“Halo, Ibu. Ada apa?” sapa Aina.
Malam itu baru saja Aina hendak memejamkan mata, tiba-tiba Bu Rahma menelepon.
“Aina kamu di mana? Apa kamu sudah tahu jika Fakhri masuk rumah sakit?” Suara Bu Rahma di seberang tampak khawatir.
Aina terdiam sesaat, mengangguk dengan ragu. Jelas ia tahu, dia yang membawa Fakhri ke rumah sakit bersama Damar tadi siang. Namun, rasanya saat ini jawaban itu tidak diperlukan.
“Sakit apa Mas Fakhri, Bu?” Aina malah balik bertanya. Anggap saja dia tidak tahu dan saat ini dia ingin mencari tahu lebih banyak.
“Kata Wulan kecapekan terus juga kemungkinan kena asam lambung. Duh, kok bisa Fakhri kena asam lambung. Dia kan gak pernah telat makan. Bukankah saat bersama kamu dulu, Fakhri baik-baik saja, Aina?”
Aina terdiam. Tidak menjawab. Ia tidak mau berargumen. Percuma saja dia membela diri, toh Fakhri tidak akan memenangkannya.
“Sakit asam lambung bukan hanya
“Iya, tentu,” jawab Aina.Sebuah senyuman sontak terukir di wajah cantik wanita itu. Aina langsung menarik kursi mendekat brankar Fakhri, mulai membuka plastik wrap pada makanan, kemudian bersiap menyuapinya.“Mas, hadap sini, dong!!” pinta Aina.Awalnya Fakhri tampak malas, tapi perlahan kepalanya menoleh dengan patuh ke arah Aina. Kalau dipikir-pikir ulah Fakhri saat ini seperti anak kecil yang sedang merajuk dan ini mengingatkan Aina pada Zafran.“Buka mulutnya!!” Lagi-lagi Aina memberi perintah, lalu dengan tunduk Fakhri menuruti perintahnya.Fakhri tidak berkomentar sedikit pun. Ia menoleh ke arah Aina, membuka mulut meski matanya sama sekali tidak melihat ke istrinya sedikit pun. Aina tidak peduli, asal ia bisa bersama Fakhri beberapa saat saja sudah cukup. Siapa tahu dengan momen seperti ini membuka jalan komunikasi mereka yang tersendat.“Sudah, aku sudah kenyang.”Hanya beberapa
“Fakhri, Aina mana?” tanya Bu RahmaBeberapa saat setelah Fakhri mengusir Aina, Bu Rahma kembali masuk ke ruang rawat inap tempat Fakhri berada. Wanita paruh baya itu terkejut saat tidak melihat Aina di sana.“Aku menyuruhnya pergi,” jawab Fakhri.Bu Rahma tampak terkejut dan menatap Fakhri dengan tajam.“Apa maksudmu menyuruhnya pergi? Kamu mengusirnya, Fakhri?”Fakhri tidak menjawab hanya berdecak sambil menatap Bu Rahma dengan malas. Bu Rahma semakin marah, berjalan mendekat ke brankar Fakhri.“Dia istrimu juga. Apa salahnya menjengukmu, Fakhri?”Fakhri menghela napas panjang sambil berdecak melihat Bu Rahma.“Bu … sudah kubilang jangan ikut campur dengan urusanku. Biarkan aku selesaikan sendiri masalahku.”Bu Rahma terdiam menatap Fakhri dengan seksama sambil menggelengkan kepala berulang.“Ibu lihat kamu tidak menyelesaikan masalahmu, ta
“Mas, aku bawain nasi Padang kesukaanmu,” ucap Wulan.Ia berjalan mendekat ke Fakhri sambil menyodorkan nasi kotak bertuliskan nama sebuah rumah makan Padang. Fakhri hanya diam tidak berkomentar sedikit pun. Sementara Bu Rahma hanya menghela napas panjang.Wanita paruh baya itu mendekat ke Wulan, kemudian mengambil nasi kotak tersebut.“Wulan, apa kamu tidak tahu jika Fakhri belum boleh makan nasi. Pencernaannya ada masalah dan dia hanya boleh makan bubur.”Wulan tampak terkejut dan menatap Fakhri dengan bingung.“Mas … kok kamu gak bilang tadi.”Fakhri berdecak, melirik Wulan dengan gemas. Padahal semalam dokter sudah memberitahu tentang hal itu padanya, kenapa Wulan malah berkata seperti itu?“Maaf, Bu. Saya gak tahu. Mungkin nasi Padangnya buat Ibu saja.”Bu Rahma hanya diam sambil melirik sinis Wulan. Wulan tampak mengabaikan tatapan Bu Rahma kemudian dia melihat Damar
