“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Bu Tika.
Wanita itu terlihat cemas kali ini. Ada Bu Maya juga Pak Aldi yang menunggu di sana. Aina dan Fakhri yang baru saja datang segera bergabung bersama mereka. Mereka sudah berdiri mengerubungi dokter yang baru saja menolong Damar.
“Sabar ya, Bu. Kami sedang melakukan yang terbaik,” jawab dokter itu dengan diplomatis.
Fakhri tahu semua dokter akan menjawab seperti itu untuk menenangkan keluarga pasien. Kemudian Fakhri menarik lengan dokter tersebut sedikit menjauh dari keluarga Damar dan Aina.
“Dok, apa yang sebenarnya terjadi? Apa sepupu saya baik-baik saja?” tanya Fakhri.
Pria berpakaian serba putih itu terdiam sejenak, menatap Fakhri dengan sendu.
“Saya sudah mengatakan akan melakukan yang terbaik, Tuan. Saya harap Tuan mau menunggu.”
Fakhri berdecak sambil mengacak rambutnya dengan asal.
“Memangnya dia luka parah, Dok?”
<“Kritis?” tanya Aina.Bu Tika tidak menjawab, langsung menarik tangan Aina menuju ruangan Damar dirawat. Namun, seorang perawat menghalangi mereka masuk.“Dokter sedang berusaha menolong pasien. Harap tunggu di sini sebentar!!”Dengan terpaksa Aina dan Bu Tika menganggukkan kepala. Mereka memilih duduk di ruang tunggu saat ini. Ada Bu Maya dan Pak Aldi juga yang sedang menunggu di sana.“Semoga tidak terjadi apa-apa pada Damar,” gumam Bu Tika.Aina melihat wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya ini dengan sendu. Baru ini Aina melihat ekspresi sedih di wajahnya. Biasanya wanita paruh baya itu selalu tampil penuh percaya diri, sedikit arogan dan juga pemaksa.“Aina … .” Sebuah panggilan mengejutkan Aina.Bu Tika sudah mengulurkan tangan dan menyentuh tangan Aina. Aina mendongak membuat mata mereka bertemu. Ada sepasang mata berkabut sedang menatapnya, terlihat sebuah kesedihan d
“Aina, Fakhri, Damar sudah siuman dan ia ingin bicara dengan kalian,” ucap Bu Tika begitu keluar dari ruangan Damar.Aina dan Fakhri terdiam sesaat, mata mereka saling pandang dengan tanya yang sama.“Iya, Tante.”Keduanya langsung masuk, begitu Bu Maya dan Pak Aldi keluar. Aina terdiam saat melihat keadaan Damar yang terbaring tak berdaya di atas brankar. Sepertinya kecelakaan itu memang sangat parah sehingga membuat Damar seperti ini.“Kamu baik-baik saja, Damar?” sapa Aina.Damar tersenyum sambil mengangguk. Matanya tampak sayu dan redup seakan tidak ada kehidupan di sana. Fakhri berdiri di sebelah Aina dan tersenyum ke arah Damar.“Polisi masih mengusut siapa pelaku tabrak lari itu. Kamu tenang saja,” ucap Fakhri.Damar tersenyum masam sambil menggelengkan kepala.“Tanpa diusut pun aku tahu siapa dalangnya.”Fakhri dan Aina terkejut mendengar ucapan Damar. B
