Sean memegang setir mobil, termenung cukup lama. Dia memandangi mansion Darren yang megah dari balik kaca mobilnya, menimbang-nimbang apa yang harus dia katakan dan bagaimana dia harus bertindak.Setelah mengumpulkan cukup keberanian, Sean akhirnya membuka pintu mobil dan berjalan menuju mansion tersebut. Langkahnya terasa berat.Begitu masuk ke dalam mansion, seorang wanita berseragam kerja berwarna putih dengan apron hitam dan dasi kupu-kupu kecil di lehernya menyambut Sean.Dia Josy. Wanita bermata biru cerah dan selalu tampak penuh semangat. Wajahnya tampak awet muda meski kerutan sudah mulai tampak di beberapa bagian wajahnya."Kakakku ada?" tanya Sean."Ada, Tuan Muda," jawab Josy sambil memberikan senyum hormat kepada Sean. Dia kemudian membungkukkan badannya sedikit sebagai tanda hormat sebelum mempersilakan Sean untuk masuk lebih jauh ke dalam mansion.Darren duduk dengan tenang di ruang santainya yang luas dan nyaman bergaya klasik Eropa, dengan dinding-dindingnya dilapisi
Madeline menemui Sean segera setelah dia menerima telepon. Mereka bertemu di taman kota. Bagi Sean, tempat itu cukup romantis dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dan gemerlap di kejauhan. Pohon-pohon besar berdiri tegak, memberikan nuansa hening dan damai. Di malam hari, suasananya menjadi lebih tenang dan indah dengan pemandangan langit malam yang ditaburi bintang. "Maafkan aku, Mady," ujar Sean dengan nada serius. Madeline diam. Sejujurnya, dia merasa bersalah karena Sean tidak tahu bahwa kekasih yang dipujanya ini telah bercinta dengan kakaknya sendiri.Rasa bersalah mendera Madeline. Dia tidak kuat menyimpan kebohongan ini lagi. Hatinya hancur saat membayangkan betapa sakitnya Sean jika mengetahui semua ini. Sean adalah laki-laki baik. Mencintainya tanpa syarat, dan memberikan segalanya untuk membuatnya bahagia. Dan Madeline? Dia telah mengkhianati cinta mereka dengan cara paling buruk yang bisa dibayangkan oleh siapa pun.Malam itu menjadi semakin dingin seiring waktu be
Madeline merasa ketakutan yang begitu mendalam saat laki-laki tersebut semakin memperketat cengkeramannya dan memutar tubuhnya dengan kekuatan yang lebih besar. Dia berteriak dengan maksud memohon agar nyawanya tidak diambil. "Jangan bunuh aku!"Kejutan yang tidak terduga melanda Madeline saat dia melihat wajah pria itu dengan jelas. "D-Darren?" Madeline berkata dengan suara yang gemetar, matanya masih memancarkan ketakutan yang mendalam. "Ini aku, Madeline." Dengan napas tersengal berusaha menenangkan Madeline.Madeline merasakan betapa takutnya dirinya saat itu. Air matanya tidak bisa terbendung lagi dan mengalir deras di pipinya. Dalam keadaan yang rapuh, dia memeluk Darren dengan kuat, seolah mencari perlindungan. Darren dengan lembut mengusap bahu Madeline. "Jangan takut, aku di sini untuk melindungimu." "Aku takut," ucap Madeline dengan suara terputus-putus, masih dalam ketakutan yang melumpuhkan dirinya. Dia bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan dal