“Berkas? Aku harus menyiapkan berkas ini secepatnya,” gumam Aina.Ia baru saja meletakkan ponsel kemudian tampak sibuk menyiapkan beberapa berkas dan memasukkan ke dalam sebuah map plastik. Tangan Aina bergerak lincah mengemas semua berkas itu, tapi entah mengapa hatinya terus berdebar tak karuan. Ada satu sisi di relung hatinya yang masih ragu untuk melakukan semua ini.“Bunda … .” Suara Zafran tiba-tiba terdengar di belakang Aina.Aina menoleh dan melihat putra semata wayangnya itu sedang berdiri sembari menatapnya. Aina tersenyum dan menghampirinya.“Ada apa, Sayang? Kenapa bangun lagi?”Zafran hanya diam kemudian duduk di tepi kasur bersebelahan dengan Aina.“Apa benar Ayah sakit, Bunda?”Tiba-tiba Zafran bertanya seperti itu. Aina sendiri tidak tahu dari mana Zafran tahu tentang hal ini. Padahal saat ke rumah sakit tadi Aina tidak mengatakannya bahkan ia tidak terlambat saat
“Kenapa Pak Hasan menghubungiku lagi? Apa ada masalah dengan programnya?” gumam Aina.Dia baru saja mendapat telepon dari Pak Hasan yang memintanya datang ke kantor Damar besok pagi. Memang sengaja Pak Hasan tidak memberitahu tujuan Aina datang ke kantor. Ia hanya memintanya datang.Aina menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.“Akh … sudahlah, besok saja aku tanyakan.”Aina tidak mengambil pusing tentang hal itu. Ia hanya berpikir kalau ada kendala pada program yang baru ia buat dan tidak bertanya lebih lanjut ke Damar.Keesokkan harinya pukul delapan pagi, Aina tiba di kantor Damar. Ada Pak Hasan yang menyambut kedatangan Aina. Aina penasaran dan langsung mengajukan pertanyaan.“Maaf, Pak Hasan. Apa ada masalah dengan programnya kemarin hingga saya dipanggil ke sini lagi?” tanya Aina.Pak Hasan tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Tidak, Bu Aina. Pemanggilan kali
“Kamu bisa mulai kerja hari ini, Aina,” ujar Damar.Aina hanya mengangguk, tapi terlihat jelas rasa terkejut di wajahnya. Damar menangkap reaksi Aina kemudian tersenyum dan meralat ucapannya.“Namun, besok juga gak masalah. Kamu pasti belum mempersiapkan diri jika harus langsung kerja sekarang.”Aina tersenyum dan menganggukkan kepala.“Iya, kamu benar, Damar.”Damar tersenyum kesenangan menganggukkan kepala sambil sesekali mencuri pandang ke Aina.“Ya sudah, hari ini kamu selesaikan prosedurnya. Biar Pak Hasan yang membantumu.”Aina mengangguk, kemudian tak lama Pak Hasan masuk ke ruangan Damar. Aina berpamitan dan selanjutnya bersama Pak Hasan menyelesaikan beberapa prosedur tentang penerimaan pegawai. Dia tidak bekerja sebagai staf IT melainkan sebagai kepala IT di perusahaan Damar.Tentu saja Aina terkejut, apalagi dengan salary yang diberikan Damar. Rasanya Damar memang senga
