“Dari mana kamu tahu tentang itu, Rin?” tanya Aina.
Aina sangat terkejut mendengar pertanyaan Rini kali ini. Dia belum memberitahu siapa pun mengenai hasil test DNA itu. Dia dan Fakhri sepakat menyembunyikannya, bahkan Bu Rahma saja tidak tahu. Kenapa kini Rini malah bertanya padanya?
“Aku … aku membantu Pak Robby untuk mengumpulkan informasi tentang bayi yang lahir di waktu dan tempat yang sama dengan Zafran, Mbak.”
Aina sontak terdiam. Bibirnya terkatup rapat saat mendengar penjelasan Rini. Aina ingat jika Rini bekerja di kantor Robby. Pastinya Fakhri akan meminta bantuan Robby mencari putra kandung mereka.
“Memang Pak Robby tidak memberi tahu untuk apa aku mengumpulkan informasi itu. Namun, tadi siang, aku melihat Mas Fakhri datang ke kantor.”
Aina langsung mendongak, menatap Rini dengan mata penuh tanya. Rini menghela napas sambil membalas tatapan kakaknya.
“Aku tidak tahu apa yang mereka
“Apa Ibu yang mengundang Aina ke sini?” tanya Fakhri.Mereka sedang asyik menikmati sarapan dan Fakhri sudah mengajukan pertanyaan seperti itu. Bu Rahma langsung tersenyum dan menganggukkan kepala.“Iya, Ibu yang memintanya. Kamu pikir Aina datang ke sini karena ingin bertemu kamu?”Bu Rahma malah berkata seperti itu. Sontak wajah Fakhri memerah tanpa sebab. Ia buru-buru menunduk seraya mengumpat dalam hati. Aina yang duduk di sampingnya hanya mengulum senyum melihat reaksi Fakhri.“Nanti kamu antar Zafran!! Ibu mau bicara dengan Aina,” imbuh Bu Rahma.Fakhri mendongak dan langsung bertanya, “Mau bicara apa, Bu?”“Bukan urusanmu dan kamu tidak perlu tahu.”Lagi-lagi jawaban Bu Rahma seolah sedang mengejek Fakhri. Fakhri membisu, jakunnya bergerak menelan saliva sementara matanya sudah menatap jengkel ke Bu Rahma. Bu Rahma pura-pura tak melihat dan tentu saja ulahnya membuat F
“Menjelaskan apa, Bu?” Tiba-tiba suara Fakhri muncul dari luar rumah.Aina dan Bu Rahma menoleh ke arahnya. Pria tampan itu berjalan mendekat menghampiri. Memang jarak sekolah Zafran yang sekarang tidak jauh letaknya dari rumah Bu Rahma. Terlebih hari yang masih pagi membuat lalu lintas belum padat.Itu sebabnya tidak sampai setengah jam Fakhri sudah kembali ke rumah. Ia sengaja kembali pulang karena ada sesuatu yang ketinggalan di kamarnya. Tak disangka Fakhri malah mendengar pembicaraan Aina dengan ibunya.“Kamu itu mau tahu saja.” Bu Rahma langsung menyahut dan tampak cemberut.Fakhri mengulum senyum. Ia tidak segera menuju kamar untuk mengambil barangnya yang ketinggalan, tapi memilih duduk di ruang tamu bersebelahan dengan ibunya.Dengan perlahan Aina menghela napas lega. Tidak dia pungkiri pertanyaan Bu Rahma tadi membuat Aina kebingungan.Fakhri melihat Aina sekilas dan Aina membalas tatapan matanya. Dengan isyarat, Fakhri seakan sedang memberi tahu agar menghentikan pembicaraan