Cressida merasa begitu senang ketika melihat Darren memasuki ruangan. Dia segera berdiri dari kursinya, matanya berkilauan dengan antusiasme dan senyuman lebar terpampang di wajahnya.Namun, Darren tidak membalas senyumnya. Sebaliknya, ekspresi wajahnya tegang dan matanya memancarkan kemarahan yang tidak bisa dia sembunyikan. Cressida tidak menaruh curiga mengapa Darren tidak senang melihatnya."Apa yang kau lakukan pada Madeline!" Darren berteriak, suaranya bergema di seluruh ruangan, membuat Cressida terkejut."Apa?" Cressida menggelengkan kepalanya, tidak mengerti. Dia menatap Darren dengan tatapan bingung."A-ku tidak melakukan apa-apa," jawab Cressida, suaranya gemetar. Dia tidak mengerti mengapa Darren begitu marah padanya. Dia berusaha mencari tahu apa yang dia lakukan salah, tetapi dia tidak bisa menemukan jawabannya. Darren menggenggam sesuatu di tangannya. Dengan gerakan cepat, dia membuka layar ponsel dan menunjukkan sebuah foto kepada Cressida. Foto itu adalah foto seoran
Ellena duduk di sisi tempat tidur putrinya. Dia menatap Cressida yang masih berbaring tak sadarkan diri, hatinya remuk melihat keadaan putrinya. "Cressida, Sayang, kenapa kau melakukan ini?" bisiknya lembut, suaranya serak oleh tangis. Matanya berkaca-kaca, menatap putrinya yang tampak begitu rapuh di atas tempat tidur rumah sakit. Darren juga ada di sana. Dia menatap Cressida, matanya terasa dingin dan tak berperasaan. Anehnya, dia tidak merasa bersalah sama sekali atas percobaan bunuh diri yang dilakukan Cressida. Tidak mau dianggap sebagai monster, Darren dengan ragu-ragu meraih dan menyentuh tangan Cressida yang terbaring lemas. "Putriku hampir memotong nadinya karenamu!" pekik Ellena tiba-tiba menyalahkan Darren atas kejadian ini. "Tega sekali kau mengakhiri hubungan kalian!" Darren hanya bisa menghela napas, mencoba menahan amarah yang mulai membanjiri hatinya. Dia tidak bersalah, tetapi dipojokkan. "Sikap Cressida yang keterlaluan," balas Darren dengan nada datar, mencoba
"Darren, aku dengar kau tidak pernah menemui Cressida selama dia sakit?" Nyonya Sinclair baru kembali dari Hongkong beberapa hari kemudian langsung menuju Darren di kediamannya. Tidak peduli kalau hari sudah larut malam, dia tetap ke sana. Karena wanita itu tahu jika matahari sudah terbit, anaknya akan menjadi manusia paling sibuk yang tidak akan punya waktu untuk ditemui.Malam itu, Darren sebenarnya juga lelah. Sudah seharian penuh dia bekerja dan harus menahan sakit hati sekaligus sakit kepala saat mendengarkan Sean yang mengatakan semua tentang Madeline. Dunia terasa seperti akan menghancurkannya di detik-detik seperti ini.Josy malam itu harus terjaga kembali untuk membuatkan minuman bagi Nyonya Besar tersebut. Ini sebuah kejutan yang tidak menyenangkan. Darren ganya bisa mendengkus menyambut ibunya di ruang tamu."Aku tidak perlu menjenguknya." Jawaban Darren membuat Nyonya Sinclair terkejut. "Darren, kau ini!" Nyonya Sinclair mencoba menahan marahnya. "Jangan sampai ayahmu y
Cahaya lampu yang redup dan suara embusan angin malam dari jendela terbuka semakin menambah suasana menjadi semakin intens. "Mady—" ucap Darren, matanya menatap Madeline dengan tatapan hangat, penuh cinta. Rasa cintanya begitu jelas terpancar dari kedua mata birunya yang dalam."Kau tidak bisa menolakku, Mady," ujar Darren dengan tegas. Matanya menatap Madeline dengan penuh hasrat, seolah-olah dia bisa melihat ke dalam jiwa perempuan itu. Suaranya berat dan penuh dengan emosi, membuat detak jantung Madeline berlari kencang."Ya … aku tidak bisa menolakmu," ujar Madeline dengan suara lemah. Dia merasa terpaku, tidak bisa melawan godaan Darren. Meski berusaha menolak, tetapi hatinya berbicara sebaliknya. Dia merasa seperti terhipnotis oleh tatapan Darren, tidak mampu melawan."Mady, kau begitu cantik," ujar Darren, matanya memandangi Madeline dengan penuh kekaguman. Dia merasa beruntung bisa bersama Madeline, perempuan yang selalu ada dalam mimpinya."Mady, aku janji akan membahagiakan
