Seketika tawa renyah keluar dari bibir Wulan. Fakhri yang duduk di depannya tercengang melihat ulah Wulan. Sementara wanita cantik itu masih sibuk tertawa membuat beberapa pengunjung yang ada di ruangan tersebut menoleh ke arahnya.
“Wulan!! Kamu pikir ini lucu?” Fakhri sudah berseru lagi.
Dia sangat kesal melihat reaksi Wulan. Lagi-lagi dia merasa dipermainkan oleh mantan istrinya. Wulan menghentikan tawanya, menyeka air mata yang keluar dari wajahnya kemudian menatap Fakhri dengan sendu.
“Apa Damar yang memberitahumu, Mas?”
Fakhri mendengkus dengan mata yang tak lepas menatap Wulan. Dia tidak menjawab, tapi dari gestur tubuhnya, Wulan sudah tahu jika tebakannya tepat.
Wulan tersenyum, menggelengkan kepala sambil menatap Fakhri dengan sinis.
“Apa pentingnya aku sembunyikan anakmu? Tidak ada untungnya sama sekali buatku. Jadi kamu jangan asal tuduh!!”
Fakhri geram. Matanya menyalang marah, tangannya
“APA!!!?” Fakhri tercengang kaget usai mendengar ucapan Wulan.Wulan tersenyum mengejek, masih berada di posisinya sambil menatap Fakhri.“Aku yakin kamu tidak akan mau melakukannya. Jadi, silakan kamu cari sendiri di mana anak itu berada, itu pun kalau dia masih hidup!!!”Wulan langsung membalikkan badan dan melenggang dengan iringan dua petugas polisi di kanan kirinya. Fakhri masih bergeming di posisinya menatap punggung Wulan yang sudah menjauh dari ruangan tersebut.Ada sakit yang tiba-tiba mengiris hatinya. Wulan tidak pernah menjadi seorang ibu, dia tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang anak seperti yang dialami Fakhri kali ini.Dengan langkah gontai, Fakhri meninggalkan kantor polisi. Hatinya berkecamuk hebat, antara marah, benci dan kesal. Ia marah pada semua ulah Wulan yang membuat hidupnya berantakan. Ia benci pernah jatuh cinta pada wanita itu dan Fakhri kesal sejauh ini dia tidak membuat pergerakan bera
“Aku belum bisa pastikan, Fakhri,” jawab Robby.Fakhri terdiam, menghela napas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar. Kepalanya menunduk dengan jemari yang berulang mengetuk lututnya. Perlahan Fakhri menggeleng sambil bersuara lirih.“Gak mungkin yang meninggal itu anakku. Aku masih ingat saat dia lahir. Dia sangat sehat, tangisannya kencang. Kamu pasti salah, Rob.”Tidak ada jawaban dari bibir Robby. Pria bermata sipit itu terdiam sambil sesekali mengolah udara.“Apa kamu sudah bertemu perawat yang bertugas saat itu? Aku yakin dia tahu lebih banyak,” imbuh Fakhri.Robby menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan.“Perawat yang membawa bayimu dan membersihkannya saat itu sudah lama resign. Kata pihak rumah sakit, sebulan setelah itu, dia langsung resign. Padahal dia baru saja meneken kontrak kerja.”Fakhri mengernyitkan alis sambil menatap Robby penuh selidik.&ldqu
“Dari mana kamu tahu tentang itu, Rin?” tanya Aina.Aina sangat terkejut mendengar pertanyaan Rini kali ini. Dia belum memberitahu siapa pun mengenai hasil test DNA itu. Dia dan Fakhri sepakat menyembunyikannya, bahkan Bu Rahma saja tidak tahu. Kenapa kini Rini malah bertanya padanya?“Aku … aku membantu Pak Robby untuk mengumpulkan informasi tentang bayi yang lahir di waktu dan tempat yang sama dengan Zafran, Mbak.”Aina sontak terdiam. Bibirnya terkatup rapat saat mendengar penjelasan Rini. Aina ingat jika Rini bekerja di kantor Robby. Pastinya Fakhri akan meminta bantuan Robby mencari putra kandung mereka.“Memang Pak Robby tidak memberi tahu untuk apa aku mengumpulkan informasi itu. Namun, tadi siang, aku melihat Mas Fakhri datang ke kantor.”Aina langsung mendongak, menatap Rini dengan mata penuh tanya. Rini menghela napas sambil membalas tatapan kakaknya.“Aku tidak tahu apa yang mereka