“Dasar tidak tahu malu. Sudah selingkuh malah sekarang minta balikan!!” imbuh wanita paruh baya yang tak lain Bu Vita, mantan mertua Fakhri.Aina terperangah kaget mendengar ucapannya. Ia tidak mengenal siapa wanita ini, tapi dia sudah menduga jika wanita yang berdiri di depannya adalah ibunya Wulan.“Saya harap Tante cabut ucapannya itu!! Tante salah menilai tentang saya!!”Aina sangat kesal dengannya. Bu Vita tidak tahu apa-apa, tapi malah sudah menjudge Aina lebih dulu. Andai saja Bu Vita tahu kalau penyebab keretakkan rumah tangga Wulan adalah putrinya sendiri.Bu Vita tampak kesal. Ia sudah melipat tangan sambil menatap Aina dengan sinis. Bibirnya yang merona merah sudah maju beberapa senti membuat penampilannya sangat aneh. Aina mengabaikannya dan tidak akan mengizinkan wanita itu masuk ke ruangan Fakhri.“Mana Fakhri?? Aku mau ketemu!!”Wanita itu kembali bersuara dengan nada ketus.“Ma
“Dia sedang sakit dan tidak seharusnya berada di sana,” imbuh Bu Vita.Fakhri hanya diam, tidak menjawab ataupun berkomentar. Terakhir bertemu Wulan kemarin, dia tampak pucat dan jauh lebih kurus dari sebelumnya. Namun, Fakhri tidak tahu jika Wulan sedang sakit.Robby yang mengurus semua urusan gugatan ke Wulan dan Robby juga yang biasanya berinteraksi dengan pengacara Wulan. Harusnya kalau Wulan sakit, Fakhri tahu lebih dulu dari Robby.“Apa kamu tidak percaya jika dia sakit, Fakhri?” Kembali Bu Vita bersuara menginterupsi lamunan Fakhri.Fakhri menghela napas sambil menatap datar wanita paruh baya di depannya.“Ma … kalau dia sakit, pihak berwajib pasti akan merawatnya dengan baik. Selain itu ada pengacara Wulan yang bisa Mama minta tolong, bukan saya.”Bu Vita tampak terkejut mendengar jawaban Fakhri. Tidak dia duga mantan menantunya akan bersikap seperti ini. Padahal dulu Fakhri sangat menurut p
“Entahlah … namanya tidak asing, tapi aku lupa di mana mengenalnya,” gumam Robby. Rini tersenyum sambil menggelengkan kepala. Di dunia ini banyak orang yang memiliki nama sama, rasanya itu hal wajar jika Robby berkata begitu. Sementara Krisna tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Tenang saja, aku akan melacaknya sampai tuntas,” ucap Krisna. Robby tersenyum lebar. Ia beruntung mempunyai banyak teman yang bisa membantunya. Ya … meskipun ia tidak akan cuma-cuma memakai jasa mereka. “Lalu tentang perawat yang aku minta kamu lacak. Sudah ketemu?” “Nah, itu. Dia seperti hilang tanpa jejak. Aku bahkan sudah mencari ke beberapa rumah sakit di kota ini. Siapa tahu dia bekerja di sana, tapi nyatanya gak ada.” Robby terdiam sambil menganggukkan kepala. Ia juga sudah minta tolong ke Rendy, tapi hingga saat ini Rendy belum memberi kabar. Bisa jadi, dia juga tidak menemukan jejak perawat itu. “Aku akan mencari ke rumah sakit di luar kota. Siapa tahu dia bekerja di sana. Aku mulai dari kota
“Kok dadakan sih, Rob. Aina mana mau,” ucap Fakhri.Sore itu Fakhri sangat terkejut saat Robby tiba-tiba menelepon mengajak double date. Fakhri sudah menduga jika sahabatnya menaruh hati pada adik iparnya. Rini sangat manis dan menyenangkan sama seperti Aina, pasti Robby juga tertarik padanya.“Ayolah, Fakhri. Usahain bujuk Aina untuk ikut nonton. Aku udah terlanjur bilang ke Rini kalau kita double date.” Suara Robby di seberang sana terdengar memohon.Fakhri mengulum senyum sambil menggelengkan kepala. Baru ini dia melihat Robby memohon seperti ini padanya. Biasanya selalu dia yang melakukannya. Untung saja Aina sedang keluar sehingga tidak mendengar pembicaraannya dengan Robby.“Jangan khawatir, aku bayarin semuanya, deh. Please, ya … .”Fakhri tertawa sambil menggelengkan kepala.“Emang kamu pikir, aku gak mampu bayar tiket nonton dan beli popcorn, gitu.”Robby berdecak sambil