“Kamu terlalu sempurna sebagai lelaki, Fakhri,” jawab Damar.Fakhri terdiam, matanya sudah menatap tajam ke arah sepupunya. Tidak disangka Damar akan memberinya pujian seperti ini. Berangsur-angsur, Fakhri tersenyum bahkan sudah menggelengkan kepala sambil menepuk kasur tempat Damar terbaring.“Ternyata gara-gara kecelakaan, kamu jadi ngelantur ngomongnya,” ucap Fakhri.Damar menggeleng sambil tersenyum. “Aku gak ngelantur. Aku memang berkata jujur. Aku iri padamu, Fakhri.”Seketika Fakhri terdiam, matanya kini menatap tajam Damar. Aina yang duduk di samping Fakhri berdiri tidak berani berkomentar. Ia hanya memperhatikan interaksi mereka berdua.“Hidupmu begitu sempurna. Kamu tampan, kaya, pintar kemudian dilimpahi banyak kasih sayang dari keluargamu. Tidak hanya itu, banyak wanita yang tergila padamu. Berbanding terbalik dengan aku.”Damar menunduk, menjeda kalimatnya. Sekilas Aina melihat ada
“Siapa? Apa Wulan pelakunya?” sergah Fakhri.Matanya sudah menyalang penuh amarah bertanya ke Damar. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam sambil menatap pria itu tampak kedip.“Iya, Wulan pelakunya,” jawab Damar.“Tepat dugaanku,” geram Fakhri.Ia berkata sambil menggenggam tangan kanan dan memukulkan ke telapak tangan kiri.“Dia memang tidak mengaku, tapi aku sempat mengancamnya tempo hari. Sepertinya dia ketakutan dan menyuruh orang untuk menabrakku.”Fakhri dan Aina tercengang sambil menatap Damar.“Jadi Wulan juga yang menjadi dalang di balik kecelakaanmu ini?” tanya Aina.Damar mengangguk. “Iya. Aku sudah hapal permainannya dan ini adalah ulah Wulan.”Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala.“Kita harus menjebloskan dia ke penjara, kalau perlu seumur hidup!!” Fakhri berkata sambil menggigit giginya. Ia terlihat ger
“Fakhri, kamu dari mana saja? Sampai lumutan aku menunggumu,” seru Robby menyambut Fakhri.Fakhri tampak terkejut begitu masuk ke dalam rumah sudah melihat Robby di ruang tamu rumahnya. Matanya beredar sedang mencari Bu Rahma ke seluruh penjuru. Fakhri yakin kedatangan Robby kali ini berhubungan dengan pencarian terhadap anak kandungnya dan Fakhri belum mengatakan hal ini ke ibunya.“Ibumu baru saja keluar. Jadi, kamu tenang saja. Beliau tidak akan tahu.”Fakhri menghela napas panjang sambil mengurut dadanya, kemudian mengajak Robby ke ruang kerjanya. Di sana mereka lebih bebas untuk berbicara.“Bagaimana? Apa ada info, Rob?”Fakhri langsung bertanya to the point begitu mereka masuk ke ruang kerja. Robby tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Iya, aku minta beberapa temanku untuk membantu penyelidikan ini. Di hari yang sama saat itu memang ada beberapa kelahiran. Dua bayi perempuan dan empat bayi laki-laki, salah satunya putramu.”Fa
“Kenapa … kenapa Zafran ngomong seperti itu?” tanya Aina.Dia tidak menduga Zafran akan berkata seperti ini. Bisa jadi selama ini, bocah itu tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Bisa juga dia paham tentang test DNA yang dilakukannya beberapa waktu lalu.Memang usia Zafran masih tujuh tahun lebih, baru empat bulan lagi dia menginjak delapan tahun. Namun, Zafran bukan anak bodoh. Dia sudah bisa mengakses internet apalagi di sekolahnya juga sering menggunakan media tekhnologi. Rasanya tidak akan kesulitan untuk menemukan apa saja di sana.“Zafran … kenapa Zafran tidak menjawab?”Aina kembali bertanya saat melihat Zafran hanya diam. Zafran mendongak, matanya kini menatap Aina. Aina terdiam mengamatinya. Mata Zafran sangat mirip mata Fakhri. Apa mungkin kalau dia bukan darah dagingnya? Hanya itu yang masih sulit diterima Aina hingga kini.“Zafran dengar saat Oma Tika ke sini, Bunda. Zafran dengar semuany