“Apa Ibu yang mengundang Aina ke sini?” tanya Fakhri.Mereka sedang asyik menikmati sarapan dan Fakhri sudah mengajukan pertanyaan seperti itu. Bu Rahma langsung tersenyum dan menganggukkan kepala.“Iya, Ibu yang memintanya. Kamu pikir Aina datang ke sini karena ingin bertemu kamu?”Bu Rahma malah berkata seperti itu. Sontak wajah Fakhri memerah tanpa sebab. Ia buru-buru menunduk seraya mengumpat dalam hati. Aina yang duduk di sampingnya hanya mengulum senyum melihat reaksi Fakhri.“Nanti kamu antar Zafran!! Ibu mau bicara dengan Aina,” imbuh Bu Rahma.Fakhri mendongak dan langsung bertanya, “Mau bicara apa, Bu?”“Bukan urusanmu dan kamu tidak perlu tahu.”Lagi-lagi jawaban Bu Rahma seolah sedang mengejek Fakhri. Fakhri membisu, jakunnya bergerak menelan saliva sementara matanya sudah menatap jengkel ke Bu Rahma. Bu Rahma pura-pura tak melihat dan tentu saja ulahnya membuat F
“Menjelaskan apa, Bu?” Tiba-tiba suara Fakhri muncul dari luar rumah.Aina dan Bu Rahma menoleh ke arahnya. Pria tampan itu berjalan mendekat menghampiri. Memang jarak sekolah Zafran yang sekarang tidak jauh letaknya dari rumah Bu Rahma. Terlebih hari yang masih pagi membuat lalu lintas belum padat.Itu sebabnya tidak sampai setengah jam Fakhri sudah kembali ke rumah. Ia sengaja kembali pulang karena ada sesuatu yang ketinggalan di kamarnya. Tak disangka Fakhri malah mendengar pembicaraan Aina dengan ibunya.“Kamu itu mau tahu saja.” Bu Rahma langsung menyahut dan tampak cemberut.Fakhri mengulum senyum. Ia tidak segera menuju kamar untuk mengambil barangnya yang ketinggalan, tapi memilih duduk di ruang tamu bersebelahan dengan ibunya.Dengan perlahan Aina menghela napas lega. Tidak dia pungkiri pertanyaan Bu Rahma tadi membuat Aina kebingungan.Fakhri melihat Aina sekilas dan Aina membalas tatapan matanya. Dengan isyarat, Fakhri seakan sedang memberi tahu agar menghentikan pembicaraan
“Dasar tidak tahu malu. Sudah selingkuh malah sekarang minta balikan!!” imbuh wanita paruh baya yang tak lain Bu Vita, mantan mertua Fakhri.Aina terperangah kaget mendengar ucapannya. Ia tidak mengenal siapa wanita ini, tapi dia sudah menduga jika wanita yang berdiri di depannya adalah ibunya Wulan.“Saya harap Tante cabut ucapannya itu!! Tante salah menilai tentang saya!!”Aina sangat kesal dengannya. Bu Vita tidak tahu apa-apa, tapi malah sudah menjudge Aina lebih dulu. Andai saja Bu Vita tahu kalau penyebab keretakkan rumah tangga Wulan adalah putrinya sendiri.Bu Vita tampak kesal. Ia sudah melipat tangan sambil menatap Aina dengan sinis. Bibirnya yang merona merah sudah maju beberapa senti membuat penampilannya sangat aneh. Aina mengabaikannya dan tidak akan mengizinkan wanita itu masuk ke ruangan Fakhri.“Mana Fakhri?? Aku mau ketemu!!”Wanita itu kembali bersuara dengan nada ketus.“Ma
