pembengkakan atau hematoma. "Kau mau rontgen?" tanya Ben. "Kita perlu mengetahui tingkat keparahan cederamu." "Tidak usah." Darren menolak. "Aku hanya butuh dikompres air dingin saja."Sementara Darren mendapatkan perawatan medis, Madeline dan Sean sedang duduk di gazebo yang terletak di sisi arena latihan berkuda. Sean bilang di sana termasuk tempat favoritnya untuk beristirahat dan menikmati minuman dingin setelah sesi latihan yang panas.Madeline memperhatikan pemandangan langsung ke arena latihan, sehingga mereka bisa menonton para penunggang lainnya berlatih sambil menikmati minuman mereka. Suasana yang tenang dan embusan angin sepoi-sepoi membuat dia setuju kalau ini tempat terbaik."Bagaimana tubuhmu?" Sean bertanya.Madeline membalas dengan senyuman lebar. "Aku baik-baik saja. Jangan mencemaskanku.""Aku minta maaf soal Green. Aku kesulitan mengendalikannya tadi."Madeline dengan tenang menenangkan Sean, "Aku baik-baik saja, jangan khawatir dan aku tidak menyalahkanmu."Sean mengukir senyum di bibirnya. Madeline itu benar-benar cantik dan sangat pengertian. Hati Sean berbunga-bunga dan pria itu ingin sekali mengajak Madeline untuk melakukan satu hal yang manis.Madeline memejamkan mata saat Sean mungkin saja akan mencium bibirnya. Tanpa disadari, perempuan itu benar-benar tegang. Tangannya terkepal seakan dia sedang melakukan penolakan pada Sean.Tiba-tiba, getaran ringan dari ponsel Sean mengubah suasana. Dia membuka pesan singkat yang baru saja diterimanya. Pesannya mengabarkan bahwa Darren dalam kondisi baik-baik saja.Sean segera membagikan informasi tersebut kepada Madeline, "Kakakku juga baik-baik saja."Madeline tampak acuh tak acuh dengan berita tersebut. Dia hanya mengangguk pelan dan kemudian menatap ke arah yang lain tanpa menunjukkan ekspresi kekhawatiran atau simpati.Melihat reaksi Madeline yang tidak biasa itu, Sean merasa ada sesuatu yang aneh. Biasanya Madeline akan lebih peduli pada siapa pun yang dekat dengannya. Apalagi, Darren itu sudah menyelamatkannya. Apakah dia tidak mau lebih peduli padanya?Dengan rasa penasaran yang membara, Sean bertanya kepada Madeline, "Ada apa denganmu, Madeline? Mengapa sikapmu terhadap Darren begitu acuh?"Madeline menatap Sean sejenak sebelum menjawab dengan nada datar, "Tidak ada apa-apa."Namun jawaban Madeline tidak cukup meyakinkan Sean. Ada sesuatu dalam nada suaranya dan ekspresi wajahnya yang membuatnya merasa bahwa ada lebih banyak cerita di balik sikap cuek Madeline tersebut."Madeline," ucap Sean dengan serius. "Aku tahu ada sesuatu yang tidak kau sembunyikan. Kau dan Darren bertengkar?"Madeline tampak tidak ingin membahas hal tersebut lebih lanjut. Dia menggeleng pelan dan berkata, "Sean, aku sudah bilang tidak ada apa-apa. Jangan membahas ini lagi.""Oke, aku tidak akan membahas ini lagi." Sean akan tutup mulut meski rasa penasarannya semakin menjadi-jadi. "Kau mau mengantarku pulang?" Madeline sudah tidak tahan berada di sini entah itu karena dia menyadari kalau Cressida tidak suka dengan keberadaannya atau tentang perasaannya yang tidak nyaman melihat Darren cedera seperti itu tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali hanya dia bersikap acuh tak acuh."Oke, aku akan mengantarmu pulang." Sean, tidak ingin memaksa Madeline membicarakan hal yang jelas-jelas dia tidak ingin bahas. Meski rasa penasarannya belum terpuaskan, dia