“A-amar!! Sejak kapan kamu datang?” tanya Devi balik bertanya.Seorang pria berwajah manis sedang menatap Devi dengan tajam. Dia adalah Amar Fauzi, suami Devi. Wajahnya terlihat tegang, matanya yang kelam semakin menghitam menatap Devi tanpa kedip. Rambutnya yang ikal tampak berantakan, belum lagi baju kerjanya yang terlihat tidak rapi. Kelihatan kalau dia baru saja melalui hari yang melelahkan.“Jawab pertanyaanku!! Siapa Ryan?”Wajah Amar semakin menegang, bahkan terlihat guratan nadi melintang di lehernya. Devi terdiam sejenak, dadanya kembang kempis dengan bahu naik turun mengolah saliva. Dia ragu harus menjawab apa kali ini.“Eng … bukan, bukan siapa-siapa.”Devi menunduk dan buru-buru menyimpan ponselnya. Namun, tangan Amar lebih dulu menyambar lengannya dan merampas ponsel Devi. Devi terbelalak kaget. Dia ingin mengambil kembali ponselnya, tapi Amar lebih cepat menghindar bahkan kini berjalan menjau
“Eng … enggak. Memangnya apa yang aku sembunyikan dari Ibu?” ucap Fakhri.Sebenarnya Fakhri tidak mau mengatakan hal ini, tapi dia terpaksa berbohong kali ini. Belum saatnya Bu Rahma tahu mengenai kasus penukaran putranya. Ia akan memberi tahu jika semuanya sudah terungkap.Bu Rahma hanya diam dengan mata yang penuh selidik. Fakhri mengulum senyum kemudian mengelus lembut bahu ibunya.“Udah, Ibu jangan mikir aneh-aneh. Tahu, gak? Aku punya kabar baik buat Ibu.”Fakhri sudah mengalihkan topik pembicaraan. Bu Rahma masih terdiam dan fokus menatap Fakhri. Fakhri mengulum senyum sambil memperhatikan ibunya.“Aku mau kencan ama Aina akhir pekan ini. Jadi minta tolong Ibu jaga Zafran, ya?”Sontak sebuah senyuman terkembang lebar di raut wanita paruh baya itu.“Beneran kalian mau kencan?” ulang Bu Rahma menyakinkan.“Iya. Semoga saja setelah ini akan membawa hasil yang memua
“Saudari Wulan Ariani terbukti bersalah telah melakukan penggelapan uang perusahaan … .” Hari ini adalah hari pembacaan keputusan sidang untuk Wulan. Semua bukti yang terkumpul untuk kejahatan yang dilakukan Wulan sama sekali tidak disangkal dan Wulan mengakuinya. Bahkan dia juga mengaku telah menukar bayi Fakhri dan Aina serta menjebak Aina dengan memberi minuman obat perangsang. Fakhri yang ikut hadir di sana hanya diam mendengarkan. Sesekali ia melirik Wulan yang duduk di kursi pesakitan. Wulan sudah jauh berbeda. Wajahnya tidak secantik dulu, rambut indahnya juga tampak ditata dengan asal apalagi kini tubuhnya semakin kurus tidak seksi seperti dulu. Kalau boleh jujur, Fakhri kasihan melihatnya. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam. Ia sadar siapa yang sedang diperhatikan suaminya saat ini. Aina tidak berkomentar dan terus memperhatikan Fakhri. “Kamu mau menemuinya?” Tiba-tiba Aina bertanya usai pembacaan keputusan berakhir. Fakhri menghela napas dan melihat Aina.