“Mas, kamu di sini?” Tiba-tiba Wulan sudah bersuara di belakang Damar.Fakhri mengangkat kepala, menatap Wulan yang berdiri di belakang Damar, tapi sama sekali tidak menjawab pernyataan Damar tadi. Damar menghela napas panjang sambil menatap Fakhri dengan tajam. Banyak rasa kecewa yang ditunjukkan Damar dan Fakhri bisa merasakannya.“Damar, kok kamu di sini juga?” Kini Wulan menyapa Damar.Damar tersenyum masam sambil melirik Wulan dengan sinis.“Iya, kebetulan lewat tadi,” jawab Damar asal.Wulan hanya tersenyum kemudian ia sudah berdiri di sebelah Fakhri dan bergelayut manja di lengannya. Muak Damar melihatnya. Ia buru-buru memalingkan wajah, kemudian tanpa berkata apa-apa sudah berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.Tentu saja ulah Damar mengundang tanya Wulan. Ia menatap Fakhri yang masih terdiam sejak tadi. Kedua alis Wulan terangkat menatap suami gantengnya. Wulan merasa ada sesuatu yang sedang te
“Maaf, Pak Fakhri. Saya terkena macet tadi,” ucap seorang pria.Fakhri mendongak dan langsung tersenyum saat melihat klien yang ia tunggu telah tiba.“Oh gak papa, Pak. Saya juga baru datang. Silakan duduk!!” Fakhri sudah menyilakan kliennya dan gara-gara hal itu membuat perhatiannya teralihkan.Dia tampak sibuk dan fokus dengan kliennya. Bahkan Fakhri tidak menyadari jika Aina dan Damar sudah berlalu pergi dari resto tersebut. Fakhri baru sadar saat matanya melirik ke tempat Aina dan Damar duduk tadi.Kini sudah berganti personil yang duduk di sana. Fakhri berdecak dengan keras dan itu terdengar oleh kliennya.“Apa ada masalah, Pak?” tanya sang Klien.Fakhri tersadar jika ulah bodohnya mengundang perhatian kliennya. Ia buru-buru tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Enggak, Pak.”Untung saja kliennya tidak banyak bertanya kali ini. Tak berapa lama Fakhri sudah berada di dalam m
Aina berjengit kaget melihat ulah Damar. Namun, tentu saja ia berusaha menyembunyikan reaksinya. Ia tidak mau semua orang yang ada di sana tahu ulah Damar. Bahkan dengan pelan Aina menarik tangannya dari genggaman Damar. Sayangnya, pria manis ini terlalu erat memegang tangannya. Untung saja prosesi makan sudah selesai sehingga tidak membuat Aina kesulitan.Selang beberapa saat mereka sudah berpamitan. Aina tampak diam selama di dalam lift. Damar sudah tidak memegang tangannya lagi dan terlihat terus menatap Aina. Memang hanya mereka berdua di dalam lift kali ini.“Kamu marah padaku, Aina?” tanya Damar.Aina menghela napas sambil mendongak menatap Damar. Tidak disangka pria manis itu sedang tertegun menatapnya.“Iya,” jawab Aina dengan lugas.Damar menarik napas sambil memalingkan wajah. Ia tahu ulahnya tadi tidak sopan dan mungkin bisa dikatakan kurang ajar. Namun, Damar punya alasan sendiri melakukannya.“Aku h
“Hmmppff … . Mas, lepasin!!” pinta Aina.Ia tergesa mendorong dada Fakhri sambil mengurai pagutannya. Aina takut ada yang melihat ulah mereka. Fakhri menurut dan melepaskan Aina begitu saja. Mereka masih di dalam lift dan belum beranjak sedikit pun. Fakhri memang menahan liftnya agar tidak berjalan dan tidak membuka pintu. Untung saja ada dua lift di gedung ini, kalau tidak pasti banyak orang yang kebingungan karena ulah Fakhri.“Kamu ngapain ke sini?” Kembali Aina bertanya.Fakhri tersenyum sambil menyeka bibirnya. Ada bekas lipstik Aina menempel di sana.“Sudah kubilang aku ingin bertemu kamu. Aku kangen, Aina.”Aina diam membisu. Hanya matanya kini yang menatap Fakhri dengan tajam. Padahal semalam sikap Fakhri yang penurut membuat Aina kesal. Bahkan Aina sempat berpikir akan meneruskan proses gugatan cerainya saja. Namun, kehadiran Fakhri dan sikapnya kali ini benar-benar membuat Aina berubah pikiran la