“Dia sedang sakit dan tidak seharusnya berada di sana,” imbuh Bu Vita.Fakhri hanya diam, tidak menjawab ataupun berkomentar. Terakhir bertemu Wulan kemarin, dia tampak pucat dan jauh lebih kurus dari sebelumnya. Namun, Fakhri tidak tahu jika Wulan sedang sakit.Robby yang mengurus semua urusan gugatan ke Wulan dan Robby juga yang biasanya berinteraksi dengan pengacara Wulan. Harusnya kalau Wulan sakit, Fakhri tahu lebih dulu dari Robby.“Apa kamu tidak percaya jika dia sakit, Fakhri?” Kembali Bu Vita bersuara menginterupsi lamunan Fakhri.Fakhri menghela napas sambil menatap datar wanita paruh baya di depannya.“Ma … kalau dia sakit, pihak berwajib pasti akan merawatnya dengan baik. Selain itu ada pengacara Wulan yang bisa Mama minta tolong, bukan saya.”Bu Vita tampak terkejut mendengar jawaban Fakhri. Tidak dia duga mantan menantunya akan bersikap seperti ini. Padahal dulu Fakhri sangat menurut p
“Entahlah … namanya tidak asing, tapi aku lupa di mana mengenalnya,” gumam Robby. Rini tersenyum sambil menggelengkan kepala. Di dunia ini banyak orang yang memiliki nama sama, rasanya itu hal wajar jika Robby berkata begitu. Sementara Krisna tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Tenang saja, aku akan melacaknya sampai tuntas,” ucap Krisna. Robby tersenyum lebar. Ia beruntung mempunyai banyak teman yang bisa membantunya. Ya … meskipun ia tidak akan cuma-cuma memakai jasa mereka. “Lalu tentang perawat yang aku minta kamu lacak. Sudah ketemu?” “Nah, itu. Dia seperti hilang tanpa jejak. Aku bahkan sudah mencari ke beberapa rumah sakit di kota ini. Siapa tahu dia bekerja di sana, tapi nyatanya gak ada.” Robby terdiam sambil menganggukkan kepala. Ia juga sudah minta tolong ke Rendy, tapi hingga saat ini Rendy belum memberi kabar. Bisa jadi, dia juga tidak menemukan jejak perawat itu. “Aku akan mencari ke rumah sakit di luar kota. Siapa tahu dia bekerja di sana. Aku mulai dari kota
“Zafran,” batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.“Eng … Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.” Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.“Maaf, Aina. Aku ---”Fakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu
“Reza? Ada hubungan apa dia dengan Wulan?” tanya Fakhri.Baru tadi pagi Fakhri bertemu Reza dan sekarang dia sudah mendapat kabar jika Reza membantu memindahkan Wulan ke rumah sakit pusat kota.Robby tidak menjawab hanya mengendikkan bahu sambil mengaduk es jeruknya.“Entahlah …, tapi katanya mereka sempat pacaran usai kamu putus dengan Wulan. Bisa jadi Reza sengaja datang untuk menolongnya. Bagaimanapun dia masih mencintai Wulan.”Fakhri tersenyum hambar sambil menggelengkan kepala. Melihat reaksi Fakhri, membuat Robby penasaran.“Kenapa reaksimu seperti itu? Kamu tidak terlihat terkejut dengan kehadiran Reza.”Fakhri berdecak. “Aku baru saja bertemu dengannya tadi pagi, bahkan dia menawarkan sebuah kerja sama denganku. Kelihatannya kerja samanya menguntungkan dan aku putuskan untuk bergabung dengannya.”Robby terperangah kaget mendengar penjelasan Fakhri.“Gila!! Di