“Udah, Mas. Mau sampai berapa kali kamu melakukannya?” dumel Aina.Ia berkata sambil menyingkirkan wajah Fakhri yang menempel di dadanya. Fakhri terkekeh sambil terus mendaratkan beberapa kecupan di sana. Ia sama sekali tidak mau melepas pelukannya ke Aina.“Memangnya kamu lupa, kalau Ibu bersama Zafran dan Ryan minta oleh-oleh adik. Makanya aku berusaha mewujudkannya.”Aina berdecak, sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Fakhri sudah mengangkat kepalanya dan kini duduk bersandar di samping Aina.“Iya, aku tahu. Namun, ini sudah sore, Mas. Kita bahkan melewatkan makan pagi dan makan siang. Aku laper.”Fakhri mengulum senyum saat melihat ekspresi Aina. Kalau mau jujur dia juga sudah merasa lapar. Namun, rasanya Fakhri tidak mau kehilangan satu momen pun dengan Aina.“Ya sudah, aku pesan makanan dulu.”Fakhri membalikkan tubuhnya dan bersiap meraih telepon yang ada di nakas. Namun
BRAK!!!Pintu kamar tertutup dan Fakhri hanya diam melongo berdiri di depannya. Matanya mengerjap berulang saat menyadari jika dirinya sudah berada di luar kamar.“Fakhri!! Kamu ngapain di sini?” seru Bu Rahma.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat putranya berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah bingung. Fakhri menoleh sambil menghela napas panjang.“Istriku baru saja disabotase Zafran dan Ryan, Bu.”Sontak Bu Rahma terkekeh mendengar aduannya.“Sudah, biarin saja. Toh, kamu tadi siang sudah melakukannya. Lagian besok kalian sudah berangkat untuk honeymoon. Jadi biarkan anak-anak bersama bundanya malam ini.”Fakhri menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. Untung saja, tadi siang dia sudah melakukan pemanasan tiga ronde dengan Aina, kalau tidak pasti sangat kesal malam ini.“Apa mau ditemani Ibu tidur, Fakhri?” Tiba-tiba Bu Rahma bersuara dengan menggod
“Fakhri!! Kamu ke mana aja? Dari tadi Ibu telepon gak diangkat!” Suara Bu Rahma langsung terdengar di telinga Fakhri.Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Usai ijab kabul di KUA, harusnya Fakhri bersama Aina merayakan resepsi dan tasyakuran di rumah Bu Rahma. Namun, Fakhri malah sengaja mengajak Aina pulang ke rumah baru mereka dan menikmati malam pernikahan lebih awal.“Aku ngantuk, Bu,” jawab Fakhri sambil menguap.“Ngantuk? Memangnya kamu di mana? Kenapa juga Pak Udin gak balik ke rumah?”Pak Udin adalah sopir Fakhri yang baru dan kebetulan tadi Fakhri menyuruhnya untuk istirahat. Sepertinya Pak Udin menurut perintahnya.“Banyak tamu mencari kamu dan Aina. Mereka pengen ketemu, Fakhri.”Fakhri menghela napas panjang. Dari awal, Fakhri dan Aina memang tidak mau melakukan perayaan. Toh, ini bukan pernikahan pertama mereka. Hanya Bu Rahma saja yang telah mengundang para tamu hingga mer
Rabu pagi, satu minggu kemudian tampak kesibukan di rumah Bu Rahma. Wanita paruh baya itu tampak berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke kamar Fakhri. Wajahnya terlihat gelisah saat melihat pintu kamar Fakhri masih tertutup rapat.“Ryan, Zafran, coba periksa ayahmu!! Kenapa dari tadi belum keluar? Nenek takut kita datang terlambat ke KUA,” ujar Bu Rahma.Hari ini memang hari pernikahan Fakhri. Sesuai permintaan Aina, mereka akan melakukan jiab kabul di kantor KUA. Setelahnya akan mengadakan tasyakuran dan resepsi sederhana di rumah Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma ingin merayakan pernikahan kedua putranya ini dengan meriah, tapi Aina dan Fakhri menolaknya. Mereka tidak mau lelah, bahkan sehari setelahnya akan melakukan perjalanan keluar negeri untuk honeymoon.“Iya, Nek!!” Ryan dan Zafran menjawab berbarengan.Mereka berjalan beriringan menuju kamar Fakhri. Baru saja Ryan hendak mengentuk pintu kamar Fakhri, tiba-tiba handel