harus menghormati keinginan kekasihnya itu. "Aku akan bilang dulu dengan Cressida."Madeline mengangguk saja.Sean mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada Cressida, 'Cres, aku akan mengantar Madeline. Tolong jaga Darren."Cressida membaca pesan tersebut, tetap tidak membalasnya. Dia tidak terlalu peduli dengan kepergian Sean atau Madeline. Malah sebenarnya bagus kalau Madeline pergi. Dia menguras perhatian Darren."Madeline sudah pulang bersama Sean." Cressida memasukkan ponsel dan dia menyampaikan informasi tadi seolah menyuruh Darren jangan berharap lagi Madeline masih di sini.Ekspresi Darren berubah seketika. Wajahnya muram dan dia jelas tidak menyukainya. "Baguslah!" Dia hanya mendesis. Cressida merasa ada sesuatu yang tidak beres."Aku harap, tidak ada apa-apa di antara kalian." Cressida menunjuk Darren. "Setidaknya, kau harus ingat kalau Madeline itu kekasih adikmu.""Kau bisa tutup mulut!" Darren sangat emosi. "Kalau sudah selesai bicara sebaiknya pergilah!"Cressida menatap Darren dengan pandangan tajam. Dia tahu bahwa Darren sedang menyembunyikan sesuatu darinya."Jangan bohongi aku, Darren," ucapnya dengan nada suara yang lebih keras dari biasanya. "Aku bisa melihat ada sesuatu yang salah di antara kalian!"Darren tetap diam. "Itu bukan urusanmu!"Meski merasa tidak dihargai, Cressida tahu bahwa dia harus menjaga sikapnya. Sebagai seorang gadis dari keluarga kelas atas yang terhormat, marah dan kehilangan kendali bukanlah pilihan.Dia berdiri dengan anggun, menarik napas dalam-dalam untuk menutupi kekecewaannya. "Baiklah, aku tidak akan mengganggumu!"Cressida kemudian memanggil pelayannya dengan sebuah bel kecil yang selalu dia bawa. Julian segera muncul, membungkuk hormat dan berkata, "Ya, Nona Cressida?""Siapkan mobil, aku akan pulang." Cressida ketus."Segera, Nona," balas Julian sambil membungkuk lagi. Pria itu kemudian bergerak cepat dan efisien untuk menyiapkan mobil.Rolls-Royce Phantom ada di depan Cressida. Sebuah simbol kemewahan dan kelas atas yang dimiliki gadis itu. Dia akan menikmati perjalanan super mewah dalam mobil berinterior kulit putih yang murni dan detail kayu mahoni di bagian dalamnya. Seandainya saja Madeline masih berada di sini, sudah pasti Cressida akan punya kesempatan untuk mengejeknya.Julian membuka pintu belakang mobil bagi Cressida. Dia memegang tangga kecil lipat yang selalu disimpan di bagasi mobil untuk membantu Cressida naik ke dalam mobil tanpa kesulitan.Setelah Cressida duduk dengan nyaman di jok belakang yang empuk, Julian menutup pintu dengan hati-hati. Dia kemudian berjalan menuju kursi pengemudi dan memastikan bahwa semua sudah siap sebelum memulai perjalanan.Sebelum mereka melaju keluar dari arena berkuda tersebut, Julian melihat sekilas ke arah cermin belakang untuk memastikan bahwa Cressida sudah siap untuk pulang. Ketika dia mendapatkan anggukan persetujuan dari majikannya itu, Julian menghidupkan mobil tersebut dan mereka pun mulai meninggalkan arena berkuda tersebut menuju rumah mewah milik keluarga Cressida."Julian!" Cressida berujar tanpa menatap sopirnya "Ya, Nona.""Aku mau kau cari orang untuk mengikuti Madeline!"Madeline tiba di apartemen bersama Sean. Mereka berdiri di depan pintu apartemen, lampu lorong yang redup menciptakan suasana yang sedikit tegang."Kau mau mampir?" tanya Madeline sambil menoleh ke arah