Seketika tawa renyah keluar dari bibir Wulan. Fakhri yang duduk di depannya tercengang melihat ulah Wulan. Sementara wanita cantik itu masih sibuk tertawa membuat beberapa pengunjung yang ada di ruangan tersebut menoleh ke arahnya.“Wulan!! Kamu pikir ini lucu?” Fakhri sudah berseru lagi.Dia sangat kesal melihat reaksi Wulan. Lagi-lagi dia merasa dipermainkan oleh mantan istrinya. Wulan menghentikan tawanya, menyeka air mata yang keluar dari wajahnya kemudian menatap Fakhri dengan sendu.“Apa Damar yang memberitahumu, Mas?”Fakhri mendengkus dengan mata yang tak lepas menatap Wulan. Dia tidak menjawab, tapi dari gestur tubuhnya, Wulan sudah tahu jika tebakannya tepat.Wulan tersenyum, menggelengkan kepala sambil menatap Fakhri dengan sinis.“Apa pentingnya aku sembunyikan anakmu? Tidak ada untungnya sama sekali buatku. Jadi kamu jangan asal tuduh!!”Fakhri geram. Matanya menyalang marah, tangannya
“APA!!!?” Fakhri tercengang kaget usai mendengar ucapan Wulan.Wulan tersenyum mengejek, masih berada di posisinya sambil menatap Fakhri.“Aku yakin kamu tidak akan mau melakukannya. Jadi, silakan kamu cari sendiri di mana anak itu berada, itu pun kalau dia masih hidup!!!”Wulan langsung membalikkan badan dan melenggang dengan iringan dua petugas polisi di kanan kirinya. Fakhri masih bergeming di posisinya menatap punggung Wulan yang sudah menjauh dari ruangan tersebut.Ada sakit yang tiba-tiba mengiris hatinya. Wulan tidak pernah menjadi seorang ibu, dia tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang anak seperti yang dialami Fakhri kali ini.Dengan langkah gontai, Fakhri meninggalkan kantor polisi. Hatinya berkecamuk hebat, antara marah, benci dan kesal. Ia marah pada semua ulah Wulan yang membuat hidupnya berantakan. Ia benci pernah jatuh cinta pada wanita itu dan Fakhri kesal sejauh ini dia tidak membuat pergerakan bera
“Saudari Wulan Ariani terbukti bersalah telah melakukan penggelapan uang perusahaan … .” Hari ini adalah hari pembacaan keputusan sidang untuk Wulan. Semua bukti yang terkumpul untuk kejahatan yang dilakukan Wulan sama sekali tidak disangkal dan Wulan mengakuinya. Bahkan dia juga mengaku telah menukar bayi Fakhri dan Aina serta menjebak Aina dengan memberi minuman obat perangsang. Fakhri yang ikut hadir di sana hanya diam mendengarkan. Sesekali ia melirik Wulan yang duduk di kursi pesakitan. Wulan sudah jauh berbeda. Wajahnya tidak secantik dulu, rambut indahnya juga tampak ditata dengan asal apalagi kini tubuhnya semakin kurus tidak seksi seperti dulu. Kalau boleh jujur, Fakhri kasihan melihatnya. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam. Ia sadar siapa yang sedang diperhatikan suaminya saat ini. Aina tidak berkomentar dan terus memperhatikan Fakhri. “Kamu mau menemuinya?” Tiba-tiba Aina bertanya usai pembacaan keputusan berakhir. Fakhri menghela napas dan melihat Aina.