“TUNGGU!!! STOP!!! Jangan bilang kamu mau mencabut gugatanmu ke Wulan!!” sahut Robby.Rini yang mendengar ucapan Robby tampak terkejut. Hal yang sama juga ditunjukkan Fakhri, sayangnya Robby tidak bisa melihat reaksinya kali ini.“HEH??? Mencabut gugatan ke Wulan? Siapa juga yang mau mencabut gugatan?” ucap Fakhri.Sontak helaan napas panjang keluar dengan kasar dari bibir Robby, bahkan pria bermata sipit itu sudah mengurut dadanya.“Lalu kamu mau minta tolong apa tadi?”Fakhri mendengkus sambil melirik interaksi Aina bersama Zafran dan Ryan di ruangannya.“Aku mau minta tolong kamu percepat pernikahanku.”Kini berganti Robby yang terkejut, mata sipitnya melebar usai mendengar permintaan Fakhri.“Bukannya tinggal dua minggu lagi. Kenapa mau dipercepat lagi?”Fakhri tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya. Ia berdiri dan menjauh dari Aina serta kedua putranya. F
“Sayang … kok kamu ngomong gitu?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, malah kini yang berganti menundukkan kepala. Dia paham hanya wanita kedua yang datang ke hati Fakhri. Meski pada akhirnya Fakhri lebih memilihnya, tapi setidaknya ada kenangan indah antara Fakhri dan Wulan.“Aku sama sekali gak bermaksud akan membahas ke arah sana. Aku sudah tidak mencintainya. Aku hanya sekedar memberitahumu mengenai keadaan Wulan.” Fakhri menambahkan kalimatnya dan terkesan sedang membuat pembelaan.Aina menghela napas panjang sambil mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan netra coklat Fakhri dan terdiam untuk beberapa saat.“Aku juga sama sekali gak masalah jika kamu mengenang momen dengannya. Dia cinta pertamamu, bagaimanapun ada kenangan indah antara kamu dan dia. Bisa jadi itu yang membuatmu melankolis seperti ini.”Suara Aina terdengar datar, tidak tertangkap dia sedang sedih apalagi cemburu. Hanya saja Fakhri
“Sialan!! Bangsat!! Jadi kamu yang menyebabkan kecelakaanku?” sergah Wulan.Damar tersenyum sambil berdiri menjauh dari sisi brankar. Wajah Wulan sudah merah padam dengan bunyi gigi yang saling beradu belum lagi tangannya yang sudah mengepal seakan hendak melayangkan sebuah pukulan ke Damar.“Kalau iya, kenapa? Kamu ingin membalasku, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Ia duduk bersandar ke bantal dengan dada kembang kempis mengolah amarah dan wajah yang semakin merah.“Bukankah kamu juga yang telah menabrakku tempo hari hingga membuatku tak berdaya.”Wulan membisu dan buru-buru memalingkan wajah.“Aku rasa kita sudah impas, Wulan. Aku akan mencabut gugatanku dan melupakan semua. Sayangnya, kamu tidak bisa melakukan hal yang sama seperti aku.”Wulan belum menjawab, tapi wajahnya sudah meredup bahkan tatapan matanya tampak sayu. Dengan sendu Wulan menatap kaki kanannya yang kini dibabat
“APA!!! Mama mau bunuh diri?” seru Devi.Amar yang duduk di sebelah Devi tampak terkejut. Tanpa banyak bertanya, ia langsung menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Fakhri lebih dulu. Fakhri yang berada di dalam mobil mengabaikannya. Bisa jadi Amar dan Devi punya kepentingan lain yang harus dilakukan.Selang beberapa saat Devi dan Amar sudah tiba di rumah sakit tempat Bu Vita dirawat. Wanita paruh baya itu tampak tergolek lemah di atas brankar dengan kedua pergelangan tangannya di babat perban.Devi baru saja dijelaskan oleh perawat yang bertugas jika Bu Vita berusaha mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan pecahan cermin di kamarnya. Bu Vita shock saat tahu kenyataan tentang Wulan.“Memangnya siapa yang memberitahu keadaan Kak Wulan ke Mama? Bukannya hanya kita yang diberitahu dokter,” gumam Devi.Ia seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Amar yang berdiri di sebelahnya hanya diam sambil menatap Bu Vita dengan iba.“Sebenarnya beberapa saat yang lalu,