Sean. Suaranya terdengar ragu dan gugup."Kenapa harus tanya?" balas Sean dengan senyum tipis di wajahnya. Dia tampak tenang dan santai, seolah-olah memang sudah seharusnya Madeline membiarkan dia masuk. Madeline tampak ragu untuk membuka pintu apartemen. Tangannya berhenti di gagang pintu, tidak yakin apakah harus membukanya atau tidak.Sean kemudian memegang tangan Madeline. "Aku mengganggumu?" "Tidak, bukan begitu." Madeline menggeleng cepat. Segera dia tepis pikirannya dan segera memasukkan kode kunci."Ayo masuk." Pintu terbuka, Madeline empersilakan Sean untuk masuk lebih dulu.Sean pun masuk dan langsung duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Sofa berwarna putih yang terlihat agak kotor."Aku akan buatkan minuman untukmu," kata Madeline sambil bergerak menuju dapur kecil di bel
Madeline duduk termenung sendiri setelah Sean pergi. Dia menyadari kalau ada pria yang datang ke sini. Lantas apakah Sean juga bisa mereka kalau aroma tubuh yang tertinggal ini adalah aroma tubuhnya Darren?"Apa yang harus aku lakukan?" Madeline bergumam sendiri. Dia tidak masalah kalau Sean benar marah dan meninggalkannya. Namun, yang sudah-sudah pria itu bisa bersikap begitu baik. Ini yang membuat Madeline akan semakin merasa bersalah. Bagaimana dia harus menjelaskannya nanti jika Sean mau memaafkan? Haruskah dia mengatakannya langsung dan membiarkan hati laki-laki itu hancur lalu hubungan mereka ini berakhir?Tidak. Madeline rasa itu bukan ide baik. Sebaiknya Madeline menunggu waktu yang tepat untuk bisa menjelaskan. Pasti akan ada kesempatan untuknya dan dia akan pilih momen di mana itu tidak akan menghancurkan perasaan Sean.*Setelah melalui hari yang panjang, Cressida kembali ke rumahnya. Setidaknya, dia tahu di rumahnya yang mewah di pusat kota Manhattan, New York, akan me
Sean memegang setir mobil, termenung cukup lama. Dia memandangi mansion Darren yang megah dari balik kaca mobilnya, menimbang-nimbang apa yang harus dia katakan dan bagaimana dia harus bertindak.Setelah mengumpulkan cukup keberanian, Sean akhirnya membuka pintu mobil dan berjalan menuju mansion tersebut. Langkahnya terasa berat.Begitu masuk ke dalam mansion, seorang wanita berseragam kerja berwarna putih dengan apron hitam dan dasi kupu-kupu kecil di lehernya menyambut Sean.Dia Josy. Wanita bermata biru cerah dan selalu tampak penuh semangat. Wajahnya tampak awet muda meski kerutan sudah mulai tampak di beberapa bagian wajahnya."Kakakku ada?" tanya Sean."Ada, Tuan Muda," jawab Josy sambil memberikan senyum hormat kepada Sean. Dia kemudian membungkukkan badannya sedikit sebagai tanda hormat sebelum mempersilakan Sean untuk masuk lebih jauh ke dalam mansion.Darren duduk dengan tenang di ruang santainya yang luas dan nyaman bergaya klasik Eropa, dengan dinding-dindingnya dilapisi
Madeline menemui Sean segera setelah dia menerima telepon. Mereka bertemu di taman kota. Bagi Sean, tempat itu cukup romantis dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dan gemerlap di kejauhan. Pohon-pohon besar berdiri tegak, memberikan nuansa hening dan damai. Di malam hari, suasananya menjadi lebih tenang dan indah dengan pemandangan langit malam yang ditaburi bintang. "Maafkan aku, Mady," ujar Sean dengan nada serius. Madeline diam. Sejujurnya, dia merasa bersalah karena Sean tidak tahu bahwa kekasih yang dipujanya ini telah bercinta dengan kakaknya sendiri.Rasa bersalah mendera Madeline. Dia tidak kuat menyimpan kebohongan ini lagi. Hatinya hancur saat membayangkan betapa sakitnya Sean jika mengetahui semua ini. Sean adalah laki-laki baik. Mencintainya tanpa syarat, dan memberikan segalanya untuk membuatnya bahagia. Dan Madeline? Dia telah mengkhianati cinta mereka dengan cara paling buruk yang bisa dibayangkan oleh siapa pun.Malam itu menjadi semakin dingin seiring waktu be