“Semua baik-baik saja kan, Mas?” tanya Aina.Fakhri melihat Aina sedang mendongak menatapnya. Mereka sudah berdiri di depan lift yang masih tertutup saat ini. Kemudian sebuah senyuman terukir dengan indah di raut tampan Fakhri.“Iya, baik-baik saja, kok.”Aina tersenyum lega kemudian sudah melenggang masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka. Fakhri mengikuti dan sama seperti tadi, pria tampan itu terus merangkul bahu Aina. Tak lama mereka sudah berjalan keluar kantor menuju mobil Fakhri. Sepanjang perjalanan senyum lebar terus terlihat di wajah keduanya.Tanpa sadar ada yang sedang memperhatikan gerak gerik mereka dari dalam mobil. Seorang pria berwajah manis berkulit sawo matang menatap penuh cemburu dari balik kacamata hitamnya.“Siapa sebenarnya wanita itu?” gumam pria itu yang tak lain Reza, “apa dia mantan istrinya Fakhri?”Reza terdiam dengan jari yang mengetuk dagu. Matanya masih menatap jauh ke depan memperhatikan mobil Fakhri yang mulai berjalan meninggalkan gedung perkanto
“Reza Nugraha? Kamu Reza Nugraha yang itu?” gumam Fakhri.Reza tersenyum masam sambil menganggukkan kepala. Ia langsung duduk di kursi depan meja Fakhri, sementara Susi sudah berlalu pergi dari ruangan Fakhri.“Jadi pada akhirnya kamu bisa sukses juga. Aku pikir selamanya kamu jadi pecundang,” imbuh Fakhri.Reza tertawa, menautkan kedua tangannya dengan mata yang tajam menatap Fakhri.“Aku memang pecundang saat SMA, tapi aku sudah sukses sekarang. Bahkan mungkin bisa dikatakan sama denganmu saat ini.”Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala. Ia ingat Reza Nugraha adalah temannya SMA. Dia dan Reza adalah rival. Mereka selalu bersaing dalam segala hal, termasuk ketika memperebutkan Wulan saat itu. Sayangnya, Wulan lebih memilih Fakhri ketimbang Reza.“Jadi maksud tujuanmu ke sini untuk apa? Pamer atau bagaimana?” Fakhri kembali bertanya dan langsung dijawab tawa sengau Reza.“Aku
“Siapa kamu?” tanya Bu Vita.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat seorang pria tiba-tiba datang dan mengajukan diri akan menanggung semua biaya perawatan Wulan. Pria misterius berkulit sawo matang itu tersenyum sambil menganggukkan kepala memberi salam ke Bu Vita.“Anggap saja, saya teman lama Wulan. Dia sudah banyak membantu saya dan kini giliran saya membantunya,” ujar pria itu lagi.Bu Vita, Devi dan Amar menatap penuh curiga ke arah pria tersebut. Pria tersebut tersenyum, mengulurkan tangan memulai perkenalan.“Saya Reza. Apa Tante sudah lupa?”Bu Vita terdiam sejenak. Teman Wulan sangat banyak dan dia tidak hapal satu persatunya. Apalagi Wulan acap kali berganti pasangan usai putus dengan Fakhri saat itu. Mungkin saja Reza salah satu dari mereka.“I—iya, Tante lupa.”Bu Vita tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun, mengapa saat melihat Reza
“Rumah sakit? Wulan?” gumam Fakhri.Ia sudah mengantuk, konsentrasinya sudah berkurang dan sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan ini. Fakhri menguap lebar sambil meraup wajahnya dengan kasar.“Ma, kenapa Mama gak hubungi pengacaranya saja? Kenapa harus dengan saya? Saya sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Wulan!!”Fakhri meninggikan intonasi suaranya dan terdengar sedikit kesal. Bisa jadi semua yang dilakukan Wulan kali ini hanyalah sandiwara, akal-akalannya saja supaya mendapat simpatik Fakhri. Dia sudah berulang kali terbujuk oleh hal seperti itu dan Fakhri tidak mau mengulangnya lagi.“Tapi, Fakhri … Wulan butuh kamu. Bagaimanapun kamu pernah menjadi suaminya. Mama mohon kamu datang.”Fakhri tidak bersuara. Ia menghela napas panjang kemudian gegas mengakhiri panggilannya tanpa berpamitan ke Bu Vita. Fakhri meletakkan ponselnya di nakas dan mencoba kembali terlelap.Namun, sepertinya ia kesulitan untuk melakukannya. Meski dia kesal, jengkel dan marah dengan semua ula