Fakhri terdiam, matanya berkilatan menatap Wulan. Terlihat ada amarah yang tersimpan di sana, sayangnya Fakhri tidak meluapkannya kali ini. Dengan lambat, dia kembali duduk di sebelah Wulan. Wulan tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.“Nah, gitu, dong!!” ujar Wulan kesenangan.Fakhri tidak mempedulikan Wulan bahkan matanya terus melihat sinis ke wanita cantik berkulit putih ini. Wulan tidak peduli dengan reaksi Fakhri, yang penting dia sangat senang hari ini.Sementara itu Aina sudah meninggalkan gerai fastfood tersebut bersama Zafran. Bahkan dia sengaja jalan memutar tanpa mau melewati jendela tempat Wulan dan Fakhri duduk saat ini. Dia tidak mau Zafran melihat ayahnya bersama Wulan. Aina takut, Zafran akan mengajukan banyak pertanyaan seperti dulu lagi.“Bunda, lain kali kalau ke sini kita ajak Ayah, ya?” ujar Zafran di tengah perjalanan.Mereka sudah di dalam mobil menuju pulang. Aina yang mengemudi hanya menganggu
“WULAN!!” seru Aina.Ia langsung bangkit dan berdiri di samping Wulan. Wajah Aina tampak tegang kali ini. Selama ini dia tidak masalah jika Fakhri atau Wulan menyakitinya, tapi jangan Zafran. Dia masih kecil, tidak tahu apa-apa dan tidak seharusnya menanggung kesalahan orang tuanya.Wulan terkekeh melihat ulah Aina. Ia melipat tangan di depan dada sambil menatap Aina dengan penuh ejekan. Aina hanya diam, dadanya kembang kempis dengan bahu naik turun mengolah udara. Ulah madunya ini memang sudah keterlaluan dan Aina tidak akan mentolerir jika Wulan menyakiti Zafran.“Ada apa, Bunda?” Tiba-tiba Zafran sudah mendekat dan berdiri di depan mereka. Wajahnya tampak bingung melihat Aina dan Wulan bergantian.Aina tersenyum, mengelus wajah Zafran dengan lembut kemudian bersuara, “Gak papa. Zafran main lagi sana. Setengah jam lagi kita pulang, ya!!”Zafran tersenyum, rambutnya yang lurus menutupi sebagian matanya dan terli
“Eng … apa kamu tidak sibuk, Damar?” ujar Aina.Sebenarnya ingin sekali Aina menolak, tapi dia juga bingung harus mengatakan kalimat apa sebagai bentuk penolakannya. Damar terlalu banyak membantunya dan dia tidak enak sendiri. Damar tersenyum menatap Aina dengan sendu.“Sepertinya kamu yang keberatan jika aku ikut. Apa kamu takut Fakhri?”Seketika Aina tercengang. Mata indahnya membola menatap Damar kemudian terdiam untuk beberapa saat. Damar menarik napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Oke, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Aku ---”“Boleh. Kamu boleh ikut, kok.” Tiba-tiba Aina memotong kalimat Damar dan bodohnya malah mengizinkan pria manis itu untuk ikut serta bersamanya nanti.Damar tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala kemudian berjalan menghampiri Aina dan menepuk bahunya berulang.“Enggak. Aku gak ikut. Aku gak akan mempersulitmu, Aina.”Aina terdiam, entah mengapa ada rasa lega tiba-tiba menyusur relung hatinya. Ia bersyukur Damar sangat pengertian padanya. Damar su