Madeline merasa ketakutan yang begitu mendalam saat laki-laki tersebut semakin memperketat cengkeramannya dan memutar tubuhnya dengan kekuatan yang lebih besar. Dia berteriak dengan maksud memohon agar nyawanya tidak diambil. "Jangan bunuh aku!"Kejutan yang tidak terduga melanda Madeline saat dia melihat wajah pria itu dengan jelas. "D-Darren?" Madeline berkata dengan suara yang gemetar, matanya masih memancarkan ketakutan yang mendalam. "Ini aku, Madeline." Dengan napas tersengal berusaha menenangkan Madeline.Madeline merasakan betapa takutnya dirinya saat itu. Air matanya tidak bisa terbendung lagi dan mengalir deras di pipinya. Dalam keadaan yang rapuh, dia memeluk Darren dengan kuat, seolah mencari perlindungan. Darren dengan lembut mengusap bahu Madeline. "Jangan takut, aku di sini untuk melindungimu." "Aku takut," ucap Madeline dengan suara terputus-putus, masih dalam ketakutan yang melumpuhkan dirinya. Dia bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan dal
Cressida merasa begitu senang ketika melihat Darren memasuki ruangan. Dia segera berdiri dari kursinya, matanya berkilauan dengan antusiasme dan senyuman lebar terpampang di wajahnya.Namun, Darren tidak membalas senyumnya. Sebaliknya, ekspresi wajahnya tegang dan matanya memancarkan kemarahan yang tidak bisa dia sembunyikan. Cressida tidak menaruh curiga mengapa Darren tidak senang melihatnya."Apa yang kau lakukan pada Madeline!" Darren berteriak, suaranya bergema di seluruh ruangan, membuat Cressida terkejut."Apa?" Cressida menggelengkan kepalanya, tidak mengerti. Dia menatap Darren dengan tatapan bingung."A-ku tidak melakukan apa-apa," jawab Cressida, suaranya gemetar. Dia tidak mengerti mengapa Darren begitu marah padanya. Dia berusaha mencari tahu apa yang dia lakukan salah, tetapi dia tidak bisa menemukan jawabannya. Darren menggenggam sesuatu di tangannya. Dengan gerakan cepat, dia membuka layar ponsel dan menunjukkan sebuah foto kepada Cressida. Foto itu adalah foto seoran
Ellena duduk di sisi tempat tidur putrinya. Dia menatap Cressida yang masih berbaring tak sadarkan diri, hatinya remuk melihat keadaan putrinya. "Cressida, Sayang, kenapa kau melakukan ini?" bisiknya lembut, suaranya serak oleh tangis. Matanya berkaca-kaca, menatap putrinya yang tampak begitu rapuh di atas tempat tidur rumah sakit. Darren juga ada di sana. Dia menatap Cressida, matanya terasa dingin dan tak berperasaan. Anehnya, dia tidak merasa bersalah sama sekali atas percobaan bunuh diri yang dilakukan Cressida. Tidak mau dianggap sebagai monster, Darren dengan ragu-ragu meraih dan menyentuh tangan Cressida yang terbaring lemas. "Putriku hampir memotong nadinya karenamu!" pekik Ellena tiba-tiba menyalahkan Darren atas kejadian ini. "Tega sekali kau mengakhiri hubungan kalian!" Darren hanya bisa menghela napas, mencoba menahan amarah yang mulai membanjiri hatinya. Dia tidak bersalah, tetapi dipojokkan. "Sikap Cressida yang keterlaluan," balas Darren dengan nada datar, mencoba