“Udah, Mas. Mau sampai berapa kali kamu melakukannya?” dumel Aina.Ia berkata sambil menyingkirkan wajah Fakhri yang menempel di dadanya. Fakhri terkekeh sambil terus mendaratkan beberapa kecupan di sana. Ia sama sekali tidak mau melepas pelukannya ke Aina.“Memangnya kamu lupa, kalau Ibu bersama Zafran dan Ryan minta oleh-oleh adik. Makanya aku berusaha mewujudkannya.”Aina berdecak, sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Fakhri sudah mengangkat kepalanya dan kini duduk bersandar di samping Aina.“Iya, aku tahu. Namun, ini sudah sore, Mas. Kita bahkan melewatkan makan pagi dan makan siang. Aku laper.”Fakhri mengulum senyum saat melihat ekspresi Aina. Kalau mau jujur dia juga sudah merasa lapar. Namun, rasanya Fakhri tidak mau kehilangan satu momen pun dengan Aina.“Ya sudah, aku pesan makanan dulu.”Fakhri membalikkan tubuhnya dan bersiap meraih telepon yang ada di nakas. Namun
BRAK!!!Pintu kamar tertutup dan Fakhri hanya diam melongo berdiri di depannya. Matanya mengerjap berulang saat menyadari jika dirinya sudah berada di luar kamar.“Fakhri!! Kamu ngapain di sini?” seru Bu Rahma.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat putranya berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah bingung. Fakhri menoleh sambil menghela napas panjang.“Istriku baru saja disabotase Zafran dan Ryan, Bu.”Sontak Bu Rahma terkekeh mendengar aduannya.“Sudah, biarin saja. Toh, kamu tadi siang sudah melakukannya. Lagian besok kalian sudah berangkat untuk honeymoon. Jadi biarkan anak-anak bersama bundanya malam ini.”Fakhri menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. Untung saja, tadi siang dia sudah melakukan pemanasan tiga ronde dengan Aina, kalau tidak pasti sangat kesal malam ini.“Apa mau ditemani Ibu tidur, Fakhri?” Tiba-tiba Bu Rahma bersuara dengan menggod
“Fakhri!! Kamu ke mana aja? Dari tadi Ibu telepon gak diangkat!” Suara Bu Rahma langsung terdengar di telinga Fakhri.Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Usai ijab kabul di KUA, harusnya Fakhri bersama Aina merayakan resepsi dan tasyakuran di rumah Bu Rahma. Namun, Fakhri malah sengaja mengajak Aina pulang ke rumah baru mereka dan menikmati malam pernikahan lebih awal.“Aku ngantuk, Bu,” jawab Fakhri sambil menguap.“Ngantuk? Memangnya kamu di mana? Kenapa juga Pak Udin gak balik ke rumah?”Pak Udin adalah sopir Fakhri yang baru dan kebetulan tadi Fakhri menyuruhnya untuk istirahat. Sepertinya Pak Udin menurut perintahnya.“Banyak tamu mencari kamu dan Aina. Mereka pengen ketemu, Fakhri.”Fakhri menghela napas panjang. Dari awal, Fakhri dan Aina memang tidak mau melakukan perayaan. Toh, ini bukan pernikahan pertama mereka. Hanya Bu Rahma saja yang telah mengundang para tamu hingga mer
Rabu pagi, satu minggu kemudian tampak kesibukan di rumah Bu Rahma. Wanita paruh baya itu tampak berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke kamar Fakhri. Wajahnya terlihat gelisah saat melihat pintu kamar Fakhri masih tertutup rapat.“Ryan, Zafran, coba periksa ayahmu!! Kenapa dari tadi belum keluar? Nenek takut kita datang terlambat ke KUA,” ujar Bu Rahma.Hari ini memang hari pernikahan Fakhri. Sesuai permintaan Aina, mereka akan melakukan jiab kabul di kantor KUA. Setelahnya akan mengadakan tasyakuran dan resepsi sederhana di rumah Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma ingin merayakan pernikahan kedua putranya ini dengan meriah, tapi Aina dan Fakhri menolaknya. Mereka tidak mau lelah, bahkan sehari setelahnya akan melakukan perjalanan keluar negeri untuk honeymoon.“Iya, Nek!!” Ryan dan Zafran menjawab berbarengan.Mereka berjalan beriringan menuju kamar Fakhri. Baru saja Ryan hendak mengentuk pintu kamar Fakhri, tiba-tiba handel