Darren pergi dari apartemen Madeline setelah menyelesaikan sarapannya. Hari itu dia ke kantor seperti biasa tanpa ada beban pikiran. Dia tidak tahu kalau Madeline sudah menyiapkan rencana untuk pergi dari hidupnya untuk selamanya."Aku pergi, Darren," Madeline mengirim pesan suara pada Daren. "Aku sudah bilang padamu kalau akan menghilang dari hidupmu kalau sampai kau berani mengatakan tentang kita pada Sean."Selanjutnya Madeline mengatakan pada Sean. Dia minta maaf melalui pesan singkat dan mengatakan bahwa Sean harus mencari wanita yang lebih baik darinya. Sean harus mendapatkan kebahagiaan tanpa dirinya. Pria sebaik Sean harus bisa mendapatkan peluang yang lebih baik darinya.Madeline pergi dari apartemen itu, menempuh perjalanan selama setengah hari.Satu-satunya orang yang mengetahui di mana keberadaannya sekarang adalah Gini."Mady, kau ke mana?" Gini kaget mendengar keputusannya untuk pergi."Aku harus menghilang dulu selama batas waktu yang tidak bisa aku tentukan.""Mady, ka
Darren sontak berdiri dengan ekspresi terkejut. "Sial!" Dia tanpa pamit langsung pergi begitu saja.Lulu menatap kepergian bosnya hingga hilang dari pandangannya. "Kamu ke mana saja, sih? Aku khawatir di sini, tapi kamu malah mengabaikanku!" teriak Crasida di telepon saat Darren mencoba menghubunginya di dalam perjalanan menuju ke Rumah sakit."Maaf, sayang. Aku akan segera ke sana." Darren segera menuju ke rumah sakit. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia masih memikirkan Michael. Ia tak percaya Michael akan mengalami kecelakaan karena tidak ada tanda-tanda akan terjadi hal buruk. Ia berdoa semoga Michael dalam keadaan baik-baik saja. Setelah terdiam sambil mengemudi beberapa menit kemudian akhirnya ia tiba di Rumah sakit. Darren bergegas menemui Crasida yang telah menunggunya. Ternyata Sean telah lebih dahulu berada di sana. Walau sempat kesal dan masih marah pada adiknya itu, ia tak ingin dulu mengungkit masalah itu. "Bagaimana keadaan putra kita?" "Dia butuh banyak darah.
Madeline memeluk erat putranya, ia enggan meninggalkan mobil karena memikirkan keselamatan putra dan dirinya sementara Sean bergeming tanpa memberikan rasa kasihan padanya. Madeline menunggu beberapa saat untuk memohon agar Sean berubah pikiran, hanya lewat tatapannya yang tak berdaya, tetapi Sean masih sama, tidak peduli padanya. Akhirnya Madeline terpaksa turun dari mobil dan tidak butuh waktu lama Sean benar-benar meninggalkannya di jalan sepi itu.Madeline menangis ketika putranya bertanya, "Mama, apa kita akan menunggu di sini? Dylan takut, Ma." Madeline, mencoba menahan suara isaknya agar dapat menjawab Sean, "Sebentar lagi kita pulang. Kita tunggu taksi dulu, ya? Untuk sementara kita jalan dulu ke tempat yang ramai." "Apa Mama, bisa?" Ia menatap luka di lutut ibunya.Madeline tersenyum, sembari menganggukkan kepala. "Ayo, kita jalan!" Darren kehilangan jejak mobil Sean. Hampir saja ia memutuskan untuk kembali ke rumah, tapi saat melihat seorang perempuan dengan putra kecil