"Darren, aku dengar kau tidak pernah menemui Cressida selama dia sakit?" Nyonya Sinclair baru kembali dari Hongkong beberapa hari kemudian langsung menuju Darren di kediamannya. Tidak peduli kalau hari sudah larut malam, dia tetap ke sana. Karena wanita itu tahu jika matahari sudah terbit, anaknya akan menjadi manusia paling sibuk yang tidak akan punya waktu untuk ditemui.Malam itu, Darren sebenarnya juga lelah. Sudah seharian penuh dia bekerja dan harus menahan sakit hati sekaligus sakit kepala saat mendengarkan Sean yang mengatakan semua tentang Madeline. Dunia terasa seperti akan menghancurkannya di detik-detik seperti ini.Josy malam itu harus terjaga kembali untuk membuatkan minuman bagi Nyonya Besar tersebut. Ini sebuah kejutan yang tidak menyenangkan. Darren ganya bisa mendengkus menyambut ibunya di ruang tamu."Aku tidak perlu menjenguknya." Jawaban Darren membuat Nyonya Sinclair terkejut. "Darren, kau ini!" Nyonya Sinclair mencoba menahan marahnya. "Jangan sampai ayahmu y
Darren sontak berdiri dengan ekspresi terkejut. "Sial!" Dia tanpa pamit langsung pergi begitu saja.Lulu menatap kepergian bosnya hingga hilang dari pandangannya. "Kamu ke mana saja, sih? Aku khawatir di sini, tapi kamu malah mengabaikanku!" teriak Crasida di telepon saat Darren mencoba menghubunginya di dalam perjalanan menuju ke Rumah sakit."Maaf, sayang. Aku akan segera ke sana." Darren segera menuju ke rumah sakit. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia masih memikirkan Michael. Ia tak percaya Michael akan mengalami kecelakaan karena tidak ada tanda-tanda akan terjadi hal buruk. Ia berdoa semoga Michael dalam keadaan baik-baik saja. Setelah terdiam sambil mengemudi beberapa menit kemudian akhirnya ia tiba di Rumah sakit. Darren bergegas menemui Crasida yang telah menunggunya. Ternyata Sean telah lebih dahulu berada di sana. Walau sempat kesal dan masih marah pada adiknya itu, ia tak ingin dulu mengungkit masalah itu. "Bagaimana keadaan putra kita?" "Dia butuh banyak darah.
Madeline memeluk erat putranya, ia enggan meninggalkan mobil karena memikirkan keselamatan putra dan dirinya sementara Sean bergeming tanpa memberikan rasa kasihan padanya. Madeline menunggu beberapa saat untuk memohon agar Sean berubah pikiran, hanya lewat tatapannya yang tak berdaya, tetapi Sean masih sama, tidak peduli padanya. Akhirnya Madeline terpaksa turun dari mobil dan tidak butuh waktu lama Sean benar-benar meninggalkannya di jalan sepi itu.Madeline menangis ketika putranya bertanya, "Mama, apa kita akan menunggu di sini? Dylan takut, Ma." Madeline, mencoba menahan suara isaknya agar dapat menjawab Sean, "Sebentar lagi kita pulang. Kita tunggu taksi dulu, ya? Untuk sementara kita jalan dulu ke tempat yang ramai." "Apa Mama, bisa?" Ia menatap luka di lutut ibunya.Madeline tersenyum, sembari menganggukkan kepala. "Ayo, kita jalan!" Darren kehilangan jejak mobil Sean. Hampir saja ia memutuskan untuk kembali ke rumah, tapi saat melihat seorang perempuan dengan putra kecil