“TUNGGU!!! STOP!!! Jangan bilang kamu mau mencabut gugatanmu ke Wulan!!” sahut Robby.Rini yang mendengar ucapan Robby tampak terkejut. Hal yang sama juga ditunjukkan Fakhri, sayangnya Robby tidak bisa melihat reaksinya kali ini.“HEH??? Mencabut gugatan ke Wulan? Siapa juga yang mau mencabut gugatan?” ucap Fakhri.Sontak helaan napas panjang keluar dengan kasar dari bibir Robby, bahkan pria bermata sipit itu sudah mengurut dadanya.“Lalu kamu mau minta tolong apa tadi?”Fakhri mendengkus sambil melirik interaksi Aina bersama Zafran dan Ryan di ruangannya.“Aku mau minta tolong kamu percepat pernikahanku.”Kini berganti Robby yang terkejut, mata sipitnya melebar usai mendengar permintaan Fakhri.“Bukannya tinggal dua minggu lagi. Kenapa mau dipercepat lagi?”Fakhri tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya. Ia berdiri dan menjauh dari Aina serta kedua putranya. F
“Sayang … kok kamu ngomong gitu?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, malah kini yang berganti menundukkan kepala. Dia paham hanya wanita kedua yang datang ke hati Fakhri. Meski pada akhirnya Fakhri lebih memilihnya, tapi setidaknya ada kenangan indah antara Fakhri dan Wulan.“Aku sama sekali gak bermaksud akan membahas ke arah sana. Aku sudah tidak mencintainya. Aku hanya sekedar memberitahumu mengenai keadaan Wulan.” Fakhri menambahkan kalimatnya dan terkesan sedang membuat pembelaan.Aina menghela napas panjang sambil mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan netra coklat Fakhri dan terdiam untuk beberapa saat.“Aku juga sama sekali gak masalah jika kamu mengenang momen dengannya. Dia cinta pertamamu, bagaimanapun ada kenangan indah antara kamu dan dia. Bisa jadi itu yang membuatmu melankolis seperti ini.”Suara Aina terdengar datar, tidak tertangkap dia sedang sedih apalagi cemburu. Hanya saja Fakhri
“Sialan!! Bangsat!! Jadi kamu yang menyebabkan kecelakaanku?” sergah Wulan.Damar tersenyum sambil berdiri menjauh dari sisi brankar. Wajah Wulan sudah merah padam dengan bunyi gigi yang saling beradu belum lagi tangannya yang sudah mengepal seakan hendak melayangkan sebuah pukulan ke Damar.“Kalau iya, kenapa? Kamu ingin membalasku, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Ia duduk bersandar ke bantal dengan dada kembang kempis mengolah amarah dan wajah yang semakin merah.“Bukankah kamu juga yang telah menabrakku tempo hari hingga membuatku tak berdaya.”Wulan membisu dan buru-buru memalingkan wajah.“Aku rasa kita sudah impas, Wulan. Aku akan mencabut gugatanku dan melupakan semua. Sayangnya, kamu tidak bisa melakukan hal yang sama seperti aku.”Wulan belum menjawab, tapi wajahnya sudah meredup bahkan tatapan matanya tampak sayu. Dengan sendu Wulan menatap kaki kanannya yang kini dibabat
“APA!!! Mama mau bunuh diri?” seru Devi.Amar yang duduk di sebelah Devi tampak terkejut. Tanpa banyak bertanya, ia langsung menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Fakhri lebih dulu. Fakhri yang berada di dalam mobil mengabaikannya. Bisa jadi Amar dan Devi punya kepentingan lain yang harus dilakukan.Selang beberapa saat Devi dan Amar sudah tiba di rumah sakit tempat Bu Vita dirawat. Wanita paruh baya itu tampak tergolek lemah di atas brankar dengan kedua pergelangan tangannya di babat perban.Devi baru saja dijelaskan oleh perawat yang bertugas jika Bu Vita berusaha mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan pecahan cermin di kamarnya. Bu Vita shock saat tahu kenyataan tentang Wulan.“Memangnya siapa yang memberitahu keadaan Kak Wulan ke Mama? Bukannya hanya kita yang diberitahu dokter,” gumam Devi.Ia seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Amar yang berdiri di sebelahnya hanya diam sambil menatap Bu Vita dengan iba.“Sebenarnya beberapa saat yang lalu,