“Apa Wulan tahu jika kamu ke sini?” tanya Aina.Kali ini mereka sudah tidur bersebelahan dengan tangan Fakhri yang tak lepas memeluk Aina. Fakhri tidak menjawab hanya diam sambil mempererat pelukannya. Aina mendongak dan melihat suaminya sedang melamun.“Mas … .”Fakhri langsung tersenyum, mengelus lembut lengan Aina sambil sesekali mendaratkan sebuah kecupan di kening Aina.“Wulan sedang tidur saat aku keluar tadi. Nanti sebentar lagi aku akan kembali.” Fakhri akhirnya bersuara dan ucapannya membuat Aina tenang.“Oh ya, apa kata Dokter tadi? Apa dia baik-baik saja?” Kini Fakhri mengalihkan topik pembicaraan dan tangannya sudah mengelus lembut perut Aina.Aina tersenyum sambil mengangguk. “Semua baik saja kok, Mas. Dia tumbuh dengan sempurna.”Fakhri tersenyum lega, tapi matanya masih tertuju ke perut Aina. Sesekali Fakhri mengelus lembut, menggerakkan tangannya memuta
“Aina … Sayang. Aku … aku bisa jelaskan ini,” ucap Fakhri.Entah mengapa pria tampan itu terlihat gugup saat bertemu dengan Aina. Bisa jadi dia merasa bersalah karena sudah mengikari janjinya untuk mengantar Aina kontrol kehamilan hari ini. Sementara Aina hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Aku tahu kok, Mas. Pasti Wulan sedang hamil juga, kan?”Fakhri terdiam. Jakunnya naik turun, tapi matanya tetap fokus menatap wanita cantik di depannya. Banyak kata yang ingin diucapkan Fakhri, tapi entah mengapa lidahnya terasa kelu. Aina menyadari keadaan canggung ini. Pasti kini mereka sudah menjadi perhatian banyak orang dan Aina tidak mau membuat keadaan makin runyam.“Aku pulang dulu, ya!! Permisi.”Tanpa menunggu jawaban dari Fakhri maupun Wulan, Aina langsung berlalu pergi begitu saja. Sementara Fakhri hanya diam bergeming di tempatnya. Namun, matanya tak lepas sedikit pun dari punggung wanita c
“AINA!! Kamu masih di sini?” tanya Damar.Aina sangat terkejut saat melihat Damar menghampirinya di lobby. Aina hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Apa Fakhri belum menjemputmu?” Kembali Damar bertanya. Aina tersenyum sambil menggeleng.“Eng … belum datang. Mas Fakhri masih perjalanan. Mungkin terjebak macet.” Aina terpaksa berkata bohong kali ini.Damar terdiam dan mengawasi Aina beberapa saat. Aina buru-buru menghindar. Ia tidak mau Damar tahu jika dia sedang menunggu Fakhri. Aina sendiri tidak tahu Fakhri di mana bahkan ponselnya sudah tidak bisa dihubungi kali ini.“Kalau kamu tidak keberatan, aku antar, ya?”Sontak Aina terbelalak dan spontan menggelengkan kepala dengan cepat.“Gak usah. Mas Fakhri udah jalan, kok. Pasti sebentar lagi akan tiba.”Damar menghela napas panjang sambil menatap Aina dengan sudut matanya.“Ya sudah kalau be
“Damar, hari ini aku izin pulang cepat, ya?” pinta Aina pagi itu.Dua hari berselang usai berita kehamilan Wulan dan hari ini Aina sengaja menemui Damar di ruangannya untuk izin pulang cepat.Damar hanya diam menatap Aina dengan kedua alis yang mengernyit. Kemudian tak lama Damar sudah bersuara.“Memangnya kamu mau ke mana? Apa ada keperluan mendesak, Aina?”Aina tersenyum, matanya kini tertuju kepada perutnya. Damar ikut memperhatikan dan refleks tersenyum mengikuti Aina.“Kamu mau kontrol kehamilan?” tebak Damar kemudian.“Iya. Kebetulan aku dapat nomor awal dan jam setengah enam harus di sana. Takutnya kalau aku tidak pulang lebih cepat malah kemalaman sampai sana.”Damar manggut-manggut mendengar penjelasan Aina. Sebuah senyuman sudah tersungging di wajah pria manis itu.“Iya, aku izinkan. Apa perlu aku antar juga?”Aina dengan cepat menggelengkan kepala. Ta