"Om, mau ketemu mama, boleh?" tanya Darren, sambil melirik ke kaca mobil. Dia melihat samar-samar sosok Madeline di sana, sedang bersandar pada bangku mobil. Sikap duduk perempuan itu masih sama, masih melindungi identitasnya. "Mama, lagi sakit, Om. Tidak bisa." "Sebentar saja. Om, cuma mau berkenalan sama mamamu." Setelah berkata, dia langsung menuju ke lain sisi pintu mobil, di mana tempat Madeline duduk. "Tapi kata Om Sean, mama sedang terluka." Ia tidak ingin ibunya diganggu apalagi ia mengira Ibunya kini tengah tidur. Ia juga cemas kalau sikap Sean mungkin sama seperti Crasida yang tidak setuju anaknya berteman dengan sembarangan orang. Ia tidak mau ibunya dimarahi lagi. Meski tadi Darren telah bersikap baik padanya, tapi dia perlu waspada. "Dia lagi tidur, Dar," kata Sean, saat Darren akan mengetuk kaca pintu mobil, tapi Darren tidak peduli, Darren membungkuk melihat kaca. "Aku cuma mau melihatnya. Bisa kamu buka?" "Kami sedang terburu-buru," jawab Sean agak kesal.Darren
Sean menatap wajah Madeline yang masih belum menjawab keinginannya untuk ikut menjemput Dylan ke rumah Michael. Terus terang ia begitu ingin lebih lama bersama perempuan itu dan bila bisa tidak akan terpisah lagi. "Kenapa Mady? Apa aku sudah mengganggumu sampai kamu tidak mau menerima bantuanku?""Tidak sama sekali." Madeline menggeleng lemah, sedikit merasa tidak nyaman dengan perkataan Sean barusan. "Lalu?" Sean mengerutkan keningnya, alisnya hampir bersatu karena merasa perempuan itu telah menyembunyikan sesuatu darinya. "Aku cuma tidak mau merepotkan kamu saja." Dia tersenyum hambar, berharap Sean tidak memaksanya lagi."Aku bertanggung jawab atas luka yang kau dapatkan itu. Daripada terjadi apa-apa, lebih baik aku antar kamu ke sana." "Tapi, Se--""Eits! Jangan membantah! Aku akan merasa bersalah bila kamu tidak mau menerima bantuanku," potong Sean sambil memelas.Madeline terdiam sejenak sebelum ia menganggukkan kepalanya. Ia menarik napas sedalam-dalamnya untuk mengurangi be
Sosok lelaki yang tidak asing bagi Madeline.“Itu Sean…” lirih Madeline mengucek matanya merasa penglihatannya tidak baik-baik saja. Benarkah itu Sean? Lelaki bertubuh sempurna dengan balutan kemeja berwarna hitam digulung hingga bagian siku tersebut berjalan mendekati Madeline yang berdiri termenung. Mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Mady,” panggil Sean dengan lembut, dia ingin memastikan wanita di depannya kini Madeline ataukah hanyalah halusinasinya saja. Ternyata matanya masih berfungsi dengan benar, itu beneran Madeline. Lelaki itu melayangkan sebuah senyum yang paling tulus, bibirnya merekah pertanda bahagianya bisa menemukan pujaan hatinya yang menghilang selama ini. Hatinya bersorak bahagia dipertemukan dengan sang penghuni hati. Madeline masih mematung, kakinya terasa berat untuk segera berlari menjauh dari hadapan Sean. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sean kembali di saat seperti ini. Keringat tiba-tiba mengucur deras bahkan punggungnya sudah mulai
Dilan menatap lama Michael. “Emm, aku harus bilang semuanya kepada ibuku dengan siapa aku berteman, tapi kamu apakah benar ingin berteman denganku?” tanya Dilan bersungguh-sungguh tapi Michel langsung menyambut dengan anggukan kepala yang mantap. “Karena kau adalah orang yang mau membelaku saat Bobby dan teman-temannya nakal,” jawab Michael dengan sejujurnya. Belum sempat Dilan berbicara ternyata di seberang jalan, Madeline telah menunggu kedatangannya. “Aku duluan, besok kita bertemu lagi,” ucap Dilan berlari menemui ibunya. “Halo, Jagoan kecil,” sapa Madeline berjongkok agar mereka sama tingginya. “Hai, Mom, aku tadi kena hukuman dari Miss Neona.” Dilan tidak sabar ingin bercerita dia membuka percakapan tentang hukumannya tadi. “Oh, begitu, kita lanjut cerita di rumah, sekarang pulang dulu.” Bocah kecil sekolah TK tersebut menurut apa kata ibunya. Mereka pulang ke apartemen bersama-sama. Sore harinya. Madeline telah selesai membuat makan makan untuk mereka berdua. Dilan masi