“Heh??” gumam Fakhri.Pria tampan itu terkejut saat mendengar ucapan Aina. Ia tidak menduga jika Aina akan berkata seperti ini. Apa mungkin penantiannya untuk bisa kembali rujuk akan terwujud?Aina tersenyum sambil mempererat genggamannya dan menatap Fakhri dengan lembut.“Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin memberimu kesempatan.”Fakhri tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dengan mata coklatnya yang berbinar indah. Tanpa banyak bicara, Fakhri mendekat, menarik dagu Aina dan langsung mencium bibirnya.Aina gelagapan mendapat serangan dari mantan suaminya. Namun, ia tidak menolak. Dengan rileks, Aina melingkarkan tangannya di leher Fakhri dan meneruskan pagutan mereka.Entah berapa lama mereka saling berbagi saliva, yang pasti keduanya kini tampak terdiam dengan bibir yang memerah. Sesekali terdengar desah napas memburu dari keduanya. Meski pagutan mereka sudah terurai, tapi keduanya masih bergeming dengan kening yang mene
“Kamu kenapa, Mas? Kok pucet gitu?” tanya Aina.Mereka baru saja keluar dari studio bioskop dan kali ini Aina tampak terkejut melihat raut wajah Fakhri yang pucat pasi. Hari ini tanpa sengaja Fakhri membeli tiket film genre horror. Hanya itu tiket film yang tersisa dan karena Fakhri tak mau kehilangan momen kebersamaannya dengan Aina. Dia terpaksa menonton film horror meskipun tidak menyukainya.“Gak papa. Aku hanya kedinginan di dalam. Ac-nya kenceng banget,” jawab Fakhri.Ia berkata sambil memeluk tangan dan mengelus lengannya. Aina hanya manggut-manggut sambil mengulum senyum. Padahal dia tahu jika Fakhri ketakutan sepanjang menonton tadi. Dia terus menutup wajahnya dengan kedua tangan dan Aina berani taruhan, Fakhri tidak tahu jalan cerita film tersebut.Mereka terus berjalan keluar dari gedung bioskop itu. Harusnya sesuai rencana, mereka akan makan malam bersama Robby dan Rini. Namun, karena tidak ada kabar berita dari mereka,
“Eng … enggak. Memangnya apa yang aku sembunyikan dari Ibu?” ucap Fakhri.Sebenarnya Fakhri tidak mau mengatakan hal ini, tapi dia terpaksa berbohong kali ini. Belum saatnya Bu Rahma tahu mengenai kasus penukaran putranya. Ia akan memberi tahu jika semuanya sudah terungkap.Bu Rahma hanya diam dengan mata yang penuh selidik. Fakhri mengulum senyum kemudian mengelus lembut bahu ibunya.“Udah, Ibu jangan mikir aneh-aneh. Tahu, gak? Aku punya kabar baik buat Ibu.”Fakhri sudah mengalihkan topik pembicaraan. Bu Rahma masih terdiam dan fokus menatap Fakhri. Fakhri mengulum senyum sambil memperhatikan ibunya.“Aku mau kencan ama Aina akhir pekan ini. Jadi minta tolong Ibu jaga Zafran, ya?”Sontak sebuah senyuman terkembang lebar di raut wanita paruh baya itu.“Beneran kalian mau kencan?” ulang Bu Rahma menyakinkan.“Iya. Semoga saja setelah ini akan membawa hasil yang memua