"Om, mau ketemu mama, boleh?" tanya Darren, sambil melirik ke kaca mobil. Dia melihat samar-samar sosok Madeline di sana, sedang bersandar pada bangku mobil. Sikap duduk perempuan itu masih sama, masih melindungi identitasnya. "Mama, lagi sakit, Om. Tidak bisa." "Sebentar saja. Om, cuma mau berkenalan sama mamamu." Setelah berkata, dia langsung menuju ke lain sisi pintu mobil, di mana tempat Madeline duduk. "Tapi kata Om Sean, mama sedang terluka." Ia tidak ingin ibunya diganggu apalagi ia mengira Ibunya kini tengah tidur. Ia juga cemas kalau sikap Sean mungkin sama seperti Crasida yang tidak setuju anaknya berteman dengan sembarangan orang. Ia tidak mau ibunya dimarahi lagi. Meski tadi Darren telah bersikap baik padanya, tapi dia perlu waspada. "Dia lagi tidur, Dar," kata Sean, saat Darren akan mengetuk kaca pintu mobil, tapi Darren tidak peduli, Darren membungkuk melihat kaca. "Aku cuma mau melihatnya. Bisa kamu buka?" "Kami sedang terburu-buru," jawab Sean agak kesal.Darren
Sean menatap wajah Madeline yang masih belum menjawab keinginannya untuk ikut menjemput Dylan ke rumah Michael. Terus terang ia begitu ingin lebih lama bersama perempuan itu dan bila bisa tidak akan terpisah lagi. "Kenapa Mady? Apa aku sudah mengganggumu sampai kamu tidak mau menerima bantuanku?""Tidak sama sekali." Madeline menggeleng lemah, sedikit merasa tidak nyaman dengan perkataan Sean barusan. "Lalu?" Sean mengerutkan keningnya, alisnya hampir bersatu karena merasa perempuan itu telah menyembunyikan sesuatu darinya. "Aku cuma tidak mau merepotkan kamu saja." Dia tersenyum hambar, berharap Sean tidak memaksanya lagi."Aku bertanggung jawab atas luka yang kau dapatkan itu. Daripada terjadi apa-apa, lebih baik aku antar kamu ke sana." "Tapi, Se--""Eits! Jangan membantah! Aku akan merasa bersalah bila kamu tidak mau menerima bantuanku," potong Sean sambil memelas.Madeline terdiam sejenak sebelum ia menganggukkan kepalanya. Ia menarik napas sedalam-dalamnya untuk mengurangi be
Sosok lelaki yang tidak asing bagi Madeline.“Itu Sean…” lirih Madeline mengucek matanya merasa penglihatannya tidak baik-baik saja. Benarkah itu Sean? Lelaki bertubuh sempurna dengan balutan kemeja berwarna hitam digulung hingga bagian siku tersebut berjalan mendekati Madeline yang berdiri termenung. Mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Mady,” panggil Sean dengan lembut, dia ingin memastikan wanita di depannya kini Madeline ataukah hanyalah halusinasinya saja. Ternyata matanya masih berfungsi dengan benar, itu beneran Madeline. Lelaki itu melayangkan sebuah senyum yang paling tulus, bibirnya merekah pertanda bahagianya bisa menemukan pujaan hatinya yang menghilang selama ini. Hatinya bersorak bahagia dipertemukan dengan sang penghuni hati. Madeline masih mematung, kakinya terasa berat untuk segera berlari menjauh dari hadapan Sean. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sean kembali di saat seperti ini. Keringat tiba-tiba mengucur deras bahkan punggungnya sudah mulai
Dilan menatap lama Michael. “Emm, aku harus bilang semuanya kepada ibuku dengan siapa aku berteman, tapi kamu apakah benar ingin berteman denganku?” tanya Dilan bersungguh-sungguh tapi Michel langsung menyambut dengan anggukan kepala yang mantap. “Karena kau adalah orang yang mau membelaku saat Bobby dan teman-temannya nakal,” jawab Michael dengan sejujurnya. Belum sempat Dilan berbicara ternyata di seberang jalan, Madeline telah menunggu kedatangannya. “Aku duluan, besok kita bertemu lagi,” ucap Dilan berlari menemui ibunya. “Halo, Jagoan kecil,” sapa Madeline berjongkok agar mereka sama tingginya. “Hai, Mom, aku tadi kena hukuman dari Miss Neona.” Dilan tidak sabar ingin bercerita dia membuka percakapan tentang hukumannya tadi. “Oh, begitu, kita lanjut cerita di rumah, sekarang pulang dulu.” Bocah kecil sekolah TK tersebut menurut apa kata ibunya. Mereka pulang ke apartemen bersama-sama. Sore harinya. Madeline telah selesai membuat makan makan untuk mereka berdua. Dilan masi