Madeline menatapnya dengan tajam, tidak sedikit pun menunjukkan rasa takut. "Beraninya aku? Oh, Cressida, kau pikir aku akan takut padamu?" Dia tertawa kecil, suaranya penuh dengan sinisme. "Aku tidak takut padamu, baik dulu atau sekarang."“Dasar pelacur murahan!” Cressida menghinanya. “Aku tahu kenapa kau bisa berani begini.”Madeline belum paham dengan tuduhan Cressida.“Sudah pasti kau menggoda suamiku lagi, kan?” tuduh Cressida tanpa bukti. “Kau menggoda suamiku dan mengemis padanya supaya dilindungi.”Madeline bergeming untuk sejenak. Entahlah bagaimana dia harus mengelak. Rasanya mengatakan apa pun akan percuma saat ini.Cressida menunjuk Madeline. “Dengar! Sebesar apa pun cinta kalian, akulah yang istrinya. Kau hanya jalang yang coba kembali untuk menghancurkan rumah tanggaku.”Tuduhan Cressida kali ini mengenai jantung Madeline seperti sebilah pisau yang menancap.“Anakmu itu, jangan coba-coba meminta hak pada Darren atau aku akan membunuhmu! Dia hanyalah anak haram!” Cressid
Gini menarik napas dalam-dalam, berusaha menyusun kata-kata dengan hati-hati. "Darren, aku tahu ini sulit. Tapi percayalah, Mady bukanlah orang yang mudah dibujuk. Dia memiliki prinsip dan dia akan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan. Aku tahu kau merasa berhak tahu, tapi apakah itu sebanding dengan risiko kehilangan Mady lagi?" Darren tampak ragu, matanya bergerak bolak-balik antara Gini dan latte-nya yang sudah mulai dingin. "Kau tidak akan mengerti dengan apa yang aku rasakan."Gini menggeleng. "Aku mengerti, Darren. Tapi, aku juga kenal betul dengan bagaimana Mady. Pikirkan juga soal istrimu. Kalau kau masih nekat mendekati Madeline, dia bisa dituduh yang bukan-bukan."Darren tampak terpaku, matanya menatap jauh ke luar jendela. Dia tahu semua ini terlalu rumit. Namun, bagaimana bisa dia berhenti mencari tahu? Bagaimana dia bisa berhenti mencintai Madeline?Darren berpikir keras, matanya menatap kosong ke depan. Dia terjepit antara cintanya pada Madeline dan tanggu
Darren melewati malam dengan over thinking. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Entah itu soal Cressida atau Michael. Bahkan, dia masih merindukan Madeline.Paginya, ketika dia berada di kantor, Gisela sang sekretaris memberitahukan padanya kalau ada orang yang ingin bertemu. Ketika dikonfirmasi siapa dia, ternyata itu adalah Carlos. Anak buahnya yang ditugaskan untuk mencari tahu soal Madeline.Darren segera menyuruhnya segera ke ruangan."Pagi Pak Darren!" Carlos memyapa ketika dia sudah tiba di ruangan Darren."Masuklah!" Darren mempersilakannya.Carlos duduk di depan Darren. "Maaf mengganggu, Pak, aku datang ke sini untuk mengatakan kabar penting soal Madeline."Hanya alis Darren yang bertaut."Wanita yang Anda cari itu telah kembali," ujar Carlos.Dalam sekejap, semua kenangan tentang Madeline membanjiri pikirannya. "Di mana dia sekarang?" tanya Darren,"Aku rasa dia masih tinngal di apartemen lama, Pak. Aku sudah memperhatikannya selama beberapa hari ini."Darren memikirk