Madeline menatapnya dengan tajam, tidak sedikit pun menunjukkan rasa takut. "Beraninya aku? Oh, Cressida, kau pikir aku akan takut padamu?" Dia tertawa kecil, suaranya penuh dengan sinisme. "Aku tidak takut padamu, baik dulu atau sekarang."“Dasar pelacur murahan!” Cressida menghinanya. “Aku tahu kenapa kau bisa berani begini.”Madeline belum paham dengan tuduhan Cressida.“Sudah pasti kau menggoda suamiku lagi, kan?” tuduh Cressida tanpa bukti. “Kau menggoda suamiku dan mengemis padanya supaya dilindungi.”Madeline bergeming untuk sejenak. Entahlah bagaimana dia harus mengelak. Rasanya mengatakan apa pun akan percuma saat ini.Cressida menunjuk Madeline. “Dengar! Sebesar apa pun cinta kalian, akulah yang istrinya. Kau hanya jalang yang coba kembali untuk menghancurkan rumah tanggaku.”Tuduhan Cressida kali ini mengenai jantung Madeline seperti sebilah pisau yang menancap.“Anakmu itu, jangan coba-coba meminta hak pada Darren atau aku akan membunuhmu! Dia hanyalah anak haram!” Cressid
Gini menarik napas dalam-dalam, berusaha menyusun kata-kata dengan hati-hati. "Darren, aku tahu ini sulit. Tapi percayalah, Mady bukanlah orang yang mudah dibujuk. Dia memiliki prinsip dan dia akan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan. Aku tahu kau merasa berhak tahu, tapi apakah itu sebanding dengan risiko kehilangan Mady lagi?" Darren tampak ragu, matanya bergerak bolak-balik antara Gini dan latte-nya yang sudah mulai dingin. "Kau tidak akan mengerti dengan apa yang aku rasakan."Gini menggeleng. "Aku mengerti, Darren. Tapi, aku juga kenal betul dengan bagaimana Mady. Pikirkan juga soal istrimu. Kalau kau masih nekat mendekati Madeline, dia bisa dituduh yang bukan-bukan."Darren tampak terpaku, matanya menatap jauh ke luar jendela. Dia tahu semua ini terlalu rumit. Namun, bagaimana bisa dia berhenti mencari tahu? Bagaimana dia bisa berhenti mencintai Madeline?Darren berpikir keras, matanya menatap kosong ke depan. Dia terjepit antara cintanya pada Madeline dan tanggu
Darren melewati malam dengan over thinking. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Entah itu soal Cressida atau Michael. Bahkan, dia masih merindukan Madeline.Paginya, ketika dia berada di kantor, Gisela sang sekretaris memberitahukan padanya kalau ada orang yang ingin bertemu. Ketika dikonfirmasi siapa dia, ternyata itu adalah Carlos. Anak buahnya yang ditugaskan untuk mencari tahu soal Madeline.Darren segera menyuruhnya segera ke ruangan."Pagi Pak Darren!" Carlos memyapa ketika dia sudah tiba di ruangan Darren."Masuklah!" Darren mempersilakannya.Carlos duduk di depan Darren. "Maaf mengganggu, Pak, aku datang ke sini untuk mengatakan kabar penting soal Madeline."Hanya alis Darren yang bertaut."Wanita yang Anda cari itu telah kembali," ujar Carlos.Dalam sekejap, semua kenangan tentang Madeline membanjiri pikirannya. "Di mana dia sekarang?" tanya Darren,"Aku rasa dia masih tinngal di apartemen lama, Pak. Aku sudah memperhatikannya selama beberapa hari ini."Darren memikirk